Senin, 03 November 2025

Demokrasi dan Kritikannya (3)

Dalam The Oxford Handbook of Public Accountability (2014) yang disunting oleh Mark Bovens, Robert E. Goodin, dan Thomas Schillemans, “accountability” dijelaskan sebagai hubungan antara seorang aktor dan sebuah forum, dimana sang aktor berkewajiban menjelaskan dan mempertanggungjawabkan tindakannya, sementara forum berhak buat mengajukan pertanyaan, menilai, bahkan memberi konsekuensi. Intinya, mekanisme ini bertujuan agar kekuasaan nggak dipakai seenaknya—semacam sistem “jawab dong, jangan ngeles.” Bovens dan timnya menegaskan kalau akuntabilitas itu bukan cuma urusan birokrasi atau hukum, tapi fondasi utama dari pemerintahan yang demokratis. Ia jadi jembatan moral sekaligus institusional antara mereka yang pegang kuasa dan rakyat yang kena dampaknya—biar kekuasaan tetep transparan, dipercaya, dan sah di mata publik.
Para editor dan kontributornya ngasih banyak contoh nyata biar konsep akuntabilitas itu nggak terdengar cuma teoritis. Salah satu yang paling masyhur yalah kisah runtuhnya Komisi Eropa di akhir 1990-an. Gara-gara skandal keuangan dan korupsi yang bikin publik geram, seluruh anggota Komisi pimpinan Jacques Santer akhirnya mundur bareng-bareng—semacam “drama politik massal” yang nunjukin gimana akuntabilitas bisa menjadi alat koreksi diri institusi yang udah kelewat nyaman sama kekuasaannya.
Contoh lainnya datang dari tradisi parlemen Inggris, dimana menteri wajib jawab langsung ke Parlemen soal tindakan bawahannya. Kasus paling legendaris yalah “Profumo Affair” di tahun 1960-an, ketika Menteri Perang John Profumo harus mundur karena berbohong ke Parlemen soal urusan pribadinya—bukti kalau dalam politik Inggris, kejujuran dan rasa malu masih dianggap bagian dari tanggungjawab publik.
Karya ini juga nyenggol kasus dunia korporasi kayak skandal Enron, dimana ketiadaan sistem akuntabilitas bikin perusahaan raksasa itu kolaps dan jutaan orang kena imbasnya. Semua kisah ini ngasih pesan jelas: akuntabilitas bukan teori abstrak, tapi praktik hidup yang butuh transparansi, keberanian moral, dan konsekuensi nyata di setiap level kekuasaan —entah itu di pemerintahan, korporasi, atau lembaga masyarakat sipil.

Mark Bovens menjelaskan bahwa konsep modern akuntabilitas berakar kuat dari tradisi hukum dan politik yang berkembang sejak munculnya pemerintahan perwakilan di Eropa. Gagasan ini makin matang pada masa Pencerahan—terutama di Inggris dan Belanda—ketika sistem parlementer menuntut para penguasa agar menjelaskan tindakannya ke rakyat.
Awalnya, akuntabilitas cuma urusan keuangan—kewajiban seseorang buat “menjelaskan” pengelolaan dana publik—tapi lama-lama konsep ini melebar ke ranah moral, administratif, dan demokratis. Perkembangannya makin kencang di abad ke-17 dan ke-18, ketika para pemikir kayak John Locke dan Montesquieu mulai menyerukan bahwa kekuasaan harus bisa dipertanggungjawabkan ke rakyat. Lalu di abad ke-19 dan ke-20, dengan lahirnya konstitusionalisme dan demokrasi liberal, akuntabilitas jadi prinsip utama pemerintahan modern—tertanam dalam birokrasi publik, lembaga internasional, bahkan sampai etika perusahaan.

Di beberapa bab, terutama yang ngomongin accountable officials, ethics in public administration, dan ministerial responsibility, karya ini menekankan bahwa tanggungjawab pejabat publik itu nggak cuma soal hasil kebijakan, tapi juga perilaku pribadi mereka kalau udah nyerempet pada kepercayaan publik dan integritas jabatan. Bovens, Goodin, dan Schillemans bilang: akuntabilitas publik itu bukan cuma “apa yang loe putusin,” tapi juga “gimana loe bersikap” saat memegang kekuasaan.
Mereka ngasih contoh dari tradisi Westminster—dimana menteri bisa diminta mundur bukan cuma karena gagal ngurus kementerian, tapi juga karena perilaku pribadinya bikin malu atau menurunkan kepercayaan publik. Jadi, kalau seorang pejabat ketahuan nyalahgunakan kekuasaan buat kepentingan pribadi, korupsi, atau berperilaku yang merusak citra kenetralan pemerintah, maka itu bukan lagi urusan “privat”—itu udah jadi urusan publik.
Karya ini juga menekankan sisi moralnya: jabatan publik itu amanah, bukan privilege. Artinya, integritas dan etika bukan cuma hiasan—tapi bagian dari kontrak moral dengan rakyat. Tapi penulis juga ngingetin, jangan semua hal pribadi dijadikan bahan “serangan moral.” Selama perilaku itu nggak ganggu tugas publik, ya itu masih ranah pribadi. Tapi kalau udah menyentuh kredibilitas dan tanggungjawab jabatan, maka publik punya hak buat nuntut penjelasan dan bahkan sanksi.

Akuntabilitas itu fondasi dari pemerintahan yang sah dan efektif. Bovens, Goodin, dan Schillemans menekankan kalau memanggil para aktor—entah menteri, pegawai negeri, jaringan pemerintahan, warga, atau organisasi internasional—agar bertanggungjawab bukan sekadar urusan birokrasi atau hukum, tapi praktik moral, politik, dan institusional yang kompleks. Akuntabilitas bikin kekuasaan dipakai secara bertanggungjawab, transparan, dan sesuai harapan publik atau prinsip demokrasi.
Beberapa poin penting yang ditonjolkan karya ini: pertama, akuntabilitas itu multidimensional, mencakup hasil, proses, dan perilaku pribadi; kedua, butuh tanggungjawab yang jelas, forum untuk jawaban, dan mekanisme sanksi; ketiga, pemerintahan sekarang makin kompleks—jaringan, lintas tingkat, transnasional—yang bikin model hierarki tradisional nggak cukup; keempat, akuntabilitas efektif nggak cuma soal aturan formal, tapi juga budaya jawab, keterlibatan publik, dan etika.
Akuntabilitas itu nggak opsional, tapi fundamental. Ia jadi jembatan antara kekuasaan dan legitimasi, antara power dan trust. Tanpa akuntabilitas, pemerintahan bisa jadi buram, nggak responsif, dan kehilangan moral.

Corruption, Accountability and Discretion karya Nancy S. Lind dan Cara E. Rabe‑Hemp (2017, Emerald Publishing Limited) ngebahas hubungan rumit antara kebebasan yang dikasih ke pejabat publik buat ngambil keputusan (diskresi) dan mekanisme akuntabilitas yang wajib ada supaya korupsi nggak jalan. Lind dan Rabe‑Hemp bilang, diskresi itu penting banget buat pemerintahan modern—pejabat jadi bisa bertindak cepat dan fleksibel tanpa terjebak prosedur kaku. Tapi kalau kebebasan itu nggak diiringi akuntabilitas yang jelas, risiko korupsi bisa naik drastis. Mereka menekankan kalau akuntabilitas nggak cuma soal audit resmi atau laporan birokrasi tebal, tapi juga soal pengawasan publik, transparansi, dan budaya “jawab dong” dari mereka yang pegang kuasa.
Karya ini juga ngomongin sisi moral akuntabilitas: perilaku pribadi pejabat itu penting kalau nyentuh tanggung jawab publik mereka. Diskresi yang disalahgunakan buat keuntungan pribadi atau tindakan yang ngerusak integritas kantor publik sama aja ngelanggar kepercayaan rakyat. Dari sisi ini, mereka sejalan dengan argumen di The Oxford Handbook of Public Accountability: akuntabilitas nggak cuma soal hasil kebijakan, tapi juga soal perilaku, etika, dan penggunaan kekuasaan secara bertanggungjawab. Pesan besarnya jelas: tanpa mekanisme akuntabilitas, kekuasaan yang bebas cuma bakal jadi jalan buat korupsi, bikin institusi kehilangan legitimasi, dan bikin publik nggak percaya lagi.
Kekuasaan diskresioner dalam pelayanan publik, meski penting buat pemerintahan yang gesit dan fleksibel, punya risiko tinggi kalau gak ditemani mekanisme akuntabilitas yang kuat. Para penulis bilang, akuntabilitas itu penting bukan cuma buat mencegah korupsi, tapi juga buat jaga kepercayaan publik dan legitimasi institusi. Akuntabilitas nggak cuma soal prosedur resmi kayak audit atau laporan, tapi juga soal moral, etika, dan budaya: transparansi, pengawasan publik, dan budaya “jawab dong”.
Selain itu, Lind dan Rabe‑Hemp menekankan kalau akuntabilitas nggak cuma soal hasil kebijakan, tapi juga perilaku pribadi pejabat kalau tingkahnya nyentuh tanggung jawab publik. Diskresi yang disalahgunakan buat keuntungan pribadi atau ngerusak integritas jabatan sama aja ngelanggar kepercayaan rakyat. Pesan besarnya jelas: kalau kekuasaan bebas tanpa akuntabilitas, bisa jadi jalan ke korupsi, bikin institusi kehilangan legitimasi, dan bikin rakyat nggak percaya. Sebaliknya, mekanisme akuntabilitas yang baik bikin kekuasaan diskresioner bisa jadi alat buat pemerintahan yang bertanggungjawab dan etis.

Rakyat dan media itu jangan cuman jadi penonton—mereka punya peran buat ngecek pejabat publik yang punya ruang gerak (“discretion”) besar, apalagi kalau ruang gerak itu dipakai buat kepentingan pribadi atau orang dekat. Kalau pejabat main zig‑zag, kampanye nggak jujur, pakai wewenang buat keuntungan keluarga atau relasi, ya rakyat boleh banget angkat suara karena itu udah ngaruh ke kepercayaan publik, ke kebijakan, dan ke efektivitas pemerintahan. Tapi kalau pakai gaya hidup pribadi yang nggak nyerempet kerjaan: misalnya hobi pecinta burung, ngumpul nongkrong, atau gaya fashion yang nggak ada hubungannya sama jabatan—ya itu bukan fokus utama buku ini, karena yang dicermati adalah sisi di mana kehidupan pribadi dan tugas publik “ketemu”. Jadi intinya: kritik warga sah banget ketika urusan pribadi pejabat nyolok ke urusan publik, tapi kalau nggak nyolok ya mungkin lebih baik nggak bikin terlalu heboh.

Honest Government: An Ethics Guide for Public Service oleh W. J. Michael Cody dan R. Lynn (1992, Praeger) semacam panduan “etika kerja pemerintahan” yang gak cuma ngomongin kebijakan besar, tapi juga soal “gaya hidup” pejabat dan keluarganya yang bisa nge‑zoom ke tugas publik mereka. Penulis membahas banyak keadaan nyata: kampanye, konflik kepentingan, dan bosan jadi pejabat kemudian jadi pengusaha yang kontraknya dikasih sendiri ke keluarga. Walau nggak nyebut satu skandal terkenal saja, karya ini penuh dengan contoh‑contoh yang deket sama kenyataan.

Cody dan Lynn bilang gini: kalo loe jadi pejabat publik, jangan mikir “hidup gue urusan pribadi”. Karena sebenernya, gaya hidup loe—temen ellu, keluarga loe, mobil loe, liburan loe—semuanya bisa jadi sorotan publik. Jadi aturan mainnya: loe kudu tampil dengan integritas, kagak boleh terlalu pamer, keluarga loe enggak boleh berita‑beritain “karena bapak/ibu pejabat kita”, dan enggak boleh gampang banget pakai kantor atau relasi pejabat demi keuntungan pribadi atau keluarganya. Intinya: publik pegang loe karena loe dipercaya—kalau loe main kayaraya, main relasi, atau loe dan keluarga loe enaknya turun tangan kê tugas publik, itu bakal nge‑rem trust orang ke loe. Jadi gaya hidup pejabat itu bukan soal “gue boleh hidup enak”, tapi soal “gue hidup dengan transparan dan enggak memanfaatkan posisi untuk keluargaku–karena ini urusan masyarakat”.

Menurut Cody dan Lynn, kalau loe pejabat publik, hidup loe nggak 100% “pribadi” lagi. Jadi, rakyat boleh nge-judge atau kritik gaya hidup loe, cara loe treat keluarga, atau gimana loe pakai posisi buat keuntungan sendiri, karena itu bisa ngerusak kepercayaan publik. Tapi kalau urusan pribadi loe murni misal soal hobi yang nggak nyerempet kerjaan, atau gaya fashion yang nggak ganggu publik, ya itu sih biasanya bukan hak rakyat buat diomongin. Jadi intinya: personal tapi public-facing, itu boleh dikritik; personal tapi murni, ya cuekin aja.
Dalam pandangan Cody dan Lynn, batasan antara apa yang boleh dikritik rakyat dan apa yang nggak, itu tergantung apakah urusan pribadi pejabat nyerempet kerjaannya atau ngeganggu kepercayaan publik. Kalau pejabat kelihatan boros banget sampai nggak masuk akal, atau pakai posisi buat ngasih keuntungan ke keluarga, atau keluarga mereka nikmatin fasilitas kantor sampai bikin orang mikir “wah ada yang nggak beres nih”, ya itu sah-sah aja dikritik. Soalnya itu bukan cuma urusan pribadi, tapi udah nyentuh kewajiban etis dan fungsional kantor, jadi publik berhak ngecek dan nanya. Tapi kalau urusan murni pribadi kayak hobi, temen nongkrong, atau gaya fashion, itu nggak boleh dicampurin rakyat. Intinya, kritik itu sah kalau perilaku pribadi pejabat ngeganggu kepercayaan publik atau bikin mereka nggak bisa kerja dengan etis dan efektif. Kalau nggak nyerempet itu, ya biarin aja mereka hidup pribadi tanpa digosipin.

Corruption and Misuse of Public Office (
Oxford University Press, 2024, 4th edn) oleh Colin Nicholls dkk lebih ke analisis hukum dan etika: gimana pejabat publik bisa nyampurin privat dan publiknya secara nggak sehat, terutama kalau keluarganya dapet keuntungan dari jabatan. Contoh nyata: pejabat yang punya aset gede, anak atau saudara dapet kontrak publik, atau jadi “kleptokrat” yang terus nyedot fasilitas negara. kaya ini ngupas bagaimana kasus‑kasus kaya gitu diselidiki dan ditindak secara hukum.
Kalau pejabat publik ngotot nyampur urusan pribadi dan jabatan—apalagi keluarganya kebagian dari jabatan itu—menurut Nicholls dan tim, ini nggak cuma “résiko kecil”, tapi bisa bikin semuanya ambyar. Gaya loe pakai jabatan buat keluarga loe seneng‑seneng, loe ngasih akses istimewa ke saudara loe, nah itu artinya loe udah main ujung tombak antara publik dan pribadi yang jelas enggak fair. Akibatnya: rakyat mulai mikir “loh kenapa mereka bisa enak terus?”; kepercayaan ke pejabat rusak; regulasi yang harusnya ngejaga semuanya jadi nggak dipakai; layanan publik jadi mentok; dan sistem pemerintahan secara keseluruhan bisa rontok. Jadi intinya: ketika urusan privat pejabat plus keuntungan keluarga lewat jabatan jadi satu paket, maka bukan cuma pejabatnya yang “minus”, tapi sistem pelayanan publik kita bisa kena batunya.

Nah, kita lihat skenarionya di Indonesia: Terhadap menteri ESDM,  Bahlil Lahadalia, banyak meme beredar soal dirinya—ada yang kritik kebijakan, ada yang menyerang pribadi. Terus ada sayap partainya yang mau ngelapor ke polisi. Nah, kalau kita pakai kacamata buku‑buku keren tadi:
Dari Cody dan Lynn: Kritik terhadap kebijakan publik itu sah banget dan wajar—orang boleh bilang “eh kebijakan loe gini, kenapa?” Tapi kalau cuma “eh gaya rambut lo jelek” atau “keluarga loe selalu jalan‑jalan” tanpa hubungannya dengan tugas publik, ya itu udah agak ngawur. Jadi kalau meme hanya ngejek kebijakan loe, itu masuk; tapi kalau nyerempet pribadi yang nggak ada hubungannya sama jabatan, maka batasnya mulai kabur.
Dari Lind dan Rabe‑Hemp: Ini soal “wewenang loe dipakai buat siapa?” dan “apa mekanisme kontrol publik jalan?” Kalau kelompok partai atau aparatnya mau ngelapor orang yang bikin meme sebagai bentuk tekanan supaya kritik kebijakan gak muncul, ya itu dianggap masalah—karena kemudian kontrol publik jadi mati, demokrasi jadi diam. Jadi kalau Pak Bahlil atau pendukungnya bilang “gak boleh dikritik kayak gini”, itu bisa dilihat sebagai sinyal bahwa transparansi dan akuntabilitas mulai dikorbankan.
Dari Nicholls et al: Kalau pejabat mulai blurring antara urusan publik dan privat—misalnya keluarga pejabat mendapat proyek, atau kritik kebijakan dianggap sebagai serangan pribadi yang harus di‑hapus—maka kepercayaan publik rusak. Dalam kasus Pak Bahlil, dia bilang “kebijakan boleh dikritik” tapi juga “jangan nyerempet pribadi atau rasis” dan ada upaya pelaporan—oke, ini bisa jadi tanda bahwa batas publik‑privat mulai nyaris hilang, dan itu bisa bikin sistem jadi rapuh.
Dari Mark Bovens: Akuntabilitas itu harus ada forum yang bebas untuk bertanya, pejabat harus bisa jawab, dan kalau ditanya harus ada konsekuensinya. Meme itu bisa jadi bagian dari forum sosial yang memang bertanya: “Bro Menteri, kebijakan loe gimana?” Kalau dijawab dengan “dilarang bikin meme” atau “laporkan ke polisi” terus forum jadi takut bertanya, itu berarti akuntabilitasnya nggak jalan semestinya. Jadi salah satu pelajaran: pejabat harus bukain ruang kritik, masyarakat harus bisa bebas nanya—namun tetap dalam batas wajar.

Dalam kasus Menteri Bahlil, ada meme yang nge‐kritik kebijakan energinya, plus boleh jadi, nyikut ke pribadinya juga, lalu ada tim sayap partai yang pengen report pembuat meme itu ke polisi. Kalau kita lihat ranah hukumnya di Indo, sekarang mulai terang: Mahkamah Konstitusi bilang bahwa UU ITE gak boleh dipakai seenaknya buat ngebungkam kritik soal pemerintah atau pejabat publik. Jadi kritik terhadap kebijakan itu hukumnya punya ruang, karena itu bagian dari kontrol publik. Tapi kalau meme cuma nyerempet urusan privat yang nggak ada hubungan ama tugasnya, ya bisa jadi beda cerita.
Secara etika, seorang pejabat publik itu harus siap kalau masyarakat nanya “kenapa loe bikin kebijakan begini?” atau “kok loe ngambil keputusan itu?” Itu bagian dari jobdesk loe sebagai pelayan publik. Kalau loe atau orang‐orang loe mulai bales kritik itu dengan “eh jangan kritik saya, itu privasi saya”, terus pake kekuatan partai atau hukum buat nutup mulut mereka, nah itu mulai jadi sinyal bahaya. Soalnya publik jadi mikir “kok pejabatnya nggak bisa dikritik?”, “kok bisa‑bisanya masyarakat takut nanya?” Padahal dalam sistem yang sehat, kritik itu harus dibolehin selagi kritis dan berbasis fakta.
Jadi singkatnya: Kalau meme itu soal kebijakan energinya yang publik, maka menurut hukum dan etika, masyarakat punya hak buat kritik. Tapi kalau setelah itu ada upaya laporan atau ancaman hukum buat ngebungkam pembuat meme, itu bisa dilihat sebagai gerakan yang ngerusak transparansi dan akuntabilitas—yang pada akhirnya bikin sistem pelayanan publik jadi rapuh.

Di era Jokowi dan masih berlanjut hingga awal pemerintahan sekarang, kita udah liat pola yang agak miring—orang yang ngeritik pejabat pakai meme, sosial media, atau komentar viral, seringnya dibalas sama laporan ke polisi atau intimidasi digital. Misalnya, di Februari 2021 pernah diberitain kalau UU ITE udah jadi “alat jitu” buat kriminalisasi pengkritik pemerintah. Nah, data NGO kayak CIVICUS bilang sampai ratusan orang udah diproses pakai UU yang sama antara 2013‑2021. Terus di 2025, Human Rights Watch juga bilang kondisi kemerdekaan pers makin terancam: jurnalis dilecehkan, dipaksa tutup suara, takut liputan. Terjadi juga di awal-awal pemerintahan Presiden Prabowo di kasus jurnalis Tempo. Kemudian terjadi lagi kasus penangkapan setelah kejadian "Prahara Agustus 2025" dimana menurut laporan masih ada ratusan aktivis dan pelajar ditangkap dan hingga saat ini di tahan.
Contoh paling “masuk memo” adalah mahasiswa ITB yang dibekuk gara‑gara meme AI lucu tapi kritik ke tokoh publik—sampe bisa didakwa 12 tahun penjara. Dan media luar seperti The Guardian juga udah bilang: “ayo guys, ini Indonesia sekarang udah bukan tempat yang enak buat kritis‐kritis amat”. Jadi kalau kita hubungin sama kasus Bahlil yang mau laporan meme‑maker, ya ini bukan kasus tunggal deh—ini bagian dari tradisi yang udah sering terjadi: kritik publik → respon hukum/intimidasi → debat soal ‘ini sah kontrol sosial’ atau ‘ini bungkam kebebasan’.

Di Indonesia, udah banyak tuh kasus dimana orang yang bikin meme, edit foto tokoh publik, atau nge‑share guyonan satir tentang pejabat, malah dilaporin polisi atau didakwa pakai UU ITE atau pasal pencemaran nama baik. Contoh klasik: Setya Novanto, waktu itu tahun 2017, ngelaporin puluhan akun medsos yang buat meme tentang dirinya; ada cewek muda yang ditangkap karena upload meme‑nya. Terus baru‑baru ini juga ada mahasiswa dengan meme AI yang bisa kena ancaman 12 tahun penjara, padahal katanya cuma kritik satir ke pejabat tinggi. Lembaga hak digital langsung protes: “Bro, ini kritik politik, satire boleh dong.” Media luar dan lokal bilang, “Satire itu bagian dari demokrasi, bukan kriminal”. Tapi ya kenyataannya, UU ITE yang kata orang agak blurr dan luas banget maknanya, gampang dipakai buat nutup keran kritik atau bikin netizen takut. Jadi intinya: kalau loe bikin meme lucu tapi kritik pejabat, jangan kaget kalau tiba‑tiba dilaporin atau sidang. Sistemnya sekarang agak ke arah “loe boleh ngomentari tapi jangan nyerempet karyawan partai/pejabat”—itu yang bikin suasana digital jadi stres.

Dalam beberapa bulan terakhir, data dan komentar dari masyarakat sipil dan pengamat internasional menunjukkan bahwa situasi di bawah pemerintahan Presiden Prabowo tidak jauh lebih baik—dan dalam beberapa hal, bahkan mungkin lebih memprihatinkan—dibanding dari apa yang diingat banyak orang dari tahun-tahun Jokowi. 
Mari kita liat ceritanya: Presiden Prabowo udah bilang “ayo kritik dong, komen soal kebijakan saya”, terus kementerian‑nya juga bilang “kami terbuka”. Tapi kenyataannya? Datanya agak bikin kita garuk‑garuk kepala: banyak laporan tentang jurnalis yang kena intimidasi digital, akun media yang dihack atau DDoS, sampai mahasiswa atau aktivis yang ngerasa baiknya “diem dulu ajah” karena takut. Ada institut hak sipil yang sampe masukin Indonesia ke daftar “awas, kebebasan sipil makin dirujak”. Ada riset yang bilang struktur negara mulai tipis‑tipis ke arah “kekuasaan pusat makin kuat, militer makin banyak posisi strategis”—bukannya makin ‘free’ malah terasa makin ketat. Intinya: meskipun kaya slogan “kita berubah”, realita digitalnya belum menunjukkan “longgar”, malah bisa dibilang “awas” karena peringatan‑peringatan muncul satu per satu. Jadi jangan terlalu optimis dulu kalau dibilang era sekarang bebas kritik online–soalnya data‑nya belom mendukung banget.

Di bagian selanjutnya, kita akan lakukan tinjauan tentang penyebab di balik situasi di Indonesia ini, termasuk pertanyaan apakah itu dikarenakan belum terselenggaranya reformasi kepolisian yang jadi faktor utama. Bi'idznillah.

[Bagian 4]
[Bagian 2]