Rabu, 30 Agustus 2023

Feedback

“Ketiga kodok kita baru aja pulang dari perjalanan mereka ke gurun Sahara, dan salah satu dari mereka bertanya kepada yang lain, 'Ngapain sih para unta itu, pake sandal?'
Yang lain menjawab, 'Supaya mereka gak kelelep dalam pasir.'
Kodok pertama nanya lagi, 'Trus, napa sih burung unta nancepin k'palanya ke pasir?'
Kodok terakhir menjawab, 'Buat pantengin, unta mana yang lupa make sandalnya,' Wulandari sedang bercerita tentang suatu peristiwa.

Wulandari lalu melanjutkan, “Ketika seorang wanita melemparkan selop ke arah Hillary Clinton, mantan menteri luar negeri AS itu, tak terkena hantamannya. Sang selop melayang di atas kepala Hillary dan mendarat dengan selamat disertai bunyi gedebuk. Awalnya, ia tak menyadari apa yang telah terjadi, 'Is that a bat?' tanyanya. Ia lalu bergurau, ''Is that somebody throwing something at me? Is that part of Cirque de Soleil [sebuah perusahaan hiburan Kanada dan produser sirkus kontemporer terbesar di dunia]?' canda Hillary.
Konon, wanita tersebut memprotes keterlibatan pemerintah AS dalam penambangan dan pemanfaatan logam berat, yang menurutnya beracun dan merugikan pasukan AS di Irak dan Afghanistan.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, sandal atau selop dan sepatu itu, alas-kaki. Kaki dan alas-kaki, tak semata membawa beban tubuh, melainkan pula membawa banyak beban simbolis, sosial dan budaya. Cara kita memandang dan memperlakukan kaki, jenis alas-kaki yang kita kenakan, dan cara kita memandang alas-kaki, memberitahu kita banyak hal tentang masyarakat dan budaya. Kaki, baik telanjang maupun bersepatu, terpaut dengan gagasan kita tentang gender, jenis-kelamin, kelas, dan budaya. Dengan demikian, kita dapat membaca, melalui sejarah alas-kaki dalam suatu masyarakat tertentu, evolusi gagasan masyarakat tersebut tentang lelaki dan perempuan, tentang kelas pekerja dan elit, serta tentang pekerjaan dan waktu luang. Sepatu, selop dan sandal, pada akhirnya, menandakan identitas individu, afiliasi kelompok, dan kedudukan sosial.
Namun, aku takkan membicarakan tentang sepatu atau sandal atau alas-kaki lainnya di sini, tapi aku kepo, apakah tindakan melempar sepatu tersebut, sebuah feedback? Dan mengapa feedback itu penting?

Kata 'feedback'—yang kita terjemahkan sebagai umpan-balik—mudah dikaitkan dengan pengalaman formal, semisal tinjauan kinerja tahunan atau survei umpan-balik pelanggan. Namun sebenarnya, feedback ada di sekitar kita, setiap saat. Kita mendapat feedback dari orang lain, dari lingkungan kita, bahkan dari observasi dan monolog batin kita sendiri. Memberi dan menerima feedback itu, pengalaman dinamis yang membentuk dan dibentuk oleh pertalian kita dan konteks percakapan.
Kita berenang dalam lautan feedback. Banyak sekali feedback yang mengantri. Kita dihadapkan pada permasalahan anak-anak kita yang bersekolah, orang-orang yang kehilangan pekerjaan atau tak dapat memperoleh pekerjaan karena adanya tenaga kerja asing, daftar nama yang mengajukan gugatan cerai, dan masih banyak lagi.
Douglas Stone dan Sheila Heen mengatakan bahwa ketika orang diminta membuat daftar percakapan tersulit mereka, feedback selalu muncul. Tak peduli siapa mereka, di mana mereka berada, atau apa yang mereka lakukan, mereka menggambarkan betapa sulitnya memberikan umpan-balik yang jujur, walaupun mereka tahu, hal itu sangat dibutuhkan. Stone dan Heen kemudian memberi tahu kita bahwa manakala mereka memberikan feedback, mereka menyadari bahwa penerimanya tak begitu baik menerimanya. Tatkala mereka menerima feedback, mereka menyadari bahwa pemberinya, kurang bagus dalam menyajikan feedbacknya.

Lantas, apa sih yang dihitung sebagai feedback atau umpan-balik itu? Umpan-balik mencakup informasi apa pun yang engkau peroleh tentang dirimu. Dalam makna yang luas, umpan-balik merupakan cara kita belajar tentang diri kita sendiri, dari pengalaman kita dan dari orang lain—bagaimana kita belajar dari kehidupan. Ia mencakup tentang tinjauan kinerja tahunanmu, survei iklim perusahaan, ulasan kritikus lokal terhadap restoranmu. Namun umpan-balik mencakup pula bagaimana mata putramu berbinar saat ia melihatmu di antara penonton, dan cara temanmu diam-diam melepas switer yang engkau rajut saat ia mengira engkau tak terlihat. Umpan-balik merupakan pembaruan layanan yang terus-menerus oleh klien lama dan nasehat yang engkau dapatkan dari pak polisi di tepian jalan. Umpan-balik pulalah yang ingin disampaikan oleh lututmu, tentang berkurangnya ketangkasanmu, dan perpaduan antara kasih-sayang dan sindiran yang membingungkan, yang engkau peroleh dari anakmu yang masih berusia lima belas tahun.
Jadi, umpan-balik bukan sekedar apa yang diberi peringkat; ia apa yang mendapat ucapan terimakasih, dikomentari, dan diundang kembali atau dibatalkan. Umpan-balik dapat bersifat formal atau informal, langsung atau implisit; ia bisa spontan atau berbasa-basi, sangat jelas atau sangat halus sehingga engkau tak yakin, hal semacam apa itu.

Sekarang, mari kita tinjau sejarah singkat, pake banget, tentang feedback. Istilah 'feed-back' dimunculkan pada tahun 1860-an selama Revolusi Industri guna menggambarkan cara keluaran energi, momentum, atau sinyal dikembalikan ke titik asalnya dalam sistem mekanis. Pada tahun 1909, peraih Nobel Karl Braun menggunakan frasa tersebut untuk menggambarkan kopling dan loop antar komponen sirkuit elektronik. Satu dekade kemudian, kata majemuk baru 'feedback' digunakan untuk menggambarkan putaran suara yang bersirkulasi dalam sistem amplifikasi—bunyi berdecit tajam yang kita semua tahu dari auditorium sekolah dan rekaman musik Jimi Hendrix.
Beberapa saat seusai Perang Dunia II, istilah ini mulai digunakan dalam hubungan industrial ketika berbicara tentang sumber daya manusia dan manajemen kinerja. Berikan porsi informasi korektif kembali ke titik asal—yaitu engkau, karyawannya. Kencangkan di sini, sambungkan ke sana, dan seperti alat Dr. Seuss, engkau semua siap berkinerja optimal dan berperut buncit dengan pusar berbintang.
Kini, di tempat kerja, feedback memainkan peran penting dalam mengembangkan bakat, meningkatkan moral, menyelaraskan tim, memecahkan masalah, dan memperbesar laba. Akan tetapi, 55% responden dalam sebuah penelitian baru-baru ini, menunjukkan bahwa tinjauan kinerja mereka tidak wajar atau tidak akurat, dan satu dari empat karyawan, amat takut dengan tinjauan kinerja mereka dibandingkan hal lain dalam kehidupan kerjanya.
Berita ini, tak lagi menggembirakan bagi para manajer: Hanya 28% profesional HR yang percaya bahwa manajer mereka fokus pada lebih dari sekedar mengisi formulir. 63% eksekutif yang disurvei mengatakan bahwa tantangan terbesar mereka terhadap manajemen kinerja yang efektif ialah manajer mereka tak punya keberanian dan kemampuan mendiskusikan feedback yang sulit.
Ada yang tak berfungsi. Maka, organisasi menghabiskan miliaran dolar setiap tahun untuk melatih supervisor, manajer, dan pemimpin tentang cara memberikan feedback secara lebih efektif. Manakala feedback mengalami penampikan atau ditolak mentah-mentah, pemberi feedback didorong agar terus berupaya. Mereka diajari cara agar berusaha lebih keras. Hal ini dapat membantu. Namun jika penerimanya tak mau atau tak mampu menerima feedback tersebut, maka yang dapat dilakukan hanyalah sebatas kegigihan atau bahkan penyampaian yang terampil saja.

Sebenarnya, umpan-balik bisa sangat berdaya-guna. Mereka yang mencari dan menerimanya, memposisikan dirinya lebih berkompeten dan lebih bermampuan. Mereka yang menolak, menafikan, atau menghindarinya, akan terjerumus ke dalam keterbatasan wawasan pribadi mereka sendiri—yang mungkin benar atau salah, namun mereka takkan pernah tahu.
Mereka tak mampu melihat kekuatan dalam umpan-balik. Tanpa umpan-balik, kita menjadi buta. Orang lain melihat hal-hal yang tak dapat kita lihat. Dalam penilaian kinerja yang dirancang untuk menakar efektivitas individu, ditemukan bahwa pihak yang paling tidak efektif dalam memprediksi kekuatan dan kelemahan mereka secara akurat, adalah para individu itu sendiri.
Kebanyakan orang, tak merasa mereka kekurangan feedback dari orang lain mengenai bagaimana mereka dapat meningkatkan kinerjanya di tempat kerja, bagaimana mereka dapat menjadi orangtua yang lebih baik, bagaimana mereka dapat menjadi pasangan atau teman yang lebih tenggang-rasa dan penuh perhatian, atau sekadar bagaimana mereka dapat menjadi orang yang lebih baik. Bagi banyak orang, reaksi umum terhadap feedback baru ialah dengan berkata, 'So whaat, lagian, gua kan sibuk baangeets.'

Umpan-balik yang bermakna, sangat penting bagi apa yang kita lakukan dalam pekerjaan dan aspek lain kehidupan kita. Umpan-balik memandu, memotivasi, dan memperkuat perilaku efektif serta mengurangi atau menghentikan perilaku tak efektif. Umpan-balik memberi tahu kita seberapa dekat kita dengan tujuan kita. Demikian pula, memberikan umpan-balik merupakan cara penting memandu tindakan dan keputusan orang lain. Namun, banyak orang merasa tak nyaman memberi dan menerima umpan-balik. Memang benar, kurangnya umpan-balik, bukanlah hal yang aneh.
Manajer dan penyelia mungkin memberikan umpan-balik sebagai cara memperkuat kepentingan diri mereka atau memanipulasi cara orang lain memandang mereka. Pemberi umpan-balik, boleh jadi, bersifat destruktif atau menyakitkan, baik disengaja maupun tak disengaja. Selain itu, mungkin bias karena faktor-faktor seperti ras, jenis kelamin, atau usia. Penerima umpan-balik mungkin khawatir akan dievaluasi, bersikap defensif kala menghadapi umpan-balik negatif, dan/atau cenderung mengabaikan informasi yang dapat membantu mereka.
Orang sering menggunakan istilah-istilah negatif ketika mereka mengamati dan menggambarkan orang lain, sementara mereka menggunakan istilah-istilah positif untuk melukiskan diri mereka sendiri. Akibatnya, umpan-balik mungkin mengecewakan dan, bisa jadi, merugikan. Bila tak ada umpan-balik sama sekali, mungkin lebih baik dalam hal-hal tertentu. Umpan-balik tak efektif terlepas dari isi dan cara pemberiannya dan terlepas dari sensitivitas penerima terhadap informasi tersebut.

Kebanyakan orang menerima lebih banyak umpan-balik daripada yang ingin atau mampu mereka terapkan. Mereka menerima umpan-balik dari beragam sumber, termasuk buku, artikel, teman, rekan-kerja, atasan, pasangan, dan anak-anak. Guna mengatasi semua informasi ini, ada yang tak mau lagi mendengarkan; yang lain menjadi lebih defensif. Ada yang menyalahkan orang lain, dan ada pula yang mengabaikan atau tak memahami umpan-balik yang diberikan.
Tren yang sedang berkembang adalah memberikan lebih banyak umpan balik kinerja kepada masyarakat mengenai kekuatan dan kelemahan mereka. Perusahaan melembagakan proses penilaian kinerja dengan lebih banyak umpan balik, termasuk 'upward evaluations', '360-degree' atau four-way feedback, dan peer evaluation systems. Perusahaan-perusahaan ini, berharap dapat melibatkan lebih banyak orang daripada sekedar atasan dalam menilai kinerja seseorang. Ide di balik tren ini ialah, semakin banyak informasi dan feedback yang diterima masyarakat, maka akan semakin efektif.

Mendapatkan umpan-balik dari berbagai sumber, merupakan cara efektif mengetahui kekuatan dan kelemahan kinerja kita. Umpan-balik acapkali membantu kita memahami sifat-sifat yang tak kita sadari, namun mungkin terlihat jelas bagi orang lain. Kendati masyarakat menerima lebih banyak umpan-balik, perubahan perilaku mereka tampaknya tak terjadi. Seperti halnya antibiotik yang terlalu sering digunakan, masyarakat dengan cepat mulai membangun kekebalan terhadap umpan-balik dan menolak melakukan perubahan.
Selain itu, orang-orang yang menerima banyak umpan-balik, yang bermanfaat di awal karier mereka, kerapkali mendapati, di kemudian hari saat mereka menjadi manajer, umpan-balik tersebut tampak kurang terbuka, jujur, dan lugas, serta lebih bermuatan politis. Agar membantu para manajer memperoleh umpan-balik yang lebih terbuka dan jujur, banyak organisasi, kini meminta para karyawannya, mengisi survei anonim bagi setiap manajer pada beberapa poin penting: mereka yang mengelola manajer, rekan-rekan manajer, dan mereka yang melapor kepada manajer. Namun, meskipun proses umpan-balik telah menjadi cara yang semakin populer guna 'mengirimkan pesan', seringkali, orang-orang yang menerima umpan-balik, masih tak 'memahami pesan' tersebut, dan mereka juga tak berubah sebagai akibat dari proses tersebut.

Dan terakhir sebagai penutup, di negeri Konohagakure, para bakal calon presiden diundang untuk saling berbagi feedback dengan para mahasiswa. Salah seorang kandidat memberikan jawaban dengan spontan; yang satunya, memberikan jawaban sesuai strateginya, berdiplomasi; dan yang satunya lagi, ngellesy. Wallahu a'lam."

Dari kejauhan cakrawala, sang Fajar menjelang dengan kereta emas berpendarnya, membawa sebuah kebiasaan baru, yang, dengan demikian, mengubah permainan. Wulandari harus pergi, dan ia pamit seraya melantunkan nukilan tembang milik Chicago,

Want you to know, I'm a man
[Ingin engkau tahu, akulah seseorang]
Say the words and I'll say it again
[Ucapkan kata-katanya dan 'kan kuucapkan lagi]
Want you to know, I'm a man you can depend upon
[Ingin engkau tahu, akulah seseorang yang dapat engkau andalkan]
That's all I am
[Seperti itulah aku] 
Wanted to show, I'm a man
[Ingin tunjukkan, akulah seseorang]
Say the words and I'll tell you again
[Ucapkan kata-katanya dan 'kan kusampaikan padamu lagi]
Wanted to show, I'm a man you can rely upon
[Ingin engkau tahu, akulah seseorang yang dapat engkau harapkan]
That's all I am
[Seperti itulah aku]
I am a man that you can count on
[Akulah seseorang yang dapat engkau perhitungkan]
Call out my name and I'll be there *)
[Panggil namaku dan aku 'kan ada di sana]

Kutipan & Rujukan:
- Douglas Stone & Sheila Heen, Thanks for the Feedback: The Science and Art of Receiving Feedback Well, 2014, Viking
- Joseph R. Folkman, The Power of Feedback, 2006, John Wiley & Son
- Manuel London, The Power of Feedback: Giving, Seeking, and Using Feedback for Performance Improvement, 2015, Routledge
- Margo DeMello, Feet & Footwear: A Cultural Encyclopedia, 2009, Greenwood Press
*) "Song for You" karya Justin Parker, Michael Milosh & Itai Shapira

Kamis, 24 Agustus 2023

Tiga Ekor Kodok (3)

"Ketiga kodok santuy kita melanjutkan percakapan mereka, kali ini tentang Light Rail Transit (LRT). Salah seekor dari mereka berkata, 'Seorang lelaki berlari ke sebuah rumah petani dan menggedor pintu. Saat sang petani membuka pintu, sang lelaki bertanya, 'Ada nggak sih stasiun LRT di mari?'
Sang petani menjawab, 'Adah, tapi lantaran kagak ada akses ke sononya, ente mesti motong jalan lewat kebon ane.'
Sang lelaki bertanya, 'Trus, jam berapa LRT berikutnya ke kota?'
Sang petani menginfokan, 'Ente mestinya tiba di setatsiun tepat waktu jam 5:20. Tapi kalo banteng ane, nyang lagi ngerumput di sono noh, ngeliyat ente, boleh jadi, ente bisa nyampe di setatsiun, jam 5:00.'"

Wulandari kemudian meneruskan, “Mengenali bahwa kita punya martabat dan martabat selalu bersama kita, memungkinkan kita jadi lebih peka terhadap orang lain, mengambil risiko, dan mengucapkan kebenaran, kata Donna Hicks. Kepekaanlah tempatnya kebenaran berada. Semakin kita bisa bersikap jujur dan benar, semakin sedikit kita melanggar martabat diri-sendiri dan orang lain, dan semakin baik hubungan kita berkembang dalam perilaku menyelamatkan muka, yang mengacaukan saling keterhubungan.
Tak menyadari kekuatan yang melekat pada martabat, menimbulkan pula masalah bagi kepemimpinan. Adanya krisis kepemimpinan lantaran masyarakat mencari pemimpin berikutnya di luar diri mereka. Jika kita ingin menganggap diri kita sebagai 'mata-air kekuatan', pertama-tama kita perlu mengetahui, secara intim dan yakin, bahwa kekuatan itu, ada dalam diri kita. Martabat merupakan sumber kekuatan yang tak ternilai—memungkinkan kita mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dengan orang lain dan menciptakan perubahan positif dalam hubungan kita.
Mengelola kekuatan kita dengan bijak dan jujur, semata bisa terjadi jika kita menyadari nilai dan kepekaan diri kita sendiri dan orang lain, sehingga kita tak menyalahgunakannya. Mendidik diri kita sendiri tentang martabat, merupakan langkah pertama. Mengetahui dan menerima apa yang ada dalam diri kita, akan membebaskan kita dari banyak penderitaan yang tak perlu dan memungkinkan kita menjalani hidup seutuhnya.

Belajar tentang martabat melibatkan pemahaman terhadap keadaan dunia batin kita yang kompleks dan seringkali bertentangan, serta tantangan pengalaman emosional yang kita hadapi sehari-hari. Ada pelajaran yang bisa dipetik, yang dapat membantu kita menjadi manusia, pasangan, orangtua, dan pemimpin yang lebih baik. Pelajaran ini dapat memampukan kita agar berkembang menjadi versi terbaik diri kita.
Transformasi yang terjadi dengan kesadaran akan martabat membantu kita memperoleh perspektif—hal ini memungkinkan kita agar mengambil langkah menjauh dari sudut pandang kita yang biasa, sehingga kita dapat lebih memahami mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan, mengapa kita merasakan apa yang kita rasakan, dan mengapa kita berpikir seperti yang kita pikirkan. Hal ini, lebih dari sekedar belajar—ia tentang mengembangkan diri kita dengan cara yang membuat kita lebih bijak ketimbang lebih pintar. Kesadaran yang dibawanya, memungkinkan kita melihat titik buta kita dan cara-cara yang menghalangi kita guna menjalani kehidupan secara maksimal—mengekspresikan seluruh bakat kita, menjalin hubungan mendalam dengan orang lain, dan turut-serta dalam kehidupan yang bermakna dan bertujuan.

Hicks lalu menyarankan sepuluh cara untuk menghindari pelanggaran martabat kita sendiri dan martabat orang lain. Pertama, jangan biarkan perilaku buruk orang lain menentukan perilakumu sendiri. Menahan diri merupakan bagian terbaik dari martabat. Jangan suguhkan balas-dendam ketika seseorang telah merugikanmu. Jangan lakukan terhadap orang lain seperti yang mereka lakukan terhadapmu. Kedua, jangan berbohong, menutupi-nutupi, atau menipu diri sendiri—katakan yang sebenarnya tentang apa yang telah engkau lakukan. Ketiga, saat engkau telah melanggar harkat dan martabat orang lain, akui kesalahanmu dan minta maaf karena telah menyakitinya. Keempat, waspadalah terhadap keinginan untuk mendapatkan pengakuan eksternal atas martabat seseorang dalam bentuk persetujuan dan pujian. Jika kita bergantung semata pada orang lain untuk membuktikan nilai-nilai kita, kita sedang mencari martabat ecek-ecek. Martabat kita berasal dari dalam diri kita. Kelima, jangan biarkan kebutuhanmu akan koneksi mengorbankan martabatmu. Bila kita tetap berada dalam suatu hubungan dimana martabat kita terus-menerus dilanggar, maka kebutuhan kita akan hubungan, telah melebihi kebutuhan kita untuk menjaga martabat kita sendiri. Keenam, jangan biarkan seseorang melanggar martabatmu tanpa mengatakan sesuatu. Berdirilah untuk dirimu sendiri. Jangan menghindari konfrontasi. Pelanggaran merupakan sinyal bahwa ada sesuatu dalam pertalian yang perlu diubah. Ketujuh, jangan berasumsi bahwa engkaulah korban yang tak bersalah dalam hubungan yang bermasalah. Buka dirimu terhadap gagasan bahwa engkau mungkin berkontribusi terhadap masalah tersebut. Mungkin engkau tak menyadarinya. Kita hendaknya bisa melihat diri kita dari sudut pandang luar sehingga kita bisa melihat diri kita sendiri sebagaimana orang lain melihat kita. Kedelapan, jangan menolak masukan dari orang lain. Seringkali kita tak mengetahui apa yang tak kita ketahui. Kita semua punya titik buta (cara-cara tak bermartabat yang secara tak sadar kita lakukan). Kita perlu mengatasi naluri melindungi diri yang membuat kita menolak kritik yang membangun dan memandang masukan sebagai peluang pertumbuhan. Kesembilan, jangan menyalahkan dan mempermalukan orang lain demi mengalihkan rasa bersalah. Kendalikan keinginan membela diri dengan berupaya membuat orang lain terlihat buruk. Kesepuluh, waspadai kecenderungan berhubungan dengan orang lain melalui gosip tentang orang lain. Bersikap kritis dan menghakimi orang lain ketika mereka tak ada, memang terasa seperti pengalaman yang mengikat dan membuat percakapan menjadi menarik, namun hal ini berbahaya dan tak bermartabat. Jika engkau hendak menciptakan keintiman dengan orang lain, ungkapkan kebenaran tentang dirimu—tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia batinmu—dan ajaklah orang lain melakukan hal yang sama.

Kita semua ingin dihormati, namun rasa-hormat seyogyanya diperoleh. Ia tak datang begitu saja atau secara otomatis, semisal karena jabatan atau kebangsawanan. Banyak cara sederhana untuk meraih rasa-hormat, antara lain, menjaga integritas. Inilah landasan guna mendapatkan rasa-hormat; kita tak menghormati siapa pun yang berjanji, kecuali ia yang menepatinya; memberikan rasa-hormat dengan cara menghormati orang-orang di sekitarmu; semakin engkau fokus memberi nilai tambah bagi orang lain, semakin banyak rasa-hormat yang engkau raup, berikan rasa-hormat untuk memperoleh rasa-hormat. Para pemimpin yang dihormati ialah para pemimpin yang dipercaya dan dikagumi orang-orang karena mereka berintegritas, ia peduli terhadap orang-orang yang dipimpinnya, dan mereka menyelesaikan hal-hal hebat secara konsisten.
Sama seperti rasa-hormat, kepercayaan juga hendaklah diperoleh. Tanpa kesadaran akan martabat, kemungkinan besar kejengkelan dan ketidakpercayaan, kelak akan muncul. Kepercayaan membutuhkan rasa-aman, dan satu-satunya cara yang puguh guna memastikan bahwa orang merasa aman ialah memperlakukannya dengan bermartabat. Bagi seorang pemimpin, membangun kepercayaan dimulai dengan memunculkan lingkungan yang aman dimana orang-orang merasa nyaman mengekspresikan diri dan mengambil risiko. Maknanya, transparan dan autentik.
Mungkin yang paling penting, di tangan pemimpin yang terpercaya, orang-orang yang dipimpinnya akan lebih nyaman dengan perubahan dan lebih bersedia menerima visi baru. Manakala mereka yang engkau pimpin tak mempercayaimu, engkau tak mendapatkan upaya terbaik mereka. Lalu engkau akan mendapati dirimu tak mampu menginspirasi, mempengaruhi, dan menciptakan perubahan nyata—pemimpin yang tak efektif.

Penelitian menunjukkan bahwa ketika orang-orang saling percaya di tempat kerjanya, lantaran hubungan mereka kuat, mereka akan lebih berkomitmen terhadap organisasi dan lebih bersedia memberikan kontribusi positif. Penelitian lain menunjukkan bahwa kepercayaan antarpribadi, diperlukan demi berfungsinya organisasi dan berperan dalam menentukan apakah mereka mencapai tujuan dan sasarannya. Kepercayaan membantu pula membangun komitmen para pekerja dan meningkatkan reputasi organisasi, serta kinerja organisasi.
Dalam praktik kepemimpinan yang baik, kepercayaan merupakan hal yang penting. Kita semua tahu secara intuitif bahwa kepercayaan diperlukan untuk hubungan yang otentik, namun kita juga tahu, betapa rapuhnya kepercayaan itu dan betapa mudahnya ia dirontokkan.

Hicks menyajikan kita sebuah kisah, konflik antara manajemen perusahaan dan para pekerjanya. Lima tahun sebelumnya, sebuah perusahaan mengalami masa-masa sulit dan hampir bangkrut. Semua orang tahu bahwa perusahaan sedang mengalami keadaan yang rapuh, dan para pekerja tak hanya mengkhawatirkan kelangsungan hidup perusahaan, tapi juga pekerjaan mereka. Banyak pekerja yang telah bekerja bagi organisasi tersebut selama beberapa dekade dan merasakan loyalitas yang mengagumkan terhadap organisasi. Karena putus asa, tim manajemen meminta para pekerjanya membantu mereka menghindari kebangkrutan dengan melakukan pemotongan upah. Mereka meminta semua orang agar 'bersatu dan menang bersama.' Seluruhnya sepakat, dan perusahaan berjalan tertatih-tatih selama lima tahun ke depan, menghindari skenario terburuk.
Tak terduga, kinerja perusahaan kembali membaik, dan jelas bahwa strategi 'bersatu dan menang bersama,' berjaya. Namun, di sinilah problem dimulai. Para pekerja, sepenuhnya berharap bahwa ketika perusahaan mulai kembali berjalan dengan baik, upah mereka akan dipulihkan. Hal ini tak terjadi. Terlebih lagi, tim manajemen memberikan bonus besar buat diri mereka sendiri, dengan dalih bahwa itu langkah yang legal dan ada dalam kontrak. Dari sudut pandang para eksekutif, mereka tak melakukan kesalahan apa pun.
Protes keras dari para pekerja, seketika terasa. Mereka merasa dikhianati. Apa gunanya 'bersatu dan menang bersama'? Mereka telah memberikan manfaat dari keraguan tersebut kepada para pemimpin, dengan keyakinan bahwa jika perusahaan mulai melakukan hal yang lebih baik, mereka akan melakukan hal yang benar. Kepercayaan yang dirasakan para pekerja terhadap tim manajemen selama krisis, sirna begitu saja. Para pekerja merasa dieksploitasi dan dilanggar dalam segala hal, sehingga terputuslah hubungan dengan tim manajemen.
Selain pengkhianatan terhadap kepercayaan, para pekerja merasa, martabatnya telah dilanggar dalam banyak hal. Mereka diperlakukan tidak adil; rasanya seperti sebuah kezhaliman. Mereka merasa gak direken—seolah-olah identitas mereka tak penting. Mereka tak dianggap atau diakui atas kontribusi yang telah mereka berikan demi membantu perusahaan bertahan hidup. Mereka tak lagi merasa aman dalam hubungannya dengan manajemen. 'Gak ada yang tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap kami,' salah satu kelompok pekerja melaporkan. Mereka merasa dikucilkan dari rejeki nomplok yang diperoleh perusahaan, namun yang paling meresahkan para pekerja adalah, pihak manajemen tak mau membicarakan bonus, apalagi dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka. Seorang pekerja menyimpulkannya sebagai berikut, 'Manajemen selalu ngomong kalo bonus buat mereka itu, sah-sah aja—soalnya ada dalam kontrak mereka. Tapi kan biarpun sah, itu bukan berarti benner doong.'
Engkau dapat menyaksikan bagaimana hampir semua elemen martabat dikompromikan dalam satu keputusan yang diambil oleh tim manajemen. Diamnya para tim manajemen dan keengganan mereka berdialog, justru memperburuk keadaan. Seberapa besar kemungkinan kepercayaan dapat dipulihkan? Sayangnya, para eksekutif tak bersedia mengambil tanggungjawab apa pun atas keputusan mereka, sehingga hubungan tersebut tak mungkin diperbaiki. Perusahaan tak pernah pulih dari keretakan dengan para pekerjanya.

Masyarakat berharap agar para pemimpin dan para 'manajernya', punya standar sikap moral. Agar menjaga hubungan baik dengan mereka yang dipimpinnya, pemimpin tak perlu semata pandai secara teknis dalam melakukan apa yang mereka lakukan, namun pula, menunjukkan komitmen untuk melakukan apa yang benar bagi orang lain. Orang bilang, bahwa kepemimpinan mempunyai dimensi etika yang berkaitan dengan memperlakukan orang lain dengan baik—demi menghormati martabat mereka. Dimensi etis ini, hadir manakala hubungan antara para pemimpin dan mereka yang dipimpin, amat kuat, dan kepercayaan berada pada titik tertinggi. Sebaliknya, kepercayaan cepat sirna tatkala para pemimpin menyimpang dari tindakan yang benar.
Reaksi manusia terhadap cederanya kepercayaan, berlangsung cepat dan otomatis. Bagian inilah warisan dari evolusi kita, yang diturunkan kepada kita seperti gen dominan. Kita dengan cepat mengecualikan orang lain dari lingkaran moral kita, kala kita merasa dikhianati, terutama oleh orang-orang yang kita merasa terhubung dan berempati. Seorang ahli saraf menjelaskan bahwa empati dan rasa-muak, sebagian dimediasi oleh wilayah otak yang sama. Maka, masuk-akal bila kegagalan dalam tingkat empati yang tinggi, dapat menimbulkan reaksi rasa-muak yang sangat kuat. Dalam cerita tersebut, binasanyanya kepercayaan dan empati, hanyalah satu pelanggaran martabat, dan dapat dikatakan bahwa ketika pelanggaran itu terjadi, para pekerja akan merasa muak.

Paul Zak, telah mempelajari masalah tentang kepercayaan dan banyak menulis tentang perannya dalam menciptakan lingkungan kerja yang produktif. Dalam artikel yang ditulisnya untuk Harvard Business Review, ia melaporkan bahwa kepercayaan itu, baik untuk bisnis. Menciptakan budaya kepercayaan dalam organisasi, akan meningkatkan produktivitas, kerjasama, energi diskresi, dan retensi para pekerja. Orang-orang tercatat merasa lebih bahagia dan didukung dalam lingkungan dimana kinerja yang lebih kuat dapat dipupuk. Salah satu temuan penelitiannya adalah, ketika orang merasa percaya pada seseorang, maka akan dihasilkan zat kimia otak bernama oksitosin. Bahan kimia ini, menandakan bahwa seseorang aman untuk didekati. Penelitiannya menunjukkan bahwa, semakin banyak orang mempercayai orang lain, semakin banyak otak mereka memproduksi oksitosin. Dalam serangkaian penelitian lainnya, ia memberikan oksitosin (melalui semprotan hidung) pada subjek dan menemukan bahwa mereka yang diberi semprotan dua kali, lebih mungkin bersikap percaya terhadap orang asing dibandingkan mereka yang tak menerimanya. Ia menemukan pula bahwa stres, merugikan kepercayaan orang lain. Terakhir, ia melaporkan bahwa oksitosin meningkatkan empati.

Daniel Goleman menjelaskan bahwa salah satu pengalaman manusia yang paling memuaskan adalah 'pengalaman mengalami', atau yang disebutnya dengan saling berempati.
Ia juga memberi tahu kita tentang pengalaman bersama sebagai manusia—bahwa kita terhubung dengan orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa, karena kita terprogram untuk terhubung, kita cenderung pula membaca niat orang lain dan berempati. Goleman mendefinisikan empati dalam tiga cara: mengetahui (memahami secara kognitif) apa yang dirasakan orang lain; merasakan (mengalami) apa yang dirasakan orang lain; dan merespons dengan penuh kasih (bertindak) terhadap kesusahan orang lain. Ia menyimpulkannya begini, 'Aku memperhatikanmu, aku merasa bersamamu, jadi aku bertindak untuk membantumu.'
Hal yang mengagumkan tentang empati ialah, saat kita berempati dengan orang lain, otak mengaktifkan jalur saraf yang sama dalam diri kita masing-masing. Goleman menjelaskan, 'Dengan kata lain, agar memahami apa yang dialami orang lain—berempati—kita menggunakan jaringan otak yang sama, yang aktif selama pengalaman kita sendiri. Neuron-neuron cermin kita, selaras, memungkinkan kita berkomunikasi tanpa kata-kata. Apa yang ada dalam benaknya, memenuhi benak kita.'
Ia menegaskan bahwa tanpa empati, pertalian akan rusak. Empati menghambat kelaliman terhadap orang lain. Ia berkekuatan membungkam amigdala, bagian otak yang dapat memicu perilaku agresif. Tanpa kemampuan kita berempati, pengalaman hubungan antarmanusia takkan menjadi sumber alami kenyamanan dan keamanan, namun berpotensi menjadi sumber ancaman dan bahaya. Walau kita semua dilahirkan untuk mencintai dan berempati—kita berkecenderungan biologis yang tertanam dalam otak kita—tiada jaminan bahwa kita akan mengembangkannya. Bayi membutuhkan pengalaman cinta dan perhatian agar mengaktifkan kapasitas empati, dan kemudian mereka—dan kita—membutuhkannya sepanjang sisa hidup. Empati membutuhkan interaksi penuh perhatian dan kasih-sayang seumur hidup dengan orang lain. Maka, di sini kita dapat menemukan hubungan antara empati dan martabat, dengan kuatnya demonstrasi cinta dan kepedulian, itulah saling menghormati martabat.

Siapa pun yang berupaya menjalankan kepemimpinan, sebaiknya memasukkan pengetahuannya tentang apa yang diperlukan untuk menghormati martabat. Kendati kita semua dilahirkan dengan bermartabat, kita tak dilahirkan dengan mengetahui bagaimana bertindak sesuai dengan kebenaran ini.
Kita telah berkembang dengan kebutuhan yang kuat, bertaut dengan orang lain dan kerinduan kuat yang menyertainya, agar disukai dan dicintai. Pengaturan bawaan otak kita, menginginkan kita turut serta memikirkan orang lain.
Aspek mendasar dari apa makna menjadi manusia, sangatlah penting. Ketidakstabilan emosi yang terkait dengan penghormatan atau pelanggaran terhadap martabat kita, tak dapat dilebih-lebihkan. Di kala orang merasa bahwa nilai-nilai dan kelayakan mereka diakui dalam keterhubungan mereka, mereka merasakan kualitas hidup mereka, yang memungkinkannya tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, jika martabat mereka sering dicederai, maka partalian akan dialami sebagai sumber rasa sakit dan penderitaan. Baik atau buruk, kita bakalan menghabiskan seluruh hidup kita, termotivasi oleh hubungan sosial. Para pemimpin yang memahami kekuatan memperlakukan orang dengan baik, akan melihat masyarakatnya berkembang, dan mereka akan berkembang bersamanya. Sebab manakala kita menghormati martabat orang lain, kita memperkuat martabat kita sendiri. Wallahu a'lam."

Saatnya berangkat, Wulandari bergerak pergi sambil melagukan tembang jenakanya Benyamin Sueb,

Sang bango, eh sang bangau, kenape elu, elu, delak-delok?
Sang bangau, ngau, ngau, eh sang bango, kenape elu, elu, delak-delok?
Mangkenye aye, aye, delak-delok, sang kodok, eh, kerak-kerok
Mangkenye aye, aye, delak-delok, sang kodok, eh, kerak-kerok

Sang kodok, eh, eh, eh, sang kodok, kenape elu, elu, kerak-kerok?
Sang kodok, eh, eh, eh, sang kodok, kenape elu, elu, kerak-kerok?
Mangkenye aye, aye, kerak-kerok, orang-orang, eh, pade ngorok
Mangkenye aye, aye, kerak-kerok, orang-orang, eh, pade ngorok

Bang orang, eh, eh, eh, bang orang, kenape elu, elu, pade ngorok?
Bang orang, eh, eh, eh bang orang, kenape elu, elu, pade ngorok?
Mangkenye aye, aye, pade ngorok, sang kodok kerak-kerok
Mangkenye aye, aye, pade ngorok, sang kodok, eh kerak-kerok

Sang kodok, eh, eh, eh, sang kodok, kenape elu, elu, kerak-kerok?
Sang kodok, eh, eh, eh, sang kodok, kenape elu, elu, kerak-kerok?
Mangkenye aye, aye, kerak-kerok, bikin musik, lagunye house rock
Mangkenye aye, aye, kerak-kerok, bikin musik, lagunye house rock **)

Kutipan & Rujukan:
- Adrienne Stone & Frederick Schauer (ed.), The Oxford Hanbook of Freedom of Speech, 2021, Oxford University Press
- Donna Hicks, Ph. D, Dignity: It's Essential Role in Resolving Conflict, 2021, Yale University Press
- Donna Hicks, Ph. D, Leading with Dignity, 2018, Yale University Press
- George Kateb, Human Dignity, 2011, Harvard University Press
- Robin S. Dillon, Dignity, Character and Self-Respect, 1995, Routledge
- B. F. Skinner, Beyond Freedom and Dignity, 1976, Penguin
*) "Jangkrik Genggong" karya Andjar Any
**) "Sang Bango" karya Benyamin Sueb

[Sesi 2]
[Sesi 1]

Jumat, 04 Agustus 2023

Tiga Ekor Kodok (2)

"Rupanya, tak cuma tiga ekor kodok yang ada di dalam kolam sumpek itu. Terdapat banyak bani precil di sana, dan mereka saling bertumpuk-tumpuk mendengarkan tiga ekor kodok santuy kita. Tiba-tiba, dari balik pot yang ditanami kaktus, muncul salah seekor turunan precil kuwi, ikutan nimbrung, 'Gue juga tahu kok soal kemerdekaan ngomong. Gini c'ritanya, 'Seorang reporter tipi, mewawancarai seorang pemimpin autokrat dan bertanya, 'Bagaimana dengan kemerdekaan berbicara di negara ini?'
'Oh baik-baik saja,' jawab sang autokrat, 'kemerdekaan berbicara, sedari dulu dijamin di negeri ini. Hanya saja, kemerdekaan setelah berbicara, yang tak dapat kami jamin,' pungkas sang precil dan berlalu.
Salah seekor kodok kita berkata kepada dua rekannya, 'Dulu, selagi gue masih belajar coro londo, guru londo gue ngomong gini, 'Do you know why I hate cactuses?'
'No, I don't!' kataku.
Trus doi jawab sendiri, 'Because they are all pricks.' [sang kodok terinspirasi oleh omongan John F. Kennedy dan David Cameron, kali yaq?]"

"Ngapain sih obrolin Martabat Manusia? Sejak kapan gagasan ini muncul?" Wulandari melantaskan. "Gagasan Martabat Manusia telah menjadi hal yang lumrah, terutama sejak akhir Perang Dunia II, kata George Kateb. Atas nama martabat manusia, yang ternyata, dalam penggunaan paling umumnya, bermakna setaranya martabat setiap orang, piagam hak asasi manusia diundangkan, dan himbauan tentangnya, dibuat manakala orang di seluruh dunia, berjuang mendapatkan hak yang dituntutnya. Martabat manusia, dengan demikian, dipandang sebagai dasar hak asasi manusia. Tapi tak banyak yang dikatakan tentang apa itu martabat manusia dan mengapa itu penting bagi tuntutan hak-hak manusia. Tampaknya, gagasan tentang martabat manusia, bersifat aksiomatis, dan karenanya, tak memerlukan pembelaan teoretis. Yang dibutuhkan hanyalah, diterjemahkan ke dalam hak-hak yang telah mapan, yang kemudian dipertahankan dalam menghadapi upaya untuk menekan dan menafikan apa yang menjadi hak manusia.
Ide inti konsepsi Human Dignity atau tingkat harkat kemanusiaan itu [kita terjemahkan sebagai Martabat Manusia], bahwa di bumi, umat manusia merupakan jenis makhluk termulia—atau [bila ingin merujuk pada teori sekulernya Darwin] yang kita sebut spesies, karena kita telah belajar melihat manusia sebagai sejenis spesies dalam dunia perhewanan, yang terdiri dari banyak spesies lain bersama dengan jenis kita sendiri—dan bahwa, setiap anggotanya, berhak diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan nilai spesies teratas.

Menurut Aurel Kolnai, Dignity atau Martabat, jelas tak boleh diidentikkan dengan Moralitas. Sebagian besar, ia masuk ke dalam kategori estetika. Variasi tak terbatas dari obyek-obyek penilaian moral, yang jelas-jelas tidak dapat diterima, tetap dapat menunjukkan martabat. Sebaliknya, juga tak mungkin menafsirkan moralitas sebagai sub-kelas martabat. Kebajikan moral sama pentingnya dengan kebajikan dan ketekunan, atau beberapa bentuk pengembangan-diri, secara paradigina, tak relevan dengan martabat.
Martabat itu, kualitas; konsep martabat bersifat deskriptif, meskipun juga mengandung catatan evaluatif yang esensial dan tak terpisahkan. Hak bukanlah kualitas; konsepnya tak deskriptif, [bersifat menggambarkan apa adanya] melainkan preskriptif [bergantung pada atau menurut ketentuan resmi yang berlaku]. Bahwa hak-hak seyogyanya dihormati, merupakan tautologi [pengulangan gagasan] persis seperti 'Kewajiban harus dipatuhi': semata terdiri dari fakta bahwa harus dihormati.
Martabat tak 'punya unsur utama' dalam makna harus dihargai, dipuji, dikagumi, atau dipuja. Tak menghormati hak, merupakan pelanggaran; ketidakpedulian terhadap martabat hanyalah cacat, semisal kurangnya tanggapan yang memadai terhadap suatu nilai.

Ide bahwa umat manusia itu istimewa, muncul ketika spesies diperbandingkan dari sudut pandang eksternal dan deindividualisasi (kendati tentu saja hanya manusia), kata Kateb. Manakala kita mengacu pada martabat spesies manusia, kita dapat berbicara tentang status ras manusia yang dibedakan dari status individu. Dibandingkan dengan spesies lain, manusia berperawakan yang tak tertandingi.
Latarbelakang mengapa mempercakapkan tentang martabat individu ialah sama dengan dalil membicarakan tentang martabat spesies: sifat dan atribut, karakteristik, dan kapasitas unik dan non-alami yang sama.
Catatan sejarah sepertinya menunjukkan bahwa pemikiran tentang kemanusiaan dalam hubungannya dengan kategori makhluk lain, muncul jauh sebelum memikirkan individu sebagai individu. Penegasan perawakan manusia, dalam satu rangkaian istilah atau lainnya—kata perawakan jarang muncul—didahului perhatian politik dan sosial bagi setiap orang secara setara. Secara konseptual, perawakan manusia mendahului status individu; keagungan kemanusiaan mendahului persamaan individu. Dimulai dengan Homer, sastra Barat berkutat pada individu, tetapi mereka kebanyakan dari peringkat atas dan mereka cenderung penting, kecuali Socrates, bukan sebagai individu, melainkan sebagai anggota kelas, atau seperti yang ditentukan oleh peran atau fungsi. Yang penting adalah bahwa sedikit sekali orang-orang top, menunjukkan kemampuan terbaik umat manusia.

Konsepsi status individu yang setara semata bagian dari gagasan tentang martabat manusia; bagian lainnya adalah perawakan spesies manusia. Terlebih lagi, status hanyalah bagian dari pembelaan teori hak asasi manusia; bagian lainnya adalah moralitas keadilan publik.
Martabat manusia merupakan nilai eksistensial; nilai atau kelayakan dikaitkan dengan identitas manusia atau spesies. Gagasan martabat manusia menuntut pengakuan identitas yang tepat dari individu atau spesies; mengenali seperti apa seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dan seperti apa spesies itu dalam hubungannya dengan seluruh spesies lainnya.
Kebenaran identitas pribadi, dipertaruhkan ketika setiap individu diperlakukan seolah-olah ia bukan manusia seperti yang lain, dan karenanya, diperlakukan lebih atau kurang dari manusia. Kebenaran identitas, dipertaruhkan pula kala seseorang diperlakukan seolah-olah ia semata satu lagi manusia dalam satu spesies, dan bukan, sebagai individu unik yang tak tergantikan dan tak dapat ditukar dengan yang lain. Kedua gagasan ini, nampak berlawanan arah—kesamaan dan kekhasan—namun keduanya bekerjasama dalam membentuk gagasan tentang status individu yang setara.

Trus, adakah keterkaitan antara 'Freedom' dan 'Dignity'? Hampir semua makhluk hidup bertindak untuk membebaskan diri dari kontak berbahaya. Sejenis kebebasan dicapai dengan bentuk perilaku yang relatif sederhana, yang disebut refleks, kata B.F. Skinner. Seseorang bersin dan membebaskan saluran pernapasannya dari zat yang mengiritasi. Ia muntah dan membebaskan perutnya dari makanan yang tak dapat dicerna atau beracun. Ia menarik kembali tangannya dan membebaskannya dari benda tajam atau panas. Bentuk perilaku yang lebih rumit berefek yang serupa. Saat terkurung, orang berjuang ('dalam amarahnya' kayak Hulk) dan membebaskan diri. Ketika dalam bahaya, mereka menghindar dari, atau menyerang, sumbernya. Perilaku semacam ini, agaknya berkembang karena nilai kelangsungan hidupnya; itulah bagian dari apa yang kita sebut anugerah genetik manusia, seperti bernapas, berkeringat, atau mencerna makanan. Dan melalui pengkondisian, perilaku serupa dapat diperoleh sehubungan dengan objek-objek baru, yang tak dapat berperan dalam evolusi. Tiada keraguan bahwa inilah contoh kecil dari perjuangan untuk bebas, tapi penting. Kita tak mengaitkannya dengan cinta kebebasan apa pun; melainkan semata bentuk-bentuk perilaku yang telah terbukti berguna dalam mengurangi berbagai ancaman terhadap individu dan karenanya terhadap spesies dalam proses evolusi.
Peran yang jauh lebih penting dimainkan oleh perilaku yang melemahkan rangsangan berbahaya dengan cara lain. Itu tak diperoleh dalam bentuk refleks terkondisi, tetapi sebagai produk dari proses berbeda, yang disebut operant condition. Tatkala sedikit perilaku diikuti oleh konsekuensi tertentu, itu lebih mungkin terjadi lagi, dan konsekuensi yang berefek ini, disebut reinforcer [penguat].
Makanan, misalnya, penguat bagi organisme yang lapar; apa pun yang dilakukan organisme yang diikuti dengan penerimaan makanan, lebih mungkin dilakukan lagi kapan pun organisme lapar. Beberapa rangsangan disebut penguat negatif; respons apa pun yang mengurangi intensitas stimulus semacam itu—atau mengakhirinya—lebih mungkin dipancarkan saat stimulus berulang. Maka, jika seseorang menjauhkan diri dari terik matahari saat bergerak di bawah tangkup, ia lebih cenderung bergerak di bawah tangkup saat matahari kembali panas. Pengurangan suhu memperkuat perilaku yang 'bergantung pada'—yaitu, perilaku yang diikutinya. Operant condition terjadi pula saat seseorang menghindari matahari yang terik—ketika, secara kasar, ia menjauhkan diri dari ancaman matahari yang panas. Penguat negatif disebut aversive dalam makna bahwa hal-hal yang 'dijauhi' organisme.
Menjauh dan menghindar, memainkan peran yang jauh lebih penting dalam perjuangan meraih kebebasan manakala kondisi permusuhan dihasilkan oleh orang lain. Orang lain dapat bersikap tak menyenangkan tanpa, bisa dikatakan, berusaha: yang dapat berbentuk kekasaran, berbahaya, menular, atau mengganggu, dan seseorang menjauhkan diri darinya, atau menghindarinya.
Seseorang menjauhkan diri dari atau menghindari perlakuan yang bersifat permusuhan, dengan berperilaku dengan cara memperkuatnya dengan permusuhan pulan, terhadap apa yang memperlakukannya, sampai ia melakukannya, tetapi ia mungkin menjauhkan diri dengan cara lain. Misalnya, ia mungkin hanya keluar dari jangkauan areanya. Seseorang dapat menjauhkan diri dari perbudakan, beremigrasi atau membelot dari pemerintah, desersi dari ketentaraan, murtad dari agama, membolos, meninggalkan rumah, atau keluar dari budaya sebagai gelandangan, pertapa, atau hippie. Perilaku seperti ini, merupakan produk dari keadaan permusuhan, seperti halnya perilaku yang dirancang agar ditimbulkan oleh kondisi tersebut. Yang terakhir disebutkan, dapat dijamin hanya dengan mempertajam kemungkinan atau dengan menggunakan rangsangan permusuhan yang lebih kuat.

Kebebasan itu, 'kepemilikan'. Seseorang menjauhkan diri dari atau merobohkan kekuatan pengontrolnya, agar merasa bebas, dan begitu ia merdeka dan dapat melakukan apa yang diinginkannya, tiada tindakan lebih lanjut yang disarankan dan tak ada yang ditentukan oleh 'literature of freedom', kecuali mungkin selalu berwaspada agar tiada pengendali selanjutnya.
Bukti apa pun bahwa perilaku seseorang dapat dikaitkan dengan keadaan eksternal, akan nampak mengancam martabat atau tingkat harkat kemanusiaannya. Kita tak cenderung memberi penghargaan kepada seseorang atas pencapaian yang sebenarnya disebabkan oleh kekuatan yang tak dapat ia kendalikan.
Kebebasan merupakan hasil yang ditimbulkan oleh konsekuensi perilaku yang tak menyenangkan, tetapi martabat menyangkut penguatan positif. Tatkala seseorang berperilaku dengan cara yang kita anggap menguatkan, kita membuatnya lebih mungkin melakukannya lagi dengan memuji atau menyanjungnya. Kita menyanjung seorang penyanyi, misalnya, justru untuk membujuknya mengulangi penampilannya, seperti yang ditunjukkan oleh ungkapan 'Tambuah cie!' 'Lagi ... lagi!' dan semacamnya. Kita menegaskan nilai perilaku seseorang dengan menepuk punggungnya, atau mengatakan 'Kereen!' atau 'Dahsyat!' atau memberinya 'takzim' semisal hadiah, kehormatan, atau penghargaan.
Jumlah penghargaan yang diterima seseorang, terkait dengan cara yang aneh, terhadap visibilitas penyebab perilakunya. Kita tak menghargai manakala penyebabnya mencolok. Kita tak, misalnya, terbiasa memuji seseorang karena merespons secara refleks: kita tak memujinya karena batuk, bersin, atau muntah, kendati boleh jadi, hasilnya bermanfaat. Untuk alasan yang sama, kita tak memberikan banyak pujian bagi perilaku yang berada di bawah kendali permusuhan yang mencolok, meskipun itu mungkin berguna. Sebagaimana yang diamati Montaigne, ‘Apa pun yang dipaksakan oleh perintah, lebih dikaitkan dengan ia yang menuntut ketimbang ia yang melakukan.’ Kita tak memuja para penjilat meski ia mungkin menjalankan fungsi penting, semisal 'yang pasang badan demi sang bos.'
Kita dengan murah-hati memberikan penghargaan manakala tak ada alasan yang jelas bagi perilakunya. Cinta agak lebih tersanjung saat tak berbalas, dan seni, musik, dan sastra kala tak dithargai. Kita memberikan pujian maksimal ketika ada dalil yang cukup terlihat agar berperilaku berbeda—misalnya, ketika sang kekasih dianiaya atau seni, musik, atau sastra diberangus. Jika kita memuji seseorang yang mendahulukan kewajiban daripada cinta, itu karena kontrol yang dijalankan oleh cinta, mudah dikenali.

Kita berusaha mendapatkan pujian dengan menyamarkan atau menyembunyikan kendali. Pembicara televisi atau ketua partai anu yang berpidato, menggunakan prompter yang tak terlihat, dan seorang dosen melirik catatannya secara diam-diam, dan ketiganya kemudian tampak lancar ngomong dari ingatan atau tanpa persiapan, padahal sebenarnya—dan yang kurang terpuji, bagi dua yang disebut belakangan—bacain doang. Kita berupaya memperoleh pujian dengan menemukan dalih yang kurang kuat bagi perilaku kita. Kita 'menyelamatkan muka' dengan mengaitkan perilaku kita dengan penyebab yang kurang terlihat atau kurang kuat—dengan berperilaku, misalnya, seolah-olah kita tak berada di bawah ancaman.
Ketika kita memikirkan penghargaan yang akan diberikan kepada orang lain, kita meminimalkan penyebab perilaku mereka yang mencolok. Kita menggunakan teguran lembut ketimbang hukuman karena penguat yang terkondisi kurang mencolok dibanding yang tak terkondisi, dan penghindaran lebih terpuji daripada menghindar. Kita memberi mahasiswa kita petunjuk ketimbang memberitahukan seluruh jawaban, ia akan mendapatkan pujian karena mengetahui petunjuk itu cukup. Kita hanya menyarankan atau menasehati ketimbang memberi perintah. Kita memperbolehkan mereka yang akan berperilaku dengan cara yang tak menyenangkan.
Kita nampak tertarik pada penggunaan yang bijak ketika kita menyebut penghargaan dan hukuman adil atau tidak adil dan setimpal atau tak setimpal. Kita lebih risau dengan apa yang seseorang 'pantas dapatkan', atau, seperti yang dikatakan kamus, apa yang 'layak,' atau cukup berhak, atau mampu mengklaim secara sah berdasarkan tindakan yang dilakukan atau kualitas yang ditampilkan.' Sebuah penghargaan yang sangat bermurah-hati lebih dari yang dibutuhkan demi mempertahankan perilaku. Ini sangat tidak adil ketika tiada yang dilakukan sama sekali yang pantas mendapatkannya, atau ketika, pada kenyataannya, apa yang telah dilakukan pantas mendapat hukuman. Hukuman yang terlalu berat juga tak adil, terutama ketika sama sekali tak ada yang dilakukan agar pantas mendapatkannya atau ketika seseorang berperilaku baik. Konsekuensi yang tak sepadan, dapat menyebabkan masalah; Nasib baik sering kali memperkuat kemalasan, misalnya, dan nasib buruk sering kali menghukum ketekunan.
Kita mencoba memperbaiki kontinjensi yang rusak ketika kita mengatakan bahwa seorang hendaklah 'menghargai' keberuntungannya. Maksud kita bahwa ia seyogyanya bertindak dengan cara yang akan diperkuat secara adil oleh apa yang telah diterimanya. Faktanya, kita dapat berpendapat bahwa seseorang dapat menghargai berbagai hal hanya jika ia telah mengusahakannya. Etimologi 'menghargai' itu penting: menghargai perilaku seseorang bermakna memberi harga padanya. 'Penghargaan' dan 'takzim' merupakan istilah terkait. Kita menghargai perilaku dalam makna memperkirakan kelayakan penguatan. Kita menghormati hanya dengan memperhatikan. Maka, kita menghormati lawan yang layak dalam artian bahwa kita waspada terhadap kekuatannya. Seseorang memperoleh rasa-hormat dengan mendapatkan perhatian, dan kita tak menghormati mereka yang 'di luar jangkauan perhatian kita'. Kita pasti memperhatikan hal-hal yang kita takzimi atau hargai, tetapi dengan melakukannya, kita tak serta merta memberi nilai padanya.

Martabat tak semata menjelaskan aspek apa maknanya menjadi manusia, melainkan pula merupakan ciri kemanusiaan kita bersama. Semua orang ingin diperlakukan dengan cara yang menunjukkan bahwa mereka penting, kata Donna Hicks.
Dambaan universal kita akan Martabat, mendorong spesies kita dan mentakrifkan kita sebagai manusia. Inilah penyebut umum tertinggi kita, namun kita cuma tahu sedikit tentangnya. Sulit bagi orang mengartikulasikan dengan tepat apa Martabat itu. Apa yang mereka ketahui lebih seperti intuisi atau indra keenam. 'Ya, martabat itu penting,' kata orang-orang kepada kita, namun mereka tak bisa mengungkapkan intuisinya saat kita meminta mereka mewujudkannya ke dalam bentuk kata-kata.
Apa yang biasanya orang katakan bahwa martabat merupakan rasa hormat. Tapi, Martabat tak sama dengan Respect atau Rasa-hormat. Martabat itu, atribut yang kita miliki sejak lahir—nilai-nilai dan kepatutan bawaan kita. Kita semua terlahir mustahak.
Rasa-hormat itu, berbeda. Kendati setiap orang bermartabat, tak semua orang pantas dihormati. Rasa-hormat seyogyanya diperoleh. Bila aku mengatakan bahwa aku menghormati seseorang, itu lantaran ia telah melakukan sesuatu yang mengagumkan—berupaya lebih keras agar mendapatkan kekagumanku. Tindakan orang itu menginspirasiku. Aku berkata pada diri sendiri, 'Aku ingin menjadi seperti orang itu.' Martabat merupakan sesuatu yang kita semua pantas dapatkan, apa pun yang kita lakukan. Titik awal inilah cara kita saling memperlakukan. Guna menghilangkan kebingungan, mungkin, sangat penting saling menghormati Martabat masing-masing.

Menurut Donna Hicks, ada sepuluh unsur Martabat. Pertama, Penerimaan Identitas. Dekati manusia dengan pandangan tak lebih rendah atau lebih tinggi darimu; memberikan kebebasan kepada orang lain mengekspresikan diri mereka yang sebenarnya tanpa takut dihakimi secara negatif; berinteraksi tanpa prasangka atau bias, menerima bahwa karakteristik seperti ras, agama, jenis kelamin, kelas, usia, dan disabilitas, merupakan inti dari identitas mereka.
Rekognisi. Memvalidasi orang lain atas bakat, kerja-keras, perhatian, dan bantuan mereka; bermurah-hati dengan pujian; memberikan penghargaan kepada orang lain atas kontribusi, ide, dan pengalaman mereka.
Penerimaan. Beri orang perhatian penuhmu dengan mendengarkan, menelaah, memvalidasi, dan menanggapi kekhawatirannya dan apa yang telah mereka lalui.
Menyertakan. Membuat orang lain merasa memiliki, di semua tingkat keterhubungan (keluarga, komunitas, organisasi, dan bangsa).
Keamanan. Buatlah orang merasa nyaman pada dua derajat: secara fisik, sehingga mereka merasa bebas dari kemungkinan cedera fisik, dan secara psikologis, sehingga mereka merasa bebas dari kekhawatiran akan dipermalukan atau dihinakan, serta bebas berbicara tanpa pembalasan.
Keberimbangan. Perlakukan orang dengan adil, dengan kesetaraan, dan dengan cara yang wajar dan tak memihak dalam perlakuan atau penilaian, sesuai dengan hukum dan aturan yang disepakati.
Kemerdekaan. Berdayakan orang agar bertindak atas nama mereka sendiri, sehingga mereka merasa mengendalikan hidupnya, serta merasakan harapan dan kemungkinan.
Memahami. Percayalah bahwa apa yang dipikirkan orang lain itu penting; beri mereka kesempatan menjelaskan perspektif mereka dan mengungkapkan sudut pandang mereka; aktiflah menelaah agar memahaminya.
Mempercayai kendati tak yakin sepenuhnya. Perlakukan orang seolah-olah mereka dapat dipercaya; mulailah dengan premis bahwa orang lain punya motif yang baik dan bertindak dengan integritas.
Akuntabilitas. Bertanggungjawab atas tindakanmu; meminta maaf jika engkau telah melanggar martabat orang lain; berkomitmen mengubah perilaku yang menyakitkan.

Perlu kita perhatikan bahwa dalam konteks ini, kita berbicara tentang manusia, sekali lagi, menungso, bukan institusi semisal lembaga Kepresidenan atau sejenisnya. Dan pada sesi selanjutnya, kita akan membicarakan manfaat Martabat dalam kaitannya dengan manusia, satu dengan yang lain, bi 'idznillah."

Setelah itu, Wulandari menembangkan keroncong satire-nya Waljinah,

Lelene mati digepuk
[Lelenya mati digetok]
Gepuk nganggo walesane
[Getok pakai gagang-pancingnya]
Suwe ora petuk, ati sido remuk
[Lama tak bersua, hati jadi remuk]
Kepetuk mung suwarane
[Soalnya ketemu suaranya doang]
E ya-e ya-e
E ya-e ya-e ya-e ya-e
Jangkrik genggong ... jangkrik genggong
Luwih becik omomg-kosong *)
[Lebih baik omong-kosong]

[Sesi 3]
[Sesi 1]

Selasa, 01 Agustus 2023

Tiga Ekor Kodok (1)

"Tiga ekor kodok, yang baru saja pulang berkeliling dunia, sedang membicarakan pengalaman mereka. Salah seekor dari mereka berkata, 'Gue ketemuan ma orang Rusia, doi bilang gini,' Di Amerika, loe bebas ngomong. Loe boleh berdiri di depan Gedung Putih, trus teriak, 'American President Sucks.' Nah, dulu, saat Rusia masih berbentuk Uni Soviet, loe juga punya kebebasan ngomong. Loe bisa berdiri di depan Kremlin, lalu teriak 'American President Sucks.'
Kodok lainnya, menimpali, 'Gue juga pernah dengerin kek gitu. Ceritanya seperti ini, 'Seorang diplomat Rusia dan seorang diplomat Amerika sedang ngomongin tentang perbedaan antara kedua sistem mereka. Orang Amerika berusaha memudahkan orang Rusia supaya memahami konsep kebebasan berbicara.
'Kapan aja gue mau', kata si Yangki, 'gue bisa berjalan ke puncak tangga di Capital Hill dan teriak, 'The President of America is a crook and a liar!' dan gak ada tuh yang ngrecokin gue.'
'Hah! Loe naif, teman Amerika! Gue,' kata si orang Rusia, 'boleh naik tangga ke pintu Kremlin, gedor pintu, membiarkan Pengawal Merah ngelilingin gue, trus teriak sekeras mungkin, 'The President of America is a crook and a liar!' dan gak ada tuh yang ngrecokin gue.'
Kodok terakhir menambahkan, 'Gak seperti di Amerika dan Rusia, di Sino, kebetulan seorang bohemian borjuis liberal Barat, bertemu dengan seorang Sino Komunis kapitalis di sebuah bar. Sang liberal Barat koar-koar kepada komunis Sino bahwa di negaranya, doi bebas ngomong sehingga doi boleh streaming video ke jutaan orang di Twitter dan Facebook, tentang bagaimana doi mencela pemerintah Baratnya sebagai korup dan jahat.
Komunis Sino menggelengkan kepalanya dan menjawab, 'Itu belum apa-apa. Kami bahkan punya lebih banyak kebebasan berbicara di Sino ketimbang demokrasi dekaden ellu. Gue boleh streaming video ke ratusan juta orang di Weibo dan Tencent, nunjukin diri gue, mencela pemerintah Barat sebagai korup dan jahat!!'" berkata Wulandari, usai sinarnya menyoroti daftar nama orang yang kurang kerjaan, tapi pingin dapat jabatan.

"Sebagai cita-cita," lanjut Wulandari, "merdeka berpikir dan merdeka berbicara, berakar pada catatan sejarawan Herodotus dan Thucydides, yang menjelaskan kekhasan Athena abad kelima, dalam pencarian Socrates tentang kejelasan filosofis dan apresiasi batas pemahaman, dalam perhelatan partisipasi politik Euripides dan Pengakuan Aristoteles atas kekuatan opini publik, dalam upaya para humanis Renaisans seperti Petrarch dan Erasmus membebaskan penalaran moral dari formalisme skolastik, dalam nasihat Machiavelli tentang aturan kehati-hatian, dalam pengertian tentang kesadaran bebas dan keingintahuan, yang diperkenalkan oleh Reformasi Protestan, dan dalam sistematisasi metode ilmiah pencarian pengetahuan terbuka. Namun, untuk memahami kemerdekaan berbicara dan pers, sebagai prinsip-prinsip fundamental yang membatasi pemerintahan, argumen paling awal yang terus dibaca hingga kini ialah Areopagitica karya John Milton tahun 1644.
Prihatin tentang propaganda royalis dan radikalisme agama selama Perang Saudara Inggris, parlemen menerapkan persyaratan agar segala karya tulis, disetujui sebelum diterbitkan. Peniruan rezim sensor Kerajaan yang telah berlangsung selama lebih dari satu setengah abad, membuat Milton tertekan, meskipun ia mendukung pihak parlementer. Ia mengambil penanya dan menerbitkan protes yang ditandatangani tanpa mendapatkan persetujuan, dengan bangga menentang persyaratan lisensi. Ia menamainya dari sebuah esai dari seorang kritikus pemerintah Athena kuno.

Freedom of Speech [walaupun umum diterjemahkan sebagai 'Kebebasan Berbicara', tapi aku lebih cenderung menerjemahkannya sebagai 'Kemerdekaan Berbicara'] merupakan komitmen sentral dari liberalisme politik, prinsip hukum konstitusional positif di hampir semua konstitusi modern dan prinsip hukum hak asasi manusia internasional. Kendati di antara prinsip-prinsip hukum dan konstitusional yang paling banyak disepakati dan dirayakan di zaman modern, ia juga menjadi sumber ketidaksepakatan yang bertahan lama dan intens. Bab dua On Liberty-nya John Stuart Mill's—'On the Liberty of Thought and Discussion'—merupakan pembelaan Kemerdekaan Berbicara yang paling top dalam kanon filosofis, kata Christopher Macleod.
Argumen Mill bagi kemerdekaan bercakap-cakap, merujuk pada konsepsinya tentang manusia dan tempat mereka di dunia. Manusia, klaim Mill, sepenuhnya merupakan bagian dari tatanan alam—dengan demikian, pikiran manusia, serta tubuh, sepenuhnya diatur menurut hukum yang ditemukan oleh penyelidikan ilmiah. Visi pikiran ini, yang beroperasi menurut hukum alam, mengarah pada pandangan dimana satu-satunya alat interaksi kita dengan dunia adalah interaksi kausal. Sejauh kita dapat mengenal dunia, klaim Mill, kita dapat melakukannya hanya dengan menerima dunia secara kausal. Dengan demikian, kemungkinan pengetahuan substantif apriori dihalangi, karena semua penerimaan terhadap dunia terjadi melalui indera.
Keterlibatan kita dengan dunia, bisa dikatakan, sensible [tindakan yang dipilih sesuai dengan kearifan atau kehati-hatian]. Kita mungkin dapat membayangkan makhluk-makhluk yang mampu mengetahui unsur-unsur dunia melalui wawasan langsung dan tanpa perantara. Makhluk seperti ini, akan tahu bagaimana keadaannya tanpa terpengaruh. Tapi kita bukan mereka. Kita dapat mengetahui dunia dengan tindakan refleksi murni hanya 'jika kita dapat mengetahui secara apriori bahwa kita pasti telah diciptakan agar mampu memahami apa pun yang mampu ada: bahwa alam semesta pemikiran dan realitas, Mikrokosmos dan Makrokosmos (begitu sebelumnya disebut) kiranya dibingkai dalam korespondensi lengkap '. Namun, asumsi yang tak punya bukti, hampir tak dapat dibuat. Bagi kita, tiada pengetahuan yang dapat dikenali oleh benak cahaya batin. Sebagai makhluk alam, pengetahuan kita tentang bagaimana benda-benda ada, pada dasarnya, cara interaksi dengan dunia yang sepenuhnya alami dengan sendirinya.
Selain sensible, keterlibatan kita dengan dunia juga diskursif [berkaitan dengan nalar]. Pemikiran dilakukan, jelas Mill, melalui dan dengan penerapan konsep—atau, dalam terminologi yang disukai Mill, 'general names'. Pengetahuan kita berupa pemahaman bahwa segala sesuatu berada dengan cara tertentu. Cara terlibat dengan dunia yang tidak memungkinkan kita menganggap objek memiliki kualitas, 'takkan memungkinkan kita membuat satu pernyataan pun yang berkaitan dengannya'. Bamun, klaim bahwa suatu objek punya kualitas, merupakan klaim relasional: bahwa objek ini serupa dalam beberapa hal dengan objek lain. Satu-satunya makna yang sama sekali mempredikatkan predikat kualitas, ialah menegaskan kemiripan. Bagi kita, kemiripan seperti itu sendiri, tak dirasakan di antara objek, melainkan menyertakan pemikiran tentang apa yang disampaikan oleh sensasi. Pengetahuan tentang dunia, dengan demikian, melibatkan sensasi, tapi juga, interpretasi. Dalam konteks inilah, kita kiranya memahami klaim Mill bahwa, 'semua pembungkaman opini adalah asumsi 'infallibility' [ketidakbolehan berbuat salah].
Argumen falibilitas manusia, berdiri sendiri, dan cukup dengan sendirinya menetapkan apa yang kita sebut the Freedom of Discussion Principle: bahwa tak boleh ada campurtangan dalam percakapan tentang pendapat apa pun. Karena tanpa pembahasan yang tiada batas, kita tak dapat meyakini bahwa kita telah mempertimbangkan semua bukti yang tersedia, atau bahwa interpretasi kita atas bukti tersebut, baik—dan karenanya, kita tak dapat menganggap keyakinan kita, dapat dibenarkan. Argumen ini, didukung oleh dua argumen lebih lanjut. Bahwa sebuah pendapat, tak boleh dirahasiakan karena boleh jadi, benar, dan bahwa, kendati suatu pendapat itu, keliru, atau sekalipun cuma sebagian dari kebenaran, seyogyanya tetap didengarkan. Bahkan Mill berargumen bahwa keyakinan yang keliru, semestinya didengarkan, mengacu pada konsepsi ilmu yang cukup spesifik, berdasarkan pengamatan tentang 'cara dimana kebenaran hendaknya dipegang oleh manusia'.

Lantas, kenapa dong ngebelain Kemerdekaan Berbicara? Beberapa yang berpendapat bahwa kemerdekaan berbicara sangat penting bagi 'self-government' [sebuah sistem dimana warga suatu negeri (atau unit politik yang lebih kecil, seperti negara) mengatur diri sendiri dan mengendalikan urusannya sendiri, bebas dari kontrol pemerintah eksternal atau otoritas politik luar], kata William P Marshall. Warga negara semestinya punya akses informasi guna menjalankan hak-pilih secara cerdas dan meminta pertanggungjawaban perwakilan terpilih mereka. Yang lain berpendapat bahwa, kemerdekaan berbicara seyogyanya dibela, sebab merupakan aspek sentral dari otonomi pribadi dan realisasi diri. Pendapat lain, khususnya di komunitas internasional, membela kemerdekaan berbicara sebagai aspek penting dari martabat individu.
Namun, alasan tertua yang ditawarkan untuk mendukung kemerdekaan berbicara adalah pembenaran 'search for truth'. Menurut pemikiran ini, melindungi kemerdekaan berbicara, membentuk pasar gagasan dimana kebenaran pada akhirnya menang atas kedustaan. Oleh karenanya, ucapan tak boleh dibatasi, karena melakukannya, bakalan menghambat pencarian kebenaran tersebut.
Kendati silsilahnya sudah lama, akan tetapi, pembenaran kebenaran telah diserang terus-menerus dari segala arah, sedemikian rupa sehingga setidaknya, satu komentator menggambarkannya sebagai 'on the wane’ [semakin melemah]. Lebih jauh, dan mungkin terkait, gagasan tentang kebenaran itu sendiri, tampak pula telah menjadi konsep yang semakin tak populer, di dunia yang semakin terpolarisasi. Bahwa beberapa orang masih akan memandang pencarian kebenaran sebagai pembenaran utama agar kemerdekaan berekspresi, mungkin dianggap oleh orang lain sebagai sangat sesat dan naif.
Namun, pembenaran kebenaran, punya pembelanya. Konsep kebenaran telah lama menguasai imajinasi manusia, dan kekuatan penjelas kebenaran sebagai pedoman perilaku manusia, terus bergema. Pertanyaan tentang masihkah pembenaran kebenaran menjadi dalil yang valid guna mendukung kemerdekaan berbicara, oleh karenanya, menjadi pertanyaan terbuka.

Istilah 'Freedom of Expression' [Kemerdekaan Berekspresi] dapat mencakup kemerdekaan berbicara, kemerdekaan pers, hak mengajukan petisi kepada pemerintah, dan kemerdekaan berserikat politik. Ada hubungan antara kemerdekaan berekspresi dan demokrasi, baik dari perspektif historis maupun teoretis.
Bahkan sebelum bentuk-bentuk pemerintahan demokratis mengakar di dunia modern pada akhir abad ke-18, para pendukung pemerintahan kerakyatan, telah lama menawarkan pembenaran demokratis bagi kebebasan berekspresi, menurut Ashutosh Bhagwat dan James Weinstein. Selama Perang Saudara Inggris di pertengahan abad ketujuh belas, Levellers, sekelompok Puritan yang menganjurkan hak pilih yang lebih luas bagi kaum lelaki, menggunakan kedaulatan rakyat sebagai argumentasi kemerdekaan berekspresi dalam urusan publik. Pada tahun 1670, filsuf Yahudi-Belanda, Baruch Spinoza, berpendapat bahwa karena dalam 'negara demokrasi' setiap keputusan kolektif terbuka untuk direvisi, jika rakyat 'harus mencari jalan yang lebih baik', maka setiap orang harus 'dibolehkan memikirkan apa yang mereka inginkan dan menyatakan apa yang mereka pikirkan'. Pada tahun 1720-an, mencerminkan argumen Whig Inggris Radikal yang mendukung kedaulatan rakyat daripada parlementer, John Trenchard dan Thomas Gordon, menulis sebagai Cato, membela hak yang kuat untuk mengkritik pejabat publik. Esai Cato sangat berpengaruh di koloni Amerika, saat pertama kali diterbitkan. Tulisannya terus dibaca secara luas di Amerika ketika, pada akhir abad ke-18, orang Amerika mengadopsi sebuah konstitusi yang kata-kata pembukanya, 'We the People', mendirikan pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat, dan yang tak lama kemudian, diubah untuk melindungi kemerdekaan berekspresi.

Demokrasi secara harfiah bermakna 'pemerintahan oleh rakyat', menggabungkan kata Yunani demos ('rakyat') dan kratein ('memerintah'). Demokrasi kontemporer hadir dalam banyak variasi, masing-masing diwarnai oleh budaya dan sejarahnya yang khas. Terlepas dari perbedaan-perbedaan ini, penyebut yang sama dari semua demokrasi kontemporer adalah komitmen praktis, jika tak selalu formal, terhadap kedaulatan rakyat—suatu keadaan dimana rakyat menjalankan kendali penuh atas pemerintah mereka. Ajaran dasar lain dari setiap demokrasi kontemporer adalah, kesetaraan politik formal setiap warga negara. Komponen penting dari masing-masing dari kedua norma demokrasi dasar ini adalah kemerdekaan berekspresi politik.
Kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa 'kekuasaan politik tertinggi terletak, umumnya, pada populasi, bahwa rakyat sebagai suatu badan berdaulat, dan bahwa mereka, baik secara langsung atau melalui wakil-wakil yang mereka pilih dalam artian pentingnya, benar-benar mengendalikan jalannya pemerintahan'. Cara yang paling jelas dan langsung dimana rakyat menjalankan kontrol atas pemerintah mereka ialah, melalui pemungutan suara, baik dengan memilih perwakilan, atau dengan langsung memberikan suara pada undang-undang atau kebijakan melalui tindakan pemungutan suara, semisal referendum, inisiatif, dan penarikan kembali. Karena hak-pilih sangat penting untuk kontrol populer atas pemerintahan, masyarakat yang sama sekali tak memiliki hak-pilih, jelas bukan demokrasi. Akan tetapi, sifat langsung kontrol ini, cenderung mengaburkan prasyarat demokrasi modern yang kurang langsung, namun sama pentingnya: hak rakyat untuk berbicara secara bebas tentang keputusan kolektif dalam lingkup kedaulatan tertinggi rakyat, yaitu, tentang masalah-masalah perhatian publik.
Mekanisme utama dimana kemerdekaan berekspresi dalam demokrasi mengendalikan pemerintah adalah opini publik. Hak rakyat untuk berbicara secara bebas tentang masalah-masalah yang menjadi perhatian publik, pada gilirannya, penting untuk pembentukan opini publik, yang dengannya, rakyat mengontrol pemerintah. Hal ini disebabkan propaganda pemerintah dan pernyataan pejabat pemerintah juga mempengaruhi opini publik. Jika rakyat tak dapat secara bebas mengekspresikan pandangan mereka tentang masalah publik, maka opini publik sebagian besar akan mencerminkan pandangan pejabat pemerintah, dan dengan demikian, menjadi alat kontrol rakyat yang tak efektif terhadap pemerintah.

Kemerdekaan berbicara telah menjadi bagian dari konstitusionalisme modern sejak permulaannya, pada kuartal terakhir abad ke-18. Beberapa penulis berasumsi bahwa setiap hak fundamental punya inti martabat manusia, sehingga kemerdekaan berbicara, dapat dipandang sebagai konkretisasi martabat manusia.
'Human Dignity' [Martabat Manusia] sebagai jaminan konstitusional, merupakan hal baru. Elemen inilah konstitusionalisme pasca-Perang Dunia II. Rupanya, dibutuhkan kekejaman sistem totaliter seperti Hitler di Jerman dan Stalin di Uni Soviet, serta pengorbanan manusia yang mahahebat pada Perang Dunia II, agar tercipta perasaan bahwa sesuatu yang lebih dari sejumlah hak individu, diperlukan untuk melindungi umat manusia, sebuah norma dasar dimana berbagai hak dapat dikandaskan dan darimana memperoleh maknanya.
Pada sesi berikutnya, kita akan membicarakan tentang 'Martabat Manusia', bi'idznillah."
[Sesi 2]