[Sesi 3]"Keesokan harinya, investor China kita, terserang flu, pilek, demam dan sakit kepala. Bayangin coba, udah ngelepas pakaian dan make sempak doang, eh acara renangnya 'mboten estu.' Terpaan deru angin pantai yang lantam, membuat perutnya berdentam.Di restoran hotel, sembari mencicipi semangkuk sup asparagus kepiting yang hangat, sang investor mengeluh kepada sang menteri, 'Persatuan Bangsa Bangsa sangat 'concern' dengan pencemaran lingkungan, dan negeri kami sedang memikirkan bagaimana cara menyingkirkan polutan.'Berusaha berempati, pak menteri merespon, 'Oh kalau begitu, pindahkan aja ke tempat kami, pak. Kami sudah terbiasa kok hidup dengan polutan, friends with benefit dan saling berbagi cuan, ' Peace lily melanjutkan percakapannya dengan Wulandari.Ia lalu berkata, "Kontaminasi udara, air, atau makanan, sedemikian rupa sehingga menyebabkan kerugian nyata atau potensial terhadap kesehatan atau kesejahteraan manusia, atau merusak, atau merugikan alam bukan-manusia tanpa alasan yang dapat dibenarkan, disebut Pencemaran Lingkungan.Polusi, menurut I.L. Lada, CP Gerba, dan M.L. Brusseau, adalah akumulasi dan dampak buruk kontaminan atau polutan terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia, dan/atau lingkungan. Kontaminan atau Pencemar dapat dihasilkan dari bahan limbah yang dihasilkan dari aktivitas makhluk hidup, terutama manusia. Namun kontaminasi dapat pula terjadi dari proses alami seperti pelarutan arsenik dari batuan dasar ke dalam air tanah, atau polusi udara dari asap yang dihasilkan dari kebakaran alam. Polutan juga ada dimana-mana karena bisa berbentuk padat, cair, atau gas. Polusi juga dihasilkan sebagai akibat tak langsung dari aktivitas manusia. Misalnya, pembakaran bahan bakar fosil meningkatkan kadar karbon dioksida di atmosfer dan meningkatkan pemanasan global. Golongan polutan lainnya dapat terjadi oleh pengelolaan atau pembuangan limbah yang buruk, sehingga dapat menyebabkan adanya mikroorganisme patogen di dalam air. Contoh lain pencemaran akibat aktivitas manusia adalah tumpahan bahan organik yang dapat menjadi racun secara tak disengaja, seperti pelarut terklorinasi atau hidrokarbon minyak bumi, yang mencemari air tanah. Beberapa kontaminan umum yang masuk ke lingkungan, berpotensi memberikan dampak buruk terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia.Lingkungan memainkan peran penting dalam menentukan nasib akhir polutan. Lingkungan terdiri atas tanah, air, dan atmosfer. Semua sumber pencemaran, pada awalnya dilepaskan atau dibuang ke salah satu fase lingkungan tersebut. Ketika polutan berinteraksi dengan lingkungan, ia mengalami perubahan fisik dan kimia, dan akhirnya menyatu ke dalam lingkungan. Oleh sebab itu, lingkungan bertindak sebagai sebuah kontinum dimana seluruh bahan limbah ditempatkan. Polutan, pada gilirannya, mematuhi hukum kedua termodinamika: materi tak dapat dimusnahkan; ia hanya diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Jadi, secara keseluruhan, cara zat-zat tersebut ditambahkan ke lingkungan, kecepatan penambahan limbah tersebut, dan perubahan selanjutnya yang terjadi, menentukan dampak limbah terhadap lingkungan. Penting mengenali konsep lingkungan sebagai sebuah kontinum, karena banyak proses fisik, kimia, dan biologi, terjadi tidak dalam salah satu fase tersebut, misalnya di udara saja, melainkan pada antarmuka antara dua fase seperti tanah atau antarmuka air.Beberapa polutan, seperti mikroba patogen, sepenuhnya alami dan mungkin terdapat di lingkungan dalam konsentrasi yang sangat rendah. Meski begitu, ia tetap mampu menimbulkan penyakit patogen pada manusia atau hewan. Mikroorganisme alami tersebut juga diklasifikasikan sebagai polutan, dan keberadaannya di lingkungan perlu dikontrol secara hati-hati.Pertanyaan mengenai kapan terjadinya kerugian terhadap alam, masih amat erat kaitannya dengan, sekali lagi, Etika.Seperti yang engkau ketahui, Etika itu, analisis sistematis tentang Moralitas. Pada gilirannya, Moralitas merupakan persepsi yang kita punyai mengenai apa yang benar dan salah, baik dan buruk, atau, adil dan zalim. Kita semua hidup dengan beragam nilai moral seperti kebenaran dan kejujuran. Ada orang, misalnya, amat mudah berbohong, sementara yang lain, hampir selalu mengatakan yang sebenarnya. Andaikan segala situasi kehidupan semata memerlukan keputusan kapan hendaknya berkata jujur atau kapan harus berbohong, maka Etika tak diperlukan lagi. Namun seringkali, kita mendapati diri kita berada dalam situasi dimana nilai-nilai moral kita bertentangan. Mengatakan yang sebenarnyakah kita kepada rekan kita, dan berisiko menyakiti perasaannya, atau berbohongkah kita dan tidak setia? Bagaimana kita memutuskan apa yang harus dilakukan? Etika memungkinkan kita menganalisis konflik moral tersebut, dan orang yang tindakannya diatur oleh penalaran etis yang reflektif, dengan mempertimbangkan nilai-nilai moral, disebut sebagai 'orang yang beretika.'Umumnya, kita sepakat di antara kita, agar bersikap 'etis' (yakni, menggunakan analisis reflektif dan rasional tentang bagaimana kita seyogyanya saling memperlakukan), karena dengan melakukan hal tersebut, kita bakal memperoleh dunia yang lebih baik. Jika kita tak peduli dengan moralitas dan etika, dunia bakalan jadi tempat yang memasygulkan. Bayangkan, hidup di lingkungan dimana tiada orang yang bisa dipercaya, dimana segala sesuatu boleh ditilep, dan dimana saling-menyakiti secara fisik di setiap kesempatan merupakan hal yang normal. Kendati, boleh jadi, ada masyarakat di dunia, memang begitu, kita seyogyanya sepakat bahwa kita tak ingin hidup dalam kondisi kayak gitu. Maka, kita sepakat agar hidup rukun dan saling memperlakukan dengan wajar, adil, dan peduli, serta membuat undang-undang yang mengatur isu-isu penting dan bermakna.Hal yang terpenting bahwa, Etika, hanya masuk-akal bila kita mengasumsikan adanya timbal-balik, reciprocity—kemampuan orang lain mengambil keputusan etis yang rasional. Contohnya, engkau tak mau berbohong kepada rekanmu sebab engkau tak mau ia berbohong kepadamu. Memulai saling-berbohong, akan merobohkan kepedulian dan kepercayaan yang kalian berdua hargai. Oleh karenanya, mengungkapkan kebenaran itu, masuk-akal, karena adanya kontrak sosial yang kita miliki dengan orang lain, dan kita berharap, orang lain ikut berpartisipasi. Jika tidak, kita takkan bergaul dengan mereka, atau bilamana pelanggaran kontrak cukup besar, kita bakal memasukkan mereka ke penjara dan mengeluarkannya dari khalayak.Sebagian besar sejarah Peradaban kita, ditandai dengan eksploitasi, perusakan, dan ketidakpedulian terhadap lingkungan. Mengapa kita termasuk spesies yang merusak? Beragam argumen telah dikemukakan guna menjelaskan akar dari kecenderungan kita yang merusak lingkungan, termasuk struktur sosial dan ekonomi, dan penerimaan kita terhadap teknologi, bahkan agama.Menurut J. Jeffrey Peirce, Ruth F. Weiner, dan P. Aarne Vesilind, nampaknya, tak masuk di akal jika kita menyalahkan agama kita atas permasalahan lingkungan hidup, sebab agama menyediakan Etika Lingkungan.Lalu bagaimana dengan Sains dan Teknologi? Telah menjadi hal yang lazim, menyalahkan penyakit lingkungan pada peningkatan ilmu tentang alam (sains) dan kemampuan menerapkan ilmu tersebut (rekayasa). Selama revolusi industri, gerakan Luddite di Inggris dengan keras menolak perubahan dari industri rumahan menjadi pabrik yang terpusat; pada tahun 1970-an, gerakan 'kembali ke alam' pseudo-Luddite dimaksudkan untuk menolak teknologi sama sekali. Namun, penganut gerakan ini, banyak memanfaatkan hasil teknologi yang mereka hindari, seperti van dan bus bekas, kain sintetis, dan, dalam hal ini, pekerjaan dan uang.Peirce, Weiner, dan Vesilind menyatakan bahwa orang-orang yang menyalahkan ilmu pengetahuan dan teknologi atas permasalahan lingkungan, lupa bahwa mereka yang memperingatkan kita sejak dini mengenai krisis lingkungan hidup seperti Rachel Carson, Aldo Leopold, dan Barry Commoner, adalah para ilmuwan, yang membunyikan alarm lingkungan hidup sebagai hasil dari observasi ilmiah. Andai kita tak mengamati dan mampu mengukur fenomena seperti kepunahan dan perusakan spesies, dampak herbisida dan pestisida terhadap satwa liar, rusaknya lapisan ozon stratosfer, dan kematian ikan akibat pencemaran air, kita bahkan takkan menyadari apa yang sedang terjadi pada dunia. Pengetahuan kita tentang alamlah, yang mengingatkan kita akan ancaman yang ditimbulkan oleh degradasi lingkungan.Jika ilmu merupakan pengaburan-nilai, patutkah teknologi disalahkan? Bila demikian, masyarakat yang kurang maju secara teknologi, tentu menghadapi lebih sedikit masalah lingkungan. Ternyata, tidak. Suku Maori di Selandia Baru memusnahkan moa, burung besar yang tak bisa terbang; terdapat banyak penggembalaan berlebihan di Afrika dan di wilayah suku di wilayah Barat Daya Amerika; orang-orang Yunani dan Fenisia kuno, meluluh-lantakkan hutan dan memunculkan gurun dengan mengalihkan air. Namun, teknologi modern, tak semata menyediakan sistem pengolahan air dan udara, melainkan terus mengembangkan cara-cara untuk menggunakan sumber daya alam yang semakin berkurang, secara lebih konservatif. Contohnya, efisiensi pembangkit listrik termal meningkat dua kali lipat sejak Perang Dunia II, teknik pengawetan makanan memperluas pasokan makanan dunia, dan komunikasi modern seringkali menghilangkan kebutuhan akan perjalanan yang memakan banyak energi, dan penggunaan komputer, kenyataannya telah mengurangi penggunaan kertas.Jika bukan teknologi yang patut disalahkan, mungkinkah ia punya nilai-nilai yang 'keliru', ataukah ia, value-free? Benar atau salahkah, etis atau tidakkah, ilmu itu tanpa penerapannya? J. Robert Oppenheimer menghadapi dilema ini lantaran kurangnya antusiasme dalam mengembangkan bom fusi nuklir. Oppenheimer menganggap senjata semacam itu, bengis. Edward Teller, yang dihargai dengan pengembangannya, menganggap bom hidrogen itu sendiri, buruk atau jahat, namun hendak menjauhkannya dari tangan orang-orang yang berniat jahat (atau apa yang dipandangnya sebagai 'evil intent'). Para pengembang bom atom, walau mempertahankan posisi bahwa bom itu sendiri value-free, namun dengan antusias menggalakkan penggunaan energi atom secara damai sebagai penyeimbang pengembangan senjata pemusnah mereka. Etika teknologi amat erat kaitannya dengan etika penggunaan teknologi, sehingga pertanyaan mengenai nilai etika yang melekat, masih diperdebatkan. Secara berimbang, teknologi dapat digunakan, baik itu tujuan yang bajik maupun yang zalim, bergantung pada etika penggunanya.Penilaian terhadap etika penggunaan teknologi apapun, bergantung pada pengetahuan dan pemahaman kita terhadap teknologi tersebut. Misalnya, para ilmuwan menyelidiki apakah kedekatan dengan medan listrik dan magnet yang terkait dengan transmisi tenaga listrik, meningkatkan risiko kanker. Jelasnya, etika yang terkait dengan lokasi saluran transmisi bergantung pada hasil penyelidikan ini. Penerimaan atau penolakan teknologi apa pun atas dasar etika, hendaknya bergantung pada pemahaman tentang teknologi tersebut.Itu bermakna bahwa jika kita ingin membalikkan tren degradasi lingkungan, kita perlu mengubah cara hidup kita, cara kita saling memperlakukan manusia dan lingkungan bukan-manusia. Ide-ide tersebut, dapat dihubungkan dengan apa yang dikenal sebagai Etika Lingkungan.Etika lingkungan merupakan subkategori Etika. Penetapannya dapat didekati dari tiga perspektif sejarah: etika lingkungan sebagai kesehatan masyarakat, etika lingkungan sebagai konservasi dan pelestarian, dan etika lingkungan sebagai kepedulian terhadap makhluk bukan manusia. Kesehatan masyarakat secara historis dikaitkan dengan pasokan air bagi komunitas manusia. Pemukiman permanen dan pengembangan keterampilan pertanian merupakan salah satu aktivitas manusia pertama yang menciptakan tatanan sosial kooperatif. Kala efisiensi pertanian meningkat, pembagian kerja menjadi mungkin dan masyarakat mulai membangun struktur publik dan swasta. Pasokan air dan drainase air limbah merupakan salah satu fasilitas umum yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia dalam masyarakat, dan ketersediaan air selalu menjadi komponen penting dalam peradaban. Ringkasnya, bentuk etika lingkungan yang pertama ini, menjadikan perusakan sumber daya dan perampasan lingkungan hidup kita, sebagai perbuatan yang tak beretika, lantaran hal tersebut dapat menyebabkan manusia lain menderita penyakit. Keengganan kita membersihkan diri sendiri adalah perbuatan yang tidak etis, sebab tindakan tersebut dapat membuat orang lain sakit atau menghalangi mereka agar sembuh dari penyakit. Oleh karena etika menyangkut kontrak sosial, maka dasar pemikiran etika lingkungan dalam hal ini, ialah, kita tak ingin merugikan orang lain dengan mencemari lingkungan.Etika lingkungan dalam hal konservasi dan pelestarian menghargai alam, karena kita ingin alam dilestarikan (agar alam dapat terus memberi kita sumber daya) dan dilestarikan (agar alam dapat terus kita nikmati). Pencemaran lingkungan merupakan hal yang buruk, sebab pencemaran tersebut dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat atau karena pencemaran tersebut dapat mengganggu masyarakat, merugikan kita, atau menghalangi kita menikmati alam. Pertama, kita ingin air, udara, makanan, dan tempat tinggal kita, tak tercemar, karena kita tak ingin sakit. Permasalahan kedua, kita tak ingin mengalami polusi, sebab menurunkan kualitas hidup kita. Kita juga tak ingin memusnahkan spesies karena, pertama, spesies ini mungkin berguna bagi kita yang dapat membuat kita tetap hidup lebih lama, atau dalam makna berikutnya, kita menikmati keberadaan spesies ini, sebagai co-inihibitors.Etika Lingkungan Hidup sebagai kepedulian terhadap alam bukan manusia, cenderung berkaitan dengan Etika Lingkungan Spiritual. Berdasarkan rasionalisasi etika, tak ada argumen yang kuat bagi perluasan komunitas moral. Sebab tiadanya timbal-balik (begitulah argumennya), maka takkan ada etika. Oleh karenanya, kepedulian kita terhadap sifat non-manusia takkan pernah dapat diperdebatkan dan dipertahankan secara rasional. Salah satu kemungkinannya adalah sikap kita terhadap spesies lain dan sifat non-manusia secara umum bersifat spiritual. Etika lingkungan spiritual adalah paradigma baru bagi moralitas lingkungan kita. Tentu saja, perasaan spiritual terhadap alam bukanlah hal baru, dan kita mungkin hendaknya banyak belajar dari agama nenek moyang kita. Banyak agama kuno bersifat animisme, mengakui keberadaan roh di alam. Roh-roh ini tak berwujud manusia, seperti dalam agama Yunani, Romawi, atau Yudaisme.Sepanjang kita menggunakan etika lingkungan antroposentris dalam mengambil keputusan mengenai lingkungan, konflik antar manusia dapat diselesaikan dengan cara yang tepat waktu dengan kompromi, pemahaman, dan kepentingan bersama.Boleh jadi, struktur sosial kitalah yang bertanggungjawab atas degradasi lingkungan. Menurut Peirce, Weiner, dan Vesilind, 'The Tragedy of the Commons' karya Garrett Hardin, mengilustrasikan proposisi ini dengan cerita berikut, 'Sebuah desa dengan lahan hijau bagi penggembalaan ternak, dan lahan hijau tersebut dikelilingi oleh rumah-rumah pertanian. Awalnya, setiap petani punya seekor sapi, dan lahan hijau dapat dengan mudah menghidupi kawanannya. Namun setiap petani menyadari bahwa jika ia mendapatkan sapi lagi, maka biaya tambahan sapi yang harus ditanggung oleh peternak, tak berarti apa-apa karena biaya pemeliharaan lahan hijau ditanggung bersama, namun keuntungannya cuma menjadi milik petani. Maka, seorang petani mendapat lebih banyak sapi dan meraup lebih banyak keuntungan, hingga lahan hijau tak dapat lagi menghidupi sapi milik siapa pun, dan sistem tersebut, rontok.'Hardin menggambarkan hal ini sebagai perumpamaan tentang kelebihan populasi bumi dan akibatnya adalah penipisan sumber daya. Struktur sosial dalam perumpamaan ini adalah Kapitalisme—kepemilikan kekayaan secara individu—dan penggunaan kekayaan tersebut, demi kepentingan Ego. Apakah ini bermakna bahwa perekonomian non-kapitalis (perekonomian yang direncanakan secara keseluruhan dan sebagian) berkinerja lebih baik dalam perlindungan lingkungan, pelestarian sumber daya alam, dan kontrol populasi?Ambruknya Uni Soviet pada tahun 1991 memberikan sketsa kepada dunia tentang hampir tiadanya perlindungan lingkungan di negara sosialis paling terkemuka di negara maju ini. Kerusakan lingkungan hidup di negara-negara Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (bekas Uni Soviet) jauh lebih serius dibandingkan di negara-negara Barat. Dalam sistem komunis yang sangat terstruktur dan dikontrol secara terpusat, produksi merupakan satu-satunya tujuan dan degradasi lingkungan menjadi tak penting. Selain itu, tentu saja, tiada yang namanya 'opini publik', dan karenanya, tak ada yang angkat bicara mengenai lingkungan. Tatkala produksi dalam perekonomian, yang dikendalikan secara terpusat, menjadi tujuannya, seluruh kehidupan, termasuk kehidupan manusia, diobral dan dapat dicampakkan.Kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah Rezim Komunis terjadi selama abad ke-20, termasuk deportasi paksa, pembantaian, penyiksaan, penghilangan paksa, pembunuhan di luar proses hukum, teror, pembersihan etnis, dan perbudakan, serta kelaparan yang disengaja. Peristiwa tambahan termasuk penggunaan genosida, konspirasi dalam melakukan genosida, dan keterlibatan dalam genosida.Masyarakat demokratis di negara-negara maju, sebenarnya telah bergerak secara sadar menuju perlindungan lingkungan dan sumber daya, lebih cepat dibanding negara-negara yang perekonomiannya, terencana sepenuhnya, atau negara-negara yang kurang berkembang. Benjamin A. Valentino menemukan bahwa kebencian atau diskriminasi etnis, sistem pemerintahan yang tak demokratis, dan disfungsi dalam masyarakat, memainkan peran yang jauh lebih kecil dalam pembunuhan massal dan genosida dibandingkan yang diperkirakan secara umum. Ia menunjukkan bahwa dorongan pembunuhan massal biasanya berasal dari segelintir pemimpin yang berkuasa dan seringkali dilakukan tanpa dukungan aktif dari masyarakat luas. Pembunuhan massal, dalam pandangannya, merupakan strategi politik atau militer brutal yang dirancang demi mencapai tujuan terpenting para pemimpin tersebut, melawan ancaman terhadap kekuasaan mereka, dan menyelesaikan masalah-masalah tersulit mereka.Kita akan lanjutkan perbincangan kita pada sesi selanjutnya, bi 'idznillah."Setelah itu, Peace Lily pun menembangkan 'Lestari Alamku' karya Gombloh,Kuingat Ibuku dongengkan ceritaKisah tentang Jaya Nusantara lamaTentram Kartaraharja di sanaMengapa tanahku rawan kini?Bukit-bukit telanjang berdiriPohon dan rumput enggan bersemi kembaliBurung-burung pun malu bernyanyi *)
[Sesi 1]