"Tiga ekor kodok, yang baru saja pulang berkeliling dunia, sedang membicarakan pengalaman mereka. Salah seekor dari mereka berkata, 'Gue ketemuan ma orang Rusia, doi bilang gini,' Di Amerika, loe bebas ngomong. Loe boleh berdiri di depan Gedung Putih, trus teriak, 'American President Sucks.' Nah, dulu, saat Rusia masih berbentuk Uni Soviet, loe juga punya kebebasan ngomong. Loe bisa berdiri di depan Kremlin, lalu teriak 'American President Sucks.' Kodok lainnya, menimpali, 'Gue juga pernah dengerin kek gitu. Ceritanya seperti ini, 'Seorang diplomat Rusia dan seorang diplomat Amerika sedang ngomongin tentang perbedaan antara kedua sistem mereka. Orang Amerika berusaha memudahkan orang Rusia supaya memahami konsep kebebasan berbicara.
'Kapan aja gue mau', kata si Yangki, 'gue bisa berjalan ke puncak tangga di Capital Hill dan teriak, 'The President of America is a crook and a liar!' dan gak ada tuh yang ngrecokin gue.'
'Hah! Loe naif, teman Amerika! Gue,' kata si orang Rusia, 'boleh naik tangga ke pintu Kremlin, gedor pintu, membiarkan Pengawal Merah ngelilingin gue, trus teriak sekeras mungkin, 'The President of America is a crook and a liar!' dan gak ada tuh yang ngrecokin gue.'
Kodok terakhir menambahkan, 'Gak seperti di Amerika dan Rusia, di Sino, kebetulan seorang bohemian borjuis liberal Barat, bertemu dengan seorang Sino Komunis kapitalis di sebuah bar. Sang liberal Barat koar-koar kepada komunis Sino bahwa di negaranya, doi bebas ngomong sehingga doi boleh streaming video ke jutaan orang di Twitter dan Facebook, tentang bagaimana doi mencela pemerintah Baratnya sebagai korup dan jahat.
Komunis Sino menggelengkan kepalanya dan menjawab, 'Itu belum apa-apa. Kami bahkan punya lebih banyak kebebasan berbicara di Sino ketimbang demokrasi dekaden ellu. Gue boleh streaming video ke ratusan juta orang di Weibo dan Tencent, nunjukin diri gue, mencela pemerintah Barat sebagai korup dan jahat!!'" berkata Wulandari, usai sinarnya menyoroti daftar nama orang yang kurang kerjaan, tapi pingin dapat jabatan.
"Sebagai cita-cita," lanjut Wulandari, "merdeka berpikir dan merdeka berbicara, berakar pada catatan sejarawan Herodotus dan Thucydides, yang menjelaskan kekhasan Athena abad kelima, dalam pencarian Socrates tentang kejelasan filosofis dan apresiasi batas pemahaman, dalam perhelatan partisipasi politik Euripides dan Pengakuan Aristoteles atas kekuatan opini publik, dalam upaya para humanis Renaisans seperti Petrarch dan Erasmus membebaskan penalaran moral dari formalisme skolastik, dalam nasihat Machiavelli tentang aturan kehati-hatian, dalam pengertian tentang kesadaran bebas dan keingintahuan, yang diperkenalkan oleh Reformasi Protestan, dan dalam sistematisasi metode ilmiah pencarian pengetahuan terbuka. Namun, untuk memahami kemerdekaan berbicara dan pers, sebagai prinsip-prinsip fundamental yang membatasi pemerintahan, argumen paling awal yang terus dibaca hingga kini ialah Areopagitica karya John Milton tahun 1644.
Prihatin tentang propaganda royalis dan radikalisme agama selama Perang Saudara Inggris, parlemen menerapkan persyaratan agar segala karya tulis, disetujui sebelum diterbitkan. Peniruan rezim sensor Kerajaan yang telah berlangsung selama lebih dari satu setengah abad, membuat Milton tertekan, meskipun ia mendukung pihak parlementer. Ia mengambil penanya dan menerbitkan protes yang ditandatangani tanpa mendapatkan persetujuan, dengan bangga menentang persyaratan lisensi. Ia menamainya dari sebuah esai dari seorang kritikus pemerintah Athena kuno.
Freedom of Speech [walaupun umum diterjemahkan sebagai 'Kebebasan Berbicara', tapi aku lebih cenderung menerjemahkannya sebagai 'Kemerdekaan Berbicara'] merupakan komitmen sentral dari liberalisme politik, prinsip hukum konstitusional positif di hampir semua konstitusi modern dan prinsip hukum hak asasi manusia internasional. Kendati di antara prinsip-prinsip hukum dan konstitusional yang paling banyak disepakati dan dirayakan di zaman modern, ia juga menjadi sumber ketidaksepakatan yang bertahan lama dan intens. Bab dua On Liberty-nya John Stuart Mill's—'On the Liberty of Thought and Discussion'—merupakan pembelaan Kemerdekaan Berbicara yang paling top dalam kanon filosofis, kata Christopher Macleod.
Argumen Mill bagi kemerdekaan bercakap-cakap, merujuk pada konsepsinya tentang manusia dan tempat mereka di dunia. Manusia, klaim Mill, sepenuhnya merupakan bagian dari tatanan alam—dengan demikian, pikiran manusia, serta tubuh, sepenuhnya diatur menurut hukum yang ditemukan oleh penyelidikan ilmiah. Visi pikiran ini, yang beroperasi menurut hukum alam, mengarah pada pandangan dimana satu-satunya alat interaksi kita dengan dunia adalah interaksi kausal. Sejauh kita dapat mengenal dunia, klaim Mill, kita dapat melakukannya hanya dengan menerima dunia secara kausal. Dengan demikian, kemungkinan pengetahuan substantif apriori dihalangi, karena semua penerimaan terhadap dunia terjadi melalui indera.
Keterlibatan kita dengan dunia, bisa dikatakan, sensible [tindakan yang dipilih sesuai dengan kearifan atau kehati-hatian]. Kita mungkin dapat membayangkan makhluk-makhluk yang mampu mengetahui unsur-unsur dunia melalui wawasan langsung dan tanpa perantara. Makhluk seperti ini, akan tahu bagaimana keadaannya tanpa terpengaruh. Tapi kita bukan mereka. Kita dapat mengetahui dunia dengan tindakan refleksi murni hanya 'jika kita dapat mengetahui secara apriori bahwa kita pasti telah diciptakan agar mampu memahami apa pun yang mampu ada: bahwa alam semesta pemikiran dan realitas, Mikrokosmos dan Makrokosmos (begitu sebelumnya disebut) kiranya dibingkai dalam korespondensi lengkap '. Namun, asumsi yang tak punya bukti, hampir tak dapat dibuat. Bagi kita, tiada pengetahuan yang dapat dikenali oleh benak cahaya batin. Sebagai makhluk alam, pengetahuan kita tentang bagaimana benda-benda ada, pada dasarnya, cara interaksi dengan dunia yang sepenuhnya alami dengan sendirinya.
Selain sensible, keterlibatan kita dengan dunia juga diskursif [berkaitan dengan nalar]. Pemikiran dilakukan, jelas Mill, melalui dan dengan penerapan konsep—atau, dalam terminologi yang disukai Mill, 'general names'. Pengetahuan kita berupa pemahaman bahwa segala sesuatu berada dengan cara tertentu. Cara terlibat dengan dunia yang tidak memungkinkan kita menganggap objek memiliki kualitas, 'takkan memungkinkan kita membuat satu pernyataan pun yang berkaitan dengannya'. Bamun, klaim bahwa suatu objek punya kualitas, merupakan klaim relasional: bahwa objek ini serupa dalam beberapa hal dengan objek lain. Satu-satunya makna yang sama sekali mempredikatkan predikat kualitas, ialah menegaskan kemiripan. Bagi kita, kemiripan seperti itu sendiri, tak dirasakan di antara objek, melainkan menyertakan pemikiran tentang apa yang disampaikan oleh sensasi. Pengetahuan tentang dunia, dengan demikian, melibatkan sensasi, tapi juga, interpretasi. Dalam konteks inilah, kita kiranya memahami klaim Mill bahwa, 'semua pembungkaman opini adalah asumsi 'infallibility' [ketidakbolehan berbuat salah].
Argumen falibilitas manusia, berdiri sendiri, dan cukup dengan sendirinya menetapkan apa yang kita sebut the Freedom of Discussion Principle: bahwa tak boleh ada campurtangan dalam percakapan tentang pendapat apa pun. Karena tanpa pembahasan yang tiada batas, kita tak dapat meyakini bahwa kita telah mempertimbangkan semua bukti yang tersedia, atau bahwa interpretasi kita atas bukti tersebut, baik—dan karenanya, kita tak dapat menganggap keyakinan kita, dapat dibenarkan. Argumen ini, didukung oleh dua argumen lebih lanjut. Bahwa sebuah pendapat, tak boleh dirahasiakan karena boleh jadi, benar, dan bahwa, kendati suatu pendapat itu, keliru, atau sekalipun cuma sebagian dari kebenaran, seyogyanya tetap didengarkan. Bahkan Mill berargumen bahwa keyakinan yang keliru, semestinya didengarkan, mengacu pada konsepsi ilmu yang cukup spesifik, berdasarkan pengamatan tentang 'cara dimana kebenaran hendaknya dipegang oleh manusia'.
Lantas, kenapa dong ngebelain Kemerdekaan Berbicara? Beberapa yang berpendapat bahwa kemerdekaan berbicara sangat penting bagi 'self-government' [sebuah sistem dimana warga suatu negeri (atau unit politik yang lebih kecil, seperti negara) mengatur diri sendiri dan mengendalikan urusannya sendiri, bebas dari kontrol pemerintah eksternal atau otoritas politik luar], kata William P Marshall. Warga negara semestinya punya akses informasi guna menjalankan hak-pilih secara cerdas dan meminta pertanggungjawaban perwakilan terpilih mereka. Yang lain berpendapat bahwa, kemerdekaan berbicara seyogyanya dibela, sebab merupakan aspek sentral dari otonomi pribadi dan realisasi diri. Pendapat lain, khususnya di komunitas internasional, membela kemerdekaan berbicara sebagai aspek penting dari martabat individu. Namun, alasan tertua yang ditawarkan untuk mendukung kemerdekaan berbicara adalah pembenaran 'search for truth'. Menurut pemikiran ini, melindungi kemerdekaan berbicara, membentuk pasar gagasan dimana kebenaran pada akhirnya menang atas kedustaan. Oleh karenanya, ucapan tak boleh dibatasi, karena melakukannya, bakalan menghambat pencarian kebenaran tersebut.
Kendati silsilahnya sudah lama, akan tetapi, pembenaran kebenaran telah diserang terus-menerus dari segala arah, sedemikian rupa sehingga setidaknya, satu komentator menggambarkannya sebagai 'on the wane’ [semakin melemah]. Lebih jauh, dan mungkin terkait, gagasan tentang kebenaran itu sendiri, tampak pula telah menjadi konsep yang semakin tak populer, di dunia yang semakin terpolarisasi. Bahwa beberapa orang masih akan memandang pencarian kebenaran sebagai pembenaran utama agar kemerdekaan berekspresi, mungkin dianggap oleh orang lain sebagai sangat sesat dan naif.
Namun, pembenaran kebenaran, punya pembelanya. Konsep kebenaran telah lama menguasai imajinasi manusia, dan kekuatan penjelas kebenaran sebagai pedoman perilaku manusia, terus bergema. Pertanyaan tentang masihkah pembenaran kebenaran menjadi dalil yang valid guna mendukung kemerdekaan berbicara, oleh karenanya, menjadi pertanyaan terbuka.
Istilah 'Freedom of Expression' [Kemerdekaan Berekspresi] dapat mencakup kemerdekaan berbicara, kemerdekaan pers, hak mengajukan petisi kepada pemerintah, dan kemerdekaan berserikat politik. Ada hubungan antara kemerdekaan berekspresi dan demokrasi, baik dari perspektif historis maupun teoretis.
Bahkan sebelum bentuk-bentuk pemerintahan demokratis mengakar di dunia modern pada akhir abad ke-18, para pendukung pemerintahan kerakyatan, telah lama menawarkan pembenaran demokratis bagi kebebasan berekspresi, menurut Ashutosh Bhagwat dan James Weinstein. Selama Perang Saudara Inggris di pertengahan abad ketujuh belas, Levellers, sekelompok Puritan yang menganjurkan hak pilih yang lebih luas bagi kaum lelaki, menggunakan kedaulatan rakyat sebagai argumentasi kemerdekaan berekspresi dalam urusan publik. Pada tahun 1670, filsuf Yahudi-Belanda, Baruch Spinoza, berpendapat bahwa karena dalam 'negara demokrasi' setiap keputusan kolektif terbuka untuk direvisi, jika rakyat 'harus mencari jalan yang lebih baik', maka setiap orang harus 'dibolehkan memikirkan apa yang mereka inginkan dan menyatakan apa yang mereka pikirkan'. Pada tahun 1720-an, mencerminkan argumen Whig Inggris Radikal yang mendukung kedaulatan rakyat daripada parlementer, John Trenchard dan Thomas Gordon, menulis sebagai Cato, membela hak yang kuat untuk mengkritik pejabat publik. Esai Cato sangat berpengaruh di koloni Amerika, saat pertama kali diterbitkan. Tulisannya terus dibaca secara luas di Amerika ketika, pada akhir abad ke-18, orang Amerika mengadopsi sebuah konstitusi yang kata-kata pembukanya, 'We the People', mendirikan pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat, dan yang tak lama kemudian, diubah untuk melindungi kemerdekaan berekspresi.
Demokrasi secara harfiah bermakna 'pemerintahan oleh rakyat', menggabungkan kata Yunani demos ('rakyat') dan kratein ('memerintah'). Demokrasi kontemporer hadir dalam banyak variasi, masing-masing diwarnai oleh budaya dan sejarahnya yang khas. Terlepas dari perbedaan-perbedaan ini, penyebut yang sama dari semua demokrasi kontemporer adalah komitmen praktis, jika tak selalu formal, terhadap kedaulatan rakyat—suatu keadaan dimana rakyat menjalankan kendali penuh atas pemerintah mereka. Ajaran dasar lain dari setiap demokrasi kontemporer adalah, kesetaraan politik formal setiap warga negara. Komponen penting dari masing-masing dari kedua norma demokrasi dasar ini adalah kemerdekaan berekspresi politik.
Kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa 'kekuasaan politik tertinggi terletak, umumnya, pada populasi, bahwa rakyat sebagai suatu badan berdaulat, dan bahwa mereka, baik secara langsung atau melalui wakil-wakil yang mereka pilih dalam artian pentingnya, benar-benar mengendalikan jalannya pemerintahan'. Cara yang paling jelas dan langsung dimana rakyat menjalankan kontrol atas pemerintah mereka ialah, melalui pemungutan suara, baik dengan memilih perwakilan, atau dengan langsung memberikan suara pada undang-undang atau kebijakan melalui tindakan pemungutan suara, semisal referendum, inisiatif, dan penarikan kembali. Karena hak-pilih sangat penting untuk kontrol populer atas pemerintahan, masyarakat yang sama sekali tak memiliki hak-pilih, jelas bukan demokrasi. Akan tetapi, sifat langsung kontrol ini, cenderung mengaburkan prasyarat demokrasi modern yang kurang langsung, namun sama pentingnya: hak rakyat untuk berbicara secara bebas tentang keputusan kolektif dalam lingkup kedaulatan tertinggi rakyat, yaitu, tentang masalah-masalah perhatian publik.
Mekanisme utama dimana kemerdekaan berekspresi dalam demokrasi mengendalikan pemerintah adalah opini publik. Hak rakyat untuk berbicara secara bebas tentang masalah-masalah yang menjadi perhatian publik, pada gilirannya, penting untuk pembentukan opini publik, yang dengannya, rakyat mengontrol pemerintah. Hal ini disebabkan propaganda pemerintah dan pernyataan pejabat pemerintah juga mempengaruhi opini publik. Jika rakyat tak dapat secara bebas mengekspresikan pandangan mereka tentang masalah publik, maka opini publik sebagian besar akan mencerminkan pandangan pejabat pemerintah, dan dengan demikian, menjadi alat kontrol rakyat yang tak efektif terhadap pemerintah.
Kemerdekaan berbicara telah menjadi bagian dari konstitusionalisme modern sejak permulaannya, pada kuartal terakhir abad ke-18. Beberapa penulis berasumsi bahwa setiap hak fundamental punya inti martabat manusia, sehingga kemerdekaan berbicara, dapat dipandang sebagai konkretisasi martabat manusia.
'Human Dignity' [Martabat Manusia] sebagai jaminan konstitusional, merupakan hal baru. Elemen inilah konstitusionalisme pasca-Perang Dunia II. Rupanya, dibutuhkan kekejaman sistem totaliter seperti Hitler di Jerman dan Stalin di Uni Soviet, serta pengorbanan manusia yang mahahebat pada Perang Dunia II, agar tercipta perasaan bahwa sesuatu yang lebih dari sejumlah hak individu, diperlukan untuk melindungi umat manusia, sebuah norma dasar dimana berbagai hak dapat dikandaskan dan darimana memperoleh maknanya.
Pada sesi berikutnya, kita akan membicarakan tentang 'Martabat Manusia', bi'idznillah."