"Ketiga kodok santuy kita melanjutkan percakapan mereka, kali ini tentang Light Rail Transit (LRT). Salah seekor dari mereka berkata, 'Seorang lelaki berlari ke sebuah rumah petani dan menggedor pintu. Saat sang petani membuka pintu, sang lelaki bertanya, 'Ada nggak sih stasiun LRT di mari?'Sang petani menjawab, 'Adah, tapi lantaran kagak ada akses ke sononya, ente mesti motong jalan lewat kebon ane.'Sang lelaki bertanya, 'Trus, jam berapa LRT berikutnya ke kota?'Sang petani menginfokan, 'Ente mestinya tiba di setatsiun tepat waktu jam 5:20. Tapi kalo banteng ane, nyang lagi ngerumput di sono noh, ngeliyat ente, boleh jadi, ente bisa nyampe di setatsiun, jam 5:00.'"Wulandari kemudian meneruskan, “Mengenali bahwa kita punya martabat dan martabat selalu bersama kita, memungkinkan kita jadi lebih peka terhadap orang lain, mengambil risiko, dan mengucapkan kebenaran, kata Donna Hicks. Kepekaanlah tempatnya kebenaran berada. Semakin kita bisa bersikap jujur dan benar, semakin sedikit kita melanggar martabat diri-sendiri dan orang lain, dan semakin baik hubungan kita berkembang dalam perilaku menyelamatkan muka, yang mengacaukan saling keterhubungan.Tak menyadari kekuatan yang melekat pada martabat, menimbulkan pula masalah bagi kepemimpinan. Adanya krisis kepemimpinan lantaran masyarakat mencari pemimpin berikutnya di luar diri mereka. Jika kita ingin menganggap diri kita sebagai 'mata-air kekuatan', pertama-tama kita perlu mengetahui, secara intim dan yakin, bahwa kekuatan itu, ada dalam diri kita. Martabat merupakan sumber kekuatan yang tak ternilai—memungkinkan kita mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dengan orang lain dan menciptakan perubahan positif dalam hubungan kita.Mengelola kekuatan kita dengan bijak dan jujur, semata bisa terjadi jika kita menyadari nilai dan kepekaan diri kita sendiri dan orang lain, sehingga kita tak menyalahgunakannya. Mendidik diri kita sendiri tentang martabat, merupakan langkah pertama. Mengetahui dan menerima apa yang ada dalam diri kita, akan membebaskan kita dari banyak penderitaan yang tak perlu dan memungkinkan kita menjalani hidup seutuhnya.Belajar tentang martabat melibatkan pemahaman terhadap keadaan dunia batin kita yang kompleks dan seringkali bertentangan, serta tantangan pengalaman emosional yang kita hadapi sehari-hari. Ada pelajaran yang bisa dipetik, yang dapat membantu kita menjadi manusia, pasangan, orangtua, dan pemimpin yang lebih baik. Pelajaran ini dapat memampukan kita agar berkembang menjadi versi terbaik diri kita.Transformasi yang terjadi dengan kesadaran akan martabat membantu kita memperoleh perspektif—hal ini memungkinkan kita agar mengambil langkah menjauh dari sudut pandang kita yang biasa, sehingga kita dapat lebih memahami mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan, mengapa kita merasakan apa yang kita rasakan, dan mengapa kita berpikir seperti yang kita pikirkan. Hal ini, lebih dari sekedar belajar—ia tentang mengembangkan diri kita dengan cara yang membuat kita lebih bijak ketimbang lebih pintar. Kesadaran yang dibawanya, memungkinkan kita melihat titik buta kita dan cara-cara yang menghalangi kita guna menjalani kehidupan secara maksimal—mengekspresikan seluruh bakat kita, menjalin hubungan mendalam dengan orang lain, dan turut-serta dalam kehidupan yang bermakna dan bertujuan.Hicks lalu menyarankan sepuluh cara untuk menghindari pelanggaran martabat kita sendiri dan martabat orang lain. Pertama, jangan biarkan perilaku buruk orang lain menentukan perilakumu sendiri. Menahan diri merupakan bagian terbaik dari martabat. Jangan suguhkan balas-dendam ketika seseorang telah merugikanmu. Jangan lakukan terhadap orang lain seperti yang mereka lakukan terhadapmu. Kedua, jangan berbohong, menutupi-nutupi, atau menipu diri sendiri—katakan yang sebenarnya tentang apa yang telah engkau lakukan. Ketiga, saat engkau telah melanggar harkat dan martabat orang lain, akui kesalahanmu dan minta maaf karena telah menyakitinya. Keempat, waspadalah terhadap keinginan untuk mendapatkan pengakuan eksternal atas martabat seseorang dalam bentuk persetujuan dan pujian. Jika kita bergantung semata pada orang lain untuk membuktikan nilai-nilai kita, kita sedang mencari martabat ecek-ecek. Martabat kita berasal dari dalam diri kita. Kelima, jangan biarkan kebutuhanmu akan koneksi mengorbankan martabatmu. Bila kita tetap berada dalam suatu hubungan dimana martabat kita terus-menerus dilanggar, maka kebutuhan kita akan hubungan, telah melebihi kebutuhan kita untuk menjaga martabat kita sendiri. Keenam, jangan biarkan seseorang melanggar martabatmu tanpa mengatakan sesuatu. Berdirilah untuk dirimu sendiri. Jangan menghindari konfrontasi. Pelanggaran merupakan sinyal bahwa ada sesuatu dalam pertalian yang perlu diubah. Ketujuh, jangan berasumsi bahwa engkaulah korban yang tak bersalah dalam hubungan yang bermasalah. Buka dirimu terhadap gagasan bahwa engkau mungkin berkontribusi terhadap masalah tersebut. Mungkin engkau tak menyadarinya. Kita hendaknya bisa melihat diri kita dari sudut pandang luar sehingga kita bisa melihat diri kita sendiri sebagaimana orang lain melihat kita. Kedelapan, jangan menolak masukan dari orang lain. Seringkali kita tak mengetahui apa yang tak kita ketahui. Kita semua punya titik buta (cara-cara tak bermartabat yang secara tak sadar kita lakukan). Kita perlu mengatasi naluri melindungi diri yang membuat kita menolak kritik yang membangun dan memandang masukan sebagai peluang pertumbuhan. Kesembilan, jangan menyalahkan dan mempermalukan orang lain demi mengalihkan rasa bersalah. Kendalikan keinginan membela diri dengan berupaya membuat orang lain terlihat buruk. Kesepuluh, waspadai kecenderungan berhubungan dengan orang lain melalui gosip tentang orang lain. Bersikap kritis dan menghakimi orang lain ketika mereka tak ada, memang terasa seperti pengalaman yang mengikat dan membuat percakapan menjadi menarik, namun hal ini berbahaya dan tak bermartabat. Jika engkau hendak menciptakan keintiman dengan orang lain, ungkapkan kebenaran tentang dirimu—tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia batinmu—dan ajaklah orang lain melakukan hal yang sama.Kita semua ingin dihormati, namun rasa-hormat seyogyanya diperoleh. Ia tak datang begitu saja atau secara otomatis, semisal karena jabatan atau kebangsawanan. Banyak cara sederhana untuk meraih rasa-hormat, antara lain, menjaga integritas. Inilah landasan guna mendapatkan rasa-hormat; kita tak menghormati siapa pun yang berjanji, kecuali ia yang menepatinya; memberikan rasa-hormat dengan cara menghormati orang-orang di sekitarmu; semakin engkau fokus memberi nilai tambah bagi orang lain, semakin banyak rasa-hormat yang engkau raup, berikan rasa-hormat untuk memperoleh rasa-hormat. Para pemimpin yang dihormati ialah para pemimpin yang dipercaya dan dikagumi orang-orang karena mereka berintegritas, ia peduli terhadap orang-orang yang dipimpinnya, dan mereka menyelesaikan hal-hal hebat secara konsisten.Sama seperti rasa-hormat, kepercayaan juga hendaklah diperoleh. Tanpa kesadaran akan martabat, kemungkinan besar kejengkelan dan ketidakpercayaan, kelak akan muncul. Kepercayaan membutuhkan rasa-aman, dan satu-satunya cara yang puguh guna memastikan bahwa orang merasa aman ialah memperlakukannya dengan bermartabat. Bagi seorang pemimpin, membangun kepercayaan dimulai dengan memunculkan lingkungan yang aman dimana orang-orang merasa nyaman mengekspresikan diri dan mengambil risiko. Maknanya, transparan dan autentik.Mungkin yang paling penting, di tangan pemimpin yang terpercaya, orang-orang yang dipimpinnya akan lebih nyaman dengan perubahan dan lebih bersedia menerima visi baru. Manakala mereka yang engkau pimpin tak mempercayaimu, engkau tak mendapatkan upaya terbaik mereka. Lalu engkau akan mendapati dirimu tak mampu menginspirasi, mempengaruhi, dan menciptakan perubahan nyata—pemimpin yang tak efektif.Penelitian menunjukkan bahwa ketika orang-orang saling percaya di tempat kerjanya, lantaran hubungan mereka kuat, mereka akan lebih berkomitmen terhadap organisasi dan lebih bersedia memberikan kontribusi positif. Penelitian lain menunjukkan bahwa kepercayaan antarpribadi, diperlukan demi berfungsinya organisasi dan berperan dalam menentukan apakah mereka mencapai tujuan dan sasarannya. Kepercayaan membantu pula membangun komitmen para pekerja dan meningkatkan reputasi organisasi, serta kinerja organisasi.Dalam praktik kepemimpinan yang baik, kepercayaan merupakan hal yang penting. Kita semua tahu secara intuitif bahwa kepercayaan diperlukan untuk hubungan yang otentik, namun kita juga tahu, betapa rapuhnya kepercayaan itu dan betapa mudahnya ia dirontokkan.Hicks menyajikan kita sebuah kisah, konflik antara manajemen perusahaan dan para pekerjanya. Lima tahun sebelumnya, sebuah perusahaan mengalami masa-masa sulit dan hampir bangkrut. Semua orang tahu bahwa perusahaan sedang mengalami keadaan yang rapuh, dan para pekerja tak hanya mengkhawatirkan kelangsungan hidup perusahaan, tapi juga pekerjaan mereka. Banyak pekerja yang telah bekerja bagi organisasi tersebut selama beberapa dekade dan merasakan loyalitas yang mengagumkan terhadap organisasi. Karena putus asa, tim manajemen meminta para pekerjanya membantu mereka menghindari kebangkrutan dengan melakukan pemotongan upah. Mereka meminta semua orang agar 'bersatu dan menang bersama.' Seluruhnya sepakat, dan perusahaan berjalan tertatih-tatih selama lima tahun ke depan, menghindari skenario terburuk.Tak terduga, kinerja perusahaan kembali membaik, dan jelas bahwa strategi 'bersatu dan menang bersama,' berjaya. Namun, di sinilah problem dimulai. Para pekerja, sepenuhnya berharap bahwa ketika perusahaan mulai kembali berjalan dengan baik, upah mereka akan dipulihkan. Hal ini tak terjadi. Terlebih lagi, tim manajemen memberikan bonus besar buat diri mereka sendiri, dengan dalih bahwa itu langkah yang legal dan ada dalam kontrak. Dari sudut pandang para eksekutif, mereka tak melakukan kesalahan apa pun.Protes keras dari para pekerja, seketika terasa. Mereka merasa dikhianati. Apa gunanya 'bersatu dan menang bersama'? Mereka telah memberikan manfaat dari keraguan tersebut kepada para pemimpin, dengan keyakinan bahwa jika perusahaan mulai melakukan hal yang lebih baik, mereka akan melakukan hal yang benar. Kepercayaan yang dirasakan para pekerja terhadap tim manajemen selama krisis, sirna begitu saja. Para pekerja merasa dieksploitasi dan dilanggar dalam segala hal, sehingga terputuslah hubungan dengan tim manajemen.Selain pengkhianatan terhadap kepercayaan, para pekerja merasa, martabatnya telah dilanggar dalam banyak hal. Mereka diperlakukan tidak adil; rasanya seperti sebuah kezhaliman. Mereka merasa gak direken—seolah-olah identitas mereka tak penting. Mereka tak dianggap atau diakui atas kontribusi yang telah mereka berikan demi membantu perusahaan bertahan hidup. Mereka tak lagi merasa aman dalam hubungannya dengan manajemen. 'Gak ada yang tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap kami,' salah satu kelompok pekerja melaporkan. Mereka merasa dikucilkan dari rejeki nomplok yang diperoleh perusahaan, namun yang paling meresahkan para pekerja adalah, pihak manajemen tak mau membicarakan bonus, apalagi dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka. Seorang pekerja menyimpulkannya sebagai berikut, 'Manajemen selalu ngomong kalo bonus buat mereka itu, sah-sah aja—soalnya ada dalam kontrak mereka. Tapi kan biarpun sah, itu bukan berarti benner doong.'Engkau dapat menyaksikan bagaimana hampir semua elemen martabat dikompromikan dalam satu keputusan yang diambil oleh tim manajemen. Diamnya para tim manajemen dan keengganan mereka berdialog, justru memperburuk keadaan. Seberapa besar kemungkinan kepercayaan dapat dipulihkan? Sayangnya, para eksekutif tak bersedia mengambil tanggungjawab apa pun atas keputusan mereka, sehingga hubungan tersebut tak mungkin diperbaiki. Perusahaan tak pernah pulih dari keretakan dengan para pekerjanya.Masyarakat berharap agar para pemimpin dan para 'manajernya', punya standar sikap moral. Agar menjaga hubungan baik dengan mereka yang dipimpinnya, pemimpin tak perlu semata pandai secara teknis dalam melakukan apa yang mereka lakukan, namun pula, menunjukkan komitmen untuk melakukan apa yang benar bagi orang lain. Orang bilang, bahwa kepemimpinan mempunyai dimensi etika yang berkaitan dengan memperlakukan orang lain dengan baik—demi menghormati martabat mereka. Dimensi etis ini, hadir manakala hubungan antara para pemimpin dan mereka yang dipimpin, amat kuat, dan kepercayaan berada pada titik tertinggi. Sebaliknya, kepercayaan cepat sirna tatkala para pemimpin menyimpang dari tindakan yang benar.Reaksi manusia terhadap cederanya kepercayaan, berlangsung cepat dan otomatis. Bagian inilah warisan dari evolusi kita, yang diturunkan kepada kita seperti gen dominan. Kita dengan cepat mengecualikan orang lain dari lingkaran moral kita, kala kita merasa dikhianati, terutama oleh orang-orang yang kita merasa terhubung dan berempati. Seorang ahli saraf menjelaskan bahwa empati dan rasa-muak, sebagian dimediasi oleh wilayah otak yang sama. Maka, masuk-akal bila kegagalan dalam tingkat empati yang tinggi, dapat menimbulkan reaksi rasa-muak yang sangat kuat. Dalam cerita tersebut, binasanyanya kepercayaan dan empati, hanyalah satu pelanggaran martabat, dan dapat dikatakan bahwa ketika pelanggaran itu terjadi, para pekerja akan merasa muak.Paul Zak, telah mempelajari masalah tentang kepercayaan dan banyak menulis tentang perannya dalam menciptakan lingkungan kerja yang produktif. Dalam artikel yang ditulisnya untuk Harvard Business Review, ia melaporkan bahwa kepercayaan itu, baik untuk bisnis. Menciptakan budaya kepercayaan dalam organisasi, akan meningkatkan produktivitas, kerjasama, energi diskresi, dan retensi para pekerja. Orang-orang tercatat merasa lebih bahagia dan didukung dalam lingkungan dimana kinerja yang lebih kuat dapat dipupuk. Salah satu temuan penelitiannya adalah, ketika orang merasa percaya pada seseorang, maka akan dihasilkan zat kimia otak bernama oksitosin. Bahan kimia ini, menandakan bahwa seseorang aman untuk didekati. Penelitiannya menunjukkan bahwa, semakin banyak orang mempercayai orang lain, semakin banyak otak mereka memproduksi oksitosin. Dalam serangkaian penelitian lainnya, ia memberikan oksitosin (melalui semprotan hidung) pada subjek dan menemukan bahwa mereka yang diberi semprotan dua kali, lebih mungkin bersikap percaya terhadap orang asing dibandingkan mereka yang tak menerimanya. Ia menemukan pula bahwa stres, merugikan kepercayaan orang lain. Terakhir, ia melaporkan bahwa oksitosin meningkatkan empati.Daniel Goleman menjelaskan bahwa salah satu pengalaman manusia yang paling memuaskan adalah 'pengalaman mengalami', atau yang disebutnya dengan saling berempati.Ia juga memberi tahu kita tentang pengalaman bersama sebagai manusia—bahwa kita terhubung dengan orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa, karena kita terprogram untuk terhubung, kita cenderung pula membaca niat orang lain dan berempati. Goleman mendefinisikan empati dalam tiga cara: mengetahui (memahami secara kognitif) apa yang dirasakan orang lain; merasakan (mengalami) apa yang dirasakan orang lain; dan merespons dengan penuh kasih (bertindak) terhadap kesusahan orang lain. Ia menyimpulkannya begini, 'Aku memperhatikanmu, aku merasa bersamamu, jadi aku bertindak untuk membantumu.'Hal yang mengagumkan tentang empati ialah, saat kita berempati dengan orang lain, otak mengaktifkan jalur saraf yang sama dalam diri kita masing-masing. Goleman menjelaskan, 'Dengan kata lain, agar memahami apa yang dialami orang lain—berempati—kita menggunakan jaringan otak yang sama, yang aktif selama pengalaman kita sendiri. Neuron-neuron cermin kita, selaras, memungkinkan kita berkomunikasi tanpa kata-kata. Apa yang ada dalam benaknya, memenuhi benak kita.'Ia menegaskan bahwa tanpa empati, pertalian akan rusak. Empati menghambat kelaliman terhadap orang lain. Ia berkekuatan membungkam amigdala, bagian otak yang dapat memicu perilaku agresif. Tanpa kemampuan kita berempati, pengalaman hubungan antarmanusia takkan menjadi sumber alami kenyamanan dan keamanan, namun berpotensi menjadi sumber ancaman dan bahaya. Walau kita semua dilahirkan untuk mencintai dan berempati—kita berkecenderungan biologis yang tertanam dalam otak kita—tiada jaminan bahwa kita akan mengembangkannya. Bayi membutuhkan pengalaman cinta dan perhatian agar mengaktifkan kapasitas empati, dan kemudian mereka—dan kita—membutuhkannya sepanjang sisa hidup. Empati membutuhkan interaksi penuh perhatian dan kasih-sayang seumur hidup dengan orang lain. Maka, di sini kita dapat menemukan hubungan antara empati dan martabat, dengan kuatnya demonstrasi cinta dan kepedulian, itulah saling menghormati martabat.Siapa pun yang berupaya menjalankan kepemimpinan, sebaiknya memasukkan pengetahuannya tentang apa yang diperlukan untuk menghormati martabat. Kendati kita semua dilahirkan dengan bermartabat, kita tak dilahirkan dengan mengetahui bagaimana bertindak sesuai dengan kebenaran ini.Kita telah berkembang dengan kebutuhan yang kuat, bertaut dengan orang lain dan kerinduan kuat yang menyertainya, agar disukai dan dicintai. Pengaturan bawaan otak kita, menginginkan kita turut serta memikirkan orang lain.Aspek mendasar dari apa makna menjadi manusia, sangatlah penting. Ketidakstabilan emosi yang terkait dengan penghormatan atau pelanggaran terhadap martabat kita, tak dapat dilebih-lebihkan. Di kala orang merasa bahwa nilai-nilai dan kelayakan mereka diakui dalam keterhubungan mereka, mereka merasakan kualitas hidup mereka, yang memungkinkannya tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, jika martabat mereka sering dicederai, maka partalian akan dialami sebagai sumber rasa sakit dan penderitaan. Baik atau buruk, kita bakalan menghabiskan seluruh hidup kita, termotivasi oleh hubungan sosial. Para pemimpin yang memahami kekuatan memperlakukan orang dengan baik, akan melihat masyarakatnya berkembang, dan mereka akan berkembang bersamanya. Sebab manakala kita menghormati martabat orang lain, kita memperkuat martabat kita sendiri. Wallahu a'lam."Saatnya berangkat, Wulandari bergerak pergi sambil melagukan tembang jenakanya Benyamin Sueb,Sang bango, eh sang bangau, kenape elu, elu, delak-delok?Sang bangau, ngau, ngau, eh sang bango, kenape elu, elu, delak-delok?Mangkenye aye, aye, delak-delok, sang kodok, eh, kerak-kerokMangkenye aye, aye, delak-delok, sang kodok, eh, kerak-kerokSang kodok, eh, eh, eh, sang kodok, kenape elu, elu, kerak-kerok?Sang kodok, eh, eh, eh, sang kodok, kenape elu, elu, kerak-kerok?Mangkenye aye, aye, kerak-kerok, orang-orang, eh, pade ngorokMangkenye aye, aye, kerak-kerok, orang-orang, eh, pade ngorokBang orang, eh, eh, eh, bang orang, kenape elu, elu, pade ngorok?Bang orang, eh, eh, eh bang orang, kenape elu, elu, pade ngorok?Mangkenye aye, aye, pade ngorok, sang kodok kerak-kerokMangkenye aye, aye, pade ngorok, sang kodok, eh kerak-kerokSang kodok, eh, eh, eh, sang kodok, kenape elu, elu, kerak-kerok?Sang kodok, eh, eh, eh, sang kodok, kenape elu, elu, kerak-kerok?Mangkenye aye, aye, kerak-kerok, bikin musik, lagunye house rockMangkenye aye, aye, kerak-kerok, bikin musik, lagunye house rock **)
Kutipan & Rujukan:
- Adrienne Stone & Frederick Schauer (ed.), The Oxford Hanbook of Freedom of Speech, 2021, Oxford University Press
- Donna Hicks, Ph. D, Dignity: It's Essential Role in Resolving Conflict, 2021, Yale University Press
- Donna Hicks, Ph. D, Leading with Dignity, 2018, Yale University Press
- George Kateb, Human Dignity, 2011, Harvard University Press
- Robin S. Dillon, Dignity, Character and Self-Respect, 1995, Routledge
- B. F. Skinner, Beyond Freedom and Dignity, 1976, Penguin
*) "Jangkrik Genggong" karya Andjar Any
**) "Sang Bango" karya Benyamin Sueb
[Sesi 2]
[Sesi 1]