Masalah rekening dormant bikin masyarakat Indonesia gelisah karena aturannya datang tiba-tiba kayak hujan di tengah jemuran, tanpa penjelasan yang jelas atau sosialisasi yang memadai. Banyak orang, terutama di kampung atau yang nggak akrab sama teknologi, kaget banget pas tahu rekening mereka dinyatakan “mati suri” dan nggak bisa diakses lagi. Uang hasil jerih payah bertahun-tahun seolah bisa lenyap gitu aja, tanpa permisi. Ketakutan makin memuncak karena masyarakat merasa bank dan otoritas keuangan lebih mikirin soal aturan ketimbang rasa aman dan kepercayaan nasabah. Kata para pengamat, niat awalnya sih buat memberantas dana mencurigakan, tapi yang kena justru rakyat kecil yang emang jarang transaksi tapi sah-sah aja. Rasa-rasanya rakyat biasa kayak dihukum atas hal-hal yang nggak pernah mereka tahu salah, sementara yang tajir melintir tetep bebas ngatur triliunan kayak enggak ada hukum yang berlaku buat mereka.Aturan soal rekening nggak aktif alias dormant di Indonesia sebenernya datang dari Bank Indonesia dan OJK. Biasanya, rekening dianggap dormant kalau nggak ada aktivitas dari pemiliknya—kayak setor tunai, narik duit, atau transfer—selama 6 sampai 12 bulan, tergantung kebijakan bank masing-masing. Begitu dicap dormant, rekening bisa kena pembatasan, mulai dari nggak bisa diakses, dipotong biaya tidur, sampai akhirnya ditutup. Katanya sih aturan ini dibuat buat efisiensi dan ngehindarin penyalahgunaan rekening nganggur. Tapi praktiknya bikin banyak orang ngangkat alis. Banyak nasabah ngaku nggak pernah dikasih tahu soal batas waktunya, apalagi konsekuensinya. Tahu-tahu pas mau ambil uang, eh... rekeningnya udah dikunci. Kurangnya transparansi ditambah ribetnya prosedur buat ngaktifin lagi bikin orang merasa kayak diusir dari sistem keuangan yang dulu mereka percaya.Sebenernya OJK lewat PPATK tuh ngategorikan rekening sebagai dormant kalau nggak ada aktivitas sama sekali dari pemilik—seperti transfer, setor, tarik—dalam tiga bulan berturut-turut. Setelah lewat tiga bulan tanpa jejak transaksi, PPATK bisa langsung nge‑freeze rekening itu demi cegah penyalahgunaan kayak pencucian uang atau jual-beli rekening gelap. Makin serem kan? Tapi jangan khawatir, saldo nasabah tetep aman, cuma aksesnya diblokir sementara.Emang sih, beberapa bank punya aturan internal yang bilang kalau rekening dianggap dormant setelah enam atau bahkan dua belas bulan nggak aktif. Tapi yang perlu diketahui, itu bukan kewajiban hukum, cuma kebijakan bank aja. Kalau PPATK lihat gak ada aktivitas dalam tiga bulan, bisa langsung freezing. Wuilaa—rekening loe resmi dianggep nganggur ama negara.Keluhan masyarakat soal aturan rekening dormant ini makin rame aja, kayak konser dadakan di tengah pasar. Banyak yang ngerasa kecele karena tiba-tiba rekening dibekukan tanpa peringatan duluan. Keluhan paling sering tuh: “Nggak ada notifikasi apa-apa, tahu-tahu gak bisa narik duit!”. Bayangin, duit sendiri, tapi pas mau dipake malah kayak disandera. Ini jadi pukulan banget buat orang-orang desa, lansia, atau mereka yang nyimpen duit cuma buat keperluan darurat dan gak sering transaksi.Yang bikin makin geregetan adalah prosedur ribet buat ngaktifin lagi. Harus ke bank langsung, bawa dokumen setumpuk, ngantri lama, dan nunggu nasib kayak ngurus SIM hilang. Ujung-ujungnya banyak yang ngerasa kayak sistem keuangan ini bukan buat bantuin rakyat, tapi buat ngawasin dan ngontrol. Orang jadi takut, jangan-jangan suatu hari duit kita bisa dibekukan cuma karena “kebanyakan diam”. Kritik pun berdatangan: kok yang hemat dan jarang transaksi malah diperlakukan kayak tersangka, sementara duit-duit gede mencurigakan tetep bebas ngapung ke mana-mana?Kalau keluhan masyarakat soal rekening dormant ini cuma dianggap angin lalu, dampaknya bisa bahaya banget—bukan cuma buat bank, tapi juga buat kepercayaan publik yang udah rapuh kayak kaca retak. Bayangin aja, kalau orang mulai mikir duit di bank bisa dibekuin seenaknya, mereka bakal tarik semua saldo dan milih simpan uang di bawah kasur. Nggak cuma itu, bisa-bisa muncul tren nabung di arisan, simpan duit di warung, atau bahkan main keuangan gelap yang susah diawasi negara. Ekonomi jadi makin rapuh, dan pengawasan keuangan makin susah kayak cari sinyal di gunung.Kepercayaan yang udah rusak itu susah banget diperbaiki, apalagi buat masyarakat desa, orang tua, atau yang penghasilannya pas-pasan. Kalau keluhan mereka terus dicuekin, negara bakal dinilai lebih sayang ngontrol daripada ngurus rakyat. Dan kalau ini terus berlarut, bisa-bisa rakyat mulai “melawan secara finansial”—ogah pakai bank, ogah patuh, makin lebar jurang antara si kaya dan si biasa-biasa aja. Yang paling serem? Ketidakpuasan ekonomi bisa cepet banget berubah jadi gerakan sosial. Dari masalah rekening nganggur, bisa-bisa nanti muncul gelombang “#UangkuBukanNegaramu” di medsos.
Kamis, 31 Juli 2025
Paradoks Indonesia (5)
Rabu, 30 Juli 2025
Paradoks Indonesia (4)
[Bagian 5]Para kritikus udah lama teriak soal pengangguran di Indonesia, bukan cuma dilihat sebagai masalah ekonomi, tapi kayak bom waktu sosial yang siap meledak kapan aja. Meski pemerintah sering ngumumin angka pengangguran turun, banyak pakar bilang itu cuma angka doang—di baliknya justru makin banyak kerjaan serabutan dan informal yang gak jelas masa depannya, gak ada jaminan, apalagi jenjang karier.Anak muda, terutama lulusan baru, jadi korban utama. Nyari kerja tuh sekarang bukan soal kemampuan, tapi soal “siapa yang loe kenal.” Gak heran kalau banyak yang ngerasa capek hati dan putus asa. Apalagi dengan makin banyaknya otomasi industri, minimnya lapangan kerja di sektor formal, dan kebijakan yang bolak-balik kayak sinetron sore hari—semua itu dianggap ikut andil dalam makin parahnya pengangguran.Program pemerintah sih ada—pelatihan, modal usaha, dan segala macam—tapi kebanyakan cuma tempelan. Kelihatan keren buat headline, tapi gak nyentuh akar masalah kayak kurikulum jadul, industri yang ogah gandeng kampus, dan investasi jangka panjang yang masih kayak PHP. Intinya, kalau pengangguran masih dianggap masalah musiman, bukan masalah sistemik, Indonesia bisa-bisa ngelewatin bonus demografi cuma buat jadi negara yang makin timpang.Akar masalah pengangguran di Indonesia tuh nggak sesimpel “kagak ada kerjaan,” tapi lebih kayak benang kusut antara sistem pendidikan, ekonomi, politik, dan budaya kerja kita sendiri. Yang paling jelas: sekolah dan kampus acapkali ngeluarin lulusan yang ilmunya nggak nyambung sama kebutuhan industri zaman sekarang. Banyak yang lulus, tapi bingung mau kerja apa karena nggak ada skill yang relevan.Ekonomi Indonesia juga tumbuh, tapi bukan di sektor yang banyak nyerap tenaga kerja. Yang naik justru sektor padat modal—pabrik gede, tambang, atau teknologi—yang butuh mesin lebih banyak daripada manusia. Di desa-desa, akses ke pasar dan infrastruktur masih cupu, bikin usaha lokal susah berkembang. Sementara di kota, cari kerja kayak ikut reality show: penuh saingan dan penuh koneksi.Masalahnya makin parah karena korupsi dan birokrasi yang semrawut. Banyak program penciptaan kerja yang jadi ajang pencitraan atau malah jadi ladang proyek, bukan solusi jangka panjang. Sektor informal pun tumbuh besar, tapi kayak jebakan batman—kerjaan banyak, tapi gaji kecil, nasib kagak jelas, dan kagak ada jaminan apa-apa.Dan jangan lupa: tiap tahun jutaan orang baru masuk angkatan kerja, tapi lapangan kerja gak tumbuh secepat itu. Migrasi ke kota makin banyak, tapi kotanya sendiri udah sesak. Kalau pemerintah dan sistem gak mau bebenah beneran, pengangguran bakal terus jadi penyakit lama yang dikasih perban doang—kelihatan sembuh, padahal masih parah di dalam.Buku “Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045” ditulis oleh Prabowo Subianto dan diterbitkan oleh PT Media Kita pada tahun 2022, bisa dibilang kelanjutan dari karya sebelumnya, Paradoks Indonesia, dan isinya jadi semacam panduan strategis jangka panjang menuju 100 tahun kemerdekaan Indonesia.Di buku ini, Prabowo ngerancang visi transformasi besar-besaran buat Indonesia—tujuannya jelas: ngelawan kemiskinan, ngurangin ketimpangan, dan lepas dari ketergantungan ekonomi. Beliau ngajak bangsa ini buat balik lagi ke nilai-nilai dasar UUD 1945—yakni keadilan, kedaulatan, dan pembangunan yang bener-bener mikirin rakyat kecil. Menurut Prabowo, sumber daya alam dan jumlah anak muda yang gede adalah aset utama bangsa ini, tapi semua itu bakal sia-sia kalau nggak dikelola dengan jujur dan visioner.Lewat dua belas pilar dasar dan empat tujuan nasional, Prabowo kasih langkah-langkah nyata buat ngantar Indonesia jadi negara emas di tahun 2045—negara yang makmur, berdaulat, adil, dan punya martabat tinggi. Sepanjang buku, Prabowo terus ulangin satu pesan: kalau mau berubah, kita butuh persatuan, disiplin, dan kebangkitan moral. Gak bisa setengah-setengah, Bro!Latar belakang ditulisnya buku Strategi Transformasi Bangsa muncul dari rasa resah Prabowo Subianto atas jurang yang makin lebar antara potensi luar biasa Indonesia dan kenyataan pahit yang masih dirasain rakyat banyak. Menjelang 100 tahun kemerdekaan di tahun 2045, menurutnya Indonesia kudu ambil langkah strategis jangka panjang yang berani—kalau nggak mau jadi penonton doang di panggung dunia. Keresahannya soal ketimpangan ekonomi, politik yang makin rusak, dan bangsa yang makin tercerai-berai jadi bahan bakar utama lahirnya buku ini. Bukan buat nyinyir, tapi buat kasih arah.Buku ini bisa dibilang kelanjutan dari Paradoks Indonesia, tapi kali ini dengan fokus ke solusi yang lebih konkret. Prabowo pengin kasih peta jalan buat bangsa ini, yang bisa nyatuin elite dan rakyat akar rumput dalam satu visi: keadilan, kemakmuran, dan kedaulatan. Intinya sih, ini buku bukan cuma buat dibaca—tapi buat ngebangunin nurani. Supaya kita nggak ngelupain darah dan keringat para pendiri bangsa, dan bisa warisin republik yang lebih kuat dan bermartabat ke generasi selanjutnya.Waktu ngebayangin Indonesia Emas 2045, Prabowo Subianto kasih gambaran yang gak nanggung-nanggung: sebuah republik yang adil, makmur, dan berdaulat—bukan sekadar jargon, tapi bener-bener kerasa di hidup rakyat sehari-hari. Buatnya, 100 tahun Indonesia merdeka gak cukup dirayain dengan marching band dan baliho gede—tapi harus dibuktiin lewat kesejahteraan yang nyata. Indonesia Emas versi Prabowo itu negeri yang mandiri, punya strategi jangka panjang, dan dipimpin oleh orang-orang berintegritas.Menurutnya, buat sampai ke sana gak cukup cuma modal semangat. Harus ada disiplin, rencana yang matang, keberanian politik, dan yang paling penting: persatuan. Tujuannya bukan cuma bikin ekonomi tumbuh, tapi juga nyiptain keadilan sosial, ketahanan pangan dan energi, teknologi yang maju, dan posisi Indonesia yang disegani di dunia. Tapi semua itu cuma bisa kejadian kalau negaranya kuat, pemimpinnya punya akhlak, dan rakyatnya punya rasa tanggung jawab buat bangsa ini.Menurut Prabowo, cita-cita abadi bernegara itu nggak sekadar target politik jangka pendek, tapi janji suci yang udah tertulis sejak awal di UUD 1945 dan Pancasila. Janji buat bikin semua rakyat bisa hidup bermartabat, adil, dan bebas dari ketakutan atau kelaparan. Negara, menurutnya, harus jadi pelindung rakyatnya, bukan pelayan segelintir elite. Siapapun yang jadi pemimpin, harus tetap pegang teguh misi ini—karena ini bukan cuma aturan, tapi amanah.Ia terus ngulangin: negara harus berpihak ke yang lemah, ngebela yang miskin, dan ngangkat suara yang selama ini disenyapin. Dan buat ngejalanin itu, butuh pemimpin yang berani, punya nasionalisme sejati, dan setia sama cita-cita luhur para pendiri bangsa. Buat Prabowo, idealisme ini nggak bisa dinego. Ini inti dari arti kemerdekaan itu sendiri—bukan buat segelintir orang, tapi buat semua anak bangsa.Soal capaian Indonesia sampai hari ini, Prabowo Subianto nada bicaranya lebih ke “boleh bangga, tapi jangan keburu puas.” Beliau ngakuin ada kemajuan—kayak pembangunan infrastruktur, akses pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi. Tapi beliau juga bilang, kalau dibandingin sama potensi besar yang kita punya—entah itu tambang, laut, atau jumlah anak muda—kemajuannya masih nanggung banget.Menurutnya, kita masih kejebak sama masalah klasik: korupsi, tata kelola yang lemah, dan ketergantungan sama modal asing. Jadi, daripada tepuk tangan duluan, Prabowo ngajak kita ngaca—negara tetangga udah jauh di depan dalam hal industri, teknologi, dan pemerataan ekonomi. Buatnya, sukses itu bukan soal angka-angka keren di layar TV, tapi soal rakyat kecil bisa ngerasain langsung hasil pembangunan di isi dompet dan isi piring mereka.Sebelum lanjut lebih jauh dengan buku karya Prabowo Subianto, mari kita lakukan tinjauan sejenak sepuluh bulan terakhir masa pemerintahan Prabowo Subianto.Dalam sepuluh bulan pertama jabatan Presiden Prabowo Subianto—dari Oktober 2024 sampai Juli 2025—kritikus makin banyak yang ngeluarin statement keras: programnya besar, tapi manajemennya amburadul, gaya otoriter makin kentara, dan banyak kebijakan tiba‑tiba berubah.Program Makanan Gratis buat anak dan ibu hamil digembar-gemborkan budgetnya US $28 miliar per tahun, tapi banyak kritik soal sustainabilitas keuangannya dan pemotongan anggaran besar-besaran di pendidikan dan infrastruktur. Mahasiswa protes, bikin tagar #DarkIndonesia karena dana dipotong, kuliah dan beasiswa dibatalin tiba-tiba.Gak cuma itu, keterlibatan TNI di sektor sipil makin bikin greget. Militer sekarang urus pertanian, farmasi, dan program sosial. Undang-undangnya juga memungkinkan tentara aktif duduk di posisi sipil atau BUMN—ini bikin banyak pihak was-was kalau demokrasi bakal mundur kayak zaman dulu.Potongan anggaran melalui Inpres efisiensi Rp 306,7 triliun bikin banyak kementerian “mati suri”. Infrastruktur mandek, beasiswa hilang, pegawai sipil bingung kerja apa. Kritikus bilang ini bikin birokrasi lumpuh dan bikin rakyat banyak kecewa.Politik juga jadi sorotan: hampir semua partai parlemen masuk koalisi, oposisi tipis banget. Analis bilang ini bahaya buat checks and balances, negara bisa jalan sendiri tanpa kontrol efektif.Soal lingkungan pun gak dilewatkan. Proyek besar seperti Food Estate dan tambang di Raja Ampat jalan terus tanpa transparansi, rakyat lokal dikit dilibatkan, akhirnya banyak lingkungan yang dirusak dan protes pecah.Kelompok masyarakat sipil juga hati-hati menyorot dominasi eksekutif yang makin kuat, termasuk usulan cara pilih kepala daerah berubah ke DPRD—mereka takut ini tanda otoritarianisme halus mulai tumbuh.
Litbang Kompas—unit risetnya Kompas—ngadain survei antara tanggal 4–10 Januari 2025. Mereka mewawancarai 1.000 orang secara tatap muka di 38 provinsi, dengan margin error sekitar ±3,1%, dan hasilnya: 80,9% responden puas sama Presiden Prabowo Subianto di 100 hari pertamanya menjabat. Ada juga survei dari Indikator Politik Indonesia di 16–21 Januari 2025 yang angkanya hampir sama: 79,3% puas — makin memantapkan tingkat kepercayaannya. Para kritikus ngingetin, popularitas bisa runtuh kalau institusi terus lemah dan ketimpangan makin tajam.Di bulan Juni 2025, hasil survei dari Median nunjukin kalau 65,2% rakyat puas sama kinerja pemerintahan Prabowo–Gibran. Survei ini digelar tanggal 12–18 Juni lewat Google Form ke pengguna medsos, dengan 907 responden dari 38 provinsi. Ada 44,3% bilang puas dan 20,8% bilang sangat puas, sementara sekitar 31% gak puas.Tapi pas awal Juli, survei internal pemerintah yang disampaikan oleh Menko Polkam nyebutin angka puas mencapai 81,2%. Survei ini ngukur dari lima aspek utama: sosial budaya (95,1%), keamanan nasional (83,1%), stabilitas politik (70,8%), penegakan hukum (67,8%), dan kinerja ekonomi makro (67,4%).Hasil lembaga independen di pertengahan Juni kasih angka kepuasan di kisaran 60‑an persen, tapi data resmi pemerintah awal Juli tunjukin lebih optimis—di atas 80 persen gitu. Tapi… ehmm… serius? Banyak yang nyinyir, “Ya iya lah puas… kalo yang bikin survei pemerintah sendiri!” Kalau pemerintah survei dirinya sendiri, itu rawan bias. Bisa aja respondennya disaring, pertanyaannya digiring, atau hasilnya disesuaikan buat pencitraan. Tanpa audit independen, ya siapa yang percaya?Survei Median Juni 2025 memang nunjukin ada penurunan kepuasan publik—rating puas turun ke 65,1%, padahal dulu Februari atau Januari lembaga lain deklarasinya masih di kisaran 80-an persen. Menurut eksekutif Median, banyak responden kasih alasan puas karena program pemberantasan korupsi berhasil—12,6% nyebut ini secara eksplisit. Ada juga alasan lain seperti kerja nyata mulai keliatan (7,7%), janji kampanye dipenuhi (7,2%), pemerintah dinilai cepat dan amanah (5,1%), plus Program Makan Bergizi Gratis (5%).Median menilai angka 65,1% itu sebagai pertanda hati-hati: optimisme publik mulai goyang. Meski masih mayoritas yang puas, penurunan ini nunjukin adanya rasa takut soal pemotongan anggaran, bingungnya kebijakan, dan inkonsistensi dalam hasil nyata. Buat mereka, angka ini jadi alarm: rakyat belum cukup puas hanya sama program besar—tapi butuh integritas kelembagaan yang kuat dan responsif dengan kebutuhan sehari-hari rakyat kecil.Masuk akal banget sih kalau banyak yang mulai kecewa di bulan Juni 2025. Awalnya sih rakyat happy-happy aja, apalagi program makan gratis digas pol. Tapi makin ke sini, banyak yang ngerasa: "Lho, ini negara jalan mundur apa gimana?"Pertama, gara-gara Inpres No. 1/2025, Prabowo motong anggaran sampai Rp 306 triliun. Imbasnya? Beasiswa dibatalin, proyek jalan tol macet, bahkan dana operasional kampus seret. Mahasiswa ngamuk, kepala daerah ngeluh, dan masyarakat bawah ngerasa kayak dikibulin.Kedua, rakyat mulai ngerasa aneh kok TNI makin banyak ngurusin hal-hal sipil. Dari tanam-tanaman sampai obat, tentara turun tangan. Banyak yang takut ini kayak ulangan masa Orde Baru, yang penuh komando dan minim demokrasi.Ketiga, Program Makan Gratis juga makin disorot. Katanya buat rakyat, tapi dananya gede banget dan gak jelas gimana efek jangka panjangnya. Banyak yang bilang, “Gak salah bantu orang makan, tapi jangan sampai bikin negara bangkrut.”Kritikus banyak yang kompak nge-bully performa sejumlah menteri di Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo. Banyak yang bilang, banyak orang ditunjuk cuma sekadar duit atau kursi politik—nggak sesuai kapasitas—hingga ujung-ujungnya suka bikin blunder. Survei oleh CELIOS nya jurnalis-jurnalis yang paham teknik pemerintahan bilang, setidaknya lima menteri itu performanya payah banget: Menteri HAM dapat skornya –113, abis banget. Padahal gak ada satu pun yang dapet nilai “sangat baik”. Gak cuma itu, mereka juga nyorot kabinetnya yang kegedean parah—ada 48 menteri dan 56 wakil menteri. Ini bikin banyak kebijakan jadi tumpang tindih, lambat dieksekusi, dan bikin boros anggaran. Ini namanya “politik bagi-bagi kursi”, bukan kabinet yang diisi orang kompeten.Belum lagi soal banyaknya menteri yang “bekas” era Jokowi. Buat investor mungkin bikin tenang. Tapi kritiknya: loyalitas mereka dianggap masih ke rezim sebelumnya—jadi warga ngerasa kabinetnya gak solid dan susah dipercaya sepenuhnya.Skeptisisme publik dan pakar saat ini nyimpulin: kabinet Prabowo dinilai penuh dengan orang kurang qualified, sering blunder, mayoritas nyalahin rakyat, dan kabinet jumbo penuh jabatan politik. Banyak juga yang bilang menteri belum tentu dukung total visi Prabowo karena loyalitasnya dianggap belum kelar dari Jokowi.Kalau Ketua MPR bilang “keputusan MK soal wakil menteri bisa diabaikan aja,” para kritikus langsung ngamuk. Mereka bilang: “Yang namanya Mahkamah Konstitusi itu kan penegak hukum konstitusi, bukan cuma saran doang!” Pengamat hukum dan masyarakat sipil langsung melayangkan kritik: itu jelas bikin aturan jadi abal-abal dan bikin lembaga negara kelihatan lemah.Mereka juga ngingetin: MK udah bolak-balik bilang wakil menteri itu posisinya sama kayak menteri dalam aturan. So, kalau boleh rangkap jabatan, sama aja ngangkangi hukum. Kalau dilewatin dengan santai, dikhawatirkan jadi pintu belakang bagi arisan jabatan politik dan malah memperkuat oligarki elite.Omongan Ketua MPR yang seolah bilang surat saran MK bisa dikesampingkan, dianggap banyak pihak sebagai bentuk meremehkan norma konstitusi—dan bikin publik makin takut kalau elite politik cuma mikirin pragmatisme, bukan prinsip keadilan dan integritas hukum.Pas Prabowo ngebalas hashtag #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu, netizen bilang caranya nanggepin tuh kurang empati. Alih‑alih dengerin keresahan rakyat, doi malah nyindir soal tagar itu “cuma disusun orang pesimis yang dibayar koruptor.” Banyak yang merasa itu gaya meminggirkan mereka yang protes dan bikin rakyat biasa makin ngerasa suara mereka gak dianggep.Reaksi ini bikin banyak orang mikir: Presiden kayaknya gak nyambung sama kondisi bawah. Dengan nyebut orang yang protes gak nasionalis atau bayaran, ia malah nunjukin seolah rakyat gak boleh curhat soal kebijakan—padahal pemotongan anggaran pendidikan, ekspansi militer ke sipil, dan peluang yang makin sempit itu nyata banget.Emang sih ada segelintir pendukung yang bilang gaya tegas gitu langsung memecah optimisme. Tapi banyak yang khawatir cara ini malah bikin rakyat merasa pemerintahnya lebih milih bungkamin kritik daripada ngajak ngobrol. Kesannya jadi makin kuat: Prabowo itu bukan sosok yang berpihak sepenuhnya ke rakyat bawah. Apa iya?
[Bagian 3]
Selasa, 29 Juli 2025
Ekonom Jujur di Masa Kompromi: Penghormatan untuk Kwik Kian Gie (1935–2025)
Dalam sejarah ekonomi Indonesia, tak banyak nama yang menghadirkan rasa hormat sekaligus kejernihan moral seperti Kwik Kian Gie. Pada malam 28 Juli 2025, di usia 90 tahun, bangsa ini kehilangan salah satu sosok negarawan paling berintegritas—seorang ekonom, pendidik, dan pemikir yang keheningannya justru menggema melampaui batas birokrasi dan dunia akademik.Lahir tahun 1935 di Juwana, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Kwik tumbuh di tengah bayang-bayang kolonialisme dan semangat kebangkitan nasional. Meski berdarah Chinese-Indonesia, identitas keindonesiaannya tak pernah goyah. Pendidikan di Belanda bukan menjauhkannya dari tanah air, justru membuatnya makin terikat pada nasib bangsanya. Sekembalinya, ia tak memilih jalan kemapanan pribadi, melainkan perjuangan di ruang publik yang sering tak nyaman dan penuh kritik.
Kontribusi Kwik dalam pemikiran ekonomi Indonesia bukan sekadar teknokratik atau ideologis, melainkan sangat etis. Di tengah gelombang neoliberalisme yang menyapu Asia Tenggara, ia menawarkan jalan yang berakar pada keadilan sosial, ketahanan nasional, dan martabat manusia. Ia mengingatkan bahaya Indonesia menjadi pion pasar modal global dan keras menolak dominasi lembaga asing atas kebijakan nasional. Bagi Kwik, kedaulatan bukan slogan—tapi pertahanan.
Sebagai Menteri Koordinator Ekonomi di era Presiden Abdurrahman Wahid, dan Kepala Bappenas di masa Presiden Megawati, ia hadir sebagai suara langka yang penuh integritas. Ia bicara dengan tajam, bertindak dengan hati-hati, dan memerintah tanpa kesombongan. Saat banyak orang menggenggam kekuasaan erat-erat, Kwik justru mengundurkan diri demi menjaga prinsip. Keputusan itu membuat namanya makin abadi dalam ingatan publik.
Namun, pengaruh Kwik tak berhenti di jabatan. Ia dikenal sebagai penulis dan pemikir publik yang menavigasi negeri ini melalui badai ekonomi lewat tulisan-tulisan yang tajam namun jernih. Ia tak mengejar populisme, tapi tulisannya menggugah—karena ia jujur. Ia tak takut mengkritik penguasa, termasuk kawan sendiri. Di usia senja pun, ia tetap waspada: mengkritik utang luar negeri, ketergantungan asing, dan lunturnya kapasitas negara.
Dalam bukunya Gonjang‑Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu (1998, Gramedia Pustaka Utama) berisi kritik tajam terhadap kondisi ekonomi pasca-reformasi: harga kebutuhan pokok yang melambung, PHK massal, dan ketimpangan yang memperkuat dominasi elite. Dari buku ini, dapat ditemukan pernyataan beliau mengenai perlunya reformasi ekonomi yang sehat dan penataan ulang sistem perbankan serta monopolisme bisnis.Dalam buku Nasib Rakyat Indonesia dalam Era Kemerdekaan (2016, Gramedia Pustaka Utama), Kwik mengkaji bagaimana eksploitasi sumber daya alam Indonesia diteruskan oleh elite lokal melalui struktur ekonomi yang gak berpihak pada rakyat. Ia juga nyentil liberalisasi yang dinilai melanggar konstitusi dan ketahanan bangsa.Dari Gonjang‑Ganjing Ekonomi Indonesia, Kwik mengingatkan bahwa “reformasi politis saja tak cukup tanpa reformasi ekonomi yang menyentuh rakyat kecil.”Sementara dalam Nasib Rakyat Indonesia dalam Era Kemerdekaan, ia menyebut perlunya “gerakan kemerdekaan kedua”, yakni sebuah kebangkitan nasional yang melibatkan pengembalian kendali sumber daya kepada rakyat, bukan hanya elite atau asing.Dalam Saya Bermimpi Jadi Konglomerat (1993, Gramedia Pustaka Utama), Kwik Kian Gie menyuguhkan satire tajam yang terasa seperti dagelan, tapi sebenarnya nyentil sistem ekonomi kita yang kerap memuja kebohongan berjubah sukses. Dengan gaya cerita naratif dari sudut pandang tokoh “saya” yang mengaku bercita-cita jadi konglomerat, pembaca diajak menyelami absurditas bagaimana kekayaan bisa diraih bukan karena kerja keras atau inovasi, tapi karena akal-akalan dan kedekatan dengan kekuasaan.Kwik memparodikan realitas: tokoh utamanya ingin kaya cukup dengan ongkang-ongkang kaki, main saham fiktif, kredit ekspor palsu, dan ‘berteman baik’ dengan para pejabat bank. Semua dijalankan bukan karena pintar secara teknis, tapi karena pintar mencari celah hukum dan tahu harus menyogok siapa. Nah, mirisnya, semua ini bukan hanya fiksi—karena banyak yang benar-benar terjadi di Indonesia.Di balik kelucuannya, buku ini sebenarnya adalah kritik mendalam terhadap sistem perbankan dan kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada konglomerat daripada rakyat kecil. Kwik seperti ingin bilang: "Hei, ini negara bukan tempat judi elite. Kalau yang jujur terus kalah, ya jangan heran kalau generasi muda ikut-ikutan jadi licik."Buku ini bukan sekadar satire—ia cermin besar. Cermin yang memantulkan wajah ekonomi kita: apakah kita membangun ekonomi yang adil dan produktif, atau cuma jadi taman bermain para mafia berdasi?Dalam Bab pertama buku Saya Bermimpi Jadi Konglomerat, Kwik Kian Gie langsung ngegas dengan gaya satire yang tajam banget. Naratornya—si “saya”—ngaku punya mimpi besar: jadi konglomerat, tapi bukan lewat kerja keras atau bikin produk keren. Nggak, bos. Ia pengen kaya raya cuma dengan main akal-akalan, kayak elite bisnis yang main belakang tapi tetap tampil necis.Ceritanya, ia pengen duduk manis sambil uang ngalir kayak air. Gimana caranya? Ya dengan ngajuin kredit ke bank pakai jaminan palsu, ngeklaim ekspor fiktif, dan maenin kertas-kertas saham yang isinya nol. Semua itu disusun dengan wajah tanpa dosa—kayak itu hal biasa aja. Dan justru itu yang bikin geli sekaligus miris.Kwik bikin naratornya ngomong dengan nada datar, seolah itu strategi bisnis cerdas. Padahal, di balik gaya bercanda itu, ada tamparan keras buat sistem ekonomi kita yang rusak dari akarnya. Di Indonesia, kata Kwik, yang sering menang itu bukan yang jujur, tapi yang licik dan punya koneksi.Bab ini semacam pengantar buat nyodorin pertanyaan maut ke pembaca: “Di negeri ini, apa bener orang jujur masih bisa naik kelas?” Jawabannya gak dikasih langsung, tapi kita disuruh mikir. Dan dari awal banget, Kwik udah ngajak kita ngelihat kenyataan ekonomi negeri ini lewat kacamata satire, yang lucu tapi nyesek di dada.Yang bikin Bab 1 buku Saya Bermimpi Jadi Konglomerat terasa nendang banget adalah kejujurannya yang nyeleneh tapi ngena. Kwik Kian Gie gak buka cerita dengan ceramah soal etika atau moralitas. Enggak sama sekali. Beliau malah nyodorin “pengakuan dosa” dari tokoh fiksi yang ngaku pengen jadi orang kaya tanpa perlu kerja keras, tanpa bikin produk, apalagi mikirin orang lain. Pokoknya asal cuan, halal atau haram urusan belakangan.Yang bikin pembaca melek adalah gimana tokohnya ngomong dengan polos tapi penuh sindiran. Ia bukanlah reformis, tapi kayak orang yang udah paham banget celah sistem dan siap manfaatin semuanya. Bukan pengusaha sejati, tapi pengakali sejati. Dan di balik suara tokoh ini, jelas banget Kwik lagi nyindir cara main para konglomerat sungguhan yang ngeruk untung bukan dari kerja produktif, tapi dari manipulasi dan koneksi.Ada momen kocak tapi bikin miris: sang tokoh dengan bangga bilang ia nggak perlu tahu barang apa yang diekspornya—yang penting punya orang dalam di bank. Logika absurd kayak gini justru terasa realistis di Indonesia, dimana yang punya akses lebih penting daripada yang punya kapasitas.Tapi yang paling keren adalah: Kwik nggak pernah keluar dari peran naratornya. Nggak ada komentar “ini loh yang salah.” Ia biarin tokohnya ngomong bebas, seolah-olah itu normal. Dan justru di situlah letak kekuatannya—kita diajak mikir, ketawa getir, lalu tiba-tiba sadar: “Eh, ini kan kejadian beneran di dunia nyata.”Pada awal tahun 1990‑an di Indonesia, istilah "konglomerat" bukan lebih dari sekadar kumpulan bisnis besar. Media dan publik pakai istilah ini untuk nudging kepada figur kaya yang kekuatannya bukan cuma dari duit doang—tapi juga koneksi ke kekuasaan. Mereka itu bos besar yang bisa pake pengaruh ke pemerintah buat dapat izin usaha, akses bank, sampai monopoli sektor tertentu.Di media waktu itu “konglomerat” sering disandingkan dengan konsep “oligarki”—sebuah geng kecil elite ekonomi yang punya dominasinya sendiri atas bisnis dan politik. Di era Soeharto, kroni-kroni ini dapat keistimewaan dari rezim—mulai dari pengelolaan pertambangan, kehutanan, perbankan, hingga impor—yang bikin mereka jadi raja-raja bisnis tanpa perlu bersaing sebersih di pasar bebas. Media sih bilang “konglomerat”, tapi niatnya nyorong image mereka itu semacam influencer rezim, yaitu oligarki de facto.Kalau orang zaman itu bilang “konglomerat”, jangan dibayangin cuma bos perusahaan besar. Yang dimaksud adalah orang yang bisa main politik juga—penguasa bayangan di balik kebijakan pemerintah dan duit negara.Dalam Bab 2 buku Saya Bermimpi Jadi Konglomerat, Kwik makin menggila dengan satire-nya. Sang tokoh utama sekarang makin “mahir” ngejalanin mimpinya jadi konglomerat: ia dapetin kredit ekspor dari bank pemerintah, tapi barang ekspornya? Bohongan doang. Kagak ada truk jalan, kagak ada peti kemas—cuman tumpukan kertas dan stempel palsu.Dengan gaya santai yang ngeselin sekaligus ngocok perut, tokohnya cerita gimana gampangnya ngibulin sistem. Yang penting punya akses ke pejabat bank, tahu jalur birokrasi, dan punya “teman-teman yang bisa diajak kerjasama”. Dokumen ekspor bisa dibikin di meja makan, asal formatnya bener. Uangnya cair, barangnya fiktif, dan semua orang di sistem kayak pura-pura nggak lihat. Dan sang tokoh? Bangga dong, merasa cerdas bukan main.Yang bikin ngilu adalah: ini semua ditulis kayak komedi, tapi ini kejadian beneran. Kwik sengaja gak pakai nada marah atau ceramah. Ia cukup tampilkan keabsurdan sistem yang malah ngasih panggung buat para pemain curang.Kwik juga nunjukin bahwa masalahnya bukan cuma di satu dua orang jahat. Ini tuh soal sistem yang ngebuka peluang lebar-lebar buat kejahatan, bahkan seolah-olah disediakan karpet merah. Pejabat bea cukai, bankir, sampai kementerian semua ikut andil—baik karena bebal, ikut main, atau sekadar tutup mata.Akhir bab ini bikin kita ketawa getir. Lucu sih, tapi juga bikin pengen lempar buku. Soalnya Kwik lagi-lagi berhasil ngasih tahu kita: “Bro, yang rusak bukan cuma pelakunya, tapi panggung tempat mereka joget juga.”Di Bab 3, satire Kwik makin pedas dan bikin nyengir pahit. Sang tokoh utama yang udah sukses “main ekspor fiktif”, sekarang naik level: ia masuk dunia manipulasi utang dan kolusi perbankan. Target barunya? Bikin perusahaan palsu yang tugasnya bukan produksi, tapi ngajuin pinjaman pakai data-data daur ulang yang palsu tapi kelihatan legal.Kwik ngebayangin sang tokoh kayak pesulap utang—main juggling pinjaman antar bank pakai jaminan yang sama, tapi dicetak ulang pakai nama dan format beda-beda. Dan tentu saja, semuanya mulus karena ia punya “tim sukses”: dari pejabat bank yang bisa disogok, notaris licik, sampe pengacara yang siap bantu tutup lubang aturan. Pokoknya sistemnya bukan bocor—tapi emang dibikin buat bisa dikadalin.Yang bikin gregetan, si tokoh ceritanya pakai nada santai kayak lagi sharing tips startup. Padahal yang ia dilakukannya skema pembohongan besar-besaran. Ia bahkan nyinyirin para pengusaha jujur, katanya mereka itu "kurang pintar", karena terlalu serius bikin produk dan ngebayar pajak. “Ngapain repot?” katanya.Bab ini nggak cuma menghibur dengan gaya sarkas Kwik, tapi juga bikin kita ngerasa ngeri. Karena semua kebohongan itu kayak beneran kejadian di sekitar kita—dari perusahaan bodong, bank yang tutup mata, sampe auditor yang pura-pura bego karena dibayar mahal.Dan di ujung bab, Kwik kayak bisik-bisik ke pembaca: “Yakin lo masih mau jadi orang baik di negeri yang sistemnya justru ngegaji penipu?”Buku Saya Bermimpi Jadi Konglomerat bukan sekadar satire lucu-lucuan—ini semacam kuliah umum moral yang disamarkan jadi cerita kocak. Lewat tokoh utama yang “cerdas menipu”, Kwik Kian Gie ngajak kita masuk ke dunia yang absurd tapi familiar: tempat orang bisa jadi tajir melintir tanpa kerja keras, cukup main dokumen palsu, sok networking, dan sedikit main mata dengan sistem.Tapi jangan salah, di balik gaya bercandanya, pesan-pesan Kwik tuh nendang banget.Pertama, beliau bilang dengan sangat halus tapi telak: korupsi di negeri ini bukan kecelakaan sistem—tapi udah jadi bagian dari desainnya. Yang curang bukan nyempil di pojok, tapi duduk manis di panggung utama. Jadi, kalau loe jujur dan kerja keras tapi tetep kalah, itu bukan salah loe—itu karena sistemnya memang ngasih hadiah buat yang licik.Kedua, ia nyentil gimana bahasa sering dipakai buat ngebungkus kebusukan. Tipu-tipu dibungkus jadi “strategi bisnis”. Kredit fiktif disebut “inovasi pembiayaan”. Penipuan berjamaah diklaim “kreativitas pasar”. Sang tokoh utama bahkan gak rumongso dirinya penipu—ia justru bangga karena “lebih pintar dari yang lain.” Dan itu ngaca banget ama kenyataan di lapangan.Ketiga, Kwik nunjukin bahwa kerusakan moral itu merata—bukan cuma di pengusaha, tapi juga di pejabat, bank, notaris, bahkan hukum. Semua udah kayak orkestra yang kompak main lagu yang salah, tapi penontonnya malah tepuk tangan. Ini bukan soal satu-dua oknum, tapi sistem yang emang “ramah penipu”.Di ujung semua ini, Kwik ngasih pesan diam tapi mengguncang: kalau masyarakat terus-terusan memuja yang culas dan menginjak yang jujur, yang hancur bukan cuma ekonomi—tapi juga nurani bangsa. Dan bangsa yang kehilangan nurani, biarpun punya tambang emas dan sawit sejagat, tetap bakal runtuh dari dalam.Warisan Kwik sebagai pendidik pun luar biasa. Ia turut mendirikan Prasetiya Mulya Business School dan Sekolah Bisnis Kwik Kian Gie, mencetak generasi yang melihat ekonomi bukan sekadar soal uang, tapi alat pengabdian publik dan penyembuh bangsa.
Di negeri yang kadang kompromi mengalahkan nurani, Kwik tetap teguh. Ia tak haus pujian, ia teguh pada pertanggungjawaban. Ia tak bermain drama, ia menuntut substansi. Semasa hidup, ia kadang disalahpahami. Tapi setelah wafat, kita sadar: sosok sepertinya sangatlah sedikit.
Kwik Kian Gie tak hanya mewariskan kebijakan atau tesis ilmiah, tapi warisan integritas sipil, kejujuran ekonomi, dan cinta tanah air yang tak pernah goyah. Saat Indonesia terus menapak masa depan yang tak pasti, suaranya tetap terasa—bukan dalam sorak, tapi perenungan; bukan dalam slogan, tapi dalam standar.
Ia mengajarkan bahwa nasionalisme sejati tak perlu keras, yang penting konsisten. Bahwa ekonomi sejati bukan soal dingin angka, tapi kehangatan hati. Dan bahwa mata uang paling berharga dalam hidup bermasyarakat bukanlah pengaruh, melainkan kejujuran.
Senin, 28 Juli 2025
Ballada Pangeran Kodok
Di sebuah kerajaan rawa yang penuh dengan gema suara sendiri, hiduplah seekor Kodok Tambun yang percaya bahwa dirinya bukan kodok biasa. Ia yakin, saat kecil dulu ia adalah seekor Kancil cerdas yang tercebur ke kolam perenungan dan bereinkarnasi menjadi makhluk berlendir dan suka mengembik di podium.Setiap pagi, Pangeran Kodok berdiri di atas daun teratai, berkaca pada air, dan berkata,"Aku ini bukan kodok. Akulah kancil yang kelak menjadi gajah!"Penduduk rawa awalnya menganggap itu sebagai bentuk percaya diri yang manis. Tapi lama-lama mereka mulai khawatir, karena sang Pangeran mulai menggagas proyek megalomaniak bernama:“Transformasi Amfibi Menjadi Gajah”(yang disingkat menjadi TAMeGa, dan dicetak di spanduk seluruh rawa).Namun, seekor Kura-Kura tua berkata,"Menjadi gajah gak cukup cuma mimpi, wahai Pangeran. Dikau butuh jejak, tapi bukan cuma jejak digital."Tersinggung dengan nasihat penuh makna itu, Pangeran Kodok mengumpulkan tim bayaran: segerombolan Ikan Cupang, Burung Jalak hafal satu skrip, dan beberapa Lintah Darat yang rela bersaksi asal diberi kuah lumpur segar.
Ia berkata,"Kalian harus umumkan ke seluruh negeri, bahwa aku sarjana sejati, ijazahku asli, bahkan lebih orisinil dari ijazah para bangau di luar negeri!"Para cupang menggonggong (sebisa mereka), burung jalak meniru suara profesor kampus, dan para lintah sibuk mencap stempel di kertas daur ulang yang diakui sebagai ijazah. Media rawa mulai heboh:
“Pangeran Kodok Terbukti Punya Ijazah Asli, Kata Saksi Bayaran”“Ahli Lumpuran Nyatakan Cap Jempol Kodok Identik dengan Dokumen Asli”“Transformasi Kodok ke Gajah dalam Proses! Tunggu Sidang Daun Teratai”"Kenapa ijazahnya disimpan di dalam gua?""Kenapa hanya boleh dilihat di hari bulan purnama, dengan kacamata khusus?""Dan kenapa setiap pertanyaan dibalas dengan suara kodok yang... ngerok?"Sementara itu, seekor semut jurnalis dari Koloni Selatan menemukan kenyataan pahit: ijazah itu ternyata fotokopian yang dilewati oleh Capung Fotonya Raja Ular. Tapi sebelum semut itu sempat bersuara, ia ‘dipindah’ ke hutan yang sinyalnya gak pernah kembali.
Hari pengangkatan pun tiba. Pangeran Kodok berdiri di atas podium lumpur, mengenakan toga dari daun pisang dan kalung bunga plastik. Ia berkoar:"Kini aku bukan hanya Pangeran, tapi Sarjana Kancil-Gajah, dan kelak, Raja Rawa Nusantara Raya!"Seluruh rawa bersorak, atau pura-pura bersorak demi sekarung serangga kering.
Namun di kejauhan, seekor gajah bijak menghela napas:"Biarin aja ia ngerok sesukanya. Belantara ini bakal melihatnya. Belantara ini bakal mengingatnya."Tapi siapa peduli nasihat sang gajah? Di era ini, yang penting viral, bayar, dan palsu yang terkonfirmasi.
Konon, Pangeran Kodok kini sedang melatih suaranya agar bisa menirukan derap kaki gajah. Ada rakyat yang mulai menabuh genderang perubahan, tapi banyak juga yang tetep mingkem... karena takut gak kebagian subsidi.
Minggu, 27 Juli 2025
Paradoks Indonesia (3)
Sebagaimana yang dituturkan Prabowo Subianto dalam bukunya Paradoks Indonesia, peta media mainstream Indonesia didominasi oleh segelintir konglomerat media besar dan media senior yang udah kayak teman nongkrong emak-emak tiap pagi. Betul yang beliau bilang. Kalo kita amati lebih deket, mulai dari TV kayak RCTI, SCTV, Metro TV, Trans TV, sampai TV One, semuanya punya gaya dan afiliasi politik masing-masing. Kalau ke media cetak dan daring, nama-nama seperti Kompas, Tempo, Detik, Tribun Network, CNN Indonesia, dan Republika sering banget jadi sumber rujukan—walau kadang kayak cheerleader pemerintah juga. Kebanyakan media ini dimiliki grup bisnis yang deket banget ama elit politik, jadi jangan heran kalau isi beritanya kadang cenderung "manis-manis sombong" buat kekuasaan. Tapi tenang aja, masih ada juga kok yang coba-coba netral, walaupun ya... tergantung mood bos besar. Di era serba digital, media senior kayak Media Indonesia dan Berita Satu juga ikutan move on ke online biar tetep eksis dan gak kalah ama Gen Z.Dunia media di Indonesia itu kayak warung makan. Ada yang rasanya manis banget karena nyesuaiin selera penguasa, ada juga yang pedas berani nyentil, bahkan ada yang langsung tumpahin kuah panas ke atas meja kekuasaan! Kita bisa ngebagi media di Indonesia itu jadi tiga kategori.Yang pertama itu media pendukung pemerintah. Ini media yang kerjanya kayak MC di acara kawinan istana—puji-pujian tiada henti. Mereka doyan banget bikin berita yang nyenengin, dari gaya Mulyono yang katanya sederhana, sampai “pembangunan berkelanjutan” yang seakan tanpa cela. Kritik? Wah, langka banget kayak bakso isi truffle! Sumber utama berita? Ya orang-orang dalam lingkaran kekuasaan aja yang dikasih mic.Yang kedua, media yang masih punya hati nurani. Ini yang masih percaya ama etika jurnalistik. Kalau ada yang ganjil dari kebijakan pemerintah, mereka gak diem. Mereka ngasih ruang buat akademisi, aktivis, bahkan oposisi yang kadang dianggep toxic ama media lain. Mereka berani ngulik skandal, tapi tetep main aman biar gak dijerat pasal.Yang ketiga, media oposisi keras. Ini dia nih anak band-nya dunia jurnalistik. Suara mereka keras, judul beritanya provokatif, dan gak takut bikin penguasa ketar-ketir. Mereka berani bongkar pencitraan, ungkap borok yang ditutup-tutupi, dan ngangkat suara civil society, mahasiswa, sampe tokoh-tokoh yang biasanya cuma viral di TikTok.Media mainstream di Indonesia itu bukan sekadar koran atau stasiun TV biasa—mereka kadangkala jadi 'senjata media' dari konglomerat gede yang punya kepentingan bisnis dan politik. Misalnya nih, RCTI, MNCTV, dan iNews itu milik MNC Group, yang dikendalikan sama Hary Tanoesoedibjo, bos besar yang gak asing lagi di dunia politik dan dikenal deket ama barisan pro-pemerintah. Terus, SCTV dan Indosiar dipegang ama Emtek Group alias Elang Mahkota Teknologi. Mereka juga punya Liputan6.com dan biasanya main aman, fleksibel tergantung arah angin politik. Metro TV dan Media Indonesia digawangi ama Media Group, yang didirikan oleh Surya Paloh, ketua Partai NasDem—dulunya deket ama Jokowi, tapi belakangan tampaknya udah bergeser.Lanjut ke Trans TV dan Trans7, dua-duanya punya CT Corp, milik Chairul Tanjung. Bos yang satu ini terkenal kalem, gaya politiknya netral-netral gesit gitu deh. Nah, TV One dan ANtv ada di bawah Bakrie Group, yang erat banget ama Aburizal Bakrie dan partai Golkar—partai lama yang selalu punya peran di kekuasaan. Kompas TV dan Kompas.com itu di bawah naungan Kompas Gramedia Group, yang udah lama dikenal sebagai suara kalangan menengah, nasionalis banget, dan agak moderat. Kalau Tempo? Itu punya Tempo Inti Media, dan bisa dibilang masih salah satu yang kritis, suka nyenggol isu panas tanpa tedeng aling-aling. Tribun Network dan Serambi Indonesia, juga dimiliki Kompas Gramedia, tapi lebih ke media lokal dan biasanya gak terlalu frontal. Sementara CNN Indonesia dan Detik.com itu anak-anaknya Trans Media, bagian dari CT Corp juga—jadi udah pasti bergaya korporat dan ngikutin irama pemiliknya.Bagaimana dengan media oposisi? Di Indonesia, istilah “media oposisi” itu sebenernya cair banget—kagak ada yang resmi nyebut gitu, tapi bisa kebaca dari gaya pemberitaannya yang suka nyolek-nyolek penguasa. Contohnya nih, TV One, punya Bakrie Group, dulu sering banget tampil kritis ke pemerintahan rezim Jokowi, apalagi pas awal-awal. Wajar aja sih, soalnya Golkar (partai-nya si empunya) sempat jadi lawan politik juga.Trus, ada Republika, dulu sih deket ama ICMI, tapi sekarang di bawah Mahaka Group, yang punya benang merah ke Erick Thohir. Tapi uniknya, Republika sering munculin konten yang lebih konservatif, kadang agak nyentil soal kebijakan liberal dan sekularisme pemerintah.Nah, kalau loe nyari yang lebih “garis keras” dari sisi agama, ada Suara Islam, Media Umat, dan Hidayatullah.com. Mereka bukan bagian konglomerat media gede, tapi cukup vokal dan gak segan kritik habis-habisan kebijakan pemerintah yang dianggap anti-Islam atau pro-barat. Mereka sering diasosiasikan (walau gak resmi) sama kelompok kayak HTI, FPI, dan semacamnya.Lalu ada juga Gelora.co, yang dibikin ama eks-politisi PKS yang sekarang bikin Partai Gelora. Medianya ikutan gayanya partai—sering ngingetin soal demokrasi.Ada lagi Rmol.id dan Pojoksatu.id, yang kadang nulis berita dengan gaya populis dan nasionalis—suka banget ngebahas isu rakyat kecil vs penguasa. Mereka bagian dari Jawa Pos Group, yang gede juga sih.Terakhir, Narasi TV punya Najwa Shihab, meski gak terang-terangan oposisi, tapi kontennya sering kritis dan dianggep berani nyuarain keresahan rakyat. Apalagi di kalangan anak muda dan aktivis sipil, Narasi jadi semacam oase—kagak ikut arus tapi tetep punya kelas.Per Juli 2025, ada beberapa media dan platform di Indonesia yang terang-terangan nyinyir ke pemerintah dan gak takut ngumbar kritik terbuka. Contohnya seperti Suara Tanpa Batas dan Jurnal Rakyat, yang tumbuh cepat sebagai platform digital independen dengan reportase yang nggak dipotong sensor, dan sering banget tantang narasi resmi. Watchdoc Indonesia, lewat film dokumenter dan fitur investigatif mereka, konsisten angkat isu sosial dan kritik struktur kekuasaan tanpa kompromi. Lalu Konde.co—meski skala kecil—jadi suara buat kelompok marginal, sering sorot isu yang mainstream media cuekin. Selain itu, Tempo masih juara jadi media kritik paling nyata ke pemerintahan, sampai dapat intimidasi kayak serangan kepala babi ke kantornya, karena mereka gencar bahas revisi UU TNI dan serangan kebebasan pers.Media-media ini jadi penghalau narasi arus utama; mereka siap ngeliput demo, kasus pelanggaran HAM, kemunduran demokrasi, dan penyalahgunaan institusi—bahkan di tengah situasi politik yang makin represif.Sampai bulan Juli 2025, Tempo masih menjadi salah satu media paling tahan banting dan dihormati di Indonesia—posisinya tuh unik banget: nggak ikut jadi media penggemar pemerintah, tapi juga nggak main teriak-teriak. Walau auranya sebagai “pahlawan pers reformasi” udah agak pudar, Tempo masih jalan terus sebagai penjaga kekuasaan yang kritis, apalagi di tengah suasana media yang makin banyak ‘masuk angin’ karena tekanan politik dan cuan.
Di tengah lanskap media Indonesia yang makin kepecah dan dramatis per Juli 2025, banyak suara “oposisi” yang gak lahir dari media cetak atau TV, tapi justru mekar di media sosial kayak YouTube ama Twitter (yang sekarang jadi X). Channel-channel ini jadi kayak “media bayangan” yang nyodorin kritik tajam dan versi cerita yang beda banget dari yang disuguhin TV nasional.Salah satu yang paling ngegas dan ditonton banyak orang adalah channel YouTube Refly Harun, yang gabungin ilmu hukum tatanegara dengan sindiran politik yang kadang pedes banget. Terus ada Rocky Gerung Official yang masih rajin ngebahas politik pakai gaya sarkas, logika tajam, dan kadang kayak stand-up tapi buat mikir.Ada juga Hersubeno Point dari Hersubeno Arief dan Abrahan Samad Speak Up yang selalu bawa gagasan alternatif dan tajam banget. Kalau bicara jaringan, ada yang bentuknya komunitas atau jaringan wartawan dan aktivis digital kayak Forum News Network (FNN) ama Kanal Anak Bangsa, yang terus-terusan nyorot kemerosotan demokrasi, ketimpangan sosial, dan arah otoriter yang makin kentara di era ini.Di Indonesia masa kini, media bukan lagi sekadar tukang kabarin berita. Mereka udah kayak pemain tetap di panggung politik. Sampai tahun 2025, sebagian besar media nasional malah dinilai publik terlalu cinta mati sama Presiden Joko Widodo dan lingkarannya. Citra ini muncul bukan cuma karena media sering banget ngangkat keberhasilan Jokowi, tapi juga karena mereka sangat pelit kritik, apalagi soal isu-isu sensitif kayak ijazah, nepotisme, atau langkah politik Gibran.Media seperti Kompas, Metro TV, Detik.com, Tribun dan TVRI sering disebut-sebut sebagai pengeras suara istana. Pemiliknya? Rata-rata konglomerat yang punya jaringan bisnis dan politik kemana-mana. TVRI yang dibiayai negara, atau BeritaSatu yang dimiliki Lippo Group, biasanya nulis berita pake bahasa diplomatis yang ‘manis’, dengan sorotan yang nyaris selalu ramah ke pemerintah.Tapi ini bukan tanpa alasan. Media di Indonesia mainnya rumit: ada politik, ada bisnis, dan yang paling penting—akses ke kekuasaan. Media yang kelewat galak bisa-bisa dicuekin narasumber, dicabut iklan, atau dibungkam secara halus.Sementara itu, dunia maya jadi ajang tempur buat suara-suara alternatif. Di YouTube dan Twitter/X, muncul banyak akun dan kanal yang berani nyentil. Ada Refly Harun, Rocky Gerung, Narasi TV, sampai Project Multatuli, yang nyajikan narasi berseberangan dan kadang bongkar hal-hal yang media mainstream cuekin mentah-mentah.Analisis ini diramu dari hasil pengamatan mesin pencari, tren framing media, laporan lembaga pemantau pers, dan obrolan di medsos. Tujuannya? Bukan buat nuding media mana yang paling parah, tapi biar kita makin jeli pas konsumsi berita. Karena jujur aja, semua pihak bisa bias: si penulis, si media, bahkan kita sebagai pembaca. Ini disclaimer kami yaq! Namanya juga manusia, pasti punya bias. Bisa dari data, bisa dari persepsi. Tapi yang penting, kita sadar bias itu ada, dan kita bandingin banyak sumber supaya gak kemakan satu narasi doang. Intinya? Analisis ini bukan kitab suci. Tapi barangkali bisa menjadi peta awal buat tahu siapa yang lagi nyanyi pujian, siapa yang nyinyir, dan siapa yang bener-bener mikirin publik. Tinggal kita pilih, mau jadi penonton atau pembaca kritis?Jadi di zaman sekarang, dimana semua narasi bisa dibungkus kayak iklan politik, yang paling penting adalah: jangan langsung telen mentah-mentah! Media itu abu-abu—kadang nyeleneh, kadang nurut, dan sering banget diem di saat yang krusial.Sekarang, dunia media di Indonesia tampaknya ada di dua sisi. Di satu sisi, media besar masih sibuk nyebarin “soft propaganda”. Di sisi lain, muncul media alternatif digital yang nekat dan vokal banget, walau kadang dibully balik.Keseimbangan informasi publik tuh bergantung banget ama keberanian media buat nyampein fakta, dan keberagaman sumber berita yang bisa diakses orang banyak. Kalau rakyat cuma baca dari satu jenis media, bisa-bisa cuma dapet versi dongeng kekuasaan.Makanya, penting banget kita semua buat jadi pembaca yang aktif—bukan cuma nelen mentah-mentah, tapi rajin nyocokin, ngebandingin, dan mikir kritis. Karena di era sekarang, yang diem malah bisa jadi korban paling pertama.Mari kita balik bicarain lagi bukunya. Di buku Paradoks Indonesia dan Solusinya, Prabowo ngebayangin pers Indonesia yang berani, cinta Tanah Air, dan gak bisa disetir-setir oleh kepentingan asing maupun konglomerat dalam negeri. Menurutnya, tugas media itu mulia: mendidik rakyat, melawan budaya clickbait, dan jaga nilai-nilai bangsa. Pokoknya, media harus idealis, bukan jadi boneka elite.Tapi, pas kita ngelihat situasi media di tahun 2025, kenyataannya malah makin jauh dari bayangan ideal itu. Sistem tekanan baru mulai muncul sejak Prabowo naik jadi presiden di 2025. Human Rights Watch dan Amnesty sudah catet banyak laporan soal intimidasi dan serangan fisik ke jurnalis, aktivis, dan demonstran—semua itu terjadi di bawah pemerintahan Presiden Prabowo.Contohnya, pada Maret 2025, wartawati Tempo dapat kiriman paket horor: kepala babi dan tikus mati tanpa kepala, gara-gara ngulik revisi UU TNI. Ini kejadian pas Prabowo sudah pegang tampuk kekuasaan. Waktu massa mahasiswa demo soal anggaran brutal dan revisi UU TNI, banyak wartawan dilawan sama polisi: dipaksa hapus video, dipukuli, bahkan ditahan beberapa jam. Itu semua terjadi saat ini—di era Prabowo.Para pengamat sama aktivis sipil bilang, suasana sekarang disebut "repression mode soft": bukan dipenjara massal, tapi suaranya di-redam lewat ancaman, pencemaran nama, gugatan hukum, dan sensor halus. Jadi ya, meskipun aktivis belum banyak yang dipenjara, atmosfer yang sekarang jelas muncul sejak Prabowo—kondisi ini baru dan nyata terjadi di bawah pemerintahannya.Bisa banget sih kalau suasana media di bawah pemerintahan Presiden Prabowo yang sekarang ini belum kelihatan jelas karena beliau baru aja mulai duduk di kursi RI-1. Layaknya presiden baru, Presiden Prabowo mungkin lagi fokus ngerapihin kekuasaan, cari kompromi politik, dan belum mau ribut terang-terangan ama para bos media besar. Jadi, langkahnya masih halus-halus aja, belum ada reformasi dramatis, apalagi buat ngacak-ngacak peta media. Barangkali masih terlalu dini buat menilai secara meyakinkan.Dalam membayangkan solusi atas paradoks Indonesia yang gak kelar-kelar, Prabowo membingkai tahun 2045—alias 100 tahun Indonesia merdeka—sebagai momen krusial yang gak boleh cuma jadi perayaan seremonial, tapi semacam tenggat moral. Menurutnya, kekayaan alam yang melimpah dan jumlah anak muda yang besar gak boleh terus-terusan disia-siakan atau dikelola asal-asalan.Visi Prabowo blak-blakan dan gak tanggung-tanggung. Ia bilang, udah gak zaman lagi pakai solusi tambal sulam. Yang dibutuhin Indonesia sekarang itu perubahan sistemik, bukan sekadar ganti bungkus. Mulai dari bikin ekonomi bener-bener buat rakyat, benahin demokrasi biar suara rakyat gak dimainin, sampai jagain aset negara dari dikeruk asing. Tahun 2045 bukan sekadar ultah—tapi ujian: Indonesia bisa gak lepas dari belenggu ketimpangan, ketergantungan, dan pengkhianatan dari dalam?Pesannya jelas: Kalau gak gerak sekarang, ya siap-siap terjebak selamanya di paradoks. Kaya sumber daya, tapi tetep aja rakyatnya sengsara.Di bagian yang berjudul “Ini Potensi Negara Kita”, Prabowo Subianto tegas banget bilang: Indonesia itu kaya luar biasa, bahkan lebih dari yang disadari kebanyakan warganya sendiri. Negara ini dikasih tanah yang subur, laut yang penuh ikan, dan iklim yang bikin kita bisa panen energi dan pangan melimpah. Kata Prabowo, kalau semua ini dikelola dengan benar dan gak dibocorin ke asing terus, Indonesia bisa jadi negara mandiri dan punya daya tawar kuat di dunia.Tapi ia gak cuma ngomongin sumber daya alam. Buat Prabowo, kekuatan sejati Indonesia juga ada di rakyatnya—yang tangguh, kreatif, dan punya semangat gotong royong. Terutama anak mudanya, yang kalau dapet arahan bener, bisa jadi tulang punggung kemajuan bangsa. Dengan pemimpin yang jujur, pemerintahan yang bersih, dan semangat kebangsaan yang gak cuma jadi jargon, Indonesia bisa bener-bener bangkit dari paradoks—dari negara yang katanya kaya, jadi negara yang rakyatnya juga ikut sejahtera.Prabowo tegas banget soal pentingnya mewujudkan ekonomi konstitusi, alias ekonomi yang bener-bener ngikutin ruh dan amanat UUD 1945—terutama Pasal 33. Kata beliau, ekonomi Indonesia gak bisa terus dibiarkan liar kayak pasar bebas yang disetir asing. Harusnya ekonomi kita diatur berdasarkan asas kekeluargaan, demi kesejahteraan bareng-bareng dan kedaulatan negara.Buat Prabowo, balikin ekonomi ke rel konstitusi itu bukan mimpi indah—tapi obat mujarab buat ngelawan ketimpangan, korupsi, dan dominasi segelintir elite. Doski ngajak negara buat punya nyali politik, buat nyetop arus liberalisasi yang dianggapnya udah nyimpang jauh dari semangat pendiri bangsa. Mulai dari nguatkan koperasi, lindungi petani dan buruh, sampai pastiin kekayaan negeri ini muter ke semua rakyat—bukan numpuk di satu geng elite doang.Buat Prabowo, ekonomi konstitusi bukan sekadar jargon—tapi kewajiban suci buat bangsa ini kalau mau bener-bener merdeka.Waktu ngomongin soal “Mewujudkan Demokrasi Rakyat”, Prabowo blak-blakan: demokrasi kita gak boleh cuma jadi panggung sandiwara elite. Demokrasi itu harus balik ke akarnya—ke tangan rakyat, bukan dipegang segelintir konglomerat atau dinasti politik. Buat Prabowo, kekuasaan politik mesti direbut lagi sama rakyat, lewat sistem yang jujur, adil, dan bisa dipertanggungjawabkan.Prabowo nyindir keras demokrasi yang sekarang, yang katanya gampang banget dimainin. Suara bisa dibeli, survei bisa disulap, media bisa jadi alat pencitraan. Baginya, kedaulatan rakyat bukan cuma soal nyoblos lima tahun sekali—tapi tentang ikut ambil bagian secara nyata, menjaga kepentingan publik, dan membangun budaya politik yang jujur, adil, serta penuh rasa cinta tanah air.Demokrasi yang sejati, menurutnya, semestinya berpihak ke mereka yang selama ini dibungkam—para wong cilik, petani, dan buruh—bukan terus-terusan kasih karpet merah ke yang udah kaya sejak orok.Dalam bagian “Menunaikan Janji Kemerdekaan”, Prabowo Subianto menekankan bahwa arti kemerdekaan sejati itu bukan sekadar upacara atau kibaran bendera—tapi soal menepati janji-janji yang dulu diucapkan buat rakyat. Janji tentang keadilan, kesejahteraan, dan martabat hidup yang layak. Ia bilang, meskipun udah merdeka puluhan tahun, masih banyak orang Indonesia yang hidup miskin, tersingkir, dan gak kebagian keadilan. Dan itu, menurutnya, pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan.Prabowo ngajak bangsa ini buat bangkit secara moral. Menurutnya, merdeka beneran itu artinya tiap warga negara bisa sekolah yang layak, dapet layanan kesehatan manusiawi, gaji yang cukup, dan hidup dengan rasa bangga. Para elite politik harus berhenti nganggap kekuasaan sebagai mesin cuan pribadi—dan mulai ngelihatnya sebagai amanah suci. Para pemimpin bangsa, katanya, punya kewajiban buat nerusin perjuangan para pendiri republik: bangun Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur buat semua, bukan cuma buat segelintir orang.Sebagai penutup, Paradoks Indonesia dan Solusinya bukan cuma sekadar buku politik—tapi jadi semacam seruan moral, peta jalan strategi, dan jeritan hati buat ngebangunin bangsa ini dari tidur panjang. Lewat buku ini, Prabowo ngingetin kita bahwa kejayaan Indonesia bukan cuma soal tambang melimpah atau jumlah penduduk, tapi soal keberanian buat membenahi arah dan nepatin janji sejarah. Sekarang, saat kita makin deket ke usia 100 tahun merdeka, pertanyaannya udah bukan lagi “punya potensi atau nggak?” tapi “berani wujudkan atau cuma jadi wacana?”. Paradoks Indonesia harus diselesaikan sekarang—dan tanggungjawabnya bukan cuma di pundak para pemimpin, tapi juga di tangan rakyat yang masih peduli dan mau bergerak.
Kita bakal ngebahas buku selanjutnya karya Prabowo Subianto yang bertajuk "Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045", bi'idznillah.
Langganan:
Komentar (Atom)









