Senin, 09 Maret 2020

Mengapa? (2)

Sang Syaikh melanjutkan, "Wahai baginda, kata untuk penyakit yang berjangkit dan menyebar atau mewabah dalam Al-Quran dan Sunnah adalah Tha'un (الطاعون) atau Waba' (وباء). Terkadang, kata-kata ini digunakan secara bergantian dan di lain waktu merujuk pada jenis penyakit epidemi tertentu, penyakit yang mirip dengan pes atau sampar. Iyad mengatakan, "Tha'un merujuk pada [sejenis penyakit tertentu, pes atau sampar] yang dikenal karena bisul-bisul yang menutupi tubuh, dan Waba' secara umum merujuk pada semua penyakit epidemi. Waba 'disebut sebagai Tha'un karena kemiripannya dalam menyebabkan kematian, jadi setiap Tha'un adalah Waba', namun tak setiap Waba 'adalah Tha'un. Singkatnya, Tha'un sering digunakan secara bergantian dengan Waba' sebagai penyakit epidemi umum yang mengarah pada kematian - dan dalam beberapa konteks tertentu, Tha'un mengacu pada penyakit yang seperti pes, atau sampar. Perbedaan antara Tha'un dan Waba' ini penting ketika membahas hadis-hadis tertentu karena hadits-hadits itu merujuknya berdasarkan konteks yang digunakan.
Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Aku melihat (dalam mimpi) seorang wanita hitam-kelam dengan rambut acak-acakan keluar dari Madinah dan menetap di Mahai'a. Aku menafsirkannya sebagai (simbol) Waba' (penyakit, epidemi ) dari Madinah yang dipindahkan ke Mahai'a, yang berarti, Al-Juhfa." Di sini, Rasulullah (ﷺ) merujuk pada Waba '- khususnya penyakit Malaria dan Influenza yang ada di Madinah dan dikenal mengakibatkan orang sakit dan kota penuh dengannya sejauh kedua orang tua Nabi (ﷺ) wafat karena penyakit yang terkait dengan kota itu. Waba' di sini disebut penyakit umum, epidemi, yang membunuh beberapa orang dan menyebabkan banyak orang sakit.
Rasulullah (ﷺ) berdoa secara khusus agar kota ini diberkahi dan disucikan dari penyakit ini, dengan mengucapkan, "Ya Allah! Jadikanlah Madinah kami cintai, seperti Engkau menjadikan Mekah kami cintai, dan lebih banyak lagi! Dan pindahkanlah penyakit demam yang ada di dalamnya ke Al-Juhfa. Ya Allah! Berkahilah Mudd dan Sa' kami (sejenis takaran ntuk makanan dan bekal)."
Dan ketika Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Tha'un (sampar, penyakit epidemi) adalah hukuman rijz (musibah), Dia mengazab kaum sebelummu." Dan Aisyah, radhiyallahu 'anha, berkata bahwa ia bertanya kepada Rasulullah (ﷺ) tentang Tha'un (sampar) dan beliau (ﷺ) bersabda, “Ini adalah hukuman yang diturunkan Allah kepada siapapun yang Dia kehendaki, tetapi Allah telah menjadikannya rahmat bagi orang-orang mukmin... " Kedua konteks Tha'un ini, merujuk lagi pada penyakit epidemi umum.

Rasulullah (ﷺ) bersabda tentang Madinah, "Ada Malaikat di pintu masuk Madinah yang mencegah Tha'un (sampar) dan Dajjal dari memasukinya." Dalam hal ini, Tha'un mengacu pada penyakit spesifik pes atau sampar, namun Madinah tak dilindungi dari penyakit epidemi umum.
Imam An-Nawawi berkata, "Tha'un di sini terdiri dari bisul bernanah (bisul) yang melepuh di tubuh. Ia timbul di selangkangan, atau di ketiak, atau di tangan, atau di jari-jari dan anggota tubuh lainnya, disertai dengan pembengkakan dan rasa sakit yang hebat ... Setiap Tha'un itu, Waba', tetapi tak setiap Waba' itu, Tha'un."
Selanjutnya ia mengatakan, "Adapun Waba' (penyakit epidemi), al-Khalil dan yang lainnya mengatakan bahwa itu merujuk pada sampar. Yang lain mengatakan bahwa itu merujuk pada penyakit yang menyebar luas. Pandangan yang benar, sebagaimana dicatat oleh para 'ulama, bahwa penyakit apapun yang mempengaruhi banyak orang di suatu wilayah negeri, namun tak semuanya; berbeda dari penyakit biasa dimana sejumlah besar orang yang terkena dampak dan dengan cara lain; dan dimana mereka semua dipengaruhi oleh jenis penyakit yang sama, tidak seperti di waktu yang berbeda, ketika orang menderita berbagai jenis penyakit. Setiap Tha'un itu, Waba ', namun tak setiap Waba' itu, Tha'un.
Hadits ini sangat penting dalam pemahaman kita karena Madinah dilindungi dari penyakit sampar yang masuk, namun bukan epidemi!

Ada beberapa kali epidemi berjangkit di Mekah dan Madinah.
Antara tahun 13-24 H - Abu Al-Aswad Du'aly (cendekiawan terkenal yang menyusun aturan tata bahasa Arab) meriwayatkan, “Aku pergi ke Madinah ketika ada wabah penyakit dan orang-orang sekarat dengan cepat. Aku sedang duduk dengan `Umar saat pengantaran jenazah berlangsung..."
152 H - Sebuah prasasti di atas batu berisi doa yang memohon pertolongan terhadap epidemi yang melanda Madinah ditemukan oleh sejarawan, Muhammad Al-Mughadhawi. Prsasati bertuliskan, "Ya Allah, hapuskanlah Waba '(penyakit epidemi) dan penderitaan dari orang-orang Madinah," ditulis dalam Jumada tahun 152 H.
735 H - Epidemi Difteri melanda Madinah yang membunuh 15 orang setiap hari. Mereka belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya.
749 H - penyakit epidemi melanda Mekah
1235 H (1814 M) - 8000 meninggal di Hijaz secara umum karena penyakit epidemi
1246 H (1831 M) - Penyakit epidemi yang datang dari India membunuh tiga perempat jemaah haji di Mekah.
1252-1255 H (1837 CE - 1840 CE) - Periode haji di Mekah menyaksikan penyakit epidemi.

Rasulullah (ﷺ) pada tahun 9 H, pada ekspedisi Tabuk, menyampaikan sejumlah nubuwah, diantaranya bahwa akan datang Tha'un yang akan menimpa sejumlah pengikutnya. ‘Auf bin Malik Al-Ashja'i berkata,“Aku menemui Rasulullah (ﷺ) selama ekspedisi Tabuk, ketika beliau berada di tenda yang terbuat dari kulit, lalu aku duduk di depan tenda. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Masuklah wahai 'Auf! " Aku bertanya, "Dengan seluruh tubuhku, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ya, dengan seluruh tubuhmu." Kemudian beliau bersabda: "Wahai 'Auf, ingatlah diantara enam tanda-tanda hari Kiamat, salah satunya adalah kematianku." Lalu beliau melanjutkan: "Kemudian dikuasainya Baitul Maqdis (oleh orang-orang non-Muslim), munculnya penyakit yang mematikan di tengah-tengah kalian, yang dengannya Allah mematikan anak-anak dan diri-diri kalian serta membersihkan amal perbuatan kalian. Kemudian melimpahnya harta benda yang kalian miliki, sehingga walaupun ia telah diberi seratus dinar namun dirinya tetap marah (karena kurang), dan suatu fitnah yang akan terjadi di antara kalian sehingga takkan tersisa lagi satu rumahpun dari rumah-rumah kaum Muslimin kecuali akan dimasuki (fitnah tersebut). Kemudian antara kalain dengan Bani Ashfar (Romawi) akan terjadi gencatan senjata, lalu mereka mengkhianati kalian. Mereka akan datang untuk menyerang kalian dengan membawa delapan puluh bendera perang, dan setiap bendera membawahi dua belas ribu pasukan."
 
Penyakit yang disebutkan dalam nubuwah Rasulullah (ﷺ) itu, terjadi selama kekhalifahan Umar bin Al-Khattab. Selama kampanye militer pada tahun 18 H / 639 M, wabah di Emaus (bahasa Arab: 'Amawas), Palestina, sebuah kota yang berjarak 30 kilometer dari Baitul Maqdis (Yerusalem) pecah dan banyak sahabat Rasulullah (ﷺ) menderita. Al-Jauhari mengatakan "itulah wabah pertama dalam Islam," sebagaimana dinubuwatkan oleh Rasulullah (ﷺ).
Khalifah pada waktu itu, Umar bin Al-Khattab, radhiyallahu 'anhu, mendengar tentang hal itu, dan dengan keprihatinannya pergi menemui mereka.
‘Abdullah bin ‘Abbas meriwayatkan peristiwa itu ketika ‘Umar bin Al-Khattab berangkat ke Syam (Palestina, Siria, Yordania, Lebanon, dll). Ketika ia sampai di suatu tempat bernama 'Sargh', komandan pasukan, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah dan teman-temannya bertemu‘ Umar dan mengatakan kepadanya bahwa sebuah wabah telah menyebar di Syam.

'Abdullah bin 'Abbas berkata, 'Umar berkata kepadaku, 'Panggilkan beberapa Muhajirun yang terdahulu,' maka akupun memanggil mereka, meminta nasuhat mereka dan memberitahu mereka bahwa wabah telah menyebar di Syam. Mereka tak setuju. Beberapa dari mereka berkata, 'Engkau telah memulai suatu masalah dan kami tak menyarankan bahwa engkau harus menarik diri darinya.' Yang lain berkata, 'Engkau membawa serta orang-orang yang tersisa serta para Sahabat, dan kami tak menyarankan bahwa engkau akan menyebabkan mereka terkena wabah itu.'' Umar kemudian berkata, 'Pergilah.' Kemudian ia berkata, 'Panggilkan kaum Ansar, 'dan akupun memanggil mereka dan ia berkonsultasi dengan mereka.
Tanggapan mereka sama seperti kaum Muhajirin dan ada yang setuju dan ada yang tak setuju. Ia berkata, "Pergilah." Kemudian ia berkata, "Tolong panggilkan aku sesepuh Quraisy yang dulu hijrah pada peristiwa penaklukkan Makkah." Maka akupun memanggil mereka, dan tak ada di antara mereka yang tak setuju tentang hal itu. Mereka berkata, “Kami menyarankan engkau harus kembali dengan pasukanmu dan tak membiarkan mereka terkena wabah ini.” Maka, Umar mengumumkan, “Aku akan pulang di pagi hari, maka lian juga ikut pulang.” Abu 'Ubaidah bin Jarrah berkata, 'Akankah engkau melarikan diri dari takdir Allah?' ‘Umar berkata,‘Jika saja orang lain selain engkau yang mengatakan itu, Abu ‘Ubaidah! Ya, kita lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain. Tak berpikirkah engkau bahwa jika engkau memiliki unta dan mereka pergi ke lembah yang memiliki dua sisi, yang salah satunya subur dan lainnya tandus. Bukankah jika engkau melepas mereka merumput di sisi yang subur, maka merumput itu sesuai takdir Allah, dan jika engkau melepas mereka merumput di sisi yang tandus, maka merumput itu juga sesuai dengan takdir Allah? '
‘Abdul Rahman bin‘ Auf-yang telah absen karena beberapa urusan - kemudian datang dan berkata, ‘Aku tahun tentang masalah ini. Aku mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Apabila kalian mendengar ada suatu wabah di suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Sebaliknya kalau wabah tersebut berjangkit di suatu daerah sedangkan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar melarikan diri darinya." Umarpun memuji Allah [karena ia mengambil keputusan yang benar] dan kemudian berlalu."

Sang raja bertanya, "Wahai Syeikh, bagaimana orang-orang shalih menghadapi wabah dan penyakit epidemi?" Sang Syeikh berkata, "Saat Tha'un di Amawas, ada sejumlah pelajaran spiritual tentang bagaimana seorang mukmin menghadapi penderitaan epidemi dalam teladan para Sahabat, radhiyallahu 'anhum.
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, sahabat Rasulullah (ﷺ), di antara sepuluh orang yang dijanjikan surga ketika Rasulullah (ﷺ) masih hidup, tinggal dan membantu umatnya dan menolong mereka. Ia naik ke mimbar dan menghibur orang-orang yang menderita dengan berkata, “Wahai manusia! Penderitaan ini adalah rahmat bagi kalian semua, doa Nabi, dan meninggalnya orang-orang shalih di hadapanmu ... ”dan ia juga terkena wabah.
Sa'id bin Al-Musayyib meriwayatkan ketika Abu Ubaidah menderita wabah, ia memanggil orang-orang beriman di sekitarnya dan berkata, "Aku menasihati kalian semua dengan nasihat jika kalian semua menerimanya, janglah pernah berhenti untuk tetap pada kebaikan. Tetaplah shalat, puasa bulan Ramadhan, berzakat, kerjakan Haji dan Umrah, berkumpul bersama, menasihati para pemimpinmu dan jangan memperdaya mereka. Jangan biarkan dunia menipumu. Bahkan jika seseorang hidup seribu tahun, mereka pasti akan mencapai apa yang engkau saksikan di hadapanmu, kematianku. Allah telah menulis maut atas anak-anak Adam dan mereka akan mati. Orang yang paling cerdas di antara mereka adalah yang paling patuh pada Rabb mereka dan yang beramal demi Akhirat. Wasalamu'alaikum wa rahmatullah. Wahai Muadz bin Jabal, pimpinlah umat melaksanakan shalat.”

Setelah itu, ia meninggal, Allah ridha padanya. Muadz bin Jabal, di pemakamannya berdiri di depan orang-orang dan berbicara kepada mereka seraya berkata, “Wahai manusia! Kembalilah kepada Allah, bertobat dari dosa-dosamu. Setiap hamba yang bertemu Allah, yang bertobat dari dosa-dosa mereka akan pantas mendapat apmunan Allah. Siapapun yang berhutang kepada mereka, lunasilah karena seorang hamba (Allah) ditahan di bawah janji untuk mengembalikan hutang mereka. Siapa pun yang telah bangun hari ini dan meninggalkan saudara mereka (karena perselisihan dan dendam) kemudian pergi keluar dan menemui mereka dan berdamai. Tak boleh seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Wahai Muslim! Kalian telah bersedih oleh meninggalnya seorang lelaki yang tak taku nyatakan aku telah melihat seorang hamba yang lebih patuh atau terbuka hatinya, atau lebih jauh dari menyembunyikan kemalangan (terhadap orang lain), atau lebih mencintai semua orang dan berharap baik bagi mereka menasihati mereka darinya. Berdirilah dan mintakanlah rahmat baginya dan berdoalah untuknya. "
Muadz bin Jabal kehilangan anak-anak dan keluarganya sebelum meninggal, sementara itu dengan sabar mengatakan ketika Abu Ubaidah berkata di hadapannya, “Penderitaan ini adalah rahmat bagi kalian semua, doa nabi, dan meninggalnya orang-orang shalih di hadapanmu."

Orang-orang shalih di masa lalu menjalani realitas penderitaan dengan kepastian iman kepada Allah dan keyakinan bahwa tiada yang menimpa kecuali hanya dengan kehendak-Nya dan tiada yang diambil hanya dengan izin-Nya. Mereka sepenuhnya yakin pada keberadaan mereka bahwa apa yang menimpa manusia takkan pernah lepas dari mereka, dan apa yang terlewatkan tak pernah dimaksudkan untuk mereka, dan kehidupan ini hanyalah fase persiapan yang sementara, lebih penting mempersiapkan kehidupan Akhirat. Seperti yang disampaikan oleh Nabi kita tercinta (ﷺ) tentang wabah bahwa, "Inilah hukuman yang Allah turunkan kepada siapapun yang Dia kehendaki" - dan bahwa, "Dia menjadikannya rahmat bagi orang Mukmin," beliau (ﷺ) tak mengatakan Muslimin. Mukminin di sini merujuk pada tingkat keyakinan yang lebih tinggi dari mereka yang menginternalisasi dan memiliki keyakinan iman yang lebih dari sekadar percaya dan masuk Islam. Karena agama memiliki tiga tingkatan, Islam, Iman, dan Ihsan. Ungkapan "rahmat bagi orang Mukmin" di sini merujuk pada tingkat keyakinan yang lebih tinggi yang menginternalisasi hikmah ketetapan Allah dan mengaktualisasikannya menjadi, bukan hanya tindakan anggota badan, pernyataan lidah, melainkan juga tindakan dan pernyataan qalbu karena ketergantungan mutlak pada Allah, kesabaran di saat sulit dan bersyukur. Hal ini menguatkan pernyataan Nabi kita tercinta (ﷺ). Orang-orang beriman menggemakan firman-firman Rabb kita yang menggambarkan tanda orang-orang beriman. Rasulullah (ﷺ) mewujudkan pesan yang diajarkan oleh Yang Mahakuasa, dan memberikan pelajaran spiritual yang merupakan bentuk harapan yang sangat kuat di masa-masa paling sulit. Pesan ketekunan, melalui ujian, dan mengetahui hikmah ada di tangan Yang Maha Penyayang, Yang Mahatinggi, Mahabijaksana. Allah memerintahkan Nabi-Nya (ﷺ) agar menyampaikan pesan itu sendiri dengan memerintahkan Nabi (ﷺ) menyampaikan kepada umat manusia dan orang-orang beriman,

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
"Katakanlah (Muhammad), 'Takkan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang mukmin." - [QS.9:51]
[Bagian 1]
[Bagian 3]