Selasa, 01 Juli 2025

Bungker

Di kawasan elite Jakarta Selatan, di antara rumah-rumah mewah yang dijaga satpam 24 jam dan tukang kebun berseragam, berdirilah vila megah milik Tuan Dramawan, mantan pejabat eselon entah berapa—pokoknya dulu sering masuk TV, sekarang sering masuk YouTube motivasi.
Dari luar, Pak Dramawan tampak alim dan tenang. Feed Instagram-nya penuh kutipan bijak seperti “Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana saja”. Tapi di bawah lantai rumahnya—secara harfiah—ada kisah yang lebih panas dari sinetron politik.
Di balik kolam koi dan ruang shalat, tersembunyi sebuah bungker pribadi. Ada sidik jari, retina scanner, dan suhu ruangan lebih stabil dari ekonomi nasional. Tapi isi bungker itu bukan alat bertahan hidup. Bukan juga zombie shelter. Isinya adalah... uang tunai miliaran rupiah, disusun rapi seperti koleksi manga.
Setiap ikatan uang ada labelnya: “Proyek Sungai Bersih”, “Desa Digital”, dan “Konsultan Ajaib”. Pak Dramawan ogah nyimpen duit di bank. Katanya, “Ribet, terlalu banyak tanda tangan. Lagian, gua trauma lihat antrian... termasuk antrian pajak.”

Semuanya kebongkar gara-gara... kucing. Iya, kucing tetangga nyasar ke saluran air. Sang tetangga pun dengan harap cemas segera menelepon Damkar yang dengan sigap datang ke lokasi. 

Betewe, di Indonesia, beredar cerita yang cukup viral bahwa petugas pemadam kebakaran alias Damkar jauh lebih dipercaya daripada polisi. Kok bisa? Ini bukan tanpa alesan, sob. Damkar itu kerjaannya jelas, kelihatan hasilnya, dan jarang banget bikin drama. Mereka bantu warga padamkan kebakaran, selamatin kucing nyangkut di atap, bahkan rela nyemplung ke got demi nolong orang—tanpa pamrih, tanpa kamera, dan tanpa ngarep amplop.
Sementara itu, citra polisi agak beda. Walau banyak juga yang jujur dan niat kerja bener, tapi sayang, institusinya udah lama kena cap miring: mulai dari pungli, tilang dadakan, sampai tebang pilih dalam penegakan hukum. Jadilah kepercayaan publik ke mereka naik-turun kayak sinyal HP di pelosok. Beda ama damkar yang jarang terseret urusan politik, apalagi korupsi. Makanya, banyak orang lebih respek ama damkar—karena kerja nyata mereka gampang dilihat, gak neko-neko, dan beneran bikin hidup warga aman.
Kalau disederhanakan, damkar itu kayak tokoh anime yang selalu datang di saat genting dan gak pernah minta pujian. Polisi? Kadang kayak karakter antagonis yang butuh redemption arc dulu biar bisa balik dipercaya.

Nah, petugas Damkar pun datang, tanpa sengaja mencet tombol misterius, dan cling! pintu bungker kebuka kayak ending sinetron sore. Aroma uang baru menyeruak. Satpam pingsan. Sang kucing kabur. Dan netizen ramai.

Dua hari kemudian, KPK datang dengan drone, kamera, dan caption Instagram siap upload.
Saat ditanya kok nyimpen duit di bawah tanah, Tuan Dramawan cunan bilang dengan senyum tipis:

“Di jaman now, gua cuma percaya ama beton.”

Iya banget—gak lebay kok kalau ada pejabat korup nyimpen duit bermiliar-miliar rupiah di dalam bungker bawah rumah. Kedengeran kayak plot film action? Emang. Tapi justru logikanya masuk akal banget.
Pertama, nyimpen duit dalam bentuk tunai itu cara klasik buat ngilangin jejak digital. Transfer bank, beli properti, atau investasi digital tuh gampang banget dilacak. Tapi kalau duitnya dibungkus rapi, dimasukin ke kardus, terus dikubur di bawah tanah? Polisi siber juga geleng-geleng, gak bisa ngendus.
Kedua, bungker itu tempat ideal buat sembunyiin sesuatu. Biasanya kedap suara, temboknya tebal, dan gak kelihatan dari luar. Bukan cuma cocok buat sembunyi waktu kiamat zombi, tapi juga pas banget buat nyimpen uang haram hasil korupsi. Buat pejabat curang, punya bungker tuh kayak punya brankas pribadi—eksklusif dan aman.
Lagian, kenyataan itu kadang suka ngikutin film. Pablo Escobar aja, si bos kartel narkoba Kolombia, nyimpen duitnya di tong, di tembok, bahkan dikubur di tanah. Di Indonesia? Udah ada aja tuh cerita duit korupsi ditaruh di lemari, ember cat, sampai septic tank. Jadi kalau ada yang nyimpen di bungker? Wah, itu mah versi mewahnya.
Dan jangan salah kira, duit segitu gak makan tempat, kok. Kalau pakai pecahan Rp100 ribuan, Rp1 miliar itu cuma 10.000 lembar. Rp10 miliar kira-kira 100 kilogram doang—cukup muat satu koper besar. Jadi bungker ukuran kos-kosan aja udah bisa nyimpen ratusan miliar tanpa ribut-ribut tetangga. 

Ada beberapa rujukan yang ngebahas tuntas gimana para koruptor, para oligark, dan penjahat keuangan nyumputin duit haram mereka—mulai dari tempat ekstrem kayak bungker bawah tanah, brankas tersembunyi, sampai “safe haven” alias tempat pelarian duit di luar negeri yang super aman dan anti-usik.

Dalam Moneyland Why Thieves and Crooks Now Rule the World and How to Take It Back (2018, Profile Books), Oliver Bullough menggambarkan dengan gamblang dan bikin geregetan bagaimana para pejabat korup dan elit super kaya nyuci duit haram mereka lewat sistem global yang rapi, licin, dan nyaris tak tersentuh hukum. Prosesnya biasanya dimulai di negara asal yang hukum dan pengawasannya lemah—dimana duit rakyat bisa digasak lewat proyek fiktif, mark-up anggaran, atau sekadar dikorupsi terang-terangan.
Begitu uangnya di tangan, langkah berikutnya adalah "nyuciin" supaya kelihatan bersih. Di sinilah peran shadow banking alias perbankan bayangan macam Swiss mulai unjuk gigi. Bankir di sana tahu banget caranya bikin duit korup kelihatan suci, mulai dari bikin perusahaan cangkang atas nama palsu di surga pajak seperti British Virgin Islands, Panama, sampai Cayman Islands. Hasilnya? Duit itu susah banget dilacak, bahkan oleh intel atau polisi keuangan sekalipun.
Setelah itu, uang yang sudah "dicuci" masuk ke dunia nyata lewat pembelian properti-properti mewah di kota-kota elite macam London, New York, atau Paris. Tapi jangan bayangin rumah itu dipakai buat tinggal—enggak! Rumah-rumah itu kosong, tapi jadi seperti brankas diam-diam buat nyimpen duit gelap. Dan karena dibeli lewat perusahaan offshore, bahkan kantor pertanahan pun nggak bisa tahu siapa pemilik aslinya.
Bullough juga nyorot peran para pengacara top dan akuntan elite di negara Barat, yang justru jadi "arsitek" sistem ini. Mereka bikin struktur hukum yang ruwet dan rumit, tapi fungsinya cuma satu: ngelindungin klien dari sorotan publik dan aparat. Kalau masih belum aman juga, ya sudah—uangnya disimpen aja di brankas pribadi atau ruang rahasia yang pengawasannya longgar.
Di dunia gelap ini, duit bisa jalan-jalan keliling dunia tanpa hambatan, tapi keadilan, keterbukaan, dan nurani ditinggal jauh di belakang.

Dalam Kleptopia: How Dirty Money Is Conquering the World (2020, HarperCollins), Tom Burgis ngebongkar bagaimana uang hasil rampokan dari Rusia, negara-negara Afrika, dan Asia bisa masuk dengan mulus ke jantung keuangan dunia Barat. Duit kotor ini gak asal nyelonong, tapi dialirkan lewat mesin raksasa yang rumit, penuh kamuflase: dari perusahaan cangkang, trust anonim, bank-bank Barat yang pura-pura enggak tahu, sampai para “konsultan” licik bersetelan jas mahal.
Para kleptokrat—mulai dari oligark, jenderal, sampai pejabat tinggi negara—ngeruk harta negara lewat sumber daya alam, proyek negara, dan kontrak abal-abal. Duitnya? Awalnya bisa lewat cara-cara kuno, kayak nyelundupin uang tunai atau pakai jalur transfer gelap dari “bank bawah tanah.” Tapi begitu sampai di tahap berikutnya, mereka main halus: pakai perusahaan palsu, pinjaman fiktif, dan jargon hukum yang bikin bingung auditor.
Setelah "disucikan," uang itu diparkir di negara-negara Barat dalam bentuk properti mewah, karya seni mahal, atau biaya sekolah elite buat anak-anak mereka. Di sinilah mereka membangun apa yang Burgis sebut “kerajaan rahasia” yang berdiri terang-terangan di depan hidung kita semua.
Doski juga ngebocorin soal ruang rahasia alias “safe rooms”—semacam ruangan ultra-privat di dalam rumah-rumah mewah, tempat nyimpen emas batangan, mata uang asing, atau dokumen rahasia. Semua itu diletakkan di negara-negara dengan pengawasan keuangan yang longgar. Ditambah lagi, ada sistem “bank bawah tanah”—jaringan informal tapi super efisien yang bisa ngirim miliaran tanpa jejak, bahkan tanpa pernah melewati bank resmi.
Menurut Burgis, gelombang duit kotor ini nggak cuma beli yacht dan vila mewah, tapi juga beli pengaruh, diamnya media, bahkan hukum itu sendiri. Demokrasi dirusak dari dalam, dan nama para kleptokrat ikut “dicuci” bareng uangnya. Pada akhirnya, Burgis bilang, Barat itu bukan korban. Mereka ikut main—jadi kaki tangan kleptokrat—dengan senyum sopan dan tangan bersarung sutra.

Dalam The Laundrymen: Inside Money Laundering, the World's Third Largest Business (2013, Simon & Schuster Ltd), Jeffrey Robinson ngebongkar sisi tergelap dari dunia pencucian uang—bukan cuma lewat bank atau surga pajak, tapi juga lewat tempat-tempat yang bikin geleng-geleng kepala: dari ruang bawah tanah, loteng, balik dinding rumah mewah, sampai brankas tersembunyi yang cuma bisa diakses lewat tombol rahasia.
Robinson menjelaskan bahwa saat uang haram masih dalam bentuk tunai segunung—belum sempet dicuci lewat perusahaan cangkang atau rekening luar negeri—para pelaku harus segera "menyembunyikannya dari radar." Solusinya? Rumah-rumah yang sengaja dibeli bukan buat ditempati, tapi buat jadi bunker uang. Ada ruang rahasia, lantai palsu, dan kamar steril yang isinya bukan manusia, tapi tumpukan uang, emas batangan, atau surat berharga tanpa nama. Rumah mewah itu mungkin tampak biasa dari luar, tapi di dalamnya, brankas hidup.
Karya ini masih relevan hingga hari ini, meskipun teknologi makin canggih, inti dari pencucian uang gak banyak berubah. Uang hasil narkoba, jual senjata, atau korupsi besar-besaran tetap harus disembunyikan dulu, baru dicuci belakangan. Meskipun sekarang ada kripto dan transaksi digital, banyak penjahat kelas kakap yang tetap percaya pada metode kuno: sembunyikan dulu, cuci belakangan, dan jangan sampai ada yang curiga.
Jadi jangan heran kalau rumah mewah di pinggiran kota ternyata bukan tempat tinggal orang kaya, tapi tempat persembunyian uang gelap yang nilainya bisa bikin satu desa pensiun dini.

Dalam Treasure Islands: Tax Havens and the Men Who Stole the World (2011, The Bodley Head), Nicholas Shaxson menjelaskan dengan tajam bagaimana uang korup yang awalnya disembunyikan secara fisik—di rumah-rumah pribadi dengan ruang rahasia, brankas bawah tanah, atau kamar tersembunyi berisi tumpukan uang tunai—akhirnya dialirkan ke sistem offshore yang jauh lebih licin dan susah dilacak. Rumah-rumah mewah itu awalnya cuma tempat "parkir sementara" buat duit haram biar nggak langsung terendus. Tapi itu baru babak pembuka dari permainan kelas dunia.
Setelah uangnya dianggap “dingin”—alias cukup aman dari sorotan aparat—barulah digeser masuk ke sistem offshore: jaringan rumit yang terdiri dari surga pajak, perusahaan palsu, direktur boneka, dan perlindungan hukum yang super anonim. Di sinilah duit itu dilucuti identitas lamanya, dan dimasukkan kembali ke ekonomi global dengan wajah baru yang bersih dan rapi.
Shaxson menekankan bahwa sistem ini, yang sering dibungkus rapi dengan istilah “optimalisasi pajak,” sebenarnya adalah jalur utama pencucian uang, pelarian modal, dan pelindung kekayaan elit dari pengawasan publik. Properti yang dulu jadi tempat nyimpen uang tunai, pada akhirnya hanya satu mata rantai dari proses cuci uang global—dari brankas di ruang bawah tanah ke rekening hantu di British Virgin Islands atau Cayman.
Buat Shaxson, dunia offshore bukan sekadar pelengkap—doski bilang: itulah sistemnya. Dunia tempat hukum bisa dibeli, identitas bisa dihapus, dan korupsi bisa pakai jas mahal sambil senyum di halaman Forbes.

Bayangan tentang pejabat korup yang nyimpen duit miliaran di bawah rumahnya terdengar kayak adegan sinetron, tapi sayangnya, itu bukan fiksi—itu kenyataan yang makin relevan. Semakin canggih lembaga anti-korupsi, semakin nekat juga cara para koruptor nyingit harta haramnya. Mereka nggak puas lagi cuma pakai rekening luar negeri atau perusahaan bodong—sekarang mereka gali tanah, bikin bungker pribadi, seolah sedang main Minecraft dengan mode korup.
Bungker-bungker itu jadi semacam kuburan modern buat impian rakyat yang dirampas. Di situ, uang nganggur bertumpuk rapi, sementara sekolah reyot dan puskesmas kekurangan obat. Yang mereka lindungi di sana bukan cuma rupiah, tapi simbol kekuasaan tanpa hati nurani. Semakin dalam mereka menggali, semakin kelihatan jurang moral di balik jas mahal dan pidato beraroma basa-basi.
Koruptor nyimpen duit di bungker itu enggak cuma masuk akal, tapi kayak udah SOP-nya dunia gelap. Kalau doski bisa korupsi, pasti juga bisa mikir paranoid: "Daripada ketahuan di bank, mending gue kubur di rumah."
Tapi sejarah udah sering ngajarin kita: sekokoh apa pun bungker, tetap bisa runtuh cuma gara-gara satu celah kecil. Bisa dari pembocor rahasia, jurnalis kepo, atau... seekor kucing penasaran. Dan ketika semuanya terbongkar, rakyat nggak cuma nanya “Di mana duitnya disembunyiin?”, tapi juga “Kok tega bangeeet nyolong segitu banyak?”

[English]