Sang raja bertanya, "Wahai Syaikh, mengapa Allah menurunkan penderitaan bagi umat manusia?" Syaikh Abdul Jalil berkata, "Tak ada yang dapat menjawab mengapa Allah menurunkan penderitaan kepada umat manusia. Semua itu, hikmah Allah, hanya Dia Yang dapat menetapkannya.
Wahai baginda, dalam Islam, penyakit adalah tanda pensucian, Ketika Rasulullah (ﷺ) akan memasuki rumah orang sakit yang sedang dikunjungi, beliau bersabda,
Walaupun penyakit yang melanda sebuah negeri itu dapat menjadi pembersihan dari dosa, namun juga bisa menjadi tanda ketidakridhaan Allah karena dosa-dosa atau penindasan. Amirul Mukminin, Abu Bakar As-Siddiq, radhiyallahu 'anhu, berkata,لاَ بَأْسَ طَهُورٌ اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ"Tak mengapa, sakitmu membersihkan dosa-dosamu, Insyaallah."
Beliau (ﷺ) bersabda, “Perumpamaan orang-orang beriman, saat ia menderita penyakit atau demam, ibarat sepotong besi yang diletakkan di dalam api; cacatnya lenyap dan tersisalah yang baik-baik." Beliau (ﷺ) bersabda, "Kunjungilah orang sakit. Ikuti prosesi pemakamannya. Ingatkan dirimu untuk kehidupan selanjutnya." Bacalah kebaikan dari Nabi kita tercinta (ﷺ) yang mendengar bahwa seorang wanita dari umatnya sedang sakit, bertanya tentangnya, dan ketidakhadirannya diperhatikan agar ia berusaha mengunjunginya, memanjatkan doa-doa, dan memberikan kata-kata dan kehadiran yang menghibur. Ummi al-Ala berkata, Rasulullah (ﷺ) mengunjungiku ketika aku sakit. Beliau (ﷺ) bersabda, "Bersuka-citalah, wahai Ummi al-Ala ', Allah menghapus dosa-dosa seorang Muslim karena penyakit mereka sebagaimana api menghilangkan cacat emas dan perak." Dan kekasih kita (ﷺ) bersabda, "Tiada musibah yang menimpa seorang Muslim kecuali bahwa Allah menghapus dosa dari mereka karenanya, walau itu hanya tertusuk duri."
"Wahai manusia, dengarkan ayat ini,Pada akhirnya, Allah menilai setiap orang yang mengalami penderitaan berdasarkan niat mereka. Setiap orang yang menderita hendaknya berprasangka baik pada Rabb mereka. Mereka juga hendaknya bertanya pada diri mereka sendiri. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Pasukan akan menyerang Ka'bah dan ketika mencapai tanah gurun, mereka semua tertelan bumi." Aisyah, radhiyallahu 'anha, bertanya, "Wahai Rasulullah! Kenapa mereka semua?" Beliau menjawab, "Mereka semua tertelan bumi tetapi mereka akan dibangkitkan ada Hari Kiamat sesuai dengan niat mereka." Aisyah berkata bahwa ia bertanya kepada Rasulullah (ﷺ) tentang wabah dan beliau (ﷺ) bersabda, “Itu azab yang Allah turunkan kepada siapapun yang Dia kehendaki, akan tetapi Allah telah menjadikannya rahmat bagi orang-orang beriman. Setiap hamba yang tinggal di negeri yang terserang wabah, tetap sabar dan berharap mendapat pahala dari Allah, mengetahui bahwa tak ada yang akan menimpa mereka kecuali apa yang telah Allah tetapkan, akan diberikan pahala syahid.”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ ۖ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ"Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu takkan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu semua akan kembali, kemudian Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." - [QS.5:105]
Tetapi aku mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Ketika orang melihat seorang penindas namun tak mencegahnya (dari penindasan dan kejahatan mereka), ada kemungkinan bahwa Allah akan menjerat mereka semua dengan azab."
Penyakit, terutama epidemi, menimbulkan rasa cemas. Perasaan kita mengenai penyakit yang tak diketahui ini, yang menimpa kita, mungkin menimbulkan perasaan tak menentu dan ada yang bahkan membuat kita tak berdaya. Di saat inilah, kita membangun ketahanan emosional dan spiritual. Di antara keyakinan inti dari iman kita, yang menjadi dasar keyakinan kita, adalah yakin bahwa tiada yang menimpa seseorang kecuali itu kehendak Allah dan ada tujuannya, walaupun kita mungkin tak dapat memahaminya. Allah berkehendak dan berhikmat, yang dapat kita rasakan, dan mungkin juga, dalam beberapa hal, tak dapat kita rasakan. Namun iman kita tertanam dalam keyakinan tertinggi, yang kita miliki, bahwa semua berasal dari-Nya dan Dialah Yang Mahakuasa, Maha Bijaksana.
Allah berfirman,
Meskipun kita mungkin tak memahami seluruh hikmah di balik kesulitan, penderitaan, perubahan global, dan perjuangan - dalam perjalanannya, kita menyaksikan kebutuhan kita kepada Yang Mahakuasa dan realita betapa lalainya kita. Pengabaian diri. Mengabaikan keterikatannya pada Ilahi. Itu bukan berarti kita memerlukan sebuah penderitaan untuk belajar, tetapi membantu untuk merefleksikan hikmah-hikmahnya karena tak ada yang diselamatkan dari kesulitan, tetapi kita semua membutuhkan iman untuk mengatasinya.مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ"Tiada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada qalbunya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." - [QS.64:11]
Saat-saat sulit, mengajarkan kita empati. Seseorang yang telah melalui konflik dapat berempati bahkan lebih pribadi dibanding dengan seseorang yang lebih buruk daripada mereka. Pada saat-saat ini, kita menyaksikan wujud kasih-sayang dan pelayanan kepada kemanusiaan, yang kita ambil pelajarannya dan mengikat kita bahwa hanya imanlah yang dapat mengajarkan kita. Kekuatan pengorbanan akan sangat kuat saat seseorang mengorbankan sesuatu dari sedikit yang dimilikinya, tetapi pada saat itu, memberi untuk kepentingan orang lain, inilah pelajaran yang diajarkan kepada kita oleh Sang Ilahi dan Kekasih-Nya. Keegoisan umat manusia berkurang saat mereka merasa lemah dan belajar bahwa satu-satunya jalan-keluar mereka adalah saling peduli dan menyeru Dia Yang mempertalikan mereka.
Pada kenyataannya, kita belajar bahwa persiapan sejati yang kita butuhkan adalah persiapan rohani. Pembersihan dan pemurnian yang kita butuhkan adalah dari qalbu. Isolasi yang kita butuhkan adalah isolasi ego kita, hasrat, dan candu dosa. Iman mengajarkan kita bahwa saat-saat yang paling sulit - mengajari kita lebih banyak tentang kerentanan dan diri sejati kita. Kita telah menyaksikan, seperti banyak dari kita yang telah tahu, bahwa ada larangan sementara bepergian ke tempat-tempat paling sakral dan suci, yakni ke Mekah dan Madinah. Ya, tanda iman itu tak hanya sedih karena tak bisa mengunjunginya, tetapi seberapa banyak dari kita yang bertanya, bersemayamkah semangat kota-kota suci itu di dalam qalbu kita? Adakah kesucian Allah yang ditemukan di Ka'bah dan di Mekah di dalam dada kita? Samakah cinta, kedamaian, ketenangan, dan pelipur lara yang kita temukan di Kota Kekasih kita dan mengikuti jalannya, juga mengkhawatirkan kita? Kita mungkin merenungkan halangan sementara, tetapi semoga kita tak pernah terhalang dari rahmat Allah. Semoga kita tak pernah tertahan dari hadirnya Nabi kita tercinta (ﷺ), dengan cara mengikuti teladannya dan mewujudkan risalahnya bahwa beliau diutus sebagai rahmat bagi seluruh ciptaan. Semoga kita tak pernah merasa sangat terikat dengan dunia ini sehingga kita berpegang-erat padanya, memperebutkan sampah-sampahnya, padahal sampah-sampah itulah tempat pengembalian terakhir kita.
Rencana mungkin telah berubah, uang telah hilang, tetapi iman sejati mempersiapkan kita menghadapi kesulitan semacam ini, yang tak serta-merta menghilangkannya. Kehilangan harta, khususnya, akan kita lihat tanda pada orang beriman. Segala sesuatu yang diberikan atau diambil, berasal dari Yang Maha Tinggi, Yang Maha Memberi, dan Yang Maha Menghargai. Jika kita merasa kehilangan, pikirkanlah orang yang tak punya apa-apa. Bersyukur di saat-saat sulit, akan membuat kita lebih mudah untuk melakukan pengayaan.
Sang raja bertanya, "Wahai Syaikh, bagaimana para ulama memandang wabah?" Sang Syaikh berkata, "Adapun penyakit epidemi yang diturunkan, hadis Nabi (ﷺ) mengacu pada perbedaan yang jelas tentang bagaimana ulama memandang wabah. Hikmah global berlaku berbeda bagi orang yang berbeda, sesuai dengan niat mereka dan bagaimana Allah menghendaki untuk mereka, pertama, tanda - yakni tanda untuk merenungkan kekuatan universal Yang Mahakuasa dan kembali kepada-Nya. Kedua, berkah dan rahmat - seperti apa yang telah disabdakan Rasulullah (ﷺ). Ketiga, sebab - waktu dan tanggal ditakdirkannya datang dan berlalu, dan inilah penyebab, jika bukan virus Corona, mungkin saja terjadi sesuatu yang lain. Keempat, azab - bagi para penindas dan mereka yang ingkar.
Lebih jauh lagi, masuk ke dalam ranah teori Islam, yang menjelaskan tingkat dimana seorang hamba Allah memahami bencana. Baik itu, peningkatan - yakni ujian dimana Allah meningkatkan status orang-orang yang Dia sayangi; penyucian - dari dosa-dosa yang telah dilakukan dan lebih baik bagi mereka bahwa mereka disucikan dalam kehidupan ini daripada nanti di Akhirat; perenungan - yakni tanda-tanda yang dikirimkan kepada seseorang agar kembali ke Rabb mereka; atau penderitaan - hukuman karena dosa dan pengingkaran.
Kita tak punya rujukan universal dari hadits, yang jelas, itu tergantung pada orang itu dan kondisi orang yang sedang menderita. Hanya Allahlah yang berhak menilai seseorang dan kebijaksanaan yang tepat mengapa mereka mengalami penderitaan. Hadits-hadits yang telah disebutkan sekali lagi menyoroti kearifan universal yang telah kami sebutkan dan jenis-jenis penderitaan yang membuat seseorang bertanggungjawab. Semua akan dibangkitkan dan akan bergantung pada niat mereka sendiri. Aisyah, radhiyallahu 'anha, bertanya, "Wahai Rasulullah! Kenapa mereka semua?" Beliau (ﷺ) bersabda, "Mereka semua akan ditelan oleh bumi tetapi mereka akan dibangkitkan di Hari Kiamat sesuai dengan niat mereka."
Dari prinsip-prinsip universal Allahlah bahwa meskipun azab ini dijatuhkan, azab itu dapat mencakup yang lain berdasarkan niat dan kebijaksanaan seperti yang disebutkan di atas dan tak membedakan antara orang yang beriman, yang tak beriman, yang tak bersalah, maupun para penindas. Dan Allah berfirman,
Melainkan, adalah kewajiban setiap orang beriman agar menempuh cara yang diperlukan untuk melindungi diri darinya, secara medis, fisik, dan tak lupa, tentu saja secara spiritual, dan mengambil langkah-langkah pencegahan untuk diri mereka sendiri dan orang lain.وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ"Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antaramu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya." - [QS.8:25]
Ada sebuah riwayat, hikmah ilahi dari penderitaan yang menimpa manusia, disebutkan oleh Zainab binti Jahsy, radhiyallahu 'anha, yang meriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah (ﷺ) datang kepadanya dalam keadaan ketakutan dan berkata, "La ilaha illa Allah. Celakalah orang-orang Arab dari kejahatan yang akan menyerang. Hari ini telah terbuka sebesar ini dari penghalang penahan Ya'juj dan Ma'juj." Dan beliau membuat lingkaran dengan ibu jari dan jari telunjuk. Zainab berkata, "Wahai Rasulullah, akankah kita binasa sementara ada orang-orang shalih di antara kita?" Beliau bersabda, "Ya, jika kejahatan menyebar, menguasai."
Realitas menyeluruh dari takdir ilahi yang disebutkan dalam hadis ini, tentang epidemi, yang dapat menyerang dunia seketika, dan kelompok-kelompok orang khususnya - berasal dari tanda-tanda Allah yang Dia kirimkan kepada ciptaan. Tanda-tanda realitas kekuasaan Allah atas ciptaan-Nya, bahwa para penindas takkan dapat lari dari genggaman-Nya, dan bahwa bagi-Nya, segala kekuasaan dan milik-Nya, akhirnya akan kembali pada-Nya. Pada akhirnya, hikmah Allah melampaui ruang lingkup terbatas pandangan kita tentang pemahaman dan hanya Yang Mahakuasa Yang memiliki esensi sempurna dalam kebijaksanaan-Nya, luhur dalam takdir-Nya, dan halus dalam pengaruh-Nya. Ini hanya beberapa hikmah yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dan hikmah-hikmah yang lain seperti melindungi kita dari sesuatu yang lebih besar, atau membangunkan kita agar merenungkan kematian kita sendiri dan agar kembali kepada sang Ilahi, dan hanya kesadaran untuk tak menyebarkan penyakit dengan menjaga kebersihan. Allah berfirman,
Maka, filosofi seorang Muslim dalam menghadapi penderitaan adalah merefleksikan kearifan universal dan bertanya pada diri sendiri “Apa yang bisa aku lakukan?” daripada mempertanyakan paradigma yang tak terlihat dan membenarkan kelumpuhan keraguan teologis diri-sendiri, "Mengapa Allah melakukannya?"اِنَّمَا مَثَلُ الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا کَمَآءٍ اَنۡزَلۡنٰہُ مِنَ السَّمَآءِ فَاخۡتَلَطَ بِہٖ نَبَاتُ الۡاَرۡضِ مِمَّا یَاۡکُلُ النَّاسُ وَ الۡاَنۡعَامُ ؕ حَتّٰۤی اِذَاۤ اَخَذَتِ الۡاَرۡضُ زُخۡرُفَہَا وَ ازَّیَّنَتۡ وَ ظَنَّ اَہۡلُہَاۤ اَنَّہُمۡ قٰدِرُوۡنَ عَلَیۡہَاۤ ۙ اَتٰہَاۤ اَمۡرُنَا لَیۡلًا اَوۡ نَہَارًا فَجَعَلۡنٰہَا حَصِیۡدًا کَاَنۡ لَّمۡ تَغۡنَ بِالۡاَمۡسِ ؕ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ لِقَوۡمٍ یَّتَفَکَّرُوۡنَ"Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, hanya ibarat air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi dengan subur (karena air itu), di antaranya ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman)nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang yang berpikir." ― [QS. 10:24]