Senin, 31 Juli 2023

Obrolan sang Barista (3)

"Masuk ke rimba-raya Sumatera pada safari pertamanya, seorang turis dari Negeri Tirai Bambu, merasa yakin bisa mengatasi keadaan darurat apa pun. Ia mendekati pemandu pribumi yang berpengalaman dan berkata dengan angkuh, 'Haiyyaa... Owe tahu kalo bawa obol bakalang biking macan takuklaah.'
'Iya, loe bener,' jawab sang pemandu. 'Taapii, entu tergantung seberapa cepet loe lari bawa obornya.'"

"Kita lanjutken," kata 'teh Barista. "Di sebagian besar abad ke-20, istilah 'welfare' dan 'well-being' digunakan kurang lebih secara sinonim dalam perbincangan tentang pembangunan manusia, keadilan sosial, dan kebijakan publik. Namun, dalam perspektif ilmu ekonomi, perkataan 'walfare' dan 'well-being' ini, punya makna yang sangat berbeda. Welfare lebih sering mengacu pada kondisi seluruh negara atau perekonomian, yang terkadang ditekankan dengan menggunakan frasa 'social welfare' [kesejahteraan sosial].
Well-being, secara sederhana, dapat digambarkan sebagai menilai hidup secara positif dan merasa baik. Untuk tujuan kesehatan masyarakat, physical well-being (semisal merasa sangat sehat dan penuh energi) juga dipandang penting bagi overall well-being. Well-being biasanya digunakan pada orang atau sekelompok orang, sebab bermakna keadaan sehat, bahagia, atau makmur. Petugas kesehatan bertanggungjawab atas kesehatan dan well-being semua pasien. Bertanggungjawab atas kekeliruanmu merupakan cara sederhana untuk meningkatkan well-beingmu. [Dari sini, 'well-being' mungkin dapat kita terjemahkan sebagai 'kualitas hidup', dan untuk selanjutnya, dalam konteks ini, kita gunakan secara bergantian]

Dari perspektif filosofis, well-being menempati peran sentral dalam etika dan filsafat politik, termasuk dalam teori-teori besar seperti Utilitarianisme. Ia juga jauh melampaui filsafat: studi terbaru tentang sains dan psikologi kualitas hidup telah mendorong topik ini ke tengah panggung, dan pemerintah menghabiskan jutaan dana untuk menggalakannya. Kita didorong untuk mengadopsi cara berpikir dan perilaku yang mendukung kualitas hidup individu atau 'wellness'.
Well-being atau kualitas hidup, punya sejarah panjang sebagai lokus eksplorasi filosofis. Hal ini tentulah tak mengejutkan. Banyak filosofi praktis berfokus pada pertanyaan tentang bagaimana kita seyogyanya hidup secara umum, apa yang hendaknya kita lakukan, atau apa yang dituntut moralitas dari kita. Akan tetapi, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, hendaklah peka terhadap pertanyaan tentang bagaimana cara terbaik bagi kita agar hidup.
Untuk berfokus pada kualitas hidup, Guy Fletcher memberi kita sebuah contoh. Misalkan, kondisi medismu telah mencemari darahmu dan dapat disembuhkan dengan dua cara berbeda: menerima donor darah atau menerima ginjal baru.
Sebagai temanmu, aku terpaksa membantu. Ternyata, akulah donor yang cocok untuk masing-masing darah dan ginjalmu. Mari kita asumsikan bahwa engkau bakal sembuh sepenuhnya dengan salah satu pengobatan (dan bahwa risiko kegagalan identik dalam setiap kasus). Sekarang, mari kita lihat dua opsinya. Menyumbangkan ginjalku, jauh lebih menyakitkan dan lebih memakan waktu. Juga perlu periode pemulihan yang lebih lama. Sebaliknya, mendonorkan darah, hanya sedikit menyakitkan, hampir tak memakan waktu, dan engkau tetap punya dua ginjal.
Mengingat fakta-fakta ini, tampaknya kita dapat menyimpulkan bahwa setiap opsi, sama baiknya untukmu. Sebaliknya, mendonorkan ginjalku, jauh lebih mahal daripada sekadar mendonorkan darahku. Lebih buruk bagiku menyumbangkan ginjalku daripada kehilangan darah.
Jenis nilai yang kita pikirkan manakala kita berupaya menentukan apakah donor darah lebih baik untukmu daripada donor ginjal, merupakan prudential value atau nilai kehati-hatian, dari kualitas hidup, dari seberapa baik hidupku berjalan untukmu. Cara lain menjelaskannya, bahwa mata uang dimana donor darah lebih baik bagiku ketimbang donor ginjal ialah, mata uang well-beingku.

Fletcher kemudian memberikan ilustrasi lain untuk fokus pada kualitas hidup. Engkau berusia 25 tahun dan sekarang menghadapi pilihan antara dua karier yang berbeda. Engkau bisa masuk sebagai rocker di sebuah grup band, atau engkau boleh menjadi peneliti fisika dasar (bakatmu beragam!). Untuk menyiasati masalah ketidakpastian, andaikan, kita punya fakta lengkap tentang seperti apa kedua kehidupan itu (tetapi ingatanmu bakal terhapus seusai membuat pilihan).
Aci-acinya, kehidupan sebagai rocker bakalan sangat menyenangkan. Engkau akan menghabiskan banyak waktu bermain musik yang engkau sukai, engkau menghabiskan waktu bersama teman-temanmu, engkau bakal berkeliling dunia, menghadiri perhelatan terbaik, dan mengunjungi tempat-tempat yang jauh. engkau akan menduduki puncak tangga lagu di setiap negara besar dengan album pertamamu. Namun, walau pernah menjadi sangat tenar, grup bandmu, bakalan menjadi korban perubahan selera musik, sehingga kariermu bakalan berakhir pada usia 40 tahun. Selain itu, tahun-tahun yang berlebihan akan memakan korban, sehingga engkau akan mengalami lima tahun kesehatan yang buruk, sebelum meninggal dalam kesendirian di usia 45 tahun.
Sebaliknya, kehidupan sebagai ilmuwan riset, akan sangat bermanfaat secara intelektual. Engkau akan menghabiskan banyak waktu memikirkan dan meneliti masalah-masalah yang mendasar bagi sifat alam semesta, dan oleh karenanya, menurutmu sangat menarik. Engkau bakal membuat penemuan tentang sifat dasar alam semesta, menulis buku akademis yang pengaruhnya, meskipun sederhana, bertahan selama berabad-abad. Hidupmu akan relatif menyendiri. Engkau bakalan punya kenalan profesional yang ramah denganmu, tetapi di luar pasangan hidup dan anak-anakmu, engkau hanya memiliki sedikit kawan-kawan yang solid. Namun, hidupmu akan memberikan ruang bagi waktu senggang dan kebiasaan sehat, dan engkau akan aktif sampai kematianmu yang damai di usia 70 tahun.
Dua kehidupan ini, sangat berbeda, dan kita dapat mengevaluasinya dengan beragam cara. Akan tetapi, berfokus secara eksklusif pada nilai kehati-hatiannya, pada seberapa baik keduanya bagi orang yang menjalaninya, mana yang lebih engkau sukai? Jika engkau mengalami kesulitan menjawab pertanyaan ini, itu mencerminkan sulitnya membandingkan kehidupan ini dalam hal kualitas hidup atau nilai kehati-hatian. Sulit memutuskan seberapa baik masing-masing kehidupan ini bagi orang yang menjalaninya dan, dengan demikian, mana yang lebih baik mereka jalani. Kesulitan yang engkau hadapi adalah kesulitan menentukan seberapa baik setiap kehidupan berjalan, sehubungan dengan well-being.

Beberapa filsuf kontemporer menggunakan 'happiness' [kebahagiaan] guna mengartikan well-being, dan beberapa psikolog menggunakan 'subjective well-being [kualitas hidup subjektif] guna memaknai kebahagiaan, kata Neera K. Badhwar. Namun, sebagian besar filsuf kontemporer menggunakan 'happiness' untuk mengartikan keadaan psikologis yang positif (baik disposisi maupun peristiwa), dan 'well-being' untuk memaknai kehidupan yang baik bagi orang yang menjalaninya.
Kendati fakta bahwa 'kebahagiaan' dan 'kualitas hidup' merupakan konsep yang berbeda, bukan berarti bahwa keduanya tak bertautan. Memang, menurut beberapa filsuf, tiada yang melebihi dari kualitas hidup dibanding kebahagiaan: jika hidupmu bahagia, engkau memiliki kualitas hidup. Di sisi ekstrim lainnya, beberapa filsuf berpendapat bahwa kita dapat mempunyai kualitas hidup tanpa kebahagiaan sama sekali. Namun, sebagian besar filsuf menempuh jalan tengah, dengan dalil bahwa kebahagiaan itu, penting bagi kualitas hidup, namun tak identik dengannya.

Andrew E. Clark, Sarah Flèche, Richard Layard, Nattavudh Powdthavee, dan George Ward, membicarakan tentang 'Apa yang membuat orang dewasa bahagia? Apakah lebih banyak uang membeli lebih banyak kebahagiaan?' Dari dua survei akademik mereka, mereka memberikan jawaban bahwa memang demikian, tetapi kurang dari yang mungkin dipikirkan banyak orang. Ada dua pandangan ekstrem, keduanya sama-sama keliru. Di satu sisi ada studi yang kurang hati-hati, yang mengklaim bahwa uang tak membuat perbedaan. Ini tentu keliru jika kita berbicara tentang kepuasan hidup sebagai hasilnya. Di sisi lain, ada jutaan orang yang mengira bahwa lebih banyak uang akan mengubah kualitas hidup mereka secara total. Bagi kebanyakan orang, ini juga delusi.

Pengaruh 'income' [penghasilan] terhadap kebahagiaan, sebenarnya merupakan salah satu efek ukuran terbaik dalam semua penelitian tentang kebahagiaan, bukan karena penghasilan itu, penentu kesejahteraan yang paling penting, melainkan karena amat banyak orang telah begitu lama memikirkannya. Memang, beberapa ekonom menganggap 'full income' setara dengan well-being.
Kebahagiaan tak sama dengan penghasilan. Tapi memang, penghasilan mempengaruhi kebahagiaan. Tetapi berapa banyak kepuasan hidup ekstra yang dapat dihasilkan oleh penghasilan tambahan? Perolehan kebahagiaan dari penghasilan ekstra dolar [atau rupiah] sangat bervariasi dengan penghasilan. Padahal, perolehan kebahagiaan berbanding terbalik dengan penghasilan. Jadi, tatkala orang miskin mendapat satu dolar dari seseorang yang sepuluh kali lebih kaya darinya, orang miskin memperoleh kebahagiaan sepuluh kali lebih banyak dibanding yang hilang dari orang kaya. Apa yang disebut 'Diminishing Marginal Utility of Income ' [Pengurangan Daya-guna Marginal Penghasilan] ini merupakan pasal keyakinan ekonomi abad ke-19 dan merupakan argumen sentral untuk redistribusi penghasilan. Sekarang dibuktikan dengan bukti kuat, baik lintas individu maupun lintas negara.

Pendidikan tentu meningkatkan penghasilan. Pendidikan merupakan jalan menuju karir, dan itulah alasan utama pentingnya pendidikan. Ia menguntungkan masyarakat, dan masyarakat membayar individu terpelajar untuk keuntungan itu. Pendidikan memberikan pula lebih dari sekedar penghasilan tambahan bagi orang yang berpendidikan. Ia memberikan pengalaman yang menarik dan berpotensi menyenangkan bagi para pelajar; ia mendidik orang sebagai warga negara dan pemilih; ia menghasilkan pembayaran pajak yang lebih tinggi; ia mengurangi kejahatan. Dan ia memberi individu yang bersangkutan sumber daya pribadi, pekerjaan yang menarik, dan kapasitas tambahan bagi kesenangan di sepanjang hidup mereka.
Kejahatan merupakan problema, baik bagi pelakunya maupun bagi masyarakat. Bagi penjahat, hal tersebut dapat menyebabkan pengucilan sosial dan kehidupan yang tak memuaskan. Bagi masyarakat, hal itu menurunkan kualitas hidup. Mengapa dalam masyarakat kita beberapa orang melakukan kejahatan sementara yang lain tidak? Kita sudah bisa memprediksi sampai batas tertentu, siapa yang akan melakukan kejahatan di kemudian hari. Mereka yang punya masalah perilaku di awal kehidupannya, dan pada tingkat lebih rendah, mereka tak punya pendidikan akademis yang memadai. Rendahnya performa intelektual, juga membuat penghakiman yang buruk, lebih mungkin terjadi. Sebaliknya, anak-anak yang tak bahagia, tak berkecenderungan menjadi bajingan—mungkin mereka kurang berhasrat atau energi yang dibutuhkan untuk melakukan kejahatan. Kejahatan mempengaruhi kesejahteraan manusia. Juga termasuk efek pada bajingan itu sendiri, dan pula pada orang lain.

Pekerjaan merupakan faktor lain yang membuat orang dewasa bahagia. Pekerja penuh waktu menghabiskan setidaknya seperempat dari hidup mereka di tempat kerja. Namun sayangnya, rata-rata, mereka menikmati waktu itu, lebih sedikit dibanding hal lain yang mereka lakukan. Waktu terburuk dari semuanya ialah ketika mereka bersama bos mereka. Meski begitu, orang lebih tak menyukai jika mereka menganggur.
Itu bukan semata lantaran mereka kehilangan uang karena tak bekerja. Mereka kehilangan sesuatu yang bahkan lebih berharga—rasa ikut berkontribusi, rasa memiliki, dan rasa diinginkan. Rasa sakit yang disebabkan oleh pengalaman menganggur merupakan salah satu temuan terbaik yang didokumentasikan dalam semua penelitian tentang kebahagiaan. Sebagian besar orang yang menganggur, berjuang dan kurang bahagia dibandingkan saat mereka bekerja. Untuk alasan yang sama, mereka menjadi lebih bahagia ketika mereka kembali bekerja.
Jika menganggur itu menyakitkan, akankah engkau terbiasa setelah beberapa saat sehingga menjadi tak terlalu menyakitkan? Jawabannya, 'Tidak.' Pengangguran mengurangi kepuasan hidup. pengangguran menyebabkan rasa sakit tak hanya pada saat itu, tapi juga pada tingkat yang lebih rendah selama tahun-tahun berikutnya, bahkan setelah orang tersebut kembali bekerja.
Ketika gawaian langka, membuat sebagian orang menganggur; pula, menimbulkan ketakutan dan ketidakpastian bagi lebih banyak orang, bahkan jika mereka saat ini punya gawai. Akibatnya, manakala pengangguran meningkat di suatu wilayah, hal ini mengurangi kepuasan hidup penduduk yang bekerja di wilayah tersebut.
Pada saat yang sama, bagi mereka yang menganggur, tingkat pengangguran yang tinggi mengurangi rasa-aib menjadi pengangguran, dan juga memperluas kelompok sosial yang dapat berinteraksi dengan mereka. Bisakah ini membantu? Jawabannya, 'Ya', ia membantu tapi tak banyak. Tapi apa yang menentukan individu mana yang menjadi pengangguran? Masalah utamanya adalah menjelaskan siapa yang memiliki riwayat pengangguran, bukan siapa yang menganggur pada saat tertentu. Tapi apakah orang menikmati pekerjaan mereka? Baru belakangan ini, ilmu sosial menunjukkan betapa sedikitnya orang yang benar-benar menikmati pekerjaan mereka, bila dibandingkan dengan banyak aktivitas lainnya.

Faktor lain yang terkait dengan kebahagiaan orang dewasa adalah membangun keluarga. Kebanyakan orang menginginkan pasangan, dan sebagian besar ingin, suatu saat nanti, punya anak. Benarkah, dalam hal apa yang akan memberi mereka kepuasan dan pemenuhan? Isu-isu inilah yang penting bagi setiap bentuk kebijakan publik yang bertujuan mendukung masyarakat dalam mencapai kehidupan yang baik. Data perjalanan hidup memberikan bukti penting tentang semua ini. Semuanya dengan tegas menunjukkan pentingnya hubungan pribadi yang dekat dengan kehidupan yang memuaskan. Jika menyangkut anak-anak, jawabannya lebih bernuansa.

'Apa yang paling engkau inginkan dalam hidup?' Banyak orang mengatakan sehat jasmani dan rohani. Rasa sakit fisik merupakan salah satu yang terburuk dari semua pengalaman manusia—penyiksaan tubuh menjadi kasus yang ekstrim. Dan rasa sakit mental sama buruknya dengan kebanyakan rasa sakit fisik, dan sangat mirip—dialami di area otak yang sama dengan komponen afektif dari rasa sakit fisik. Sesungguhnya, penyakit mental merupakan penyebab paling umum dari bunuh diri.
Maka, baik penyakit jiwa maupun penyakit fisik, penyebab utama kesengsaraan manusia. Tetapi banyak penelitian kepuasan hidup yang ada, mengabaikan penyakit mental. Secara implisit, mereka beranggapan bahwa kesengsaraan dan penyakit mental merupakan hal yang sama. Ini amat keliru. Banyak hal yang dapat menyebabkan rendahnya kepuasan hidup, ada yang secara langsung dan ada juga yang secara tak langsung menyebabkan penyakit mental. Tetapi ada juga sumber penyakit mental yang tak berkorelasi dengan penyebab eksternal yang jelas, semisal kemiskinan, pengangguran, perpisahan, atau kematian.

Norma dan institusi sosial adalah barang publik yang mempengaruhi semua individu yang hidup dalam masyarakat. Maka, kita dapat mempelajari efeknya hanya dengan membandingkan kepuasan hidup antar masyarakat, bukan antar individu. Hal paling sederhana adalah membandingkan negara yang berbeda.
Negara berbeda dalam banyak hal selain dari pendapatan dan kesehatan. Mungkin yang paling penting di antaranya adalah: norma etika perilaku (termasuk kepercayaan, kemurahan-hati, dan sebagainya); jaringan dukungan sosial ('bonding capital'); keterbukaan dan toleransi ('bridging capital'); kemerdekaan individu; kualitas pemerintahan (termasuk korupsi); kesetaraan, dan tingkat religiusitas.
Perilaku yang baik terdiri dari 'lakukan' dan juga 'jangan lakukan'. Sangatlah penting hal-hal positif apa yang kita lakukan bagi satu sama lain. Masyarakat akan lebih bahagia bilamana anggotanya berperilaku baik.
Berbeda dari norma etika, struktur sosial yang memberi orang rasa memiliki, dan memiliki orang lain yang dapat mereka andalkan untuk mendapatkan dukungan. Yang paling dinikmati orang adalah bersosialisasi dengan teman—tiada yang lebih buruk daripada tak punya teman.
Tetapi dalam masyarakat multikultural atau multikelas mana pun, ada hal lain yang juga kritis. Yakni bridging capital. Di sebagian besar masyarakat, orang-orang yang tergolong minoritas, termasuk etnis minoritas dan migran, rata-rata kurang bahagia dibandingkan anggota masyarakat lainnya. Salah satu penyebab mengapa para migran tak bahagia, tentu saja karena mereka terpisah dari banyak keluarga dan teman mereka—mereka kekurangan bonding capital. Namun seringkali mereka juga menjadi warga negara kelas dua di tempat mereka pindah—mereka tak mempunyai bridging capital.
Terkait erat dengan toleransi adalah masalah kemerdekaan—kesediaan masyarakat membiarkan orang-orang menjalani hidup mereka seperti yang mereka inginkan, asalkan mereka tak merugikan orang lain. Dalam hal ini, kita tak berbicara tentang organisasi pemerintahan atau tentang ekonomi, tetapi tentang kemerdekaan individu dalam kehidupan sehari-hari untuk memilih cara hidup mereka sendiri. Ini termasuk, misalnya, memilih tempat tinggal, dan mengutarakan pendapatmu. Lebih merdeka, selalu lebih baik, ceteris paribus. Namun dalam praktiknya, bilamana semakin mengarah pada kebebasan, terkadang berarti lebih sedikit kohesi sosial. Karenanya, hendaklah ada keseimbangan yang dicapai.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa bagi kesejahteraan pribadi penduduk, kualitas pemerintahlah yang lebih penting. Itu yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat. Di berbagai negara, demokrasi tentu berkorelasi dengan kualitas pemerintahan. Tetapi ada beberapa negara, yang kualitasnya tinggi tetapi demokrasinya rendah.
Kaum revolusioner dimana-mana menuntut kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Kesetaraan secara langsung mempengaruhi kualitas hubungan interpersonal dalam masyarakat. Masyarakat yang lebih setara, cenderung memiliki lebih banyak kepercayaan, kesehatan yang lebih baik, dan seterusnya—di seluruh lapisan masyarakat. Ini menyiratkan semacam efek atmosfer.
Kesimpulannya mungkin begini: etos saling menghormati dan peduli sangat penting bagi masyarakat yang bahagia. Etos seperti ini, akan sangat berkorelasi dengan kepercayaan, korupsi yang rendah, dukungan sosial yang baik, pemerintahan yang efektif—dan pemerataan pendapatan yang lebih besar. Oleh sebab itu, prioritasnya adalah meningkatkan seluruh etos masyarakat dan bukan hanya untuk menyetarakan pendapatan.
Lantas, bagaimana dengan agama? Isu agama, dapat memainkan setidaknya tiga peran utama: menanamkan nilai-nilai, menawarkan kenyamanan, dan memberikan interaksi sosial yang berharga.

Hal terakhir yang membuat orang dewasa bahagia adalah kebahagiaan di usia senja. Saat orang berpindah dari usia menengah ke usia yang lebih tua, keadaan dan pengalaman mereka berubah dalam banyak hal. Kebanyakan orang pensiun; anak-anak mereka meninggalkan rumah dan membangun kehidupan mandiri; penurunan kapasitas fisik dan kognitif; serta pengalaman kematian dan kehilangan orang yang dicintai menjadi lebih umum. Perubahan ini, mempengaruhi sumber daya keuangan, hubungan sosial, kemandirian, dan otonomi. Pada saat yang sama, orang yang tak lagi merasa terikat oleh batasan usia paruh baya, dapat menemukan peluang baru seiring bertambahnya usia, bersama dengan kelegaan dari banyak sumber stres yang penting. Semua proses ini, berarti bahwa penentu kepuasan hidup dapat berubah seiring bertambahnya usia, atau setidaknya, kepentingan relatif dari berbagai sumber kepuasan hidup dapat berubah seiring bertambahnya usia."

Wulandari berkata, 'Teh, waktuku udah habis. Aku harus pergi." 'Teh barista lalu berkata, 'Akhirnya, sebagai penutup, well-being dan kepribadian atau karakter merupakan dua dimensi yang paling mendasar (dan sangat saling bertaut) dimana orang memahami dan menilai diri mereka sendiri dan orang lain. Seberapa baik atau suksesnya kita, bergantung pada siapa kita (karakter) dan kehidupan seperti apa yang kita miliki (kualitas hidup).
Definisi well-being melihat hidup sebagai aktif. Hanya aktivitas berharga yang berkontribusi pada kualitas hidup kita. Kualitas hidup masyarakat tak semata bergantung pada diri mereka sendiri; ia membutuhkan kondisi yang memungkinkan aktivitas mereka, dan memberi mereka makna, dapatkan. Dan untuk mendapatkannya, masyarakat seyogyanya bekerja bahu-membahu, tak terpisah-pisah. Well-being tak dapat dicapai secara individu, melainkan secara bersama-sama. Wallahu a'lam.'"

Saatnya pergi, 'teh Barista melambaikan tangan seraya bersenandung,

But if you look at me closely
[Namun jika engkau melihatku lebih dekat]
You will see it in my eyes
[Engkau akan melihatnya di mataku]
This girl will always find her way *)
[Gadis remaja ini akan selalu menemukan jalannya]
Kutipan & Rujukan:
- Annete Moldvaer, The Coffee Book, 2021, Penguin Random House
- Jonathan Morris, Coffee: A Global History, 2019, Reaktion Books Ltd
- William H. Ukers, All About Coffee, 2012, F+W Media, Inc.
- Scott Rao, The Professional Barista's Handbook, 2008, Scott Rao
- Sebastien Rachneux, Coffee Isn't Rocket Science, 2016, Black Bull
- Guy Fletcher, The Philosophy of Well-Being: An Introduction, 2016, Routledge
- Guy Fletcher (ed.), The Routledge Handbooks in Philosophy of Well-Being, 2016, Routledge
- Andrew E. Clark, Sarah Flèche, Richard Layard, Nattavudh Powdthavee, & George Ward, The Origin of Happiness: The Science of Well-Being over the Life Course, 2018, Princeton University Press
- Joseph Raz, Ethics in the Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics, 1996, Clarendon Press
*) "I'm Not a Girl, Not Yet a Woman" karya Max Martin, Rami Yacoub, dan Dido Armstrong
[Sesi 2]
[Sesi 1]