“Ketiga kodok kita baru aja pulang dari perjalanan mereka ke gurun Sahara, dan salah satu dari mereka bertanya kepada yang lain, 'Ngapain sih para unta itu, pake sandal?'Yang lain menjawab, 'Supaya mereka gak kelelep dalam pasir.'Kodok pertama nanya lagi, 'Trus, napa sih burung unta nancepin k'palanya ke pasir?'Kodok terakhir menjawab, 'Buat pantengin, unta mana yang lupa make sandalnya,' Wulandari sedang bercerita tentang suatu peristiwa.Wulandari lalu melanjutkan, “Ketika seorang wanita melemparkan selop ke arah Hillary Clinton, mantan menteri luar negeri AS itu, tak terkena hantamannya. Sang selop melayang di atas kepala Hillary dan mendarat dengan selamat disertai bunyi gedebuk. Awalnya, ia tak menyadari apa yang telah terjadi, 'Is that a bat?' tanyanya. Ia lalu bergurau, ''Is that somebody throwing something at me? Is that part of Cirque de Soleil [sebuah perusahaan hiburan Kanada dan produser sirkus kontemporer terbesar di dunia]?' canda Hillary.Konon, wanita tersebut memprotes keterlibatan pemerintah AS dalam penambangan dan pemanfaatan logam berat, yang menurutnya beracun dan merugikan pasukan AS di Irak dan Afghanistan.Sebagaimana yang kita ketahui bersama, sandal atau selop dan sepatu itu, alas-kaki. Kaki dan alas-kaki, tak semata membawa beban tubuh, melainkan pula membawa banyak beban simbolis, sosial dan budaya. Cara kita memandang dan memperlakukan kaki, jenis alas-kaki yang kita kenakan, dan cara kita memandang alas-kaki, memberitahu kita banyak hal tentang masyarakat dan budaya. Kaki, baik telanjang maupun bersepatu, terpaut dengan gagasan kita tentang gender, jenis-kelamin, kelas, dan budaya. Dengan demikian, kita dapat membaca, melalui sejarah alas-kaki dalam suatu masyarakat tertentu, evolusi gagasan masyarakat tersebut tentang lelaki dan perempuan, tentang kelas pekerja dan elit, serta tentang pekerjaan dan waktu luang. Sepatu, selop dan sandal, pada akhirnya, menandakan identitas individu, afiliasi kelompok, dan kedudukan sosial.Namun, aku takkan membicarakan tentang sepatu atau sandal atau alas-kaki lainnya di sini, tapi aku kepo, apakah tindakan melempar sepatu tersebut, sebuah feedback? Dan mengapa feedback itu penting?Kata 'feedback'—yang kita terjemahkan sebagai umpan-balik—mudah dikaitkan dengan pengalaman formal, semisal tinjauan kinerja tahunan atau survei umpan-balik pelanggan. Namun sebenarnya, feedback ada di sekitar kita, setiap saat. Kita mendapat feedback dari orang lain, dari lingkungan kita, bahkan dari observasi dan monolog batin kita sendiri. Memberi dan menerima feedback itu, pengalaman dinamis yang membentuk dan dibentuk oleh pertalian kita dan konteks percakapan.Kita berenang dalam lautan feedback. Banyak sekali feedback yang mengantri. Kita dihadapkan pada permasalahan anak-anak kita yang bersekolah, orang-orang yang kehilangan pekerjaan atau tak dapat memperoleh pekerjaan karena adanya tenaga kerja asing, daftar nama yang mengajukan gugatan cerai, dan masih banyak lagi.Douglas Stone dan Sheila Heen mengatakan bahwa ketika orang diminta membuat daftar percakapan tersulit mereka, feedback selalu muncul. Tak peduli siapa mereka, di mana mereka berada, atau apa yang mereka lakukan, mereka menggambarkan betapa sulitnya memberikan umpan-balik yang jujur, walaupun mereka tahu, hal itu sangat dibutuhkan. Stone dan Heen kemudian memberi tahu kita bahwa manakala mereka memberikan feedback, mereka menyadari bahwa penerimanya tak begitu baik menerimanya. Tatkala mereka menerima feedback, mereka menyadari bahwa pemberinya, kurang bagus dalam menyajikan feedbacknya.Lantas, apa sih yang dihitung sebagai feedback atau umpan-balik itu? Umpan-balik mencakup informasi apa pun yang engkau peroleh tentang dirimu. Dalam makna yang luas, umpan-balik merupakan cara kita belajar tentang diri kita sendiri, dari pengalaman kita dan dari orang lain—bagaimana kita belajar dari kehidupan. Ia mencakup tentang tinjauan kinerja tahunanmu, survei iklim perusahaan, ulasan kritikus lokal terhadap restoranmu. Namun umpan-balik mencakup pula bagaimana mata putramu berbinar saat ia melihatmu di antara penonton, dan cara temanmu diam-diam melepas switer yang engkau rajut saat ia mengira engkau tak terlihat. Umpan-balik merupakan pembaruan layanan yang terus-menerus oleh klien lama dan nasehat yang engkau dapatkan dari pak polisi di tepian jalan. Umpan-balik pulalah yang ingin disampaikan oleh lututmu, tentang berkurangnya ketangkasanmu, dan perpaduan antara kasih-sayang dan sindiran yang membingungkan, yang engkau peroleh dari anakmu yang masih berusia lima belas tahun.Jadi, umpan-balik bukan sekedar apa yang diberi peringkat; ia apa yang mendapat ucapan terimakasih, dikomentari, dan diundang kembali atau dibatalkan. Umpan-balik dapat bersifat formal atau informal, langsung atau implisit; ia bisa spontan atau berbasa-basi, sangat jelas atau sangat halus sehingga engkau tak yakin, hal semacam apa itu.Sekarang, mari kita tinjau sejarah singkat, pake banget, tentang feedback. Istilah 'feed-back' dimunculkan pada tahun 1860-an selama Revolusi Industri guna menggambarkan cara keluaran energi, momentum, atau sinyal dikembalikan ke titik asalnya dalam sistem mekanis. Pada tahun 1909, peraih Nobel Karl Braun menggunakan frasa tersebut untuk menggambarkan kopling dan loop antar komponen sirkuit elektronik. Satu dekade kemudian, kata majemuk baru 'feedback' digunakan untuk menggambarkan putaran suara yang bersirkulasi dalam sistem amplifikasi—bunyi berdecit tajam yang kita semua tahu dari auditorium sekolah dan rekaman musik Jimi Hendrix.Beberapa saat seusai Perang Dunia II, istilah ini mulai digunakan dalam hubungan industrial ketika berbicara tentang sumber daya manusia dan manajemen kinerja. Berikan porsi informasi korektif kembali ke titik asal—yaitu engkau, karyawannya. Kencangkan di sini, sambungkan ke sana, dan seperti alat Dr. Seuss, engkau semua siap berkinerja optimal dan berperut buncit dengan pusar berbintang.Kini, di tempat kerja, feedback memainkan peran penting dalam mengembangkan bakat, meningkatkan moral, menyelaraskan tim, memecahkan masalah, dan memperbesar laba. Akan tetapi, 55% responden dalam sebuah penelitian baru-baru ini, menunjukkan bahwa tinjauan kinerja mereka tidak wajar atau tidak akurat, dan satu dari empat karyawan, amat takut dengan tinjauan kinerja mereka dibandingkan hal lain dalam kehidupan kerjanya.Berita ini, tak lagi menggembirakan bagi para manajer: Hanya 28% profesional HR yang percaya bahwa manajer mereka fokus pada lebih dari sekedar mengisi formulir. 63% eksekutif yang disurvei mengatakan bahwa tantangan terbesar mereka terhadap manajemen kinerja yang efektif ialah manajer mereka tak punya keberanian dan kemampuan mendiskusikan feedback yang sulit.Ada yang tak berfungsi. Maka, organisasi menghabiskan miliaran dolar setiap tahun untuk melatih supervisor, manajer, dan pemimpin tentang cara memberikan feedback secara lebih efektif. Manakala feedback mengalami penampikan atau ditolak mentah-mentah, pemberi feedback didorong agar terus berupaya. Mereka diajari cara agar berusaha lebih keras. Hal ini dapat membantu. Namun jika penerimanya tak mau atau tak mampu menerima feedback tersebut, maka yang dapat dilakukan hanyalah sebatas kegigihan atau bahkan penyampaian yang terampil saja.Sebenarnya, umpan-balik bisa sangat berdaya-guna. Mereka yang mencari dan menerimanya, memposisikan dirinya lebih berkompeten dan lebih bermampuan. Mereka yang menolak, menafikan, atau menghindarinya, akan terjerumus ke dalam keterbatasan wawasan pribadi mereka sendiri—yang mungkin benar atau salah, namun mereka takkan pernah tahu.Mereka tak mampu melihat kekuatan dalam umpan-balik. Tanpa umpan-balik, kita menjadi buta. Orang lain melihat hal-hal yang tak dapat kita lihat. Dalam penilaian kinerja yang dirancang untuk menakar efektivitas individu, ditemukan bahwa pihak yang paling tidak efektif dalam memprediksi kekuatan dan kelemahan mereka secara akurat, adalah para individu itu sendiri.Kebanyakan orang, tak merasa mereka kekurangan feedback dari orang lain mengenai bagaimana mereka dapat meningkatkan kinerjanya di tempat kerja, bagaimana mereka dapat menjadi orangtua yang lebih baik, bagaimana mereka dapat menjadi pasangan atau teman yang lebih tenggang-rasa dan penuh perhatian, atau sekadar bagaimana mereka dapat menjadi orang yang lebih baik. Bagi banyak orang, reaksi umum terhadap feedback baru ialah dengan berkata, 'So whaat, lagian, gua kan sibuk baangeets.'Umpan-balik yang bermakna, sangat penting bagi apa yang kita lakukan dalam pekerjaan dan aspek lain kehidupan kita. Umpan-balik memandu, memotivasi, dan memperkuat perilaku efektif serta mengurangi atau menghentikan perilaku tak efektif. Umpan-balik memberi tahu kita seberapa dekat kita dengan tujuan kita. Demikian pula, memberikan umpan-balik merupakan cara penting memandu tindakan dan keputusan orang lain. Namun, banyak orang merasa tak nyaman memberi dan menerima umpan-balik. Memang benar, kurangnya umpan-balik, bukanlah hal yang aneh.Manajer dan penyelia mungkin memberikan umpan-balik sebagai cara memperkuat kepentingan diri mereka atau memanipulasi cara orang lain memandang mereka. Pemberi umpan-balik, boleh jadi, bersifat destruktif atau menyakitkan, baik disengaja maupun tak disengaja. Selain itu, mungkin bias karena faktor-faktor seperti ras, jenis kelamin, atau usia. Penerima umpan-balik mungkin khawatir akan dievaluasi, bersikap defensif kala menghadapi umpan-balik negatif, dan/atau cenderung mengabaikan informasi yang dapat membantu mereka.Orang sering menggunakan istilah-istilah negatif ketika mereka mengamati dan menggambarkan orang lain, sementara mereka menggunakan istilah-istilah positif untuk melukiskan diri mereka sendiri. Akibatnya, umpan-balik mungkin mengecewakan dan, bisa jadi, merugikan. Bila tak ada umpan-balik sama sekali, mungkin lebih baik dalam hal-hal tertentu. Umpan-balik tak efektif terlepas dari isi dan cara pemberiannya dan terlepas dari sensitivitas penerima terhadap informasi tersebut.Kebanyakan orang menerima lebih banyak umpan-balik daripada yang ingin atau mampu mereka terapkan. Mereka menerima umpan-balik dari beragam sumber, termasuk buku, artikel, teman, rekan-kerja, atasan, pasangan, dan anak-anak. Guna mengatasi semua informasi ini, ada yang tak mau lagi mendengarkan; yang lain menjadi lebih defensif. Ada yang menyalahkan orang lain, dan ada pula yang mengabaikan atau tak memahami umpan-balik yang diberikan.Tren yang sedang berkembang adalah memberikan lebih banyak umpan balik kinerja kepada masyarakat mengenai kekuatan dan kelemahan mereka. Perusahaan melembagakan proses penilaian kinerja dengan lebih banyak umpan balik, termasuk 'upward evaluations', '360-degree' atau four-way feedback, dan peer evaluation systems. Perusahaan-perusahaan ini, berharap dapat melibatkan lebih banyak orang daripada sekedar atasan dalam menilai kinerja seseorang. Ide di balik tren ini ialah, semakin banyak informasi dan feedback yang diterima masyarakat, maka akan semakin efektif.Mendapatkan umpan-balik dari berbagai sumber, merupakan cara efektif mengetahui kekuatan dan kelemahan kinerja kita. Umpan-balik acapkali membantu kita memahami sifat-sifat yang tak kita sadari, namun mungkin terlihat jelas bagi orang lain. Kendati masyarakat menerima lebih banyak umpan-balik, perubahan perilaku mereka tampaknya tak terjadi. Seperti halnya antibiotik yang terlalu sering digunakan, masyarakat dengan cepat mulai membangun kekebalan terhadap umpan-balik dan menolak melakukan perubahan.Selain itu, orang-orang yang menerima banyak umpan-balik, yang bermanfaat di awal karier mereka, kerapkali mendapati, di kemudian hari saat mereka menjadi manajer, umpan-balik tersebut tampak kurang terbuka, jujur, dan lugas, serta lebih bermuatan politis. Agar membantu para manajer memperoleh umpan-balik yang lebih terbuka dan jujur, banyak organisasi, kini meminta para karyawannya, mengisi survei anonim bagi setiap manajer pada beberapa poin penting: mereka yang mengelola manajer, rekan-rekan manajer, dan mereka yang melapor kepada manajer. Namun, meskipun proses umpan-balik telah menjadi cara yang semakin populer guna 'mengirimkan pesan', seringkali, orang-orang yang menerima umpan-balik, masih tak 'memahami pesan' tersebut, dan mereka juga tak berubah sebagai akibat dari proses tersebut.Dan terakhir sebagai penutup, di negeri Konohagakure, para bakal calon presiden diundang untuk saling berbagi feedback dengan para mahasiswa. Salah seorang kandidat memberikan jawaban dengan spontan; yang satunya, memberikan jawaban sesuai strateginya, berdiplomasi; dan yang satunya lagi, ngellesy. Wallahu a'lam."Dari kejauhan cakrawala, sang Fajar menjelang dengan kereta emas berpendarnya, membawa sebuah kebiasaan baru, yang, dengan demikian, mengubah permainan. Wulandari harus pergi, dan ia pamit seraya melantunkan nukilan tembang milik Chicago,Want you to know, I'm a man[Ingin engkau tahu, akulah seseorang]Say the words and I'll say it again[Ucapkan kata-katanya dan 'kan kuucapkan lagi]Want you to know, I'm a man you can depend upon[Ingin engkau tahu, akulah seseorang yang dapat engkau andalkan]That's all I am[Seperti itulah aku]
Wanted to show, I'm a man[Ingin tunjukkan, akulah seseorang]Say the words and I'll tell you again[Ucapkan kata-katanya dan 'kan kusampaikan padamu lagi]Wanted to show, I'm a man you can rely upon[Ingin engkau tahu, akulah seseorang yang dapat engkau harapkan]That's all I am[Seperti itulah aku]
I am a man that you can count on[Akulah seseorang yang dapat engkau perhitungkan]Call out my name and I'll be there *)[Panggil namaku dan aku 'kan ada di sana]
Kutipan & Rujukan:
- Douglas Stone & Sheila Heen, Thanks for the Feedback: The Science and Art of Receiving Feedback Well, 2014, Viking
- Joseph R. Folkman, The Power of Feedback, 2006, John Wiley & Son
- Manuel London, The Power of Feedback: Giving, Seeking, and Using Feedback for Performance Improvement, 2015, Routledge
- Margo DeMello, Feet & Footwear: A Cultural Encyclopedia, 2009, Greenwood Press
*) "Song for You" karya Justin Parker, Michael Milosh & Itai Shapira