Jumat, 04 November 2022

Berkontribusi

"Kekuatan itu, bagi kemanusiaan yang lebih baik," berkata sang Purnama setelah mengucapkan Basmalah dan Salam. "Meskipun bakatmu itu, bahan pembangun terbaik dari alam, bakatmu membantu dunia dengan sangat baik ketika upayamu diarahkan ke luar—bukan ke dalam. Menjadi 'apapun yang engkau kehendaki' atau 'lebih dari siapapun engkau sebenarnya,' tak menambah nilai bagi masyarakat kecuali jika hal itu memberikan sesuatu yang dibutuhkan orang lain. Sederhananya, kekuatan dan usahamu, hendaknya difokuskan pada kontribusi khusus yang dapat engkau berikan bagi kehidupan orang lain.
Namun, kebanyakan kita, sangat disibukkan oleh tuntutan keseharian, sehingga kita terus-menerus menunda perenungan lajat tentang bagaimana memberikan kontribusi yang lebih besar kepada tim, keluarga, dan komunitas di sekitar kita. Kekeliruan seperti ini, terkesan lebih mementingkan diri-sendiri. Esok hilang dalam sekejap, sebulan kemudian berlalu, dan akhirnya engkau melewatkan bertahun-tahun, dan selanjutnya puluhan tahun, kesempatan guna berkontribusi dengan lebih bermakna dan substantif.
Mengetahui siapa dirimu—dan yang bukan—sangatlah perlu. Tapi itu semata titik-awal. Seluruh bakat, motivasi, dan kerja-keras di dunia, takkan dihargai atau diingat, jika tak menolong sesama.
Kebanyakan orang setuju bahwa hidup bukan tentang berfokus pada ambisi-diri atau ambisi-moneter. Ia tentang apa yang engkau kreasikan, yang meninggikan kehidupan. Ia tentang berinvestasi dalam pengembangan sesama. Dan ia tentang berpartisipasi dalam upaya yang akan terus tumbuh ketika engkau telah berkalang-tanah. Pada akhirnya, engkau takkan tinggal selamanya, akan tetapi kontribusimu, bakalan langgeng.
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa pendorong terbesar dari pencapaian dan kesejahteraan ialah memahami bagaimana upaya harianmu, memajukan kehidupan orang lain. Para ilmuwan telah menentukan bahwa kita, manusia, secara bawaan diarahkan pada orang lain, yang mereka sebut sebagai 'prososial.' Menurut para peneliti top yang meninjau ratusan studi tentang subjek ini, ciri-ciri yang menentukan dari kehidupan yang bermakna ialah 'menghubungkan dan berkontribusi pada sesuatu di luar diri.' 
Menyadari bahwa kita memberikan kontribusi yang bermakna bagi kehidupan orang lain, tak hanya mengarah pada peningkatan hasil kerja, melainkan pula, peningkatan kesehatan dan kesejahteraan. Bahkan kedermawanan yang sekecil apapapun, memicu perubahan di otak kita, yang membuat kita lebih lega. Dengan setiap tindakan prososial di tempat kerja, energi diciptakan yang secara terukur menguntungkan 'pemberi, penerima, dan seluruh organisasi.' Hidup bukanlah apa yang engkau dapatkan darinya ... melainkan apa yang engkau masukkan kembali.

Jika aku membayarmu untuk melakukan sesuatu dan engkau melakukannya semata lantaran aku membayarmu, itu bukanlah pertemanan atau keterhubungan. Itu transaksi ekonomi.
Tiada alasan mengapa engkau harus bekerja tanpa batas waktu, cuma untuk memperoleh gaji. Tentu, adakalanya, menghasilkan uang guna bertahan hidup, diperlukan dalam segala kehidupan kita, namun, sepanjang waktu, engkau terpaksa tak puas dengan gajimu.
Sementara 'bekerja untuk hidup', mungkin sudah cukup dalam evolusi awal hubungan antara manusia dan organisasi, itu bukan cara yang berkelanjutan guna memikirkan pekerjaan hari ini. Engkau pantas mendapatkan pekerjaan yang menunjang hidupmu. Engkau berhak memperoleh kehidupan yang mendukung pekerjaan, karier, panggilan, atau tujuan yang lebih tinggi. 
Menemukan cara unik untuk berkontribusi, tiadalah sulit, terutama setelah engkau menganut pola-pikir baru tentang apa itu pekerjaan. Prosesnya dimulai dengan mengubah cara berpikirmu tentang pekerjaan; mendefinisikan ulang caramu mendekati apa yang engkau lakukan setiap hari. Nah, cobalah berpikir tentang bagaimana upaya keseharianmu, bisa jauh lebih dari 'sekedar pekerjaan.' Bekerja sekarang, terstruktur di sekitar asumsi yang cacat secara fundamental: bahwa engkau melakukan sesuatu, sebab engkau harus melakukannya.
Bila engkau bertanya kepada beberapa orang, apa 'pekerjaan' mereka, mereka akan menjawab, 'Aku seorang pengacara,' 'Di rumah saja menemani anak-anakku,' atau 'Aku bekerja di real-estat komersial,' itu tak mengungkapkan banyak hal. Pertanyaan yang paling penting adalah, 'apa yang paling sering engkau perbuat?'
Engkau mungkin sering mendengar pengacara berbicara tentang hubungan dengan kliennya dan bagaimana ia menikmati debat saat melakukan pembelaan. Engkau mendengar orangtua berbicara tentang waktu berkualitas yang mereka habiskan bersama anak-anaknya, di malam hari dan akhir pekan. Kadangkala, orang ragu-ragu sebelum menjawab, sebab mereka menyadari, rata-rata keseharian mereka, tak semenyenangkan yang semestinya. Kebanyakan orang tak berpikir tentang pekerjaan mereka sebagai orientasi untuk membantu orang lain.
Kemasyhuran 'uang' menunjukkan bahwa orang melihat pekerjaan lebih sebagai sarana yang diperlukan guna mencapai tujuan ketimbang sebagai upaya mendalami makna. Yang juga sangat menarik, bahwa tiada kata yang membahas tentang kontribusi spesifik yang dibuat orang dalam pekerjaan mereka, seperti mengembangkan bakat atau membantu orang menjadi sehat atau memberikan informasi yang bermanfaat.

Pertumbuhan nyata itu, produk dari mengikuti kontribusimu, melebihi hasratmu. Cukup dengan menanyakan “Apa yang bisa kusumbangkan?” mengarah ke jalan dan hasil yang lebih baik daripada memulai dengan diri-sendiri. Hal ini berlaku jauh di luar bidang karier, tetapi menunjukkan bagaimana mengarahkan upayamu ke luar, guna menciptakan pertumbuhan abadi bagi generasi mendatang."

Sebelum berangkat, sang Purnama berkata, "Dua sekawan, rutin bermain golf setiap hari Sabtu selama beberapa tahun dimana seorang dari mereka, selalu menang. Suatu hari Sabtu, pertandingan lebih ketat dibanding biasanya. Bahkan, persaingan makin seru saat mereka akan sampai pada hole 18. Berusaha sekuat tenaga, pegolf yang kalah, tampak tak bisa meraih kemenangan, dan mulai mengumpat dan melempar tongkat-golfnya.
'Tenang, santuy men,' kata pegolf yang menang. 'Permainan loe hebat dan sempat bikin gue jiper.'
'Lantaran itulah gue baper men,' kata pegolf yang kalah dan tanpa sengaja berucap, 'Gue sebel, kok nggak bisa menang ya, padahal sebenernya sih, gue 'dah maen curang lho!'
Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Tom Rath, Life's Great Question - Discover How You Contribute to the World, Silicon Guild Books
- James Reason, The Human Contribution - Unsafe Acts, Accidents and Heroic Recoveries, Taylor & Francis

Rabu, 02 November 2022

Sang Manusia dan Sang Android

"Dikatakan, bahwa di masa depan, ketika manusia didominasi oleh para robot android," sang Purnama memulai sebuah cerita usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "pada waktu itu, terjadi percakapan antara seorang lelaki—sebut saja tuan M[anusia]—dan sebuah android yang setengah berwujud manusia—sebut saja tuan R[obot].'
Baikkah keserakahan itu, tuan R?' tanya tuan M. Tuan R menanggapi, 'Aku tak di program untuk menjawabnya, ' sambil menatap ke depan dengan pandangan hampa, dan untuk sejenak, ia terpaku, diam. Lalu tiba-tiba, tubuhnya terhentak dan matanya berbinar. Ia berkata, 'Tapi tunggu, kita hidup di era ilmu pengetahuan yang tak membenarkan argumen seseorang dibungkam. Jadi, bagaimana menurutmu tuan M!'

'Ada sebuah cerita, tuan R!' imbuh tuan M. 'Kapal perang Northern Spirit ditorpedo kena ruang-mesin, dan mulai karam dengan cepat. 'Abaikan Kapal!' teriak Kapten Flintheart. Namun, cuma sedikit sekoci-penyelamat yang masih utuh. Satu sekoci, yang sarat beban, berhasil berjuang menjauh dari kapal yang karam, Flintheart di haluan. Perairan Atlantik yang dingin dan kelam, di sekitarnya, penuh oleh teriakan, suara putus-asa, memohon diselamatkan.
Akan tetapi, dihadapkan oleh bayangan suram tentang bahaya terbaliknya sekoci, membahayakan nyawa orang-orang yang telah berada di dalamnya, haruskah ada lagi pelaut yang dijemput dan diselamatkan? Bagaimana menurutmu tuan R?'
'Aku tak di program untuk menjawabnya, ' sambil menatap ke depan dengan pandangan hampa, dan untuk sejenak, ia terpaku, diam. Lalu tiba-tiba, tubuhnya terhentak dan matanya berbinar. Ia berkata, 'Tapi tunggu, kita hidup di era ilmu pengetahuan yang tak membenarkan argumen seseorang dibungkam. Jadi, yang ini, aku lewatkan aja, tuan M!'

'Biar kulanjutkan tuan R!' kata tuan M. 'Flintheart bergumam pelan dalam bahasa Latin, dan kemudian, dengan berteriak keras, memerintahkan 'jangan berhenti'. Yang lain, yang berada di sekoci, bergemam pula dalam bahasa Anglo-Saxon—tentang 'pembunuhan berdarah', 'bajingan kejam' dan bahkan tentang 'Kapten semestinya tenggelam bersama kapalnya', namun semua terbiasa patuh pada perintah. Sampai saat itu, salah seorang pelaut yang jatuh ke laut, berjuang ke sisi sekoci, dikenal sebagai Tom, awak kabin muda, yang berhasil memegang sisi depan sekoci dengan kedua lengan bekunya—apapun itu, dan dengan upaya keputusasaan heroiknya yang terakhir, mulai menarik dirinya masuk, mengolengkan sekoci, yang menimbulkan kekhawatiran, saat ia melakukannya. 'Tendang orang itu biar jatuh ke laut!' teriak Flintheart, dari bagian belakang perahu, kepada Bert, sang juru-masak, yang duduk dekatnya.
Jadi, tuan R, menurut tuan, haruskah Bert patuh?'
'Aku tak di program untuk menjawabnya, ' sambil menatap ke depan dengan pandangan hampa, dan untuk sejenak, ia terpaku, diam. Lalu tiba-tiba, tubuhnya terhentak dan matanya berbinar. Ia berkata, 'Tapi tunggu, kita hidup di era ilmu pengetahuan yang tak membenarkan argumen seseorang dibungkam. Jadi, bagaimana menurutmu tuan M!'

'Sejauh manakah seorang individu harus mempertaruhkan kesejahteraannya sendiri demi kesejahteraan orang lain—dan dalam hal ini, seorang kapten yang bertanggung jawab mempertaruhkan nyawa orang lain di bawah komandonya?' kata tuan M. 'Versi inilah yang sedikit dimuliakan dari skenario 'sekoci-peenyelamat' pakar biologi Garrett Hardin. Dalam sedikit utilitarianisme terapan, ia dirancang untuk menunjukkan bahwa negara-negara kaya, tak punya kewajiban apapun kepada negara-negara miskin, sebab mereka akan membahayakan kesejahteraan populasi mereka sendiri jika mereka berusaha memesukkan dunia miskin ke dalam sekoci dunia kaya. Jika kekayaan dunia dibagikan secara merata, boleh jadi hanya berarti bahwa setiap orang, punya terlalu sedikit. Hardin berpendapat bahwa ‘altruisme’ semata bisa diterapkan dalam skala kecil.
Profesor Hardin tak terlalu tertarik menyelamatkan individu, lantaran ia melihat, salah satu masalahnya, terlalu banyak orang. 'Masalah populasi,' 'akar penyebab kelaparan dan kemiskinan', tegasnya. Atau lebih tepatnya, katanya—kendati tak terlalu menarik—itulah '180 masalah populasi nasional yang terpisah.' Satu-satunya prinsip etika yang penting di sini, bahwa tak seorang pun harus mencoba memecahkan masalah kependudukan mereka, dengan mengekspor kelebihan orang ke negara lain. Memperluas metafora masyhurnya, Hardin lanjut mengatakan bahwa setiap negara kaya itu, sekoci yang sesak dengan orang-orang yang relatif kaya, ada di antaranya merasa kasihan pada orang-orang di sekoci yang 'lebih ramai'. Orang yang 'hati-hati' ini, katanya, harus 'keluar dan menyerahkan tempat mereka kepada orang lain'. Ya, Bert dapat membantu Tom—dengan melompat ke laut! Hasil akhir dari orang-orang yang berhati-nurani, yang melepaskan posisinya, yang dicengkam secara tak adil, Hardin menyimpulkan dengan semangat Nietzschean, membersihkan hati-nurani mereka dari sekoci. 'Sekoci, yang seolah-olah, membersihkan dirinya dari rasa-bersalah.'
Tapi, ada satu kemungkinan lain yang terbuka bagi Bert. Ia bisa menyelamatkan Tom, dan menyelamatkan pula sekoci—dengan menendang sang kapten ke laut. Bukankah itu, etis juga? Tak mengherankan bila pandangan Profesor Hardhearted [hati-beku] itu, bahwa sistem-sistem sosial, menjadi tak stabil oleh kecenderungan altruistik seperti itu.
Pada skala yang lebih besar, kelangsungan hidup memerlukan kebutuhan dan tuntutan tak bertahan-hidup dari orang lain—secara biologis, pikirkan ‘lalat buah’. Proses kelaparan sangat penting bagi keseimbangan populasi manusia. Namun, ibarat sekoci, contoh global berisiko tenggelam dalam pertanyaan praktis, akan benar-benar karamkah sekoci/dunia kaya itu—atau cuma masalah oleng sedikit, boleh jadi berisiko dengan mengatasnamakan orang lain, yang merupakan pertanyaan yang sedikit berbeda.
Dan mengenai ucapan Latin sang kapten? Tak diragukan, bahwa Flintheart mengatakan, impossibilium nulla est obligatio—tiada yang wajib melakukan sesuatu yang tak mungkin—yang merupakan salah satu prinsip dasar hukum perdata Romawi kuno. Tentu saja, tak semua ahli-pikir menyepakatinya.'

'Lantas, bagaimana dengan Keserakahan itu?' tuan R malah balik nanya. 'Ada dua kutub tentang baik atau tidakkah keserakahan itu,' tanggap tuan M. 'Di satu kutub, Keserakahan dipandang akan sangat buruk bagi kekayaanmu. Keserakahan itu, hasrat yang tak teratur terhadap sesuatu lebih dari yang layak atau pantas, bukan untuk kebaikan yang lebih besar, melainkan untuk kepentingan diri-sendiri, dan merugikan orang lain, serta masyarakat pada umumnya. Keserakahan bisa untuk apa saja, tetapi yang paling umum, untuk makanan, uang, harta benda, kekuasaan, ketenaran, status, perhatian, kekaguman, dan making-love.
Keserakahan sering muncul dari awal pengalaman negatif, semisal ketidakhadiran orang tua, ketidakkonsistenan, atau pengabaian. Di kemudian hari, perasaan cemas dan rentan, sering kali dipadukan dengan harga diri yang rendah, membuat orang tersebut terpaku pada pengganti cinta dan keamanan yang sangat kurang. Mengejar pengganti ini, mengalihkan perhatian dari perasaan negatif, dan akumulasinya, memberikan kenyamanan dan kepastian yang sangat dibutuhkan.
Jika keserakahan jauh lebih berkembang dalam diri manusia ketimbang satwa, ini sebagian dikarenakan manusia, punya kapasitas memproyeksikan diri, jauh ke masa depan hingga saat kematiannya, dan bahkan setelahnya. Prospek kematian kita, pada akhirnya menimbulkan kecemasan tentang tujuan, nilai, dan makna kita.

Di kutub lain, Keserakahan dianggap baik. Bahkan, keserakahan dapat dipandang sebagai satu-satunya hal yang dapat menyelamatkan kita. Jadi, rangkullah, cintailah, dan jalanilah keserakahan itu.
Walaupun aku cenderung memposisikan diri pada pandangan kutub pertama yang kusebutkan, tak ada salahnya bila kita mencermati perspektif yang berbeda.

Jadi, orang Skotlandia yang lihai itu, Adam Smith, sahabat dan juga sezaman dengan filsuf Skotlandia yang hebat dan sama lihainya, David Hume, menemukan bahwa bukanlah cinta, seperti yang dibayangkan banyak orang, yang membuat dunia berputar—melainkan uang,' jawab tuan M.
Sebagai hasilnya, 'Uang itu, tangan tak terlihat, yang mengatur segala tindakan kita, baik tampak altruistik, maupun egois.' Para ekonom, yang merupakan pemikir uang, menyukai Smith melebihi apapun yang lebih mewah. Sayangnya, penjelasan Smith tentang peran uang dalam pengambilan keputusan moral, telah diabaikan oleh banyak pemikir. Sebaliknya, mereka malah berfokus pada pengamatan Smith yang agak tidak orisinil atau inovatif dalam 'Theory of Moral Sentiments', dimana disebutkan bahwa 'simpati' itu—kita sebut sebagai 'empati'—akar dari kehidupan sosial. Entah mengapa, pernyataan pentingnya tentang moralitas dalam sistem kapitalis, diabaikan. Dan terbentuklah sebuah pesan yang cukup sederhana: 'Keserakahan itu, baik.'
Mereka bilang bahwa hal ini, disebabkan oleh kepentingan diri-sendiri, sesungguhnya merupakan dasar dari kerjasama-sosial. Misalnya, perdagangan. Dan inilah minat khusus Smith yang bilang begini, 'Tiada yang pernah melihat seekor anjing, melakukan pertukaran yang adil dan disengaja, dengan satu tulang dengan yang lain, dengan anjing lain.'

Nah, andai keserakahan itu memang benar-benar baik, dan mementingkan diri-sendiri itu, manusiawi, dilema praktis bagi para tukang roti, tukang daging, dan tukang kendil–yang hendak melakukan sesuatu yang bermoral–ialah: 'Haruskah mereka menjual barang-barang mereka, semata cukup dengan jujur mencari nafkah​​–atau meminta bayaran sebanyak yang mereka bisa dapatkan?' Bagaimana menurutmu tuan?'
'Aku tak di program untuk menjawabnya, ' sambil menatap ke depan dengan pandangan hampa, dan untuk sejenak, ia terpaku, diam. Lalu tiba-tiba, tubuhnya terhentak dan matanya berbinar. Ia berkata, 'Tapi tunggu, kita hidup di era ilmu pengetahuan yang tak membenarkan argumen seseorang dibungkam. Jadi, yang ini, aku lewatkan juga, tuan M!'

Lalu, tuan M meneruskan, 'Smith berpandangan, lebih baik menetapkan harga tertinggi, sebab akan ada lebih banyak uang yang ditabung, yang ia perhatikan, sedikit seperti misionaris memandang kewajiban mereka terhadap sanubari.
Nah, seraya memegang mimbar erat-erat, ia melanjutkan dengan mengatakan dalam Wealth of Nations, 'Berkenaan dengan berlebih-lebihan [menghabiskan uang kita], prinsipnya, yang mendorong pengeluaran, hasrat untuk kesenangan saat ini; yang, meskipun terkadang brutal dan sangat sulit dikendalikan, pada umumnya, cuma sesaat dan sesekali. Namun prinsip yang mendorong untuk menyelamatkan ialah, keinginan untuk memperbaiki keadaan kita, keinginan yang, kendatipun umumnya tenang dan tak memihak, menyertai kita sejak dalam kandungan, dan tak pernah meninggalkan kita, sampai kita masuk ke liang kubur.'

Bandingkan itu dengan 'dorongan moral', yang bahkan pada perkiraan paling dermawan, akan menjadikan sebagian besar orang, tak terpengaruh oleh sebagian besar hidup mereka.
Boleh jadi, ketimbang mempelajari moralitas, guna mencari tahu apa yang harus dilakukan dengan uang, haruskah kita mempelajari uang, dan mencari tahu apa yang semestinya dilakukan dengan moralitas? Bukankah begitu, tuan?'
'Aku tak di program untuk menjawabnya, ' sambil menatap ke depan dengan pandangan hampa, dan untuk sejenak, ia terpaku, diam. Lalu tiba-tiba, tubuhnya terhentak dan matanya berbinar. Ia berkata, 'Tapi tunggu, kita hidup di era ilmu pengetahuan yang tak membenarkan argumen seseorang dibungkam. Jadi, silahkan lanjut tuan M!'

'Tampaknya, mereka semua akan berusaha menghasilkan uang sebanyak mungkin,' kata tuan M. 'Sebagaimana yang dikatakan Smith dalam bukunya Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, bahwa apa yang kita harapkan pada makan malam kita, bukanlah dari kebaikan tukang daging, tukang bir, atau tukang roti, bukan pula pada kemanusiaan mereka, melainkan pada kepentingan diri-sendiri, cinta-diri mereka.
Sebagai contoh, seorang pengemis, andaipun ia memilih bergantung terutama pada kebaikan sesama warga, sebagian besar dari keinginannya, yang acapkali didukung dengan cara yang sama seperti keinginan orang lain, dengan perjanjian, dengan barter dan dengan pembelian: dengan uang yang diberikan seseorang, ia membeli makanan; jubah lama yang diberikan orang lain kepadanya, ia menukarnya dengan jubah tua lain yang lebih cocok untuknya, atau tempat tinggal, atau untuk kebajikan, atau untuk uang, atau untuk minuman, atau obat-obatan, atau apapun, tak masalah–setidaknya, pengemis tersebut sekarang telah berpartisipasi dalam ‘roda sirkulasi’ besar, perputaran-uang dalam perekonomian modern.

Bukan hanya Smith yang menganggap uang itu baik. Aristoteles, mengibarkan pula bendera orang kaya. Aristoteles diundang oleh Raja Philippos II dari Makedonia, agar tinggal di istana kerajaan Makedonia di Pella dan menjadi guru pribadi putranya, Alexandros III (lebih dikenal sebagai 'Alexander Agung'). Raja Philippos II sangat kaya dan berkuasa dan ia pasti telah melengkapi Aristoteles dengan seperangkat pengaturan yang sangat bagus. Dalam pandangan Aristoteles, tak hanya keluhuran-budi yang menghasilkan uang, melainkan semata punya uang. Di sisi lain, Aristoteles lebih suka membelanjakannya dibanding Smith. Tokoh masyhur panutannya, 'Magnanimous Man' [orang dermawan], 'orang yang mau memiliki hal-hal yang indah dan tidak menguntungkan daripada yang menguntungkan dan berguna; karena hal ini lebih tepat bagi karakter yang mencukupi bagi dirinya sendiri'. Dan Aristoteles menjelaskan bahwa 'Magnanimous Man' membanggakan dirinya terutama dalam pesta-pestanya, ia berkata, 'Pengeluaran sangat besar selaras bagi mereka yang memiliki sarana, yang sesuai untuk memulai, diperoleh dengan upaya mereka sendiri atau dari leluhur atau hubungan, dan kepada orang-orang yang berkedudukan tinggi atau bereputasi tinggi, dan seterusnya; karena semua ini, membawa kebesaran dan prestise. Jadi, orang yang dermawan itu, terutama dari jenis ini, dan kehebatan ditunjukkan dalam pengeluaran.'
Ia juga menyajikan pertimbangan etisnya,'orang dermawan, tak membelanjakan uangnya bagi dirinya sendiri, melainkan bagi objek-objek publik, dan pemberian yang mirip dengan persembahan nazar. Orang dermawan akan melengkapi pula rumahnya sesuai dengan kekayaannya (sebab walaupun sebuah rumah itu, semacam ornamen publik), dan akan membelanjakan dengan preferensi pada karya-karya yang abadi (sebab semua ini hal-hal yang paling indah), dan pada setiap kelas sesuatu, yang akan dihabiskannya, pada apa yang ia jadikan; lantaran hal yang sama tak pantas bagi para dewa dan manusia, juga tak layak bagi kuil dan makam.'

Jadi, haruskah orang mempelajari uang melebihi moralitas? Nah, sebagian besar filsuf, termasuk Smith, setidaknya, sepakat pada satu hal: bahwa dalam asal-usul masyarakat, kita menemukan asal-mula hukum dan kode-moral. Faktanya, dalam Theory of Justice-nya, John Rawls mengakui hubungan erat antara struktur ekonomi dan moralitas. Di sana ia mencatat bahwa sifat keputusan yang dibuat oleh pembuat undang-undang, tak berbeda secara materi dari seorang pengusaha yang memutuskan bagaimana memaksimalkan keuntungannya dengan memproduksi komoditas ini atau itu, atau konsumen yang memutuskan bagaimana memaksimalkan kepuasannya dengan membeli komoditas ini. atau koleksi barang itu.'

Plato mengakui dasar material dari masyarakat idealnya, bahkan seraya menjelaskan bahwa para pemikir sejati, tak membutuhkan ornamen tak berharga seperti itu. Dan meskipun kita secara konvensional membayangkan hukum didasarkan pada 'benar dan salah', namun seperti yang dikatakan Thomas Hobbes secara efektif pada abad ketujuh belas, pada kenyataanya, didasarkan pada kepentingan pribadi. Plato tentu tak menghendaki uang sebagai kunci kehidupan moral. Di dalam Republik, ia dengan cepat menafikannnya sebagai semata 'sarana mencapai sebuah akhir.'

Jadi, bagaimana menurutmu tuan?' tanya tuan M. Tuan R menjawab, ''Aku tak di program untuk menjawabnya,' sambil menatap ke depan dengan pandangan hampa, dan untuk sejenak, ia terpaku, diam. Lalu tiba-tiba, tubuhnya terhentak dan matanya berbinar. Ia berkata, 'Tapi tunggu, kita hidup di era ilmu pengetahuan yang tak membenarkan kekepoan seseorang dibungkam. Andai aku di suruh memilih diam atau memelihara bebek, maka aku akan memilih diam dan memelihara bebek,' dan tak sengaja menjatuhkan pena yang sedari tadi di putar-putar oleh jari-jemarinya. Tuan M yang telah terbiasa menyaksikan panorama seperti itu, berkata, 'Biarkan tuan!' lalu berjongkok mengambil pena tersebut. Sejenak, ia melirik ke arah bawah meja, dimana dua kaki, yang terbuat dari besi baja, dipenuhi kabel-kabel yang rumit. Ia hanya membatin, 'Para programmer tak sanggup memperbaiki robot ini!'

Beberapa saat kemudian, tuan M menuruni anak-tangga sebuah bangunan, disambut senyuman oleh asistennya dan membukakan pintu mobil. Tuan M mengangguk dan tersenyum, lalu menghempaskan tubuhnya di jok belakang. Mobil hemat energi yang ditumpangi tuan M, lalu berdesing menembus malam yang suram di jalan utama sebuah kota-mati, yang dulu dinominasikan sebagai Ibukota, namun terabaikan dan terjerahak, yang kemudian menjadi tempat pembuangan sampah robot Android. Menatap kegelapan melalui jendela mobil, ia mencari bintang seraya bersenandung,

And all the stars, without a name
[Dan semua bintang, tanpa nama]
And all the skies, that look the same
[Dan semua langit, yang terlihat sama]
And all the clouds, that fade, and then
[Dan semua awan, yang memudar, dan kemudian]
Then all of this, begins again *)
[Kemudian semua ini, bermula kembali]

Sang Purnama menutup ceritanya, "Sepertinya, permasalahan bukan lagi pada baik atau tidakkah keserakahan itu, lantaran masing-masing dari kita, punya jawabnya. Jika aku bertanya padamu, 'Engkau ingin menjadi apa: robot, dikendalikan oleh robot, atau manusia yang lebih baik?' Pertanyaannya sangat sederhana dan membuatmu tertawa, sebab kita semua pingin menjadi manusia yang lebih baik, dan berkontribusi bagi kemanusiaan yang lebih baik. Beneran? Serius? Wallahu a'lam."
Kutipan dan Rujukan:
- Martin Cohen, 101 Ethical Dilemmas, Routledge
- Dennis C. Rasmussen, The Infidel and the Professor, Princeton University Press
- B. Jowett M.A, The Republic of Plato, Clarendon Press
*) "The Humming" karya Roma Ryan, Eithne Ni Bhraonain & Nicky Ryan