Kutipan & Rujukan:"Seratus tahun, sepanjang abad 18 dan 19, di India, duduk di atas takhta di negara kerajaan, Nawab dari Awadh, gelar penguasa yang memerintah negara bagian Awadh, milik dinasti Persia, asal Nishapur, Iran,” berkata Rembulan setelah memulai dengan Basmalah dan Salam. "'Awadh,' yang diinggriskan sebagai Oudh, dimana raja otokratis ini, memerintah bukan hanya, subdivisi yang menyusut dan terbatas pada sebuah provinsi seperti sekarang ini, melainkan meluas ke Utara hingga perbatasan Nepal, dan ke arah Timur dan Barat dan ke Selatan, jauh melampaui batas Provinsi Negara saat ini. Bukan pula oleh kemegahan dan kecemerlangan Istananya, kita mengenang Raja ini: melainkan karena keistimewaan kebiasaan atau cara bernalar, tingkah-lakunya yang aneh, kelugasan, dan kegandrungannya pada pakaian Eropa dan orang-orang Inggris.Saat itu, pagi di musim panas, ketika Raja kedua Oudh, Nasir-ud-Din Haider Shah, sedang berjalan di tamannya yang sejuk. Ia berdiri beberapa saat di depan air mancur dan menyaksikan matahari pagi menerobos semburan itu, dalam beragam warna. Melalui selubung warna pelangi itu, ia melihat sosok bayangan, berkelebat melintas dari semak hijau ke arah lain.Kira-kira, apakah itu? Seorang lelaki, seorang pembunuh, seorang mata-mata di haremnya? Segala prasangka berkecamuk, mempertanyakan hal itu, pasti terlintas dalam benaknya, sekarang dipenuhi beragam kecurigaan.'Kemarilah, penjahat,' panggilnya, 'keluarlah segera dan jelaskan bagaimana engkau mengintai di sini.' Sosok tersebut muncul dengan gemetar dari balik semak. Ia tampak compang-camping dan berpakaian buruk, dengan rambut dan janggut acak-acakan. Baru saja ia mendekat dalam jarak 20 langkah dari sang Raja, seketika ia bersimpuh di tanah seraya bergumam, 'Duhai Atap Dunia, Pelindung kaum fakir, Hadirat ibadah—ampunkan patik.''Apa yang membawamu ke sini, hai engkau yang bersikap tak pantas?' tanya sang Raja. 'Saudara lelakiku mengabdi pada Yang Mulia,' teriak sang lelaki yang bersimpuh. 'Namanya Razzak, pengurus-kuda, dan patik datang ke sini, guna mencarinya dan memintanya agar membantuku mendapatkan pekerjaan di istana Yang Mulia. Patik orang asing di sini dan tersesat, tak pernah bermimpi bahwa patik akan menghina mata Yang Mulia dengan pemandangan yang sangat ceroboh seperti diri patik.'Sang Raja tahu benar bahwa lelaki itu, sangat jujur, namun, lantaran suka guyon, ia menyembunyikan kemarahannya, dan berlagak curiga. 'Penjahat!' teriaknya, 'Engkau berbohong! Pembunuhan tertera di wajahmu, dan aku menganggap kehadiranmu bermakna pengkhianatan, engkau bakal dihukum mati.Pada saat itu, salah seorang pelayannya, dengan gemetar, mendekati sang Raja. 'Ambilkan penaku dan gulungan kertas. Aku akan menulis surat perintah, kematian orang ini.''Ampuun! Ampuun!' tangis sang lelaki, dengan aksen patah kesakitan dan ketakutan. Secepat kilat, pena dan kertas telah berada di tangan sang Raja, yang hendak menulis, sementara sang korban, terus menggeliat dan menangis dalam penderitaannya yang, serasa berat. 'Beri orang ini sebuah pekerjaan dengan gaji 5 rupee sebulan,' tulisnya dan menggulung kertas tersebut, dengan senyum hambar, ia menyerahkannya kepada sang pelayan.'Berikan ini,' katanya kepada pelayan, 'kepada pengawal Kerajaan dan perintahkan mereka agar segera mengirim orang ini, di bawah pengawalan, kepada Perdana Menteri, yang akan segera melaksanakan titahku.' Lelaki yang bersimpuh, yang masih memohon belas-kasihan, seketika dibawa dari tekapeh, dan saat telah menghilang dari pandangannya, sang Raja langsung ngakak.Perdana Menteri di zaman itu, ialah Nawab Mir Fazal-i-Ali Khan. Ia tak dapat mendamaikan tangisan menyedihkan dari orang yang diduga terhukum itu, dengan syarat-syarat perintah yang telah ia terima. Maka, iapun menulis catatan di gulungan yang menjelaskan keadaan tersebut kepada sang Raja dan menanyakan, adakah kekeliruan di dalamnya.Sang Raja, setelah menerima pertanyaan tersebut, hanya melewati pertanyaan sang Perdana Menteri dan menambahkan sebuah titik setelah angka '5' dalam perintahnya, yang menjadikannya terbaca dalam bahasa sehari-hari, '50 rupee.'Sang Perdana Menteri bertambah bingung menerimanya, dan mengira bahwa seseorang sedang menipunya, lalu menulis kembali, kemudian ia sendiri yang mengirim utusan khusus dan terpercaya, menanyakan pada sang Raja, inikah perintahnya. Sekali lagi, sang Raja melewati kalimat pertanyaan sang Perdana Menteri, dan menambahkan satu titik lagi pada perintahnya. 'Beri orang ini jabatan dengan gaji 500 rupee sebulan,' itulah apa yang sekarang terbaca dalam perintah dimaksud. Bertingkah konyol, Nawab Mir Fazal-i-Ali Khan, bergegas ke Istana dan menjelaskan kepada sang Raja, bahwa jika tak ada kesalahan dan perintah dimaksud agar dilaksanakan, akan menguras pundi-pundi Kerajaan, sehingga akan menambah bebannya, cuma lantaran seorang pekerja yang tak punya kemampuan apa-apa.'Nawab Sahib,' jawab sang Raja, 'Engkau benar. Ada kekeliruan. Serahkan padaku parwana (perintah) itu.'' Saat menerima gulungan kertas, ia terkekeh sendirian, dan menambahkan satu titik lagi setelah angka sebelumnya, sehingga berbunyi '5.000 rupee sebulan.'"Kekeliruan telah dikoreksi," katanya. Sang Perdana Menteri membungkuk, memberi hormat dan pergi, lalu Raja menambahkan, 'Sampaikan perintahku kepada orang itu, dan undang ia kemari.'Sang Perdana Menteri mematuhi perintah Kerajaan, dan secepatnya, sang lelaki compang-camping tersebut, telah berdiri di hadapan Yang Mulia, yang bagai bermimpi, tak dapat memahami apa yang akan menjadi akhir dari perkembangan ini, tak dapat menyadari, apa tujuan sebenarnya dari sang Raja. 'Lepaskan ia,' titah sang Raja kepada penjaga, dan belenggu yang mengikatnya, dilepas. Kemudian, menoleh ke tahanan yang dibebaskan, sang Raja berkata, 'Berterimakasihlah kepada Perdana Menteri atas kenaikan gajimu dari 5 rupee menjadi 5.000 rupee per bulan. Pergilah sekarang, dan bila Istana dibuka hari ini, engkau bakal dijadikan seorang Nawab.'Sang lelaki yang terperangah itu, mengucap syukur dan saat hendak undur-diri dari sang Raja, tiba-tiba, sang Raja berbalik dan bertitah lagi. 'Tapi tunggu; engkau tak bisa pergi seperti itu! Akan menjadi aib bagi jabatan yang engkau pegang sekarang.' Sang Raja kemudian memerintahkan seorang pelayan, memandikan dan mendandani sang lelaki, serta memerintahkan agar pakaiannya sendiri, dikenakan padanya.Dalam setengah jam, sang orang asing, berdiri di hadapan Yang Mulia, mengenakan pakaian dari brokat termewah. 'Sekarang,' kata sang Raja, 'Engkau boleh pergi.' Dan kemudian, sekali lagi, ia mengamati sang orang asing.'Tapi ... bentar, bentar ... engkau tak boleh berjalan di jalanan seperti itu! Akan menjadi aib bagi jabatan yang engkau emban.' Segera, ia memerintahkan agar pasukan Kavaleri, diberikan kepadanya sebagai penjaga kehormatan, rombongan 30 pelayan sebagai asisten pribadi dan 20 ekor gajah, dengan suasana yang semarak, mengantarkan pejabat baru dan stafnya, ke Istana yang telah dikosongkan oleh Perdana Menteri sebelumnya, dan sekarang, ditugaskan bagi kekuasaan baru di negeri ini.Dan demikianlah, prosesi yang indah itu, melanjutkan pawai kemenangannya. Satu jam kemudian, ia menelusuri kembali jejaknya ke Istana, dimana, di Negara Bagian Kerajaan, seorang Nawab baru dilantik, dan sebuah bintang baru bersinar—untuk sementara waktu—di atas cakrawala Mogul.Apa yang telah dikisahkan sebelumnya, tak seindah apa yang dikisahkan kemudian. Banyak orang, tak seindah warna aslinya. Pada suatu malam, di bulan Juni yang mengerikan, tujuh mayat, ditemukan di sebuah ruangan berukuran 10 kaki x 10 kaki, tanpa ventilasi, pintu yang dirantai dari luar, terkubur dalam liang yang sama, di luar gerbang Istana. Mereka itu, gadis-belia berusia mulai dari 11 hingga 17 tahun; apa yang terjadi? Ada banyak orang lain seperti mereka, di Istana Raja Nasir-ud-Din Haider.Daya-nalar lemah seperti sang Raja, dihantui oleh kecurigaan di setiap waktu, dipengaruhi oleh setiap peramal dan penasihat, dan dalam banyak kasus, oleh para Perdana Menterinya, telah cukup menggoyahkannya. Atas bisikan Raushan-ud-daula, salah seorang Perdana Menterinya, memfitnah ibu-tiri sang raja, Badshah Begum. Raja mempercayai Raushan-ud-daula yang licik, lalu marah, kemudian membakar selimut kulit, yang diberikan oleh Begum sebagai hadiah.Begum merasa tertekan dan khawatir mendengar nasib hadiahnya, dan bertanya-tanya apa langkah sang Raja selanjutnya. Agar ia tak menyerangnya lagi dengan Pasukannya, ia mulai merekrut tentaranya sendiri. Dalam beberapa hari, ia telah mengumpulkan hampir sembilan ribu tentara di sekelilingnya.Mendengar hal ini, Residen Perusahaan India Timur, merasa khawatir, dan guna menghindari pertumpahan darah lebih lanjut, meminta Begum membubarkan tentaranya. Namun, Begum, menjawab bahwa ia hanya mempersiapkannya demi perlindungan diri; tetapi sang Residen mendesak, dan bahkan pekerjaan akan dibayar dari Bendahara Kerajaan. Sang Residen kemudian menulis kepada sang Raja, menyampaikan bahwa ia telah menyelesaikan masalah ini, dan bahwa sang Raja, harus membayar sejumlah 15.000 rupee sebulan kepada ibu-tirinya sebagai tunjangan dan juga dua lakh berbentuk lump sum, kepada pasukannya, yang akan segera dibubarkan.Surat sang Residen sampai kepada sang Raja malam itu juga, dan ia memberikan arahan kepada sang Perdana Menteri, agar membuat perintah pembayaran di hadapannya, esok paginya untuk ditandatangani, yang mengizinkan penarikan uang dari kas Negara.Fajar menyingsing: sang Raja berbaring diam tak bergerak di tempat tidurnya: tirai-tirai tersingkap: sang Raja mangkat. Dan para abdi-dalem, dengan suara pelan, saling membisikkan kata 'racun' di sudut terjauh dalam ruang kematian. Dengan demikian, Raja Nasir-ud-Din Haider Shah, berpulang di usia-muda, 35 tahun."Matahari akan segera terbit, sebelum pergi, Rembulan berkata, "Dan kekuasaan dahsyat itupun, runtuh. Apapun itu, sekuat apapun, akan selalu ada silih-berganti, seperti malam berganti siang, semua ada masanya.Boleh jadi, Shakespeare sedang mengintip adegan-adegan keruntuhan kejayaan ini, saat ia menulis kata-kata yang mengesankan berikut ini,Dan, sama seperti bangunan tak berpondasi dari bayang-bayang ini,Menara yang terselubung kabut, istana yang indah,Kuil-kuil khidmat, bola-dunia yang hebat itu sendiri,Ya, semua yang diwarisinya, bakal sirna,Dan, sama seperti ilusi arak-arakan ini, memudar,Janganlah pergi meninggalkan sebuah beban.Wallahu a'lam.”
- L.H. Niblett, India in Fable, Verse and Story, Thacker & Co