Kamis, 30 Juni 2022

Apa itu 'Mengapa'?

"'Manipulasi berdaya-guna, namun membutuhkan duit. Duit yang amat banyak. Bahaya manipulasi itu, bahwa ia, bardaya-guna. Dan karena manipulasi berdaya-guna, ia telah menjadi norma, dipraktikkan oleh sebagian besar perusahaan dan organisasi, terlepas dari ukuran atau industrinya. Walau ia berdaya-guna, belum tentu menjadikannya benar. Tatkala manipulasi telah menjadi norma, tiada yang menang.' Itulah kira-kira sekerat makna yang kukecap dari karya Simon Sinek, 'Start with Why,'" berkata sang Luna setelah mengucapkan Basmalah dan Salam. "Dan malam itu," ia meneruskan, "aku ditemani oleh Burung Kicau, mengeksplorasi Bumi Zamrud Khatulistiwa. Entah mengapa, malam itu, ia tak dapat tidur, dan sebelum aku bertanya 'mengapa?,' ia membawaku, pertama-tama, melintasi pulau yang, di zaman kolonialisme Belanda, tak pernah tidur, Onrust. Dan kini, Onrust telah benar-benar mendengkur dalam peraduan. Kemudian, setelah melewati beberapa pulau, burung-kicau mengajakku ke kota yang tak pernah molor, Kota Metropolitan, walau tak semegah New York dan masih banyak kota Metropolitan di belahan bumi lain, tapi, begitulah orang-orang di negeri ini menyebutnya. Dan, ada yang menarik tentang Gubernur di daerah khusus ibukota ini, bahwa banyak orang memperbincangkan dirinya, baik yang memfavoritkannya maupun para haternya. Bagi yang menyukainya, cukup menyapanya dengan panggilan 'Sang Presiden!' Lho, kenapa? Itu gegara ulah para haternya, lantaran setiap kali terjadi kesusahan di Bumi Zamrud Khatulistiwa, mulai dari banjir hingga sandal-jepit dekil putus, maka, sang Gubernurlah yang bakal disalahin. Nalar kita akan berkata, 'Di zaman dulu, baik Raja, Sultan, ataupun Khalifah, dan di zaman now, disebut Presiden, bukankah ia punya tanggungjawab moral atas keselamatan setiap rakyatnya? Karena itulah, ia di sebut 'Sang Presiden.'' Lalu, sang petahana, kemana? Tampaknya, yang Mulia lagi asyik menemukan tempat curhat, 'a shoulder to cry on.'
 
Negeri yang kukunjungi ini, telah meraih Kemerdekaannya, sejak jelang akhir Perang Dunia II, sampai sekarang, selama puluhan tahun. Dan aku kepo, 'mengapa' dalam Konstitusinya, para 'Founding Parents' negeri ini, lebih memilih diksi 'Merdeka' dibanding 'Bebas'? Baik Bebas maupun Merdeka itu, sinonim, namun terkadang, bisa membingungkan, dan orang merasa sulit memutuskan, menggunakan diksi yang mana.
'Bebas' itu, 'hak dan kekuatan untuk meyakini, bertindak, dan mengekspresikan-diri sesuai pilihan seseorang, lepas dari kekangan, dan langgas memilih. Keadaan ini, punya kekuatan bertindak dan berbicara tanpa sekat.' Di sisi lain, 'Merdeka' itu, 'keadaan leluasa menikmati kelegaan politik, sosial, dan sipil. Kekuatan ini, guna memutuskan tindakan seseorang, dan keadaan lepas dari belenggu atau kungkungan. 'Merdeka' bersinonim dengan kata bebas, hak-istimewa, lepas, dan mandiri.' Diksi 'Bebas,' implikasinya, sangat bergantung pada tanggungjawab dan kewajiban, serta keterikatan pada seluruh masyarakat yang lebih besar, atau bisa dibilang, suatu sistem keyakinan, yang bersifat filosofis. Di sisi lain, diksi 'Merdeka,' bermakna suatu kekuatan-murni, guna berbuat dan bertindak, sebagaimana seseorang berkehendak. Jadi, 'Merdeka' itu, konsepsi yang lebih kasat-mata dibanding 'Bebas.'

Saat berbincang tentang 'Kebebasan' dan 'Kemerdekaan', kita tak bisa lepas dari Teori Politik. Dalam pandangan Joseph Raz, teori politik dapat dengan mudah dibagi menjadi dua bagian: Moralitas Politik dan Teori Institusi. Moralitas politik terdiri dari prinsip-prinsip yang hendaknya memandu tindakan politik. Ia memberikan prinsip-prinsip yang mendasari teori institusi membangun argumen untuk memiliki institusi politik dengan karakter tertentu. Pula, Moralitas politik menetapkan tujuan dan batasan tindakan lembaga-lembaga politik tersebut. Akan tetapi, prinsip-prinsip moralitas politik itu sendiri, tumbuh dari pengalaman konkret masyarakat tertentu dengan institusinya sendiri. Validitasnya, dibatasi oleh latar belakang mereka. Dengan cara ini, lembaga membentuk prinsip-prinsip yang dirancang bagi pedoman dan pembentukan kembali lembaga-lembaga ini. Sebagian besar aktivitas politik sehari-hari suatu negara, berkaitan dengan pembentukan institusi dan prosedur politik. Tak jarang, cara terbaik mengimplementasikan kebijakan baru, ialah dengan menciptakan lembaga publik baru atau menata ulang atau mereformasi yang lama. Dan kita semua menyadari banyak masalah dimana kebijakan terbaik kandas oleh kegagalan institusi karena beban implementasinya.
Selanjutnya, dengan 'lembaga politik', Raz mengacu terutama pada negara dan organ-organnya, dan juga, agak lebih luas, semua otoritas publik. Jadi, tak semua organisasi politik itu, lembaga politik. Demikian pula Partai politik, di sebagian besar negara demokrasi. Mereka itu, organisasi politik yang bertujuan agar terlibat dalam tindakan politik.

Liberalisme telah lama terbagi di antara, mereka yang menganggap kebebasan sebagai sesuatu yang berharga secara intrinsik, dan mereka yang mengklaim bahwa kebebasan hanya bernilai instrumental. Yang terakhir disebutkan, termasuk kaum utilitarian dan ekonom pasar bebas. Analisis makna tentang 'Kebebasan' atau 'Kemerdekaan', menurut Raz, tak dapat menjawab pertanyaan tentang kebebasan mana yang berharga, apa yang dianggap sebagai pembatasan atau gangguan terhadap kebebasan seseorang, dan bagaimana menilai apa yang seyogyanya dilakukan saat pertimbangan Kebebasan bertentangan dengan pertimbangan lain—yang mungkin atau mungkin tak melibatkan kepentingan Kebebasan dalam beberapa hal lain.
Raz menjelaskan, secara historis, liberalisme dan individualisme tumbuh bersama. Kekuatan sosial dan ekonomi yang serupa, seringkali digabungkan demi memajukan perjuangan mereka di berbagai negara. Namun keduanya, merupakan doktrin yang berbeda. Liberalisme itu, doktrin tentang moralitas politik yang berkisar pada pentingnya kebebasan pribadi. Individualisme, merupakan doktrin moral. Ia terkait dengan liberalisme, lantaran liberalisme terkait dengan demokrasi, yang dipahami sebagai teori institusi politik. Liberalisme dapat memberikan landasan bagi demokrasi, meskipun seseorang dapat mencapai kesimpulan demokratis dari fondasi lain, masing-masing memberikan bentuk yang agak berbeda pada teori demokrasi yang dihasilkannya. Demikian pula, seorang individualis, dapat mendukung liberalisme, sebagai moralitas politiknya, tetapi kesimpulan liberal, juga dapat didasarkan pada premis non-individualistik. Pula, seperti halnya seorang liberal dapat mendukung lembaga-lembaga non-demokrasi sebagai yang paling sesuai dalam masyarakat tertentu, demikian pula seorang individualis, dapat menjadi bukan seorang liberal, melainkan seorang libertarian—berusaha memaksimalkan otonomi dan kebebasan politik, dan meminimalkan pelanggaran negara terhadap kebebasan individu; menekankan asosiasi bebas, kebebasan memilih, individualisme dan asosiasi sukarela—atau seorang anarkis—skeptis terhadap otoritas dan menolak segala bentuk paksaan hierarki. 
Libertarian berusaha memaksimalkan otonomi dan kebebasan politik, dan meminimalkan pelanggaran negara terhadap kebebasan individu; menekankan pergaulan-bebas, kebebasan memilih, individualisme dan pergaulan-sukarela. Libertarian sering berbagi skeptisisme otoritas dan kekuasaan negara, tetapi beberapa libertarian berbeda dalam lingkup oposisi mereka terhadap sistem ekonomi dan politik yang ada. Berbagai aliran pemikiran Libertarian menawarkan berbagai pandangan mengenai fungsi sah kekuasaan negara dan sektor swasta, seringkali menyerukan pembatasan atau pembubaran institusi sosial koersif. Kategorisasi yang berbeda telah digunakan untuk membedakan berbagai bentuk Libertarianisme.
Anarkisme menyerukan penghapusan negara, yang dianggap tak perlu, tak diinginkan, dan berbahaya. Sebagai gerakan sayap kiri secara historis, ditempatkan di tempat paling kiri dalam spektrum politik, biasanya digambarkan bersama komunalisme dan Marxisme libertarian sebagai sayap libertarian (sosialisme libertarian) dari gerakan sosialis, dan punya hubungan historis yang kuat dengan anti-kapitalisme dan sosialisme.
Individualisme cenderung mengarah pada visi liberalisme sebagai teori pemerintahan terbatas. Ia menyajikan pandangan tentang kebebasan politik sebagai doktrin tentang apa yang tak boleh dilakukan oleh pemerintah, bagaimana mereka tak boleh memperlakukan rakyatnya, bidang perilaku individu mana yang harus mereka hindari, dan prinsip-prinsip serupa. Di sini juga, koneksinya longgar dan seseorang dapat mendukung interpretasi pemerintah yang terbatas tentang kebebasan politik atas dasar non-individualis.

Doktrin pemerintahan terbatas, menganggap pemerintah sebagai ancaman terhadap kebebasan. Perlindungannya ialah dengan menjaga pemerintah terkurung dalam batas-batas moral yang tepat. Meskipun tak dapat disangkal bahwa pemerintah dapat dan sering melakukannya, menimbulkan ancaman bagi kebebasan individu, ada konsepsi lain yang menganggap mereka juga memungkinkan sebagai sumber kebebasan. Mereka dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan rakyatnya menikmati kebebasan yang lebih besar daripada yang seharusnya mereka lakukan. Konsepsi kedua ini, menganggap kebebasan kadang-kadang terancam oleh individu dan perusahaan, tak semata oleh pemerintah. Lebih jauh lagi, dan mengklaim bahwa meskipun pemerintah kadang-kadang menyalahgunakan kekuasaan mereka dan melanggar kebebasan individu, tak jarang pula, mereka harus bertindak demi menggalakkan kebebasan, dan tak hanya duduk diam dan menghindari campur tangan dengannya. Mereka harus menjauhkan diri dari bidang kehidupan tertentu, atau menghindari campur tangan dengannya, dengan cara tertentu, saat bertindak di bidang lain dan dengan cara lain guna menggalakkan kebebasan.

Secara singkat, hendaknya ada prinsip-prinsip moral yang khusus untuk moralitas politik. Kemerdekaan dan Kebebasan, seyogyanya dilihat sebagai nilai-nilai yang berbeda, namun nilai-nilainya, terkait erat dengan bidang-bidang lain, dan tak dapat tegak dengan sendirinya.

Apa yang telah kuutarakan, semata guna menyajikan betapa pentingnya beranjak dari kata 'Mengapa.' Ia merupakan cara berpikir, yang memberi para pemimpin kemampuan menginspirasi orang-orang di sekitar mereka. Simon Sinek bilang, 'Ada pemimpin dan ada yang dipimpin. Pemimpin memegang posisi kekuasaan atau pengaruh. Mereka yang memimpin, menginspirasi kita.
Baik individu atau organisasi, kita mengikuti mereka yang memimpin, bukan lantaran kita dipaksa, melainkan karena memang kita menghendakinya. Kita mengikuti mereka yang memimpin, bukan demi mereka, melainkan demi diri kita sendiri.'

Baiklah, mari kita kembali ke burung-kicau. Beberapa saat kemudian, burung-kicau bertengger di sebuah dahan pohon, dan salah satu sayapnya, mengisyaratkan padaku agar menyorotkan cahayaku ke halaman depan sebuah gedung pertemuan. Terlihat di bawah sana, empat orang lelaki, salah seorang di antara mereka, sedang berbicara. Aku mengenalnya, ia sang filsuf, dan jika Nietzsche sering disebut sebagai penulis 'aphoristic', aku suka menyebutnya sebagai filsuf 'aphoristic.' Namun sayangnya, waktuku telah habis. Esok malam, aku akan kembali ke lokasi ini dan, Insya Allah, aku akan berbagi denganmu, apa yang ia sampaikan. Tentulah, sebagai kelanjutan dari 'Mengapa.'

Untuk sementara, aku dan burung-kicau akan berpisah, dan esok malam, kami janji bertemu kembali di waktu dan tempat yang sama. Dan lamat-lamat, aku mendengar sang unggas bersenandung,
Because the world is round
[Karena dunia itu bulat]
It turns me on
[Ia menggairahkanku]
Because the world is round
[Sebab dunia itu bulat]

Because the wind is high
[Karena sang bayu berhembus kencang]
It blows my mind
[Ia meletupkan otakku]
Because the wind is high
[Sebab sang bayu berhembus kencang]

Because the sky is blue
[Karena dirgantara berwarna biru]
It makes me cry
[Ia membuatku meratap]
Because the sky is blue *)
[Sebab dirgantara berwarna biru]
Sebelum undur-diri, Laluna berkata, "Semua fakta sejarah, sampai kepada kita, sebagai hasil dari pilihan penafsiran oleh para sejarawan yang dipengaruhi oleh standar usia mereka. Jutaan orang telah melintasi sungai Rubicon, namun para sejarawan memberi tahu kita, bahwa cuma penyeberangan Julius Caesar yang signifikan. Dan jika engkau bertanya 'Mengapa?' Mungkin jawabannya begini, 'Ungkapan 'crossing the Rubicon,' merupakan sebuah idiom yang bermakna bahwa seseorang sedang melintasi 'point of no return.' Maknanya berasal dari majas-alusi tentang penyeberangan melintasi sungai Rubicon oleh Julius Caesar pada awal Januari 49 SM. Penyeberangan Caesar tersebut, memicu perang saudara, yang pada akhirnya menjadikan Caesar seorang diktator perpetuo [diktator seumur hidup]. Caesar telah diangkat menjadi gubernur atas wilayah seputaran Gaul Selatan hingga Illyricum. Saat masa jabatan gubernurnya berakhir, Senat memerintahkan Caesar agar membubarkan pasukannya dan kembali ke Roma. Lantaran ilegal membawa tentara ke Italia, perbatasan utara yang ditandai oleh sungai Rubicon, menyeberangi sungai dengan membawa senjata, identik dengan pemberontakan, pengkhianatan, dan deklarasi perang terhadap negara. Menurut beberapa penulis, sebelum menyeberang, Caesar mengucapkan kata-kata 'alea iacta est' ['sang dadu telah digulirkan'].' Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Simon Sinek, Start with Why, Penguin Group
- Joseph Raz, The Morality of Freedom, Oxford University Press
- Edward Hallett Carr, What is History?, Penguin Group
*) "Because" karya John Lennon & Paul McCartney