Senin, 25 September 2023

Kebijakan para "Stupid Pricks" (3)

"Menikmati suguhan sup asparagus hangat dan lezat traktiran pak menteri, di restoran hotel berkelas, yang, menurut pengakuan sang investor, belum pernah ia rasakan di negerinya sendiri—dan memang demikian, ada yang menarik di negeri Kepulauan tersebut, terkadang sebuah khabar diketik terburu-buru, soalnya kejar tayang, sehingga 'wong kere' bisa saltik jadi 'wong keren'—lalu, investor China kita, bercerita, 'Di zaman antah berantah, yang tentu saja berbeda dengan hari ini, dimana sekarang manusia cuma dibolehkan 'ngomong sama tembok', sedangkan di jaman itu, manusia boleh bicara dengan pepohonan.

Nah, ada seorang lelaki, berjalan kuyu di antara pepohonan. Ia telah berjalan ke sana kemari, memohon bantuan kepada para pohon, namun ia selalu di tolak. Ngomong dengan pohon Tebu, ditolak; ngomong dengan bunga kertas, Bugenvil, ditolak, ngomong dengan daun Nilam, ditolak, bahkan ngomong dengan Kaktus pun, malah dicuekin. Akhirnya, ia terduduk di bawah sebuah pohon Apel. Ia lelah, ia tidur di bawah naungannya
Saat ia terbangun, sang pohon menyapanya, 'Duhai, anak manusia. Kemari dan panjatlah batang tubuhku, berayunlah di dahanku dan makanlah apelku, serta bermain petak-umpetlah di bawah bayanganku, dan karenanya, berbahagialah!'
'Aku terlalu tua memanjat pohon dan bermain,' kata sang lelaki. 'Aku ingin membeli sesuatu dan bersenang-senang. Aku pingin punya cuan. Bisakah engkau memberiku uang?'
'Sorry,' kata sang pohon, 'aku lagi bokek!'
Sang pohon merasa iba pada sang lelaki. Coba bayangkan, siapa sih yang gak trenyuh pada sang lelaki, yang mukanya 'mellas' alias njalari rasa welas atau minta dikasihani gitu—padahal sebenernya, dan belum disadari oleh sang pohon, sang lelaki, kata orang bule, tak lebih dari 'Stupid Prick', bila kita terjemahkan, dengan meminjam dan memadukan ungkapan seorang tokoh reformasi dan seorang filsuf, sebagai 'Begundal Tolol.' Orang bijak bilang, 'Only fools rush in, so, jangan menilai sebuah buku dari aksi teatrikalnya doang!'
'Aku hanya punya daun dan buah apel,' kata sang pohon. 'Ambillah apelku, dan juallah ke kota. Maka engkau bakal punya cuan dan bakalan bahagia.'
Maka, sang lelaki mengumpulkan apel dan daunnya, lalu membawanya pergi. Pohon apelnya, ekstra ordineri, buahnya banyak warnanya, dari yang dominan merah, kuning, hijau, dan belakangan ada juga yang biru. Ada gak sih, apel yang warnanya biru? Kebiru-biruan qali yaq, seperti pohon Cemara Biru.
Sang lelaki lalu membuat daun-daun apelnya menjadi mahkota dan menaruhnya di kepala. Ia tampak seperti drama teater Raja Hutan. Seraya melangkah pergi, ia berkata kepada sang pohon, 'Jangan khawatir, I'll be back!', menirukan omongan Arnold Schwarzenegger, 'dan ketika aku datang menemuimu, seluruh lahan ini, bakalan punya sertifikat.'
Pohon apel terbukti dahsyat, dengan buah apel dan daunnya saja, sang lelaki, yang sebelumnya jualan mebel, jadi Sultan alias 'wong sugih' dan terpilih menjadi Lurah. Pesta meriah berlangsung tujuh hari tujuh malam. Makanan disajikan dan sesi joget-joget digelar, dihadiri para artis lokal. Pestanya amat megah, sehingga seorang tamu dari luar negeri, berkomentar tentang jamuan makannya, '...almost beyond anything Hollywood could've pulled together...' yang membuat Pak Lurah, nampak tersipu-sipu.
Sementara Lurah kita sibuk dengan, 'The way of Ninja!', demikian slogan anaknya, sang pohon apel, menunggu dan menanti, sang lelaki 'gaak teko-teko.' Entah itu 'lali,' atawa 'ngapusi,' yang pasti, sang pohon 'mrebes mili.' Betapa menyedihkan, badai topan datang menghantamnya, daun-daunnya berguguran, dalam sekejap, dahan dan rantingnya pun jadi gundul. Esok, hari-hari bakalan bertambah panjang, namun badai, baru saja dimulai. Mungkinkah sang pohon apel bakal mengalami 'Homelessness'?''

"Mari kita berhenti barang sejenak dari cerita Investor kita," sela Peace lily. “Perkenankan aku menyampaikan padamu topik tentang 'Homelessness.'
Tak ada hal baru mengenai Homelessness, kata David Levinson. Telah ada para 'Homeless' [tunawisma; gelandangan] selama sekitar 10.000 tahun—sejak manusia membangun rumah permanen pertama mereka di kota-kota pertama di 'Fertile Crescent' [wilayah berbentuk bulan sabit di Asia Barat. Dibentuk oleh sungai Tigris dan Efrat serta Laut Mediterania, wilayah ini memunculkan peradaban-peradaban paling awal di dunia]. Catatan sejarah, novel dan puisi, serta teks-teks suci, menuturkan kepada kita, kisah-kisah tentang pengemis, petapa pengembara, biarawan yang tak punya uang, petani yang terlantar, tentara yang hilang, pemuda jalanan, gelandangan, pendatang baru di kota, dan pekerja yang terlantar.
Homelessness [keadaan tak punya rumah atau tempat tinggal permanen. Sedangkan 'Homeless' adalah orang yang tak punya rumah atau tempat tinggal permanen, dan oleh sebab itu, biasanya hidup di jalanan; tunawisma, gelandangan] jika dilihat secara lintas-budaya, merupakan permasalahan yang kompleks. Di banyak negara maju, 'homeless family', yang sebagian besar adalah imigran, merupakan masalah utama. Di negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, para 'Homeless' atau Tunawisma, seringkali adalah kaum perempuan dan anak-anak mereka, remaja, dan migran dari daerah pedesaan, yang datang ke kota mencari kerja dan peluang. Munculnya banyak kota di negara-negara berkembang sebagai pusat komersial regional atau global, telah memperburuk masalah ini, dengan meningkatkan daya-tarik kota sebagai pusat lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin pedesaan, dan pada saat yang sama, menyediakan perumahan dan layanan pendukung yang semakin tak terjangkau bagi para imigran.

Homelessnes merupakan masalah sosial yang kurang dipahami. Citra publik mengenai Homelessness dan persepsi masyarakat mengenai sifat dan penyebab Homelessness, tak banyak berhubungan dengan realitas yang ada. Para ahli belum menyepakati satu definisi atau kriteria tunggal guna menakar Homelessness. Para tunawisma, mengalami masalah sosial, emosional, dan fisik tingkat tinggi.
Tidaklah mudah memahami apa penyebab Homelessness, lantaran faktor-faktor yang menjelaskan terjadinya Homelessness saat ini, begitu kompleks dan saling terkait. Beberapa penelitian kuantitatif telah berupaya menentukan faktor-faktor apa yang paling terkait dengan peningkatan jumlah tunawisma. Martha Burt menemukan bahwa tunawismadapat terkait dengan meningkatnya pengangguran, menjadi orang tua tunggal, berkurangnya tunjangan publik, dan tingginya biaya perumahan dan hidup.

Salah satu penyebab Homelessness di India, Indonesia dan Puerto Rico, adalah 'Forced Eviction.' Katherine Brickell, Melissa Fernández Arrigoitia, dan Alex Vasudevan (2017) menulis bahwa 'Forced Eviction' (Penggusuran Paksa), menurut UN-Habitat, adalah 'fenomena global' dan 'krisis global'. Angka-angka yang diterbitkan oleh badan tersebut, menunjukkan bahwa pada tahun 2000an, setidaknya, 15 juta orang di seluruh dunia, tergusur-paksa. Menurut Amnesty International (2012), antara tahun 2007–2009 saja, lebih dari 4,5 juta orang terkena dampaknya. Penggusuran Paksa adalah ketika masyarakat diusir keluar dari rumahnya dan meninggalkan lahannya, di luar keinginan mereka, dengan sedikit atau tanpa pemberitahuan sama sekali, acapkali dengan ancaman atau penggunaan kekerasan'. Pada tahun 2017, penggusuran paksa atas nama 'Progress' menarik perhatian lantaran semakin banyak orang di negara-negara Selatan, yang diusir dan dirampas tanahnya, seringkali melalui intimidasi, pemaksaan dan penggunaan kekerasan. Pada saat yang sama, kita juga menyaksikan semakin intensifnya 'krisis' urbanisme di Dunia Utara yang ditandai dengan bentuk-bentuk baru kesenjangan sosial, meningkatnya ketidakamanan perumahan dan perpindahan dengan kekerasan. Perkembangan ini, telah menyebabkan ledakan penggusuran paksa yang didukung oleh mekanisme ekonomi, politik dan hukum yang baru, dan semakin banyak dibentuk oleh semakin intensifnya perubahan lingkungan. Seperti yang belakangan disimpulkan oleh UN-Habitat & UNHRP, ‘percepatan urbanisasi, perubahan iklim dan globalisasi, krisis keuangan dan krisis global lainnya, telah menyebabkan penggusuran paksa menjadi semakin akut dan kompleks'.

Penggusuran paksa, menurut Brickle dkk, bukanlah sesuatu yang baru, dan bahwa kebrutalan elementer yang terkait dengan pemindahan dan perampasan, seyogyanya ditempatkan dalam narasi sejarah yang lebih luas. Seperti yang diingatkan oleh Stuart Elden kepada kita, ‘konflik pertanahan, dalam berbagai skala, merupakan faktor utama dalam urusan manusia dan […] dampaknya, hampir seluruhnya negatif’. Menurut Elden, dampak-dampak tersebut, seringkali erat kaitannya dengan upaya perebutan lahan dan kepemilikan, serta bergantung pada bentuk-bentuk alokasi dan distribusi, yang secara historis spesifik, serta sama-sama merupakan bentuk ekspresi dari kontrol, kekuasaan, dan kekerasan. Kecenderungan-kecenderungan ini, berperan penting dalam sejarah kapitalisme, dan banyak pihak, dalam konteks ini, yang menekankan ketergantungan hakikinya pada logika akumulasi primitif, kekerasan dan pemusnahan. Dengan demikian, hubungan antara penggusuran dan pengusiran dengan perampasan tanah, dan bentuk-bentuk perampasan tanah yang lebih baru, telah terbangun. Sejumlah pakar juga menyoroti munculnya 'settler colonialism' [jenis kolonialisme dimana masyarakat adat di wilayah jajahan, digantikan oleh pemukim yang secara permanen membentuk sebuah masyarakat di wilayah tersebut] sebagai bentuk dominasi dan perampasan yang sangat keji.

Penggusuran paksa, tak semata akibat keputusan atau tindakan individu atau suatu lembaga, melainkan pula bagian dari kumpulan elemen, kondisi, material dan pengetahuan yang lebih luas. Penggusuran paksa seringkali merupakan pengalaman yang sangat traumatis, sehingga perlu perhatian lebih terhadap dampak emosional dan dampak berbeda yang diakibatkan oleh penggusuran paksa. Kini dibutuhkan pandangan kritis yang mengenali dan memperhatikan berbagai aspek afektif dan emosional dari pemusnahan dan perampasan, serta perusakan rumah. Seperti yang diidentifikasi oleh Richardson, ‘Meskipun kerugian fisik dan ekonomi merupakan dampak yang paling nyata dari penggusuran lahan secara paksa, terdapat konsekuensi kesehatan mental yang serius bagi mereka yang mengalami atau berisiko kehilangan lahannya.'
Logika kekerasan yang ada didalamnya, dan diberlakukan melalui penggusuran paksa, juga selalu merupakan kinerja kekuasaan yang rapuh, yang harus berhadapan dengan rakyat dan tempat-tempat yang dilanggar, sebelum, selama dan setelah intervensi. Oleh karenanya, dislokasi emosional dan material yang mendalam, yang diakibatkan oleh hilangnya tempat tinggal, bukanlah gambaran awal sebagai akhir atau penaklukan total, melainkan sebagai lingkungan generatif bagi berbagai bentuk perlawanan dan pembantahan, serta protes terhadap organisasi formal. Baik secara individu atau kolektif, terorganisir atau spontan, penolakan terhadap penggusuran paksa, akan terus menerus mengalami kriminalisasi, dan biasanya dibingkai dengan dalih adanya ancaman keamanan, baik yang potensial ataupun yang nyata, yang katanya, harus diberantas.

Menurut UN-Human Rights, 'Penggusuran paksa merupakan pelanggaran berat terhadap sejumlah hak asasi manusia yang diakui secara internasional, termasuk hak asasi manusia atas perumahan yang layak, makanan, air, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, keamanan pribadi, kebebasan dari tindakan yang kejam dan tak manusiawi, perlakuan yang merendahkan martabat, serta kebebasan bergerak.
Penggusuran paksa seringkali dikaitkan dengan tiadanya jaminan kepemilikan secara hukum, yang merupakan elemen penting dari hak atas perumahan yang layak. Penggusuran paksa mempunyai banyak konsekuensi yang serupa dengan dampak yang diakibatkan oleh perpindahan secara sewenang-wenang, termasuk perpindahan penduduk, pengusiran massal, eksodus massal, pembersihan etnis dan praktik-praktik lain yang melibatkan pemindahan penduduk secara paksa dan tidak sukarela dari tanah dan komunitas mereka.
Akibat penggusuran paksa, masyarakat seringkali kehilangan tempat tinggal dan melarat, tanpa sarana penghidupan dan seringkali tanpa akses yang efektif terhadap upaya hukum atau pemulihan lainnya. Penggusuran paksa memperparah kesenjangan, konflik sosial, segregasi dan selalu berdampak pada kelompok masyarakat termiskin, paling rentan secara sosial dan ekonomi serta terpinggirkan, terutama perempuan, anak-anak, kelompok minoritas dan masyarakat adat.
Dampak penggusuran paksa tak hanya menimbulkan kerugian materi, namun pula, menyebabkan kesenjangan, marginalisasi, dan konflik sosial yang semakin membesar.'

Kita lanjutkan cerita Investor kita, pada sesi berikutnya, bi 'idznillah."

Kemudian, Peace lily pun bersenandung,

Masih sukakah kau mendengar
dengus nafas saudara kita yang terkapar?
Masih sukakah kau melihat
butir keringat kaum kecil yang terjerat
oleh slogan-slogan manis sang hati laknat?
Oleh janji-janji muluk tanpa bukti? **)