Jumat, 04 Agustus 2023

Tiga Ekor Kodok (2)

"Rupanya, tak cuma tiga ekor kodok yang ada di dalam kolam sumpek itu. Terdapat banyak bani precil di sana, dan mereka saling bertumpuk-tumpuk mendengarkan tiga ekor kodok santuy kita. Tiba-tiba, dari balik pot yang ditanami kaktus, muncul salah seekor turunan precil kuwi, ikutan nimbrung, 'Gue juga tahu kok soal kemerdekaan ngomong. Gini c'ritanya, 'Seorang reporter tipi, mewawancarai seorang pemimpin autokrat dan bertanya, 'Bagaimana dengan kemerdekaan berbicara di negara ini?'
'Oh baik-baik saja,' jawab sang autokrat, 'kemerdekaan berbicara, sedari dulu dijamin di negeri ini. Hanya saja, kemerdekaan setelah berbicara, yang tak dapat kami jamin,' pungkas sang precil dan berlalu.
Salah seekor kodok kita berkata kepada dua rekannya, 'Dulu, selagi gue masih belajar coro londo, guru londo gue ngomong gini, 'Do you know why I hate cactuses?'
'No, I don't!' kataku.
Trus doi jawab sendiri, 'Because they are all pricks.' [sang kodok terinspirasi oleh omongan John F. Kennedy dan David Cameron, kali yaq?]"

"Ngapain sih obrolin Martabat Manusia? Sejak kapan gagasan ini muncul?" Wulandari melantaskan. "Gagasan Martabat Manusia telah menjadi hal yang lumrah, terutama sejak akhir Perang Dunia II, kata George Kateb. Atas nama martabat manusia, yang ternyata, dalam penggunaan paling umumnya, bermakna setaranya martabat setiap orang, piagam hak asasi manusia diundangkan, dan himbauan tentangnya, dibuat manakala orang di seluruh dunia, berjuang mendapatkan hak yang dituntutnya. Martabat manusia, dengan demikian, dipandang sebagai dasar hak asasi manusia. Tapi tak banyak yang dikatakan tentang apa itu martabat manusia dan mengapa itu penting bagi tuntutan hak-hak manusia. Tampaknya, gagasan tentang martabat manusia, bersifat aksiomatis, dan karenanya, tak memerlukan pembelaan teoretis. Yang dibutuhkan hanyalah, diterjemahkan ke dalam hak-hak yang telah mapan, yang kemudian dipertahankan dalam menghadapi upaya untuk menekan dan menafikan apa yang menjadi hak manusia.
Ide inti konsepsi Human Dignity atau tingkat harkat kemanusiaan itu [kita terjemahkan sebagai Martabat Manusia], bahwa di bumi, umat manusia merupakan jenis makhluk termulia—atau [bila ingin merujuk pada teori sekulernya Darwin] yang kita sebut spesies, karena kita telah belajar melihat manusia sebagai sejenis spesies dalam dunia perhewanan, yang terdiri dari banyak spesies lain bersama dengan jenis kita sendiri—dan bahwa, setiap anggotanya, berhak diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan nilai spesies teratas.

Menurut Aurel Kolnai, Dignity atau Martabat, jelas tak boleh diidentikkan dengan Moralitas. Sebagian besar, ia masuk ke dalam kategori estetika. Variasi tak terbatas dari obyek-obyek penilaian moral, yang jelas-jelas tidak dapat diterima, tetap dapat menunjukkan martabat. Sebaliknya, juga tak mungkin menafsirkan moralitas sebagai sub-kelas martabat. Kebajikan moral sama pentingnya dengan kebajikan dan ketekunan, atau beberapa bentuk pengembangan-diri, secara paradigina, tak relevan dengan martabat.
Martabat itu, kualitas; konsep martabat bersifat deskriptif, meskipun juga mengandung catatan evaluatif yang esensial dan tak terpisahkan. Hak bukanlah kualitas; konsepnya tak deskriptif, [bersifat menggambarkan apa adanya] melainkan preskriptif [bergantung pada atau menurut ketentuan resmi yang berlaku]. Bahwa hak-hak seyogyanya dihormati, merupakan tautologi [pengulangan gagasan] persis seperti 'Kewajiban harus dipatuhi': semata terdiri dari fakta bahwa harus dihormati.
Martabat tak 'punya unsur utama' dalam makna harus dihargai, dipuji, dikagumi, atau dipuja. Tak menghormati hak, merupakan pelanggaran; ketidakpedulian terhadap martabat hanyalah cacat, semisal kurangnya tanggapan yang memadai terhadap suatu nilai.

Ide bahwa umat manusia itu istimewa, muncul ketika spesies diperbandingkan dari sudut pandang eksternal dan deindividualisasi (kendati tentu saja hanya manusia), kata Kateb. Manakala kita mengacu pada martabat spesies manusia, kita dapat berbicara tentang status ras manusia yang dibedakan dari status individu. Dibandingkan dengan spesies lain, manusia berperawakan yang tak tertandingi.
Latarbelakang mengapa mempercakapkan tentang martabat individu ialah sama dengan dalil membicarakan tentang martabat spesies: sifat dan atribut, karakteristik, dan kapasitas unik dan non-alami yang sama.
Catatan sejarah sepertinya menunjukkan bahwa pemikiran tentang kemanusiaan dalam hubungannya dengan kategori makhluk lain, muncul jauh sebelum memikirkan individu sebagai individu. Penegasan perawakan manusia, dalam satu rangkaian istilah atau lainnya—kata perawakan jarang muncul—didahului perhatian politik dan sosial bagi setiap orang secara setara. Secara konseptual, perawakan manusia mendahului status individu; keagungan kemanusiaan mendahului persamaan individu. Dimulai dengan Homer, sastra Barat berkutat pada individu, tetapi mereka kebanyakan dari peringkat atas dan mereka cenderung penting, kecuali Socrates, bukan sebagai individu, melainkan sebagai anggota kelas, atau seperti yang ditentukan oleh peran atau fungsi. Yang penting adalah bahwa sedikit sekali orang-orang top, menunjukkan kemampuan terbaik umat manusia.

Konsepsi status individu yang setara semata bagian dari gagasan tentang martabat manusia; bagian lainnya adalah perawakan spesies manusia. Terlebih lagi, status hanyalah bagian dari pembelaan teori hak asasi manusia; bagian lainnya adalah moralitas keadilan publik.
Martabat manusia merupakan nilai eksistensial; nilai atau kelayakan dikaitkan dengan identitas manusia atau spesies. Gagasan martabat manusia menuntut pengakuan identitas yang tepat dari individu atau spesies; mengenali seperti apa seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dan seperti apa spesies itu dalam hubungannya dengan seluruh spesies lainnya.
Kebenaran identitas pribadi, dipertaruhkan ketika setiap individu diperlakukan seolah-olah ia bukan manusia seperti yang lain, dan karenanya, diperlakukan lebih atau kurang dari manusia. Kebenaran identitas, dipertaruhkan pula kala seseorang diperlakukan seolah-olah ia semata satu lagi manusia dalam satu spesies, dan bukan, sebagai individu unik yang tak tergantikan dan tak dapat ditukar dengan yang lain. Kedua gagasan ini, nampak berlawanan arah—kesamaan dan kekhasan—namun keduanya bekerjasama dalam membentuk gagasan tentang status individu yang setara.

Trus, adakah keterkaitan antara 'Freedom' dan 'Dignity'? Hampir semua makhluk hidup bertindak untuk membebaskan diri dari kontak berbahaya. Sejenis kebebasan dicapai dengan bentuk perilaku yang relatif sederhana, yang disebut refleks, kata B.F. Skinner. Seseorang bersin dan membebaskan saluran pernapasannya dari zat yang mengiritasi. Ia muntah dan membebaskan perutnya dari makanan yang tak dapat dicerna atau beracun. Ia menarik kembali tangannya dan membebaskannya dari benda tajam atau panas. Bentuk perilaku yang lebih rumit berefek yang serupa. Saat terkurung, orang berjuang ('dalam amarahnya' kayak Hulk) dan membebaskan diri. Ketika dalam bahaya, mereka menghindar dari, atau menyerang, sumbernya. Perilaku semacam ini, agaknya berkembang karena nilai kelangsungan hidupnya; itulah bagian dari apa yang kita sebut anugerah genetik manusia, seperti bernapas, berkeringat, atau mencerna makanan. Dan melalui pengkondisian, perilaku serupa dapat diperoleh sehubungan dengan objek-objek baru, yang tak dapat berperan dalam evolusi. Tiada keraguan bahwa inilah contoh kecil dari perjuangan untuk bebas, tapi penting. Kita tak mengaitkannya dengan cinta kebebasan apa pun; melainkan semata bentuk-bentuk perilaku yang telah terbukti berguna dalam mengurangi berbagai ancaman terhadap individu dan karenanya terhadap spesies dalam proses evolusi.
Peran yang jauh lebih penting dimainkan oleh perilaku yang melemahkan rangsangan berbahaya dengan cara lain. Itu tak diperoleh dalam bentuk refleks terkondisi, tetapi sebagai produk dari proses berbeda, yang disebut operant condition. Tatkala sedikit perilaku diikuti oleh konsekuensi tertentu, itu lebih mungkin terjadi lagi, dan konsekuensi yang berefek ini, disebut reinforcer [penguat].
Makanan, misalnya, penguat bagi organisme yang lapar; apa pun yang dilakukan organisme yang diikuti dengan penerimaan makanan, lebih mungkin dilakukan lagi kapan pun organisme lapar. Beberapa rangsangan disebut penguat negatif; respons apa pun yang mengurangi intensitas stimulus semacam itu—atau mengakhirinya—lebih mungkin dipancarkan saat stimulus berulang. Maka, jika seseorang menjauhkan diri dari terik matahari saat bergerak di bawah tangkup, ia lebih cenderung bergerak di bawah tangkup saat matahari kembali panas. Pengurangan suhu memperkuat perilaku yang 'bergantung pada'—yaitu, perilaku yang diikutinya. Operant condition terjadi pula saat seseorang menghindari matahari yang terik—ketika, secara kasar, ia menjauhkan diri dari ancaman matahari yang panas. Penguat negatif disebut aversive dalam makna bahwa hal-hal yang 'dijauhi' organisme.
Menjauh dan menghindar, memainkan peran yang jauh lebih penting dalam perjuangan meraih kebebasan manakala kondisi permusuhan dihasilkan oleh orang lain. Orang lain dapat bersikap tak menyenangkan tanpa, bisa dikatakan, berusaha: yang dapat berbentuk kekasaran, berbahaya, menular, atau mengganggu, dan seseorang menjauhkan diri darinya, atau menghindarinya.
Seseorang menjauhkan diri dari atau menghindari perlakuan yang bersifat permusuhan, dengan berperilaku dengan cara memperkuatnya dengan permusuhan pulan, terhadap apa yang memperlakukannya, sampai ia melakukannya, tetapi ia mungkin menjauhkan diri dengan cara lain. Misalnya, ia mungkin hanya keluar dari jangkauan areanya. Seseorang dapat menjauhkan diri dari perbudakan, beremigrasi atau membelot dari pemerintah, desersi dari ketentaraan, murtad dari agama, membolos, meninggalkan rumah, atau keluar dari budaya sebagai gelandangan, pertapa, atau hippie. Perilaku seperti ini, merupakan produk dari keadaan permusuhan, seperti halnya perilaku yang dirancang agar ditimbulkan oleh kondisi tersebut. Yang terakhir disebutkan, dapat dijamin hanya dengan mempertajam kemungkinan atau dengan menggunakan rangsangan permusuhan yang lebih kuat.

Kebebasan itu, 'kepemilikan'. Seseorang menjauhkan diri dari atau merobohkan kekuatan pengontrolnya, agar merasa bebas, dan begitu ia merdeka dan dapat melakukan apa yang diinginkannya, tiada tindakan lebih lanjut yang disarankan dan tak ada yang ditentukan oleh 'literature of freedom', kecuali mungkin selalu berwaspada agar tiada pengendali selanjutnya.
Bukti apa pun bahwa perilaku seseorang dapat dikaitkan dengan keadaan eksternal, akan nampak mengancam martabat atau tingkat harkat kemanusiaannya. Kita tak cenderung memberi penghargaan kepada seseorang atas pencapaian yang sebenarnya disebabkan oleh kekuatan yang tak dapat ia kendalikan.
Kebebasan merupakan hasil yang ditimbulkan oleh konsekuensi perilaku yang tak menyenangkan, tetapi martabat menyangkut penguatan positif. Tatkala seseorang berperilaku dengan cara yang kita anggap menguatkan, kita membuatnya lebih mungkin melakukannya lagi dengan memuji atau menyanjungnya. Kita menyanjung seorang penyanyi, misalnya, justru untuk membujuknya mengulangi penampilannya, seperti yang ditunjukkan oleh ungkapan 'Tambuah cie!' 'Lagi ... lagi!' dan semacamnya. Kita menegaskan nilai perilaku seseorang dengan menepuk punggungnya, atau mengatakan 'Kereen!' atau 'Dahsyat!' atau memberinya 'takzim' semisal hadiah, kehormatan, atau penghargaan.
Jumlah penghargaan yang diterima seseorang, terkait dengan cara yang aneh, terhadap visibilitas penyebab perilakunya. Kita tak menghargai manakala penyebabnya mencolok. Kita tak, misalnya, terbiasa memuji seseorang karena merespons secara refleks: kita tak memujinya karena batuk, bersin, atau muntah, kendati boleh jadi, hasilnya bermanfaat. Untuk alasan yang sama, kita tak memberikan banyak pujian bagi perilaku yang berada di bawah kendali permusuhan yang mencolok, meskipun itu mungkin berguna. Sebagaimana yang diamati Montaigne, ‘Apa pun yang dipaksakan oleh perintah, lebih dikaitkan dengan ia yang menuntut ketimbang ia yang melakukan.’ Kita tak memuja para penjilat meski ia mungkin menjalankan fungsi penting, semisal 'yang pasang badan demi sang bos.'
Kita dengan murah-hati memberikan penghargaan manakala tak ada alasan yang jelas bagi perilakunya. Cinta agak lebih tersanjung saat tak berbalas, dan seni, musik, dan sastra kala tak dithargai. Kita memberikan pujian maksimal ketika ada dalil yang cukup terlihat agar berperilaku berbeda—misalnya, ketika sang kekasih dianiaya atau seni, musik, atau sastra diberangus. Jika kita memuji seseorang yang mendahulukan kewajiban daripada cinta, itu karena kontrol yang dijalankan oleh cinta, mudah dikenali.

Kita berusaha mendapatkan pujian dengan menyamarkan atau menyembunyikan kendali. Pembicara televisi atau ketua partai anu yang berpidato, menggunakan prompter yang tak terlihat, dan seorang dosen melirik catatannya secara diam-diam, dan ketiganya kemudian tampak lancar ngomong dari ingatan atau tanpa persiapan, padahal sebenarnya—dan yang kurang terpuji, bagi dua yang disebut belakangan—bacain doang. Kita berupaya memperoleh pujian dengan menemukan dalih yang kurang kuat bagi perilaku kita. Kita 'menyelamatkan muka' dengan mengaitkan perilaku kita dengan penyebab yang kurang terlihat atau kurang kuat—dengan berperilaku, misalnya, seolah-olah kita tak berada di bawah ancaman.
Ketika kita memikirkan penghargaan yang akan diberikan kepada orang lain, kita meminimalkan penyebab perilaku mereka yang mencolok. Kita menggunakan teguran lembut ketimbang hukuman karena penguat yang terkondisi kurang mencolok dibanding yang tak terkondisi, dan penghindaran lebih terpuji daripada menghindar. Kita memberi mahasiswa kita petunjuk ketimbang memberitahukan seluruh jawaban, ia akan mendapatkan pujian karena mengetahui petunjuk itu cukup. Kita hanya menyarankan atau menasehati ketimbang memberi perintah. Kita memperbolehkan mereka yang akan berperilaku dengan cara yang tak menyenangkan.
Kita nampak tertarik pada penggunaan yang bijak ketika kita menyebut penghargaan dan hukuman adil atau tidak adil dan setimpal atau tak setimpal. Kita lebih risau dengan apa yang seseorang 'pantas dapatkan', atau, seperti yang dikatakan kamus, apa yang 'layak,' atau cukup berhak, atau mampu mengklaim secara sah berdasarkan tindakan yang dilakukan atau kualitas yang ditampilkan.' Sebuah penghargaan yang sangat bermurah-hati lebih dari yang dibutuhkan demi mempertahankan perilaku. Ini sangat tidak adil ketika tiada yang dilakukan sama sekali yang pantas mendapatkannya, atau ketika, pada kenyataannya, apa yang telah dilakukan pantas mendapat hukuman. Hukuman yang terlalu berat juga tak adil, terutama ketika sama sekali tak ada yang dilakukan agar pantas mendapatkannya atau ketika seseorang berperilaku baik. Konsekuensi yang tak sepadan, dapat menyebabkan masalah; Nasib baik sering kali memperkuat kemalasan, misalnya, dan nasib buruk sering kali menghukum ketekunan.
Kita mencoba memperbaiki kontinjensi yang rusak ketika kita mengatakan bahwa seorang hendaklah 'menghargai' keberuntungannya. Maksud kita bahwa ia seyogyanya bertindak dengan cara yang akan diperkuat secara adil oleh apa yang telah diterimanya. Faktanya, kita dapat berpendapat bahwa seseorang dapat menghargai berbagai hal hanya jika ia telah mengusahakannya. Etimologi 'menghargai' itu penting: menghargai perilaku seseorang bermakna memberi harga padanya. 'Penghargaan' dan 'takzim' merupakan istilah terkait. Kita menghargai perilaku dalam makna memperkirakan kelayakan penguatan. Kita menghormati hanya dengan memperhatikan. Maka, kita menghormati lawan yang layak dalam artian bahwa kita waspada terhadap kekuatannya. Seseorang memperoleh rasa-hormat dengan mendapatkan perhatian, dan kita tak menghormati mereka yang 'di luar jangkauan perhatian kita'. Kita pasti memperhatikan hal-hal yang kita takzimi atau hargai, tetapi dengan melakukannya, kita tak serta merta memberi nilai padanya.

Martabat tak semata menjelaskan aspek apa maknanya menjadi manusia, melainkan pula merupakan ciri kemanusiaan kita bersama. Semua orang ingin diperlakukan dengan cara yang menunjukkan bahwa mereka penting, kata Donna Hicks.
Dambaan universal kita akan Martabat, mendorong spesies kita dan mentakrifkan kita sebagai manusia. Inilah penyebut umum tertinggi kita, namun kita cuma tahu sedikit tentangnya. Sulit bagi orang mengartikulasikan dengan tepat apa Martabat itu. Apa yang mereka ketahui lebih seperti intuisi atau indra keenam. 'Ya, martabat itu penting,' kata orang-orang kepada kita, namun mereka tak bisa mengungkapkan intuisinya saat kita meminta mereka mewujudkannya ke dalam bentuk kata-kata.
Apa yang biasanya orang katakan bahwa martabat merupakan rasa hormat. Tapi, Martabat tak sama dengan Respect atau Rasa-hormat. Martabat itu, atribut yang kita miliki sejak lahir—nilai-nilai dan kepatutan bawaan kita. Kita semua terlahir mustahak.
Rasa-hormat itu, berbeda. Kendati setiap orang bermartabat, tak semua orang pantas dihormati. Rasa-hormat seyogyanya diperoleh. Bila aku mengatakan bahwa aku menghormati seseorang, itu lantaran ia telah melakukan sesuatu yang mengagumkan—berupaya lebih keras agar mendapatkan kekagumanku. Tindakan orang itu menginspirasiku. Aku berkata pada diri sendiri, 'Aku ingin menjadi seperti orang itu.' Martabat merupakan sesuatu yang kita semua pantas dapatkan, apa pun yang kita lakukan. Titik awal inilah cara kita saling memperlakukan. Guna menghilangkan kebingungan, mungkin, sangat penting saling menghormati Martabat masing-masing.

Menurut Donna Hicks, ada sepuluh unsur Martabat. Pertama, Penerimaan Identitas. Dekati manusia dengan pandangan tak lebih rendah atau lebih tinggi darimu; memberikan kebebasan kepada orang lain mengekspresikan diri mereka yang sebenarnya tanpa takut dihakimi secara negatif; berinteraksi tanpa prasangka atau bias, menerima bahwa karakteristik seperti ras, agama, jenis kelamin, kelas, usia, dan disabilitas, merupakan inti dari identitas mereka.
Rekognisi. Memvalidasi orang lain atas bakat, kerja-keras, perhatian, dan bantuan mereka; bermurah-hati dengan pujian; memberikan penghargaan kepada orang lain atas kontribusi, ide, dan pengalaman mereka.
Penerimaan. Beri orang perhatian penuhmu dengan mendengarkan, menelaah, memvalidasi, dan menanggapi kekhawatirannya dan apa yang telah mereka lalui.
Menyertakan. Membuat orang lain merasa memiliki, di semua tingkat keterhubungan (keluarga, komunitas, organisasi, dan bangsa).
Keamanan. Buatlah orang merasa nyaman pada dua derajat: secara fisik, sehingga mereka merasa bebas dari kemungkinan cedera fisik, dan secara psikologis, sehingga mereka merasa bebas dari kekhawatiran akan dipermalukan atau dihinakan, serta bebas berbicara tanpa pembalasan.
Keberimbangan. Perlakukan orang dengan adil, dengan kesetaraan, dan dengan cara yang wajar dan tak memihak dalam perlakuan atau penilaian, sesuai dengan hukum dan aturan yang disepakati.
Kemerdekaan. Berdayakan orang agar bertindak atas nama mereka sendiri, sehingga mereka merasa mengendalikan hidupnya, serta merasakan harapan dan kemungkinan.
Memahami. Percayalah bahwa apa yang dipikirkan orang lain itu penting; beri mereka kesempatan menjelaskan perspektif mereka dan mengungkapkan sudut pandang mereka; aktiflah menelaah agar memahaminya.
Mempercayai kendati tak yakin sepenuhnya. Perlakukan orang seolah-olah mereka dapat dipercaya; mulailah dengan premis bahwa orang lain punya motif yang baik dan bertindak dengan integritas.
Akuntabilitas. Bertanggungjawab atas tindakanmu; meminta maaf jika engkau telah melanggar martabat orang lain; berkomitmen mengubah perilaku yang menyakitkan.

Perlu kita perhatikan bahwa dalam konteks ini, kita berbicara tentang manusia, sekali lagi, menungso, bukan institusi semisal lembaga Kepresidenan atau sejenisnya. Dan pada sesi selanjutnya, kita akan membicarakan manfaat Martabat dalam kaitannya dengan manusia, satu dengan yang lain, bi 'idznillah."

Setelah itu, Wulandari menembangkan keroncong satire-nya Waljinah,

Lelene mati digepuk
[Lelenya mati digetok]
Gepuk nganggo walesane
[Getok pakai gagang-pancingnya]
Suwe ora petuk, ati sido remuk
[Lama tak bersua, hati jadi remuk]
Kepetuk mung suwarane
[Soalnya ketemu suaranya doang]
E ya-e ya-e
E ya-e ya-e ya-e ya-e
Jangkrik genggong ... jangkrik genggong
Luwih becik omomg-kosong *)
[Lebih baik omong-kosong]

[Sesi 3]
[Sesi 1]