Jumat, 13 Maret 2020

Mengapa? (3)

Sang raja bertanya, "Adakah petunjuk dari Sunnah dalam menangani epidemi?" Sang Syeikh berkata, "Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Kebersihan itu, separuh dari iman.' Dan di antara bentuk tanggungjawab terbesar adalah agar seseorang tetap selalu membersihkan-diri, secara bathiniah seperti yang telah kita bahas sebelumnya, dan secara lahiriah sebagai berikut. Yang pertama, menjaga kebersihan: mencuci tangan. Salman Al Farisi, suatu hari, mendekati Rasulullah (ﷺ) dan berkata, 'Aku membaca di Taurat 'Berkah dalam makanan itu, terletak pada mencuci tangan setelah makan.' Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Berkah dalam makanan terletak pada mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.' Jika mencuci tangan dianjurkan sebelum dan sesudah makan, maka prioritas yang paling utama adalah mencuci tangan untuk berjaga-jaga terhadap penyakit epidemi.

Yang kedua, pembatasan sosial. Orang yang sakit hendaknya mengasingkan-diri dan membatasi jarak dari kerumunan dan tak berkumpul dengan mereka yang tak sakit. Rasulullah (ﷺ) mewajibkan, bahwa siapapun yang sehat tak boleh mendekati orang sakit. Hal ini diperintahkan terutama di tempat-tempat berkumpul seperti pasar, tempat pertemuan, atau masjid. Amr bin Syarid meriwayatkan dari ayahnya, bahwa sebuah delegasi (datang menemui Rasulullah (ﷺ)) dari Thaqif yang didalamnya ada seorang lelaki penderita kusta. (Ia ingin mendekati Rasulullah (ﷺ) dan akan berbai'at). Rasululllah (ﷺ) memberi pesan untuknya, "Kami telah menerima bai'atmu, pulanglah." Hadits ini mengajarkan bahwa seseorang hendaknya menerapkan pembatasan sosial agar tak tertular penyakit seperti yang diajarkan Rasulullah (ﷺ) “Jangan menggembalakan ternak yang sakit bersama ternak yang sehat.”
Rasulullah (ﷺ) menggunakan perkataan berikut ini sebagai gambaran bahwa orang sehat juga hendaknya menjauh dari orang sakit saat penyakitnya menular. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Seseorang hendaknya menjauhkan diri dari penderita kusta bagaikan ia melarikan diri dari singa.'' Maknanya, seseorang tak boleh berkumpul dengan siapapun yang berpenyakit menular kecuali jika ada tindakan pencegahan atau membantu mereka (misalnya petugas kesehatan).

Ketiga, menahan-diri. Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Ketika engkau mendengar bahwa (sampar, penyakit epidemi) ada di sebuah negeri, jangan pergi ke sana dan jika itu terjadi di berada tempatmu berada, maka jangan pergi, lari darinya.'”
Ibnu Hajar, rahimahullah, membahas masalah ini secara lebih rinci, dan mengatakan bahwa ada tiga skenario berkenaan dengan meninggalkan negeri dimana wabah itu terjadi, pertama, ketika seseorang pergi dengan tujuan melarikan diri darinya, dan bukan untuk tujuan lain. Tindakan ini tak diragukan lagi termasuk dalam larangan itu; kedua, ketika ia pergi untuk suatu tujuan tertentu selain melarikan diri darinya, seperti bekerja dan sejenisnya. Tindakan ini tak termasuk dalam larangan tersebut, dan ini adalah kategori yang berkaitan dengan izin yang, diriwayat oleh Imam An-Nawawi, termasuk ijma' para 'ulama; ketiga, ketika seseorang pergi untuk tujuan kerja atau sebaliknya, tetapi menambahkan tujuannya agar dapat aman dari epidemi. Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, tetapi Ibnu Hajar menyatakan bahwa dari pandangan ‘Umar bin al-Khattab, diperbolehkan pergi dalam kasus seperti ini.
Dampak dan penerapan hal ini di zaman kita, adalah karantina dan pelarangan perjalanan massal ke daerah-daerah yang terkena dampak begitu epidemi diumumkan. Tak bijaksanalah bila menunda larangan bepergian kecuali ada jaminan bahwa penyakit dapat dibendung. Apa yang kita saksikan pada zaman kita adalah respons yang sangat lambat dan bahkan seolah meremehkan, sehingga berefek jauh ketika tindakan pencegahan tak segera diambil untuk mencegah penyebaran penyakit seperti yang dicontohkan oleh perintah Sunnah - karantina diri agar tak menyebarkan penyakit, serta larangan bepergian massal guna membatasi penyebaran penyakit.
 
Keempat, penutupan ruang publik, dan untuk sementara tak menyelenggarakan shalat berjamaah dan shalat Jum'at di Masjid. Hal-hal seperti penutupan sekolah, acara yang bersifat kerumunan-massal, adalah respons yang memerlukan anjuran pemerintah dan para 'Ulama. Ibnu Qudamah menyebutkan "... dan alasan yang sah untuk tak sholat berjamaah dan shalat Jum'at adalah orang yang takut menurut Rasulullah (ﷺ). yang bersabda, "Barangsiapa yang mendengar adzan shalat, tak ada yang menghalanginya untuk menjawabnya kecuali alasan yang syar'i." Mereka bertanya apa alasan itu?' Dan beliau bersabda, 'Rasa-takut atau sakit.' Rasa-takut itu memiliki tiga tingkatan, pertama, rasa-takut akan diri-sendiri; kedua, rasa-takut akan harta; dan ketiga, rasa-takut akan keluarga.

Sang Syaikh diam sejenak, lalu berkata, "Wahai paduka, sekarang kita sedang menuju rumah. Ketahuilah bahwa rumah untuk kita adalah tempat makan, pernikahan, tidur dan istirahat. Rumah juga tempat privasi kita, bertemu dengan isteri dan anak-anak, tempat berteduh, tempat perlindungan dari kejahatan dan perlindungan dari orang jahat, juga sumber kebahagiaan jika pilihan yang tepat diambil saat membentuknya.
Yang paling penting, rumah adalah sarana penting untuk membangun masyarakat Muslim. Masyarakat yang terdiri dari rumah dan itulah asalnya. Rumah adalah kehidupan dan kehidupan adalah masyarakat. Jika rumah itu kuat, maka masyarakat akan kuat dalam menerapkan hukum-hukum Allah, menentang tujuan musuh-musuh Allah, menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Segala puji bagi Allah Yang menetapkan penyakit dan menganugerahkan kesembuhan. Dia Yang menguji untuk memberi dan membersihkan sampai segala yang tersisa menjadi suci. Segala puji bagi Allah Yang berkehendak kepada yang lemah dan melihat bagaimana yang kuat menggunakan kemampuan mereka guna membantu mereka yang membutuhkan, dengan demikian membantu menyembuhkan keserakahan mereka, dan semuanya akan diminta pertanggungjawaban untuk melihat siapa yang terbaik dalam amalnya.
Dia menciptakan kita dan membuat kita dari tanah yang gembur sehingga kita tak pernah tertipu oleh kekuatan kita dan menyadari kerapuhan kita. Dia mengirimkan tanda-tanda universal yang mengitari dunia ini sehingga kita ingat hubungan kolektif yang kita miliki dari Rabb kepada manusia. Dia menghidupkan yang mati dan menghidupkan kembali qalbu dengan dzikir kepada-Nya. Orang-orang yang mengenal-Nya adalah orang-orang yang terkaya, sedang mereka yang mungkin dianggap orang-orang paling kaya, namun lalai dari-Nya, sesungguhnya orang yang paling miskin dan tersesat dalam kesesatan. Sesungguhnya, penyakit itu, ujian dan sebuah tanda dari tanda-tanda Allah. Wallahu a'lam."
Rujukan :  
- Hasib Noor, Prophetic Guidance on Epidemic Desease : Corona Virus 2020, The Legacy Institute.

[Bagian 1]