Kamis, 22 November 2018

Bergembiralah

Angsa melanjutkan kisahnya, "Setelah mengucapkan selamat jalan kepada ketiga lelaki itu, sang musafir muda duduk sejenak, ia membuka tasnya. Dari dalamnya tasnya itu, ia mengambil surat yang sudah lama belum dibacanya. Surat itu berbunyi,
'Wahai Bunayya, bergembiralah! Diantara karunia yang teragung adalah qalbu yang tenang, mapan, dan bahagia. Sebab didalam kebahagiaan, pikiran yang bersih, memungkinkan seseorang menjadi orang yang bernilai. Pernah disebutkan bahwa kebahagiaan adalah sebuah seni yang perlu dipelajari. Dan jika engkau mempelajarinya, engkau akan dirahmati dalam hidup ini. Tapi bagaimana cara seseorang mempelajarinya?
Prinsip dasar mencapai kebahagiaan adalah berkemampuan untuk bertahan dan mengatasi situasi apapun. Oleh karena itu, engkau hendaklah tak terpengaruh atau diatur oleh keadaan yang sulit, tak seharusnya engkau terganggu oleh hal-hal sepele yang tak berarti. Berdasarkan kesucian qalbu dan kemampuannya bertahan, seseorang akan memancarkan cahaya. Ketika engkau melatih diri bersabar dan menahan diri, maka akan mudah bagimu menanggung kesulitan dan bencana.

Kebalikan dari bahagia adalah berpandangan dangkal, tanpa pernah peduli kepada siapapun kecuali dirinya sendiri dan meremehkan dunia ini beserta segala yang ada di dalamnya. Orang seperti itu, seolah-olah melihat dirinya bagai pemilik alam semesta ini, atau setidaknya menjadi pusatnya. Mereka tak memikirkan orang lain, juga tak hidup bagi siapapun kecuali dirinya sendiri. Adalah kewajibanmu dan kewajibanku menyediakan waktu agar disibukkan dengan hal yang lebih dari hanya diri kita, dan kadang-kadang menjauhkan diri dari masalah kita sendiri untuk melupakan luka dan perih kita. Dengan melakukan ini, kita mendapatkan dua hal: kita membuat diri kita bahagia, dan kita membawa sukacita kepada orang lain.
Dasar seni kebahagiaan adalah mengekang pikiran kita dan mengendalikannya, tak membiarkannya mengembara, tersesat, melarikan diri, atau menjadi liar. Karena jika engkau membiarkan pikiranmu mengembara seperti yang diinginkannya, maka ia akan bersimaharajalela dan mengendalikanmu. Ia akan membuka katalog kesengsaraan masa lalumu. Ia akan mengingatkanmu tentang sejarah kemalanganmu, sejak hari dimana ibumu melahirkanmu. Jika pikiranmu dibiarkan berkeliaran, maka ia akan membawakanmu citra dari kesulitan masa lalu dan citra dari masa depan yang menakutkan. Pikiran-pikiran ini akan sangat mengguncang keberadaanmu dan akan menyalakan api perasaanmu. Oleh karena itu, kekanglah ia, dan tahanlah ia dengan mengarahkannya kepada penerapan pikiran yang terkonsentrasi untuk melahirkan karya yang bermanfaat dan menguntungkan.
Dan juga, di antara prinsip-prinsip seni kebahagiaan adalah menghargai kehidupan di bumi ini sesuai manfaat yang pantas dan layak. Hidup ini penuh carut-marut dan tak menjamin apa-apa bagimu kecuali engkau berpaling darinya. Hidup ini penuh dengan bencana, duka, dan luka. Jika itu adalah gambaran kehidupan ini, maka bagaimanakah seseorang dapat sangat terpengaruh oleh petaka kecil, dan bagaimana seseorang dapat berduka atas hal-hal materi yang akan melewatinya? Saat-saat terbaik dalam hidup ini telah tercemar, janji masa depan hanyalah fatamorgana, orang yang sukses di dalamnya hanyalah mereka yang iri-hati, orang yang dirahmati terus terancam, dan para pecinta tertimpa oleh banyak malapetaka yang tak terduga.

Wahai Bunayya, bergembiralah! Kebahagiaan diperoleh dengan berusaha agar terus tersenyum, dengan alasan untuk berburu sesuatu yang membuat orang lain bahagia, dan bahkan dengan memaksakan ke dalam diri sendiri, walaupun mungkin akan tampak canggung. Seseorang melakukan semua ini hingga kebahagiaan menjadi sifat keduanya.
Kebenaran dari masalah ini adalah bahwa engkau tak dapat menghilangkan dari dirimu seluruh sisa-sisa kesedihan. Dan untuk alasan inilah bahwa kehidupan diciptakan sebagai ujian. Tapi pesan yang ingin kusampaikan kepadamu adalah bahwa hendaknya engkau, sebanyak mungkin, mengurangi kuantitas dan intensitas kesedihanmu. Yang benar-benar terbebas dari kesedihan, hanyalah penduduk surga di alam kekal. Duka takkan terhapuskan kecuali di surga. Demikian juga, dendam dan kepahitan takkan benar-benar terhapuskan, kecuali di surga.
Maka ketika seseorang mengetahui sifat dan kualitas dunia ini, ia akan menyadari bahwa dunia ini gersang, curang, dan tak berguna; dan ia akan memahami bahwa itulah sifat dan gambaran dunia ini. Sangatlah layak bagi orang cerdas agar tak menyerangnya hingga bertambah rusak, juga takkan menyerah pada kemurungan dan kecemasan. Apa yang harus kita lakukan adalah mempertahankan diri dari segala perasaan yang mungkin merusak kehidupan kita, dalam perang yang harus kita perangi dengan segala kekuatan yang telah dikaruniakan kepada kita.
Wahai Bunayya. Bergembiralah! Jika engkau miskin, maka orang lain tenggelam dalam timbunan utang. Jika engkau tak punya alat transportasi sendiri, maka orang lain telah kehilangan kakinya. Jika engkau punya alasan untuk mengeluh tentang sakit dari penyakitmu, maka orang lain telah terbaring di tempat tidur selama bertahun-tahun. Dan jika engkau telah kehilangan seorang anak, maka orang lain telah kehilangan banyak anak, misalnya, dalam sebuah kecelakaan mobil.

Wahai Bunayya, janganlah bersedih, karena jika engkau bersedih, engkau mengusik sukma dan qalbumu, dan engkau menghalangi dirimu dari tidur yang nyenyak.
Wahai Bunayya, bergembiralah! Masa lalu telah hilang selamanya. Orang yang mengerami masa lalu dan tragedinya, menunjukkan gejala penyakit jiwa - semacam penyakit yang menghancurkan resolusi hidup untuk saat ini. Mereka yang punya tekat kuat, telah mengemas dan melupakan kejadian masa lalu, agar takkan pernah lagi melihat cahaya, karena telah ditempatkan dalam relung yang gelap dalam pikirannya. Episode masa lalu telah selesai; kesedihan tak dapat menyelamatkannya, melankolis tak bisa membereskan segalanya, dan duka takkan membawa masa lalu hidup kembali. Ini karena masa lalu itu sesuatu yang tiada. Janganlah hidup dalam mimpi buruk dari masa lampau atau di bawah naungan apa yang telah engkau lewati. Selamatkan dirimu dari penampakan hantu masa lalu. Berpikirkah engkau bahwa engkau dapat mengembalikan matahari ke tempat terbitnya, bayi kedalam rahim ibunya, susu kedalam ambing, atau air mata ke mata? Dengan terus-menerus memikirkan masa lalu dan kejadiannya, engkau menempatkan dirimu dalam keadaan alam pikiran yang sangat menakutkan dan tragis.
Terlalu banyak tertegun dalam masa lalu akan membuang-buang waktu yang ada saat ini. Hari kemarin telah pergi dan selesai, dan engkau tak mendapatkan keuntungan apa-apa dengan melakukan otopsi atasnya, dengan memutar kembali roda sejarah. Orang yang hidup dalam masa lalunya, ibarat seseorang yang berusaha melihat serbuk gergaji. Para tetua, mereka selalu berkata: "Jangan keluarkan orang mati dari kuburannya."

Tragedi kita adalah bahwa kita tak mampu berurusan dengan masa kini: mengabaikan istana kita yang indah, kita menyesali gubuk yang reot. Jika setiap manusia dan jin bersama-sama berusaha membawa kembali masa lalu, mereka pasti akan gagal. Segala sesuatu di bumi berarak maju, mempersiapkan zaman baru - dan begitu juga seharusnya denganmu.

Wahai Bunayya, hanya hari inilah yang engkau miliki! Ketika engkau bangun di pagi hari, jangan berharap untuk melihat malam - hidup seolah-olah hanya hari ini yang engkau miliki. Kemarin telah berlalu dengan segala baik dan buruknya, sedangkan esok belum tiba. Rentang hidupmu hanyalah sehari, seolah-olah engkau lahir dan akan mati pada hari itu juga. Dengan sikap ini, engkau takkan terjebak di antara obsesi masa lalu, dengan semua kecemasannya, serta harapan masa depan, dengan semua ketidakpastiannya. Hiduplah untuk hari ini: Selama hari ini, engkau harus berdoa dengan qalbu yang terjaga, membaca Al-Quran dengan pemahaman, dan mengingat Allah dengan ketulusan. Di hari ini engkau harus seimbang dalam urusanmu, puas dengan porsi yang diberikan padamu, perhatikan hal yang berkaitan dengan penampilan dan kesehatanmu.

Atur waktu hari ini, sehingga engkau membuat tahun menjadi menit dan bulan menjadi detik. Mohonlah pengampunan dari Tuhanmu, mengingat-Nya, mempersiapkan diri guna perpisahan akhir dengan dunia ini, dan hidup bahagia hari ini dengan damai. Puaslah dengan rezekimu, istrimu, anakmu, pekerjaanmu, rumahmu dan maqam dimana engkau hidup didalamnya.

Engkau hendaknya mengukir didalam qalbumu satu kalimat:
Hari inilah satu-satunya hariku. Jika engkau makan roti segar dan hangat hari ini, maka apakah roti kering membusuk yang kemarin dan roti yang dinantikan besok, masalah bagimu? 
Jika engkau jujur pada diri sendiri dan mempunyai tekad yang kuat, engkau tak diragukan lagi meyakinkan diri sendiri dari hal berikut: Hari inilah hari terakhir hidupku. Ketika engkau mencapai sikap ini, engkau akan mendapatkan keuntungan dari setiap waktumu, dengan mengembangkan kepribadianmu, memperluas kemampuanmu, dan memurnikan perbuatanmu. Kemudian engkau berkata kepada diri sendiri: Hari ini aku akan menperbaiki tutur-kataku dan takkan mengucapkan kata-kata yang buruk atau kotor. Juga, aku takkan memfitnah. Hari ini aku akan mengatur rumah dan kantorku. Takkan kubiarkan kacau-balau, tapi teratur dan rapi. Hari ini secara khusus aku akan membersihkan tubuh dan penampilanku. Aku akan cermat dalam kerapian dan seimbang dalam cara berjalan, bertutur, dan bertindak.
Hari ini aku akan berusaha taat kepada Tuhanku, melaksanakan shalat sebaik mungkin, melaksanakan lebih banyak amal-saleh, membaca Alquran, dan membaca buku-buku yang bermanfaat. Aku akan menanam kebaikan dalam qalbuku dan merontokkan akar kejahatannya - seperti kecongkakan, kecemburuan, dan kemunafikan.
Hari ini aku akan berusaha membantu orang lain - mengunjungi orang sakit, menghadiri pemakaman, membimbing orang yang tersesat, dan memberi makan orang yang lapar. Aku akan berdiri disamping orang yang tertindas dan lemah. Aku akan menghormati para mubaligh, mengasihi yang muda, dan menghormati yang tua.
Wahai masa lalu yang telah berangkat dan pergi, aku takkan menangisimu. Engkau takkan melihatku mengingatmu, walau sesaat pun, karena engkau telah menjauh dariku dan takkan pernah kembali.
Wahai masa depan, karena engkau masih berada dalam ranah yang gaib, maka aku takkan terobsesi oleh impianmu. Aku takkan disibukkan tentang apa yang akan datang karena hari esok itu masih semu dan belum pernah terjadi. Hari inilah satu-satunya hariku...
Pernyataan ini merupakan salah satu pernyataan terpenting dalam kamus kebahagiaan, bagi mereka yang ingin hidup dalam kemuliaan dan penuh dengan kecemerlangan.
Wahai Bunayya, janganlah tergesa-gesa dan terburu-buru untuk hal-hal yang belum terjadi. Menurutmu, bijaksanakah memilih buah-buahan sebelum mereka matang? Besok adalah ketiadaan, tak memiliki realitas seperti hari ini, jadi mengapa engkau harus menyibukkan dirimu dengannya? Mengapa engkau harus khawatir tentang bencana di masa depan? Mengapa engkau harus diasyikkan dengan pikiran mereka, terutama karena engkau tak tahu apakah engkau bahkan akan melihat esok hari?
Yang penting engkau tahu bahwa esok adalah sesuatu yang ghaib, sebuah jembatan yang tak bisa kita seberangi sebelum tiba waktunya. Siapa tahu, mungkin kita takkan pernah mencapai jembatan itu, atau jembatan itu mungkin runtuh sebelum kita mencapainya, atau kita benar-benar dapat mencapainya dan menyeberang dengan aman. Bagi kita, berasyik-masyuk dalam harapan tentang masa depan dipandang rendah dalam agama kita karena mengikat-diri dengan dunia ini dalam jangka waktu yang panjang, keterikatan yang dihindari orang yang beriman. Banyak orang di dunia ini yang ditakut-takuti oleh kemiskinan, kelaparan, penyakit, dan bencana dimasa depan: pemikiran yang ditiupkan oleh Iblis. Banyak orang yang menangis karena mereka melihat diri mereka, esok akan kelaparan, jatuh sakit setelah sebulan, atau karena mereka takut bahwa dunia akan berakhir setelah satu tahun. Seseorang yang tidak memiliki petunjuk kapan ia akan mati, yang kita semua seharusnya tak disibukkan dengan pikiran-pikiran seperti itu. Karena engkau terperangkap dalam jebakan-jebakan hari ini, biarkanlah esok hingga ia datang. Waspadalah dengan kelekatan terhadap angan-angan masa depan di dunia ini.
Wahai Bunayya, bergembiralah! Ingatlah nikmat Allah kepadamu dan bagaimana mereka mengelilingimu dari atas dan bawah - sesungguhnya, dari segala arah. Kesehatan, keselamatan, makanan, pakaian, udara, dan air - semua titik ke dunia ini menjadi milikmu, namun engkau tak menyadarinya. Engkau memiliki semua yang telah ditawarkan oleh hidup ini, namun tetap tak mengetahuinya.

Engkau memiliki dua mata, lidah, bibir, dua tangan, dan dua kaki. Dapatkah engkau bayangkan dirimu berjalan tanpa kaki? Haruskah engkau meremehkan ketika engkau terlelap, sementara penderitaan menghambat tidur orang yang lain? Lupakah engkau bahwa engkau mengisi dirimu dengan hidangan lezat dan air dingin sementara nikmatnya makanan dan minuman tak mungkin bagi orang lain, karena sakit dan penyakit? Pertimbangkan kelancaran mendengar dan melihat yang telah dikaruniakan kepadamu. Lihatlah kulitmu yang sehat dan bersyukurlah bahwa engkau telah diselamatkan dari penyakit yang menyerangnya. Renungkan kekuatan penalaranmu dan ingatlah kepada orang-orang yang menderita penyakit mental.

Akankah engkau menjual kemampuan mendengar dan melihatmu dengan emas seberat Gunung Uhud, atau kemampuan berbicaramu dengan istana yang megah? Engkau telah diberi nikmat berlimpah, namun engkau seolah-olah tak mengetahui. Meskipun roti hangat, air dingin, tidur yang mudah, dan kesehatan yang baik, engkau tetap bersedih dan tertekan. Engkau berpikir tentang apa yang tak engkau miliki dan tak bersykur atas apa yang telah diberikan kepadamu. Engkau disusahkan dengan hilangnya harta kekayaan, namun engkau memiliki kunci kebahagiaan dan banyak karunia. Renungkanlah dirimu, keluarga, teman, dan seluruh dunia yang ada di sekitarmu. Jalani hari ini terbebas dari kesedihan, bimbang, marah, iri hati, dan dengki. Renungkan dan bersyukurlah!
Setelah membaca surat itu, sang musafir muda menghela nafas lega, lalu ia menengadah ke langit dan mengangkat kedua tangannya, berdoa,
"Ya Allah, Pemilik kemuliaan, kemegahan, dan kekuatan, jadikanlah pelipur-lara menggantikan nestapa, datangkanlah suka-cita mengikuti duka-lara, dan jadikanlah keselamatan menggantikan kecemasan. Wahai Rabb-ku, berikanlah tidur nyenyak bagi yang gelisah dan ketenangan bagi sukma-sukma yang terganggu. Wahai Rabb-ku, tuntunlah mereka yang bimbang menuju cahaya-Mu, dan mereka yang tersasar dalam bimbingan-Mu."
Rujukan :
- Aaidh ibn Abdullah al-Qarni, Don't be Sad, International Islamic Publishing House

Jumat, 16 November 2018

Pelajaran dari Sirah : Suksesi

Sang sejarawan berkata, "Wahai anak muda, tantangan terbesar bagi setiap pemimpin; sesungguhnya, satu-satunya faktor yang dapat berarti keberhasilan atau kegagalan misinya; adalah kemampuannya menginspirasi orang lain agar mengikutinya dan meluangkan waktu, energi, kekayaan dan bakat untuk pencapaian tujuannya. Tak ada tujuan yang dapat dicapai oleh siapa saja, tak peduli seberapa berbakat atau sekuatnya orang itu. Kunci mencapai perhatian dan komitmen orang-orang ini, tak terletak pada pembayaran uang atau pemberian bantuan, ataupun pidato panjang yang menginspirasi, melainkan mengekspresikan cinta dan kepedulian terhadap para pengikut, yang sungguh-sungguh rasakan, tanpa kepura-puraan, sehingga mereka juga mengetahuinya. Ingatlah, saat orang-orang berkata, "Mereka takkan peduli dengan apa yang engkau ucapkan, sampai mereka tahu bahwa engkau peduli."
Jika ada sesuatu yang sangat jelas tentang karakter Rasulullah (ﷺ) sebagai pemimpin, itulah kesabaran dan kelembutannya. Ada beberapa keteladanan dalam hidup beliau, dimana orang lain memperlakukannya dengan cara yang jahil dan bebal. sehingga orang-orang yang menyertai beliau, menarik pedang mereka untuk menghajar mereka, memberi pelajaran. Namun , Rasulullah (ﷺ) tak pernah memperkenankan mereka, mengambil jalan itu. Cara menghadapi perlakuan paling keras, adalah dengan ketenangan, kelembutan dan senyuman.

Rasulullah (ﷺ) mengajarkan pentingnya hak-hak tetangga dan beliaulah orang yang terbaik bagi tetangganya. Beliau (ﷺ) mendakwahkan pesan tentang Hak Asasi Manusia dan tanggungjawab sosial. Beliau (ﷺ) menekankan hak-hak tetangga terlepas dari Muslim atau bukankah mereka. Suatu ketika, beliau (ﷺ) ditanya oleh para Sahabat, 'Tahukah engkau apa hak tetangga itu, wahai Rasulullah (ﷺ)?' Beliau kemudian bersabda, “Berilah pertolongan di saat ia memintanya; Berilah pinjaman jika ia membutuhkannya; Bantulah jika ia sangat membutuhkannya; Kunjungilah di saat ia sakit; Dampingilah pemakamannya di saat ia meninggal (ada aturan tertentu bila mengunjungi tetangga non-muslim); Ucapkan selamat pada kesempatan yang bahagia (misalnya, perkawinan, sesuatu yang tak menodai aqidah); Berilah nasihat bila ia kesulitan; Jangan membangun rumahmu lebih tinggi dari rumahnya tanpa seizinnya, agar jendela rumahnya tak terhalang; Jika engkau membeli buah-buhan, sampaikanlah sedikit untuknya sebagai hadiah. Jika engkau tak dapat melakukannya, simpanlah buah itu didalam rumahmu agar ia tak melihatnya. Jangan biarkan anak-anakmu mengeluarkannya, lalu makan seenaknya di hadapan anak-anaknya, sehingga mereka merasa sedih; Jangan biarkan asap dari rumahmu masuk ke rumahnya, menyebabkan ia merasa kesal. Inilah hak para tetangga." Setelah itu, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Demi Allah, tiada yang akan memahami hak-hak ini kecuali Allah merahmatinya."
Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersumpah tiga kali dengan bersabda, "Demi Allah! Ia bukan orang yang beriman! Demi Allah! Ia bukan orang yang beriman! Demi Allah! Ia bukan orang yang beriman!‛ Seseorang bertanya, "Siapakah ia, wahai Rasulullah (ﷺ)?" Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Orang yang menyebabkan tetangganya menderita." Hadis lain menyebutkan bahwa orang seperti itu takkan pernah masuk surga.

Rasulullah (ﷺ) berdakwah tentang hak-hak perempuan dan beliau memberi dunia hukum yang memberi hak perempuan yang tak mereka miliki di banyak sistem hukum-hukum modern lainnya bahkan hari ini, 14 abad kemudian. Beliau (ﷺ) mengajarkan nilai kebenaran dan beliau sendiri disebut ‘As-Sadiqul Amin’: Orang yang jujur dan dapat dipercaya, bahkan oleh musuh-musuhnya, kaum Quraisy. Beliau (ﷺ) memperlihatkan Islam dalam setiap aspek kehidupannya. Dan beliau mengajarkan para Sahabat agar juga melakukannya sendiri. Hasilnya, Islam menyebar jauh dan luas, bukan oleh peperangan dan konflik dengan agama-agama lain, melainkan oleh umat Islam biasa yang hidup dengan sikap-perilaku yang beliau ajarkan kepada mereka. Islam Terapan memiliki lebih banyak kekuatan untuk meyakinkan orang daripada metode khotbah atau penyebaran lainnya. Rasulullah (ﷺ) menunjukkannya dengan sempurna.
Kepedulian Rasulullah (ﷺ), tak hanya berlaku bagi pengikutnya, tetapi bahkan bagi mereka yang menolaknya dan berusaha menyakitinya, hanya karena beliau ingin mengajak mereka pada kebenaran dan menyelamatkan mereka dari neraka. Kedengarannya seperti hal yang aneh, karena dalam segala hal yang bersifat duniawi, orang-orang menyukai mereka yang bersedia memberi secara cuma-cuma. Namun bila seseorang mengajaknya ke arah kesuksesan abadi, ada orang yang merasa tersinggung dan melawan, dan kemudian menentang, bahkan berusaha menyakiti.

Perkenankan aku menyampaikan beberapa kisah.
Tersebutlah seorang wanita, yang sangat membenci seorang lelaki yang selalu menyerukan ke-Esaan Allah. Ia memikirkan sesuatu sampai larut malam dan akhirnya memutuskan, mempermalukannya. Ia tak bisa tidur sepanjang malam, memikirkan bagaimana membuat orang ini marah. Kemudian muncullah sebuah ide. Sebelum cahaya sang mentari mengintip jendela rumahnya, ia telah sibuk menyapu rumahnya. Ia memasukkan seluruh sampah ke dalam keranjang, meletakkannya di atap rumahnya dan dengan bangga memandanginya, wajahnya tak sabar menunggu, ia melihat ke jalan sekitar tempatnya tinggal, dan berpikir, "Tak ada seorangpun yang pernah melihatnya marah. Semua orang akan memujiku ketika mereka melihatnya berteriak padaku dan mulai marah. Mereka akan menertawakannya dan mengolok-oloknya." Ia mengamati keranjangnya lagi, dan menyeringai.
Sementara itu, ia mendengar langkah kaki, akhir dari penantian panjang yang ia rasakan. "Akhirnya mangsaku telah tiba," pikirnya, ia melihat seorang lelaki berpakaian putih bersih melewati jalan itu. Ia mengambil keranjang sampah dan melemparkan seluruh isinya pada saat lelaki itu lewat. Sangat mengecewakan, lelaki itu tak berkata apa-apa dan melanjutkan perjalanannya.
Ia melakukan hal yang sama pada hari berikutnya sambil berpikir, "Mungkin kali ini aku akan dapat mengusikya." Lelaki itu terlalu lembut untuk menghardik seorang wanita, namun wanita itu menganggap lelaki ini merasa takut dan memutuskan untuk mengulang kejahatan yang sama setiap hari agar ia tampak ketakutan, sehingga akan berhenti menyerukan ke-Esaan Allah. Lelaki ini tampaknya tak ingin mengecewakan wanita itu dan terus berjalan menyusuri jalan itu setiap hari, bukannya memilih jalan lain, dan ia berdoa bagi wanita itu semoga menemukan Kebenaran.
Suatu hari, lelaki ini tak menemukan wanita itu berada di atap rumah dengan keranjangnya. Ia pun merasa khawatir, ia berpikir, sesuatu pasti telah terjadi pada wanita itu. Maka iapun mengetuk pintu. "Siapa disana?" terdengar suara yang lemah dari dalam. "Muhammad bin Abdillah," jawabnya, "Bolehkah aku masuk?" Wanita itu merasa takut, berkata pada dirinya, "Aku sakit, dan terlalu lemah melawan atau berbicara kembali, mungkin karena ini, ia datang ingin membalas dendam atas apa yang telah kulakukan padanya." Namun suara lembut lelaki ini, membuat wanita itu mengizinkannya masuk.
Seorang lelaki memasuki rumah dan mengatakan kepadanya bahwa dengan tak menemukannya di atap, telah mengkhawatirnya, dan karenanya, ia ingin menanyakan tentang kesehatannya. Karena mengetahui wanita itu sakit, dengan lembut ia menawarkan bantuan. Terhipnotis oleh nada suara yang menentramkan dari lelaki yang dirahmati ini, wanita itu lupa akan semua ketakutannya dan meminta dibawakan air minum. Dengan ramah ia memberinya minum sambil berdoa bagi kesembuhannya, selagi wanita itu melepas dahaganya. Kejadian ini, membuatnya merasa sangat bersalah karena perlakuannya yang begitu kejam dan ia meminta maaf atas perilakunya itu. Lelaki itu memaafkannya dan datang ke rumahnya setiap hari, membersihkan rumahnya, memberinya makan dan berdoa untuknya, sampai ia pulih kembali. Sikap lelaki yang ramah ini membawanya menemukan Kebenaran, dan doa lelaki itu terjawab dalam bentuk bertambahnya jumlah umat Islam.

Suatu hari, lelaki ini pergi ke suatu tempat, pada siang hari dan suhu udara di padang gurun terasa panas ketika ia melihat seorang wanita tua membawa koper diatas kepalanya. Ia membantunya dan mengambil barang-barang dari wanita itu dan membawakan untuknya. Ia bertanya kepada wanita tua itu kemana ia akan pergi dan mengapa. Ia berkata bahwa ia meninggalkan kota ini karena ia telah mendengar bahwa seorang penyihir bernama Muhammad berada di kota ini. Lelaki itu tak berkata sepatah-katapun dan terus mendengarkan. Wanita tua itu terus-menerus mengeluh tentang mengapa ia meninggalkan kota ini.
Sambil berjalan bersama lelaki itu, wanita tua ini melihat bahwa dari wajah lelaki ini terpancar senyum yang cerah dan kerendahan hati. Dan ia juga memperhatikan bahwa bau keringatnya begitu harum. Ia sangat terkesan. Ketika mereka sampai di tempat tujuan, lelaki itu meletakkan kopernya dan hendak pergi, namun perempuan tua itu berkata, "Wahai orang yang baik! Setidaknya, sebutkanlah namamu!" Lelaki itu menjawab, "Akulah orang yang menyebabkanmu akan meninggalkan kota ini." Wanita tua itu tertegun dan kagum dengan lelaki yang ramah dan suka menolong ini. Kejadian ini mengubah pandangannya, lelaki sejati takkan pernah berbuat salah, dan orang ini tentulah bukan pembohong. Wanita tua itu sangat terkejut, orang yang dicelanya, tak hanya membantunya, tetapi juga, tak mengucapkan sepatah-katapun dan mendengarkan semua celaannya tanpa mengeluh, sehingga akhirnya, ia berkata, 'Engkaulah Muhammad (ﷺ) , aku beriman bahwa engkaulah Utusan Allah. Aku bersaksi bahwa tiada yang patut disembah selain Allah dan bahwa, engkaulah utusan-Nya (ﷺ).'
Ada kisah lain tentang lelaki yang memikat ini. Seorang lelaki tua yang buta, pengangguran, dikenal oleh masyarakat setempat sebagai orang yang suka bersumpah-serapah terhadap seorang lelaki bernama Muhammad. Di sudut pasar, orang buta itu akan berteriak setiap hari kepada semua orang yang datang mendekatinya, "Wahai saudara-saudaraku, jangan dekati Muhammad! Ia orang gila, ia pembohong, seorang tukang sihir! Jika engkau dekat dengannya, engkau akan terpengaruh olehnya!" Tentunya ia membenci Muhammad, lebih dari yang ia ucapkan. Tapi aneh, ia belum pernah melihat orang yang ia maksudkan itu. Orang-orang yang lewat hanya akan mengabaikannya dalam keadaan yang miskin terlantar. Tak ada seorang pun peduli tentangnya dan menganggapnya sebagai gangguan, kecuali seorang lelaki.
Lelaki ini, tanpa berkata sepatah-katapun, memberi makan orang buta itu dengan tangannya sendiri! Orang buta itu akan mengunyah makanan yang disuapkan ke mulutnya dan ia makan dengan puas. Setelah ia kenyang, ia akan mengucapkan rasa terima kasihnya tanpa mengetahui siapa orang yang telah memberinya makan. Lelaki itu memberinya makan dengan rutin, hingga suatu hari, lelaki ini berhenti melakukan aktivitas itu. Orang buta itu menunggu dan bingung mengapa lelaki itu tak lagi datang memberinya makan. Dengan sia-sia, orang buta itu menunggu kemunculan lelaki yang ramah itu, yang tak pernah melewatkan setiap pagi untuk memberinya makan.
Hingga suatu hari, seseorang mendekatinya dan mulai memberinya makan. Saat pertama kali makanan disuapkan ke mulutnya, orang buta itu marah dan berteriak, "Engkau siapa?" Orang itu menjawab "Akulah orang yang biasa memberimu makan setiap pagi." "Tidak! Engkau berbohong!" kata orang buta itu. Orang itu terkejut, sehingga ia bertanya "Mengapa engkau berkata begitu?" Orang buta itu menjawab, "Karena ketika ia datang padaku, aku selalu merasa mudah memegang tangannya dan dengan mudah mengunyah makanan yang ia suapkan padaku! Lelaki yang biasa memberiku makan, akan melembutkan makanan itu sebelum disuapkan padaku!"
Akhirnya, orang itu tak kuasa menahan air matanya lagi dan meledaklah tangisnya, ia berterus terang tentang siapa ia sebenarnya, "Sesungguhnya, aku bukanlah orang yang biasa datang dan memberimu makan. Aku, Abu Bakar, salah seorang sahabat dari orang mulia yang telah tiada lagi! Ia tak lain adalah Nabiyullah, Muhammad (ﷺ)! "
"Muhammad?" tanya orang buta itu, bagai tersambar petir dengan apa yang baru saja ia dengar. "Maksudmu, orang yang datang setiap pagi dan menyuapkan makan dengan tangannya itu, Muhammad?" tanya orang buta itu. "Ya! Muhammad (ﷺ)!" jawab Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu.
Tiba-tiba, orang buta itu berdiri, berjalan mondar-mandir dengan putus asa dan menangis tersedu saat menyadari, lelaki itu tak lain adalah Rasulullah (ﷺ), yang telah memberinya makan selama ini. Dalam isak-tangisnya, ia berkata dengan terbata-bata, "Selama ini! Selama ini, aku telah memakinya, aku telah memfitnahnya! Tak sekalipun ia pernah membentakku!" Orang buta itu menangis sesunggukan sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya, "Ia selalu datang setiap pagi untuk memberiku makan! Duhai, betapa mulia orang ini!" Kemudian orang buta itu mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar as-Siddiq, raḍiyallahu 'anhu, Amirul Mukminin yang pertama, lalu mengucapkan Syahadat.

Pelajaran terakhir dan paling penting yang ingin kugambarkan dari kehidupan Rasulullah (ﷺ), adalah pemberian-maaf dan kemurahan-hati. Sikap beliau saat memasuki Mekah sebagai penakluknya, adalah teladan bagi seluruh umat manusia sepanjang masa, sebagai pribadi yang rendah-hati, berlapang-dada dan berbelas-kasih. Kaum Quraisy yang telah menyiksa dan mengusirnya dari kampung halaman beliau; yang secara langsung dan tak langsung bertanggungjawab atas kematian orang-orang yang paling ia cintai, pamannya, istri, putrinya; yang telah menyebabkannya sakit fisik dan emosional yang luar biasa, akhirnya menunggu belas-kasihannya.
Jadi, apa yang dilakukannya? Beliau memaafkan mereka semua. Beliau mengumumkan amnesti umum dan takkan ada balas dendam; sebuah kebiasaan kuno di antara suku-suku Arab yang menjarah dan membunuh para lelaki dan menjadikan para wanita dan anak-anak sebagai budak. Inilah juga apa yang diharapkan orang akan terjadi di Mekah.
Memang benar bahwa sebagai pemenang, Rasulullah (ﷺ) dapat membalas dendam. Namun, akan membuka luka-luka baru yang akan memicu serangkaian konflik baru, yang semuanya menghasilkan penundaan atau kegagalan misi yang sebenarnya, penyebaran pesannya. Dengan memaafkan mereka yang telah berbuat-salah padanya, beliau mengirim pesan yang kuat, bahwa misi itu di atas segala pertimbangan pribadi, dan menjadikan mereka yang telah berbuat-salah padanya, berhutang-budi. Alih-alih melawan atau membencinya, mereka sekarang berterima kasih padanya, dan ingin menyenangkannya. Dalam satu pukulan, beliau meletakkan seluruh potensi konflik di masa depan di antara para pengikutnya, yang tanpanya, misinya akan gagal. Sang pemimpin hendaknya siap mengorbankan keuntungan pribadinya, demi tujuannya, dan hendaknya siap memberikan panutan pribadi dalam hal ini. Hanya ketika para pengikut melihat perilaku pemimpinlah, yang akan mereka ikuti. Hasilnya adalah keberhasilan misi. Pemberian maaf adalah pondasi dari kesuksesan ini.

Pada suatu kesempatan di Madinah, Anas bin Malik, radhiyallahu 'anhu, mengisahkan ‘Ketika kami berada di Masjid bersama Rasulullah (ﷺ), seorang Badui yang buta datang dan mulai buang air kecil di Masjid. Para sahabat bergegas menghentikannya. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Jangan disela, biarkan sampai ia selesai."
Rasulullah (ﷺ) mempertimbangkan akibat yang mungkin terjadi jika orang itu dihentikan, sementara dalam proses aksinya, ia kemungkinan besar akan menjauh dari para sahabat yang mengarah pada ketidakmurnian yang menyebar di area masjid yang lebih luas. Rasulullah (ﷺ) berpandangan jauh ke depan, beliau berpandangan bahwa dengan membiarkan sang Badui menyelesaikan apa yang dilakukannya, pilihan terbaik dari dua pilihan yang terburuk. Setelah sang Badui selesai, Rasulullah (ﷺ) menuntunnya keluar, dan menyampaikan kepadanya apa yang telah ia lakukan dan kemudian membersihkan tempat itu.

Rasulullah (ﷺ) akan selalu mengikuti perintah Allah dengan cermat, bermusyawarah dengan para Sahabat sebelum beliau mengambil keputusan. Ini mungkin tampak aneh, karena untuk satu hal, beliau lebih tahu dalam banyak hal dan lebih baik dibanding mereka, karena beliaulah penerima wahyu, yang paling bijak dan paling berpengalaman dibanding mereka.
Namun, kita akan melihat pengaruh dari musyawarah ini, ketika kita merefleksikan pengaruh dari musyawarah itu, terhadap diri para Sahabat. Mereka merasa dilibatkan, dihargai dan bertanggungjawab atas upaya dan hasil; Memastikan komitmen mereka pada penyebabnya karena mereka telah diajak bermusyawarah; Terkadang mereka memiliki informasi penting tentang masalah-masalah lokal yang terungkap ketika mereka bermusyawarah dan memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih baik; Sebagai pelatihan dalam pengambilan keputusan bagi mereka untuk masa depan pada saat Rasulullah (ﷺ) tak lagi berada di antara mereka. Ini semua berfungsi menciptakan kerekatan di antara mereka dan memungkinkan mereka berpikir melintasi batas-batas suku dan wilayah mereka, untuk kepentingan semua pihak dan keberhasilan misi menyebarkan Islam.
Dengan kombinasi memilih orang yang tepat, memberikan teladan pribadi yang tinggi dan pelatihan intensif, Rasulullah (ﷺ) menciptakan, tak hanya satu, melainkan sejumlah pemimpin yang mampu membawa pesannya ke depan, lama setelah beliau berpulang. Memang benar bahwa ada berbagai konflik tiga dekade setelah beliau wafat, yang mengakibatkan konsekuensi yang tak beliau inginkankan atau setujui, namun kenyataan ini hanya menggarisbawahi fakta bahwa tak ada upaya besar yang dapat mencukupi bagi masa yang panjang ini, melainkan hendaknya diteruskan dari generasi ke generasi, jika seseorang ingin terus menuai manfaatnya."

Kemudian sang sejarawan berkata, "Wahai anak muda, apapun yang terjadi dalam sejarah, teladan dan panutan yang ditinggalkan Rasulullah (ﷺ) bagi dunia, sangat jelas, bersemangat, dan sahih bagi siapa saja yang tertarik memperoleh manfaat darinya. Memang benar bahwa dunia telah berubah dan jauh dari jangkauan zaman Rasulullah (ﷺ), namun prinsip-prinsip yang beliau tetapkan, masih sama benarnya dengan hukum alam lainnya yang tak berubah walau masyarakat berubah. Sama seperti hukum gravitasi atau hukum aerodinamika, hukum kesuksesan di dunia ini dan kehidupan selanjutnya, tetap sama. Inilah yang Rasulullah (ﷺ) bawa untuk diajarkan kepada dunia. Kepadanyalah kita bersaksi dan memohon kepada Allah, agar menjadikan kita, layak menjadi pengikutnya. Wallahu a'lam."
"Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal." - [QS. 3:159]
Rujukan :
- Muhammad Al-Ghazali, Fiqh-us-Seerah, IIFSO
- Mirza Yawar Baig, Leadership Lesson from the Life of Rasoolullah (ﷺ), Standard Bearer Academy.

Senin, 12 November 2018

Pelajaran dari Sirah : Otoritas Pusat dan Pendanaan

Sang sejarawan melanjutkan, "Wahai anak muda, kita telah membicarakan tentang fondasi dasar umat Islam, inilah ideologi inti sebagai persyaratan pertama bagi sebuah gerakan universal agar tetap hidup serta tumbuh-berkembang setelah pendiriannya.
Islam menyajikan ideologi yang mengedepankan keadilan, tanggungjawab sosial, dan penggerak melawan segala bentuk penindasan. Dasar teologis diterjemahkan ke dalam perbuatan dan aturan kehidupan nyata, yang menjadi model duniawi atau kemasyarakatan. Dalam Islam, tak cukup hanya dengan percaya pada Keesaan Allah dan kenabian Rasulullah (ﷺ), ada tindakan tertentu yang hendaknya dilakukan untuk membuktikan bahwa seseorang benar-benar beriman. Yang pertama di antaranya, adalah Shalat, dan yang kedua, yang dibicarakan dengan cara yang sama, adalah Zakat, bahwa setiap Muslim yang punya sarananya, sebagaimana diatur dalam Syariah, wajib menunaikan Zakat. Yang satu tak terpisahkan dari yang lain, dan bahkan saling menguatkan. Menariknya, jika engkau membaca sejarah awal Islam, dibanding dengan keyakinan terhadap Islam itu sendiri, akan sangat jelas bahwa semua yang menentang Islam, sesungguhnya disebabkan oleh keengganan mengikuti aturan Islam, yang hampir semuanya terkait dengan kemaslahatan masyarakat, keluarga dan negara. Kecenderungan ini berlanjut hingga hari ini, dan mereka yang merasa sulit mengikuti Islam, termasuk Muslim modern, hendaknya mempertimbangkan kembali keinginan mereka, agar dapat mengidentifikasi akar dari keengganan mereka itu. Bukanlah argumen teologis itu sendiri, melainkan fakta bahwa dalam Islam, tak hanya bersifat intelektual, namun juga hendaknya ditegaskan melalui perbuatan. Jika Islam hanya masalah kepercayaan secara konseptual dalam Tauhid, tugas yang diemban Rasulullah (ﷺ) akan sangat mudah.
Ada riwayat yang menyebutkan sebuah peristiwa dimana para pemimpin Mekah menemui Rasulullah (ﷺ) dan mengatakan kepada beliau bahwa mereka mau menyembah Allah dalam satu hari, dengan syarat beliau (ﷺ) setuju menyembah tuhan-tuhan mereka di hari berikutnya. Dalam dunia sekarang, hal ini mungkin tampak seperti argumen logis, dan khalayak mungkin menyebutmu 'radikal' atau 'fundamentalis' jika engkau tak setuju dengan sikap 'masuk akal' tersebut. Namun, Rasulullah (ﷺ) tak mau menerima usulan itu, karena menerimanya, akan meniadakan seluruh pesan Dien yang diwahyukan langsung dari Allah, yang secara diametris menentang politeisme, yang telah beliau (ﷺ) dakwahkan. Inilah ujian yang harus dihadapi seorang pemimpin dan tak peduli betapapun sulitnya, menolak mengkompromikan pendiriannya demi logika apapun. Jika ia tak melakukannya, maka ia akan kehilangan kualitasnya, yang sebelumnya ditampilkan sebagai ciri-khasnya.

Persyaratan kedua bagi gerakan universal adalah otoritas pusat yang dapat menciptakan kondisi yang diperlukan untuk menyebarkan ideologi, dan penerapannya didalam masyarakat. Otoritas pusat terdiri dari tiga bagian yang berbeda, yakni, pertama, Undang-undang yang mengatur tindakan yang dibolehkan atau dilarang, dengan imbalan atau hukuman secara simultan. Hukum harus mencakup segala aspek kehidupan dan didalamnya, punya fleksibilitas yang memadai, agar dapat memenuhi situasi yang muncul, yang mungkin belum ada pada saat dimulainya ideologi. Ini kita kenal sebagai Legislatif.
Kedua, mereka yang menafsirkan Undang-undang, dan menangani segala pelanggaran, pertanyaan, dan klarifikasi. Ini kita kenal dalam istilah Yudikatif. Lembaga Yudikatif, hendaknya fasih dalam Hukum dan juga mengenali masalah kontemporer, serta bagaimana masalah-masalah itu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Hanya pada saat itulah, mereka dapat menafsirkan Hukum sedemikian rupa, sehingga hukum itu terus berlaku hingga satu masa, lalu diikuti oleh masa selanjutnya, karena adanya perubahan dalam waktu, kehidupan dan manusia.
Ketiga, Administrasi Sipil yang memastikan bahwa Hukum dipatuhi, mereka yang mematuhinya, difasilitasi, dan mereka yang melanggarnya, dihukum. Yang ini kita kenal dalam istilah Eksekutif. Eksekutif adalah lengan dari Otoritas Pusat dan memastikan bahwa intransiensi individu tidak membahayakan jalinan Ideologi Inti. Eksekutif harus memiliki kemampuan membimbing, arif, diplomasi, dan keteguhan yang kuat untuk memastikan bahwa ia menempuh jalan tengah yang sempit, antara anarki dan kediktatoran, karena kedua hal ini, akan merusak kelangsungan hidup Ideologi Inti dalam jangka panjang.

Tantangan terbesar Rasulullah (ﷺ) di Madinah, adalah mewujudkan pemerintahan yang Islami, di negeri yang pluralistik dan multi agama. Di Madinah pada masa Hijrah, terdapat dua suku Arab utama, Aws dan Khazraj, di antara warga mereka, ada yang Muslim dan non-Muslim. Ada Muhajirin yang telah berhijrah, dari Mekah dan tempat lain, ke Madinah untuk bergabung dengan Rasulullah (ﷺ) dan kaum Muslimin. Ada tiga suku Yahudi utama, Bani Nadhir, Bani Qainuqah, Bani Quraidza dan kemudian ada banyak orang musyrik dan umat islam. Karena itu, undang-undang baru perlu dibuat, yang akan mempertimbangkan hak-hak semua yang terkait, dan memastikan bahwa keadilan diberlakukan bagi semua orang. Rasulullah (ﷺ) menciptakan apa yang mungkin merupakan Konstitusi pertama negara manapun hingga saat itu.
Rasulullah (ﷺ) membuat perjanjian antara kaum Muhajirin dan penduduk Madinah. Perjanjian ini termasuk kaum Muslimin dan Yahudi, yang juga tinggal di Madinah. Perjanjian itu mengikat kedua belah pihak dan karena pelanggaran suku-suku Yahudi itu sendiri, menyebabkan mereka akhirnya diusir dari Madinah. Perjanjian ini dapat dikatakan sebagai Konstitusi Negara Islam yang didirikan oleh Rasulullah (ﷺ), dan karenanya, mungkin akan menjadi dokumen pertama dalam sejarah dunia yang memberikan hak yang sama kepada semua orang, terlepas dari keyakinan agama mereka. Islam bukanlah agama baru karena Islam adalah agama semua nabi, sejak dimulainya zaman, namun sejauh yang menyangkut masyarakat pada waktu itu, Islam dianggap baru bagi mereka dan Rasulullah (ﷺ) dianggap pendirinya. Bagi pembuat perjanjian seperti ini, bila menjadi pemimpin agama baru yang ia dirikan, sangat mengejutkan. Beliau menggagas hak yang sama bagi semua orang, baik itu mereka yang termasuk umatnya maupun yang bukan.

Kita telah menyebutkan perjanjian yang dikenal sebagai Ṣaḥīfatul Madīnah atau Konstitusi Madinah. Elemen kunci dari piagam ini adalah, pertama, pembuat undang-undang adalah sang pemimpin. Rasulullah (ﷺ) membuat dokumen untuk mengatur hubungan sosial sehingga otoritasnya ditetapkan dan beliau menjadi hakimnya. Segala perbedaan pendapat harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya (ﷺ). Satu-satunya nama yang disebutkan adalah nama Rasulullah (ﷺ). Hubungan Rasulullah (ﷺ) dengan Allah secara jelas terdefinisikan dalam hal ini dan demikian pula fakta bahwa kewenangan Rasulullah (ﷺ) berasal dari Allah, dan oleh karenanya, aturan Allah-lah yang ditegakkan. Kedua, umat Islam adalah satu komunitas, tak termasuk yang lain. Jadi identitas khas Muslim adalah bagian pentingnya. Ketiga, orang Yahudi diperlakukan sama, diperbolehkan menjalankan kewajiban agama mereka secara bebas, dan mendapat jaminan dari umat Islam. Mereka harus mendukung kaum Muslimin dan memberi nasihat dan saran. Tak ada yang boleh meninggalkan Madinah tanpa seizin Rasulullah (ﷺ), ini sama seperti bahwa engkau tak boleh meninggalkan negerimu tanpa paspor. Keempat, Madinah dijadikan Al-Haram - pusat kota Madinah dijadikan tempat perlindungan, yakni tak boleh berburu, menebang pohon, atau berperang.
Islam menciptakan institusi 'Pemimpin Konstitusional' - Khalifah yang memerintah dibawah Hukum Ilahi. Ia memerintah dengan hukum yang tak ia buat sendiri dan di bawah Hukum Ilahi, ia bertanggung jawab terhadap warganya yang paling rendah. Khalifah adalah pelayan sejati rakyat, dipilih atas dasar keshalihan, kebijaksanaan, dan kemampuan dalam bernegara. Seperti yang jelas dari sejarah Islam awal, Khalafaur Rasyidin dipilih oleh para Sahabat yang sepakat menaatinya karena rasa hormat yang mereka junjung tinggi. Kepatuhan tunduk pada ideologi.

Persyaratan ketiga bagi pergerakan universal adalah pendanaan. Secara Islami, keyakinan kita adalah bahwa Allah, dengan kekuasaan-Nya, rahmat dan kasih-sayang-Nya, menyediakan segala yang kita butuhkan, namun seseorang hendaknya melakukan upaya yang diperlukan untuk memastikan bahwa semua sarana material, telah dipergunakan, dan semua aturan material, terpenuhi. Ada banyak teladan dari kehidupan Rasulullah (ﷺ), yang menunjukkan bahwa beliau mengambil segala bentuk persiapan, perbekalan, dan melakukan segala upaya fisik, sebelum beliau mengembalikannya kepada Allah dalam shalat dan doa. Islam tak membatasi jumlah uang yang dapat dihasilkan seseorang, namun mengatur cara memperolehnya. Islam sangat berhati-hati dalam cara memperoleh kekayaan dan bagaimana membelanjakannya, bukan berapa banyak yang didapatkan.
Islam menegaskan bahwa kekayaan diperoleh dengan menggunakan cara yang adil, tanpa bentuk penipuan apapun, tanpa rente dan bunga-uang, tanpa mengeksploitasi tenaga kerja atau masyarakat. Islam menegaskan bahwa kekayaan tak boleh diperoleh dengan mengorbankan kesejahteraan orang lain dan dengan demikian, melarang penimbunan barang, terutama makanan. Islam dengan tegas menyatakan bahwa kekayaan dibelanjakan untuk kemaslahatan masyarakat, dan karenanya wajib di zakatkan, dan mendorong seseorang agar memberi lebih banyak, setelah memenuhi kewajibannya. Rasulullah (ﷺ) tak pernah melarang atau menghentikan siapapun untuk berdagang dan menghasilkan uang. dan bahkan, beliau menyampaikan bahwa Allah menempatkan 9 dari 10 bagian dari berkah itu, ke dalam perdagangan. Pada satu kesempatan, ketika harga sangat tinggi, Rasulullah (ﷺ) menolak memberlakukan pengaturan harga, dan sebaliknya, mendorong masyarakat agar berperilaku secara bertanggungjawab terhadap semua konstituen masyarakat. Islam mengikuti prinsip free-enterprise dengan tanggungjawab sosial, berdasarkan pertanggungjawaban kepada Allah, dan akhirnya memperoleh pahala atau adzab kelak di Akhirat.

Dengan prinsip inilah, bahwa agar keberhasilan setiap gerakan universal ini, penting agar ada mekanisme pengumpulan dan administrasi dana yang terpusat, yang terdiri dari struktur pengumpulan dana yang berakar pada Ideologi Inti, metode untuk mengumpulkan dana, dan sarana yang dihasilkan dari pengumpulan dan pengadministrasian dana itu. Sangat penting menaati Otoritas Pusat dan pembayaran dana yang ditempatkan ke dalam Ideologi Inti itu sendiri, sehingga 'orang beriman' secara otomatis akan dilibatkan sebagai pendukung finansial aktif dari ideologi. Dengan cara ini juga, pergerakan ini, dijamin dari jumlah dasar tertentu setiap tahun, dapat dikelola sesuai dengan prinsip-prinsipnya, untuk keuntungannya.
Islam menjadikan institusi Zakat sebagai pembayaran wajib yang hendaknya dilakukan kepada negara. Islam mengatur bahwa minimal 2,5% dari Zakat harus disetorkan ke dana bersama yang dikelola oleh negara, yang akan digunakan untuk kesejahteraan. Tujuannya ada dua. Salah satunya, agar mendorong sirkulasi uang ke dalam perekonomian. Itulah sebabnya, Zakat dapat dibayarkan tak hanya dalam bentuk dana-moneter, namun juga, dalam bentuk emas dan perak yang merupakan salah satu cara menyimpan uang. Demikian pula, Zakat dibebankan atas hasil tanaman, persediaan barang dagangan, tanah yang dibeli untuk tujuan perdagangan. Semua ini untuk memastikan bahwa mereka yang kaya, tak menumpuk uang, dan sejumlah tertentu akan selalu dimasukkan kembali ke dalam sistem.
Tujuan kedua Zakat, untuk memberikan dana yang cukup di tangan Otoritas Pusat agar dapat menggunakannya sesuai dengan rencana pembangunan keseluruhan. Zakat adalah cara pembiayaan pembangunan yang paling efektif dan jika umat Islam membayar zakat dengan cara yang sesuai; membayar penuh dan membayarnya ke dana bersama; maka takkan ada seorang Muslimpun yang miskin di dunia, sebaliknya, umat Islam akan dapat berperan besar dalam pembangunan sosial bagi orang-orang miskin lainnya di seluruh dunia. Ini akan menjadi metode Dakwah yang paling kuat, yang merupakan tujuan mendasar dari Zakat.


Tanpa adanya metode pengumpulan dan distribusi sentral, negara tak mungkin dapat melakukan pengembangan strategis. Begitu pentingnya Institusi Zakat ini, sehingga dikombinasikan dengan shalat itu sendiri, dan dinyatakan sebagai bentuk lain dari doa - doa dalam bentuk finansial. Orang-orang yang menolak membayar Zakat, dinyatakan telah keluar dari Islam itu sendiri.
Allah memerintahkan Rasulullah (ﷺ) agar mengumpulkan zakat dari umat dan menyebutnya sebagai 'penyucian' harta mereka. Gagasannya, jika zakat dikumpulkan oleh negara, maka dipergunakan untuk tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini juga telah dispefikasikan. Allah berfirman,
"Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." - [QS.9:103]
"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." - [QS.9:60]
Sang sejarawan berhenti dan berkata, "Ada satu hal yang perlu kita ingat. Sejarah takkan memberi ampun siapapun yang mengubah aturannya. Begitu juga, tak ada ampun bagi umat Islam. Saat mereka mulai mengubah kemurnian model pergerakan universal, nasib merekapun mulai berubah. Pengaruhnya menjadi semakin tak mengglobal, dan kehadiran mereka, lebih banyak terlihat dalam buku-buku sejarah daripada dalam fakta yang sebenarnya. Meskipun menyakitkan, akan menarik bila kita meneliti apa yang terjadi dan pengaruhnya terhadap Islam dan Muslim di seluruh dunia.
Ketika Islam mulai bergeser dari Semenanjung Arab dan sejalan dengan waktu, semakin jauh dari zaman Rasulullah (ﷺ), dan memasuki Mesir, Suriah, Iran dan India, maka mulailah ia mengambil pengaruh dari kaum Nasrani Qibthy, filsafat dan mitologi Yunani dan Romawi, Zorastrianisme dan Hindu. Kemurnian doktrin Tauhid - Keesaan Allah tanpa ada sekutu dan perantara, hubungan langsung antara Sang Pencipta dan sang hamba - diselimuti oleh teori penyekutuan dalam berbagai bentuk.

Karena identitas unik Tauhid telah cacat, maka Islam juga kehilangan keunikannya. Islam dan umat Islam mulai menyerupai orang-orang Hindu, Nasrani, dan lainnya dalam hal gaya hidup, ritual, kebiasaan, dan praktik-praktik mereka. Mereka berhenti menjadi pembawa standar bagi ideologi yang bersih dan murni seperti udara gurun yang menjadi saksi kejayaannya pertama kali. Ia menjadi keruh bagaikan aliran lumpur yang berkelok-kelok melalui kesuraman hutan, airnya bergerak perlahan, bahkan tak mampu membawa walau hanya selembar daun kering, dan dasarnya suram dengan tetumbuhanyang membusuk dan berlumpur.
Ketika orang tak lagi melihat keunikan Islam, mereka juga berhenti tertarik padanya. Apa yang mereka lihat, tak jauh berbeda dari apapun yang mereka yakini dan tak memiliki solusi untuk masalah yang mereka derita, bahkan seolah tak banyak yang berubah kecuali nama ritual atau berhala yang disembah.

Namun di atas semua ini, tragedi yang sebenarnya terjadi, adalah perpecahan umat. Ketika berbagai interpretasi, filosofi dan aliran sesat dimulai, umat Islam mulai bubar. Dan dengan demikian konflik menjadi lebih internal daripada eksternal terhadap syirik dan kekufuran. Para pemimpin sekte yang berbeda, saling mengipas api kebencian untuk membangun pulau-pulau kecil pendukungnya sendiri, dengan mengorbankan seluruh umat. Umat Islam mulai saling membunuh. Umat Islam menolak saling bekerja sama. Umat Islam bekerja melawan sesamanya. Ras, kebangsaan, suku, warna kulit dan sekte, semuanya menjadi lebih penting daripada Umat. Semua batas yang telah banyak dihapus oleh upaya Rasulullah (ﷺ), kembali lagi ke umat dan umat Islam berpecah-belah seperti halnya mereka yang datang sebelumnya. Dan dengan hasil yang sama, dalam hal pengaruh, kekuasaan, dan kekayaan yang hilang.
Hal pertama yang terserang dan terlemahkan adalah fondasi dasar umat atau ideologi inti. Awalnya, perubahan dari Khalifah yang semula menjadi orang pilihan, menjadi orang yang mewarisi secara turun temurun. Karena itu, Khalifah menjadi raja, meski masih disebut Amirul Mukminin. Strukturnya tetap berbentuk cangkang kosong yang di dalamnya hidup makhluk yang berbeda. Karena kompetensi tak lagi menjadi kriteria kepemimpinan, dan kepemimpinan telah menjadi turun temurun, kompetensi kemudian dilihat sebagai ancaman oleh para pemimpin yang berkuasa. Para jenderal brilian seperti Tariq bin Ziyad dan Mohammad bin Qasim ditarik dari puncak karir mereka, dan dihukum karena berhasil dalam tugas-tugas mereka. Teladan Rasulullah (ﷺ) dalam hal tak memilih kaum-kerabat beliau sendiri untuk mewarisi jubah kepemimpinannya, berakhir dengan sangat cepat setelah beliau berpulang. Akibatnya, Islam dan posisi dominasi universalnya, menderita dan secara bertahap, terus merosot.
Waktu berubah dan begitu pula perilaku Khalifah. Khalifah seperti Sayyidina Abu Bakr Siddiq dan Umar bin al Khattab, radhiyallahu 'anhum, takkan bermimpi menggunakan sepeserpun dirham dari perbendaharaan negara, untuk diri mereka sendiri. Integritas ini, berubah menjadi keadaan dimana perbendaharaan negara menjadi milik pribadi raja dan keluarganya. Mereka membangun istana dan mengumpulkan kekayaan yang sangat legendaris. Pajak dipungut bukan untuk kesejahteraan masyarakat, melainkan untuk membiayai gaya hidup raja dan kaum bangsawannya. Peperangan terjadi, bukan untuk membuka pintu dunia bagi pesan Islam, tetapi untuk mendapatkan sejengkal tanah dan kekayaan. Orang-orang yang baru masuk Islam, diharuskan membayar jizya di samping Zakat yang mereka harus bayar sebagai Muslim, karena mereka bukan dari kelas penguasa. Penguasa Muslim menjadi penyebab orang menjauh dari Islam, alih-alih menjadi fasilitator bagi orang-orang yang ingin Islam. Akhirnya pada akhir Perang Dunia ke-1, Khalifah berakhir dengan penggulingan oleh orang murtad yang dididik dan didoktrin oleh Inggris, Kamal Pasha, yang juga dikenal sebagai Ataturk."

Kemudian sang sejarawan berkata, "Wahai anak muda, seperti yang dapat kita lihat dari semua contoh tersebut; selama ketiga elemen gerakan universal bekerja dengan selaras, maka gerakan itu memiliki energi dan kemajuan. Ketika salah satu atau lebih elemen itu, cacat atau berhenti berfungsi, gerakan itu kehilangan momentum dan bahkan dapat mati sepenuhnya. Wallahu a'lam."
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." - [QS.4:59]
Rujukan :
- Muhammad Al-Ghazali, Fiqh-us-Seerah, IIFSO
- Mirza Yawar Baig, Leadership Lesson from the Life of Rasoolullah (ﷺ), Standard Bearer Academy.

Jumat, 09 November 2018

Pelajaran dari Sirah : Pondasi Dasar Ummat

Kemudian sang sejarawan berkata, "Wahai anak muda, ketahuilah bahwa umat Islam bukanlah sekelompok orang yang bertujuan hidup dengan cara apapun dan menuju ke arah manapun selagi mereka punya cukup makanan dan hiburan. Sebaliknya, umat Islam punya sebuah ideologi yang menetapkan hubungan mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang memperjelas visi atau pandangan hidup mereka, mengatur urusan internal mereka sesuai dengan pola tertentu dan mengarahkan hubungan eksternal mereka menuju tujuan yang telah pasti. Ada perbedaan besar antara seseorang yang berkata kepadamu, "Perhatianku di dunia ini hanyalah, menjalani hidupku," Sebaliknya yang lain berkata, "Jika aku tak melindungi kehormatanku, menjaga hak-hakku, mengharap ridha Allah dan mempertahankan apa yang telah ditetapkan-Nya, maka semoga kakiku takkan membawaku dan mataku takkan menuntunku."
Kaum Muhajirin pergi ke Madinah, tak meninggalkan kampung halaman mereka hanya karena kekayaan atau kekuasaan. Kaum Ansar, yang menyambut mereka, bersumpah akan melawan kaum mereka sendiri dan negeri mereka menjadi target bangsa-bangsa Arab, tak melakukannya untuk hidup dengan cara apapun karena ada peluang. Mereka semua, berkeinginan dipimpin oleh Wahyu, menggapai eridha Allah dan mewujudkan tujuan akhir, yang dengannya manusia diciptakan dan kehidupan ditegakkan. Bisakah mereka yang mengingkari Rabb mereka dan menyerah pada nafsu demi apapun melainkan makhluk tercela atau setan terkutuk?
Dari sudut pandang inilah, segera setelah Rasulullah (ﷺ) menetap di Madinah, beliau mengalihkan perhatiannya pada peletakan fondasi yang diperlukan untuk memenuhi misinya. Prioritas dasarnya adalah, pertama, hubungan umat dengan Allah; kedua, hubungan para anggota umat dengan sesamanya; dan, ketiga, hubungan umat dengan non-Muslim.

Mengenai pondasi dasar pertama, Rasulullah (ﷺ) segera membangun masjid, dimana rangkaian ibadah lslam, yang telah lama ditekankan, dapat diterapkan, dan dimana sholat dapat didirikan, mendekatkan umat lebih dekat kepada Rabb-nya dan membersihkan qalbu mereka dari pencemaran dan sketsa kehidupan duniawi. Rasulullah (ﷺ) membangun masjidnya, dimana untanya berlutut, di tanah kosong milik dua anak yatim di bawah asuhan As'ad bin Zurarah. Meskipun kedua anak lelaki itu ingin menyumbangkan tanahnya demi tujuan Allah, Rasulullah (ﷺ) mendesak agar membayarnya dengan harga penuh. Tanah ini, sebelum dikembangkan menjadi masjid, sebelumnya ditutupi dengan pohon kurma dan penyemaian, dan ada beberapa makam milik penyembah berhala.
Rasulullah (ﷺ) memerintahkan agar pohon-pohon kurma itu ditebang dan makam-makam itu harus ditiadakan. Pohon-pohon kurma ditata untuk menandai kiblat masjid, yang pada saat itu, masih mengarah ke Yerusalem. Panjang masjid dari arah-kiblatnya ke dinding belakang, 100 dzira (= 100 hasta), dan kedua sisinya kira-kira memiliki panjang yang sama. Sisi-sisinya terbuat dari batu dan fondasinya digali sedalam 3 dzira dan dibangun dari batu-bata. Rasulullah (ﷺ) dan para sahabat bergotong-royong, mengambil batu bata, menaruhnya di pundak mereka, seraya bersenandung, "Ya Allah, tiada kehidupan selain kehidupan Akhirat, maka ampunilah kaum Ansar dan Muhajirin." Para Sahabat menjadi lebih bersemangat lagi, saat mereka melihat Rasulullah (ﷺ) sendiri turut bekerja keras seperti mereka dan tak mau menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dari mereka. Salah seorang sahabat menyanyikan bait ini, "Jika kami duduk saat Rasul sedang bekerja, maka itulah perbuatan keliru diantara kami."
Masjid itu selesai dalam segala kebersahajaan; lantainya terbuat dari pasir dan kerikil, ranting-ranting pohon kurma menjadi langit-langitnya dan pilar-pilarnya dari batang-batang pohon. Mungkin saat hujan turun, lantainya akan berlumpur, dan mungkin juga hewan peliharaan bisa keluar-masuk melalui dindingnya yang terbuka.

Bangunan sederhana dan berkhidmat ini, memelihara para malaikat agar tetap berada di antara umat, merekalah para pendidik kepribadian perkasa dan bangsawan akhirat. Di masjid inilah, Allah memperkenankan Rasul-Nya (ﷺ) menguji pilihan orang-orang yang percaya padanya, dan membentuk mereka dengan disiplin-disiplin surgawi, mulai pagi hingga malam yang gelap. Status masjid dalam masyarakat Islam itu, unik. Ia, sebuah institusi. Ia, sumber bimbingan spiritual dan material, dan juga, ia, aula ibadah, madrasah ilmu dan pusat literasi sastra. Sangat melekat dengan shalat tepat waktu dan shaf para ahli ibadah, yang merupakan sikap moral dan tradisi yang membentuk esensi Islam. Namun, sekarang, para umat, yang tak mampu membangun kepribadian berdasarkan moral yang kuat, telah menghibur-diri dengan membangun masjid besar yang didalamnya berisi penyembahan kurcaci! Berbeda dengan para generasi terdahulu. Mereka menghindari menghiasi masjid, tetapi selalu mensucikan dan mendisiplinkan diri, dan mencerminkan kesejatian Islam.
Masjid tempat Rasulullah (ﷺ) membhaktikan upaya pembagunan beliau sebelum menunaikan tugas yang lain, tak sekedar berbentuk sebidang tanah dimana shalat ditegakkan. Karena kenyatannya, seluruh permukaan bumi inilah masjid, dan umat Islam tak perlu membatasi diri ke tempat tertentu untuk tujuan ibadah. Ia sebenarnya adalah simbol yang sangat penting dalam Islam. Ia adalah simbol hubungan yang mendalam antara penyembah dan Rabb mereka, yang terus diperbaharui dengan berlalunya waktu dan berulang sepanjang malam dan siang. Takkan ada nilai dalam sebuah peradaban yang melalaikan adanya Satu Illah, tak mengenal Hari Akhirat dan membaurkan yang baik dengan yang buruk. Peradaban yang dibawa Islam, terus-menerus mengingatkan para umat kepada Allah, dan pertemuan dengan-Nya mendorong kepatuhan pada kebaikan dan penolakan terhadap kejahatan, serta tetap dalam batas-batas yang ditentukan Allah.

Sangatlah menarik bahwa kalender Islam, tak dimulai dari tanggal kelahiran atau wafatnya Rasulullah (ﷺ), melainkan dihitung sejak hijrah beliau ke Madinah dengan tujuan memulai persaudaraan seiman, umat Islam, dan pembentukannya menjadi negeri yang Islami. Struktur ini penting karena mempengaruhi perilaku.
Mengenai pondasi dasar kedua, hubungan antar sesama anggota umat, Rasulullah (ﷺ) mendasarkannya pada persaudaraan yang sempurna. Inilah persaudaraan dimana tak ada istilah "aku", dan para individu bergerak dengan semangat, minat, dan harapan kelompok, tak melihat diri mereka sebagai entitas tersendiri yang terpisah darinya. Persaudaraan seiman berarti bahwa prasangka rasial jahiliyah haruslah dibubarkan; bahwa hanya untuk Islamlah para umat hendaknya menunjukkan antusiasme; bahwa segala perbedaan garis keturunan, warna dan kesukuan, seyogyanya dihilangkan; dan bahwa tak seorangpun yang akan ditempatkan di depan atau di belakang, melainkan hanya dengan keshalihannya. Rasulullah (ﷺ) menjadikan persaudaraan ini menjadi sebuah kontrak yang harus dilaksanakan, bukan sekedar kata-kata dan perbuatan, yang terkait dengan garis-keturunan dan kekayaan, juga bukan sekadar ucapan yang digumamkan oleh lidah dan tak bermakna sama sekali.
Sikap yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain, kasih-sayang dan cinta ini, bagian integral dari persaudaraan seiman, dan mengisi masyarakat baru dengan keteladan yang paling berarti. Kaum Ansar, sangat ingin menyambut saudara-saudara mereka, para Muhajirin, sehingga setiap Muhajir, banyak yang ditarik agar tinggal bersama seorang Ansar. Kaum Muhajirin menghargai pengorbanan yang tulus ini dan tak pernah menyalahgunakan atau berlebih-lebihan menggunakannya, yang memungkinkan mereka membangun diri mereka dalam transaksi-bisnis yang bebas dan bermartabat.

Rasulullah (ﷺ) sebagai kakak-tertua dari umat yang beriman ini. Beliau tak membedakan dirinya di atas mereka dengan gelar terhormat. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari otoritas Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu, Baginda (ﷺ) bersabda, “Bila aku harus memilih seseorang dari umatku sebagai teman, aku akan memilih Abu Bakar sebagai teman. Namun persaudaraan Islam itu, lebih baik."
Persaudaraan sejati takkan tumbuh dalam lingkungan yang buruk. Dimanapun bila ada ketidaktahuan, kepengecutan, kekikiran dan keserakahan, sebagai hal yang lazim, persaudaraan takkan muncul dan rasa-cinta takkan tumbuh. Andai bukan karena fakta bahwa para Sahabat dibesarkan pada kualitas yang murni dan disatukan pada prinsip-prinsip yang dapat diterima, maka dunia ini takkan mencatat bagi mereka persaudaraan yang dalam karena Allah. Cita-cita luhur yang menyatukan mereka, dan teladan cemerlang yang telah menuntun mereka ke sana, adalah dua hal yang menumbuhkan sifat-sifat kebajikan dan kehormatan di dalam diri mereka, dan tak memberikan ruang bagi munculnya kualitas-kualitas yang buruk.

Selain itu, dalam diri Rasulullah (ﷺ), terkumpul segala kebajikan yang tersebar di seluruh umat manusia, dan karenanya, beliau merupakan cerminan puncak kesempurnaan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Tak heran, jika orang-orang yang memperoleh pelatihan dari beliau dan selalu mendukungnya, adalah orang yang hidup dengan keberanian, kesetiaan dan kemurahan-hati. Cinta itu laksana mata air yang mengalir dengan sendirinya. Tak perlu mesin untuk mengekstrak airnya. Demikian pula, persaudaraan itu, tak dapat dipaksakan oleh hukum dan peraturan. Ia bisa terjadi hanya ketika orang-orang menghapuskan sikap mementingkan diri, keserakahan, dan egosentris mereka. Adanya saling persaudaraan di antara umat Islam generasi awal ini, karena mereka telah berevolusi ke tingkat yang lebih tinggi dalam segala aspek kehidupan, melalui Islam, dan telah bersaudara dengan menjadi hamba-hamba Allah. Namun, jika mereka menghamba pada diri mereka sendiri, mereka takkan membiarkan satu sama lain untuk terus hidup.
Penekanan Islam pada nilai-nilai sikap luhur dalam membangun persaudaraan ini, tak meniadakan fakta bahwa penguasa hendaknya melembagakan sistem di dalam masyarakat, sehingga masing-masing diberikan haknya dan melakukan tugasnya. Jika ia tak melakukannya dengan sukarela, maka ia wajib melakukannya. Ini mirip dengan wajib belajar, pajak, dinas militer dll.

Mengenai pondasi dasar ketiga, hubungan umat dengan non-Muslim, Rasulullah (ﷺ) melembagakan aturan hukum yang berwawasan-terbuka dan ramah, yang tak pernah dikenal sebelumnya di dunia yang penuh dengan rasisme dan prasangka. Siapapun yang beranggapan bahwa Islam adalah agama yang tak mau menerima agama lain sebagai tetangga, dan bahwa umat Islam adalah umat yang takkan pernah menemukan ketenangan kecuali mereka sendiri yang tetap dominan di dunia ini, adalah keliru, atau lebih tepatnya, bias dan lancang.
Ketika Rasulullah (ﷺ) sampai di Madinah, ia menemukan orang-orang Yahudi telah menetap di sana dan para penyembah berhala, merupakan penduduk asli tempat itu. Beliau tak memulai dengan membuat strategi apapun untuk mengusir atau mengobarkan perang terhadap orang-orang ini. Sebaliknya, beliau menerima kehadiran orang Yahudi dan penyembah berhala dengan niat yang baik, dan mengusulkan agar mereka membuat perjanjian secara setara, mereka dengan agama mereka, dan beliau dengan agama beliau.
Kita akan mengutip klausa kontrak yang beliau tutup dengan orang-orang Yahudi sebagai bukti pendirian Islam dalam masalah ini. Ibnu Ishaq meriwayatkan Shahifatul Madinah atau Piagam Madinah, juga dikenal sebagai Konstitusi Madinah, tanpa rantai perawi, klausanya menyatakan,
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang
Inilah piagam dari Muhammad Rasulullah (ﷺ), di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal dari) Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka.
Pasal 1 Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komuitas) manusia lain
Pasal 2 Kaum muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara baik dan adil di antara mukminin
Pasal 3 Banu Auf sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 4 Banu Sa’idah sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 5 Banu Al-Hars sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 6 Banu Jusyam sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 7 Banu An-Najjar sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 8 Banu ‘Amr bin ‘Awf sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 9 Banu Al-Nabit sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 10 Banu Al-‘Aws sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 11 Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara mereka tetapi membantunya dengan baik dalam poembayaran tebusan atau diat
Pasal 12 Seorang mukmin tidak diperbolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya tanpa persetujuan dari padanya
Pasal 13 Orang-orang mukmin yang taqwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zhalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka
Pasal 14 Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang beriman membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman
Pasal 15 Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak bergantung kepada golongan lain
Pasal 16 Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzhalimi dan ditentang olehnya
Pasal 17 Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka
Pasal 18 Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu membahu satu sama lain
Pasal 19 Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus
Pasal 20 Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman
Pasal 21 Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya
Pasal 22 Tidak dibenarkan orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan dan menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dari Allah pada hari kiamat, dan tidak diterima dari padanya penyesalan dan tebusan
Pasal 23 Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla dan (keputusan) Muhammad (ﷺ)
Pasal 24 Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan
Pasal 25 Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga
Pasal 26 Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 27 Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 28 Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 29 Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 30 Kaum Yahudi Banu Al-‘Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 31 Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 32 Kaum Yahudi Banu Jafnah dari Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 33 Kaum Yahudi Banu Syutaibah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 34 Sekutu-sekutu Sa’labah diperlakukan sama seperti mereka (Banu Sa’labah)
Pasal 35 Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi)
Pasal 36 Tidak seorang pun dibenarkan (untuk berperang), kecuali seizin Muhammad (ﷺ). Ia tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesunggunya Allah sangat membenarkan ketentuan ini
Pasal 37 Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi mauk muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya
Pasal 38 Kaum Yahudi memikul bersama mukiminin selama dalam peperangan
Pasal 39 Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya haram (suci) bagi warga piagam ini
Pasal 40 Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat
Pasal 41 Tidak boleh jaminan diberikan kecuali seizin ahlinya
Pasal 42 Bila terjadi suatu persitiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla, dan (keputusan) Muhammad (ﷺ). Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi piagam ini
Pasal 43 Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi pendukung mereka
Pasal 44 Mereka (pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib
Pasal 45 Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksankan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya
Pasal 46 Kaum Yahudi Al-‘Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah palingmembenarkan dan memandang baik isi piagam ini
Pasal 47 Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan bertakwa.
Dokumen ini mengungkapkan keinginan umat Islam saling kerjasama yang tulus dengan orang-orang Yahudi Madinah, untuk membangun perdamaian dan ketenangan di seluruh kota dan menghentikan para pemberontak atau pembuat masalah, apapun agama mereka. Jelas dinyatakan bahwa kebebasan beragama dijamin. Jadi tak ada sedikitpun pemikiran untuk menyerang kelompok manapun atau menindas orang yang lemah. Sebaliknya, kata-kata dalam dokumen ini dengan jelas menekankan bantuan kepada mereka yang tertindas, perlindungan bagi mereka yang mencari perlindungan, dan melindungi semua hak umum dan khusus. Piagam ini berisi permohon petolongan Allah untuk kebajikan dan keshalihan, dan juga memohon kepada Allah agar menjatuhkan murka-Nya kepada siapa saja yang membahayakan dan menipu orang lain.
Kaum Muslim dan Yahudi sepakat membela Yathrib jika musuh menyerang, dan mereka memberikan hak untuk meninggalkan Madinah kepada siapa saja yang ingin pergi dan hak untuk tetap tinggal selama kesuciannya terjaga. Hendaknya dicatat bahwa, Rasulullah (ﷺ) menyebutkan dalam dokumen ini tentang perselisihan antara umat Islam dan para penyembah berhala di Mekah dan beliau mengumumkan penolakannya atas kerjasama dengan mereka dan melarang pemberian bantuan dalam bentuk apapun kepada mereka. Mungkinkah selain dari yang diharapkan dari orang-orang yang luka masih meneteskan darah dari serangan orang Quraisy dan sekutunya pada mereka?

Lalu, sungguh-sungguhkah orang-orang Yahudi itu ​​dalam perjanjian mereka dengan perjanjian ini? Hampir dapat dipastikan bahwa mereka tak sungguh-sungguh saat menerima ketentuan perjanjian ini. Problema suatu perjanjian adalah bahwa kesetiaan kepadanya hanya berlangsung selama seseorang dapat melihat manfaat pribadi darinya. Dan ketika perjanjian itu menjadi batu sandungan dalam memenuhi ambisi pribadi seseorang, kelonggaran dan peluangnya, dicari-cari, dimana seseorang tak ingin tetap terikat olehnya. Orang-orang Yahudi biasa membangun kekuatan materi dan politik mereka atas dasar perpecahan di antara orang-orang Arab. Namun, ketika orang-orang Arab masuk ke dalam Islam, perbedaan lama mereka mulai menghilang dan waktu mulai menunjukkan bahwa Islam akan menjadikan mereka ke dalam suatu negara. Karena itu, orang-orang Yahudi mulai merasa tak nyaman. Mereka dipenuhi rasa-cemas. Mereka segera mulai bersekongkol melawan keyakinan baru ini dan berbohong seraya menunggu yang mengikutinya.
Orang-orang Yahudi di Madinah, sebenarnya mempresentasikan keadaan dimana terdapat semua religiositas formal yang memalukan dan perdagangan tercela dengan berkedok prinsip-prinsip surgawi. Karakteristik yang paling menonjol dari lingkungan semacam ini, adalah iri-hati, kemunafikan, formalitas luar tanpa pemahaman, dan suka-perselisihan. Dan di balik itu semua, ada niat yang licik dan prasangka yang buruk.
Mungkin karena kedekatan mereka dengan bangsa Arab, mereka telah memperoleh beberapa sifat-sifat utama orang gurun, seperti kemurahan-hati dan keberanian. Namun, introversi rasial mereka mendominasi karakter mereka, dan kebajikan ini melekat pada diri mereka bagai kertas-dinding yang menempel pada jalan yang retak.

Seseorang akan berharap agar orang-orang Yahudi menyambut Islam, walau jika mereka tak melakukannya, maka paling tidak, orang akan berharap agar mereka lebih tertegun merenung dibanding para penyembah berhala dalam menentangnya, karena Rasulullah (ﷺ) mengajak mereka ke arah Tauhid, bersikap jujur dan mempersiapkan kehidupan yang lebih kekal di akhirat. Agamanya yang menghargai Nabi Musa, alaihissalam, sangat menghargai risalahnya, dan mendesak orang-orang Yahudi agar melaksanakan hukum-hukumnya dan tetap dalam batas-batasnya. Orang-orang Yahudi, pada awalnya, diam sebagai orang yang ragu-ragu dan kemudian mereka memutuskan menunjukkan perlawanan secara terbuka. Rujukan akan dapat ditemukan dalam banyak ayat Al-Qur'an tentang sikap mereka.
Engkau akan terkejut menemukan bahwa orang-orang Yahudi bertingkah sama tak pantasnya dengan para penyembah berhala kepada Allah, mengabaikan hukum-hukum-Nya dan berbicara tentang-Nya dengan nada yang tak santun. Jika umat Islam menunjukkan kemarahan pada seorang yang menyekutukan seorang putra kepada Allah, baik itu manusia atau batu, lalu apa yang akan engkau katakan tentang orang yang menggambarkan Rabb langit dan bumi ini sebagai yang miskin dan kikir? Allah berfirman,
"Dan orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu, padahal kedua tangan Allah terbuka; Dia memberi rezeki sebagaimana Dia kehendaki. Dan (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu pasti akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan mereka. Dan Kami timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari Kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya. Dan mereka berusaha (menimbulkan) kerusakan di bumi. Dan Allah tak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." - [QS.5:64]
"Sungguh, Allah telah mendengar perkataan orang-orang (Yahudi) yang mengatakan, 'Sesungguhnya Allah itu miskin dan kami kaya.' Kami akan mencatat perkataan mereka dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa hak (alasan yang benar), dan Kami akan mengatakan (kepada mereka), “Rasakanlah olehmu azab yang membakar!" - [QS.3:181]
Namun demikian, umat Islam tetap membiarkan orang-orang yang keras kepala ini, berada dalam kekeliruan mereka dan tak mencabut ketidakyakinan mereka dengan pedang. Cukuplah dengan menghadirkan pesannya, mengungkapkan kebenarannya dan mengisi ruang dengan ayat-ayat dan bukti-buktinya. Mereka yang merasa nyaman dan memasukinya, akan memperoleh manfaatnya. Jika tidak, mereka akan dibiarkan sendiri, dan umat Islam takkan meminta apapun dari mereka kecuali kesantunan dan kedamaian, serta membiarkan kebenaran terus berjalan tanpa hambatan atau keberatan. Rasulullah (ﷺ) datang ke Madinah dan mengulurkan tangannya kepada orang-orang Yahudi. Beliau menanggung segala penghinaan mereka dengan kesabaran, hingga akhirnya beliau melihat mereka bersatu untuk menghancurkan dirinya dan umatnya. Saat itulah beliau menghadapi tantangan mereka dan terjadilah sejumlah peristiwa antara beliau dan mereka.

Dari rasa takut kepada Allah dan ketulusan kepada-Nya, sisi spiritual dari masyarakat baru ini, tercipta dengan persaudaraan yang tulus, strukturnya saling bergandengan, dan fondasinya tetap kokoh. Dengan keadilan, kesetaraan dan kerjasama, kebijakan terhadap orang luar dirumuskan, dan para pengikut agama lain, disertakan dalam perjanjian. Hasilnya, situasi menjadi stabil dan umat Islam menemukan ruang yang cukup untuk membangun kembali kekuatan mereka dan mengurus urusan mereka."

Kemudian sang sejarawan berkata, "Wahai anak muda, tanpa struktur dan sistem perilaku, bergantung pada kehendak pribadi individu yang dapat berubah, maka karya sebuah generasi dapat sepenuhnya hilang. Namun jika struktur yang kuat diciptakan, yang dapat memberi makna kepada generasi demi generasi, maka engkau dapat meyakini bahwa pondasi dasar yang melahirkan mereka akan tetap hidup dan kuat. Tantangan terbesar yang dihadapi Rasulullah (ﷺ), menyatukan orang-orang yang pernah menjadi musuh turun-temurun, tak hanya pada satu platform, tetapi menjadikan mereka saling bersaudara dan menjadikan mereka saling mencintai, sehingga mereka rela saling berkorban bahkan nyawa sebagai taruhannya, untuk melindungi seseorang yang dulunya, musuh mereka. Inilah tantangan yang takkan dilakukan oleh siapapun selain Rasulullah (ﷺ). dan dengan demikian inilah sebuah bukti sifat Ilahi dari Kenabian Rasulullah (ﷺ). Akhirnya, tiada tantangan yang dapat dicapai tanpa pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Bagi orang-orang yang terbiasa berpikir dalam hal kesukuan, warna kulit, dan garis keturunan, serta ingin lebih dominan terhadap yang lain, apa campurannya, perekat yang akan mengikat mereka terlepas dari segala perbedaan ras dan suku? Di sinilah kekuatan fondasi umat Islam turut berperan, dan Islam akan menjadi kekuatan yang merekatkan.
Seseorang menjadi saudara yang lain, bukan karena suku, keturunan, atau warna kulitnya, melainkan karena apa yang ia bawa dalam qalbunya - sebuah keyakinan bahwa tiada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah, dan bahwa Muhammad (ﷺ) adalah rasul dan utusan-Nya yang terakhir. Keyakinan inilah yang menyatukan, tak hanya suku Arab dengan suku Arab lainnya, namun juga bangsa Arab dengan yang bukan-Arab, antara hitam, putih, merah dan kuning, di seluruh dunia. Semua ini mungkin kelihatan aneh saat ini, karena kita tampaknya telah kehilangan semuanya dan kembali ke zaman gelap Jahiliyyah sebelum diperkenalkannya Islam, diskriminasi dan pemikiran kesukuan, tetapi Allah mempersaksikan bahwa mukjizat Rasulullah (ﷺ) ini benar-benar terjadi. Wallahu a'lam."
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, 'Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam qalbu kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang'.” - [QS.59:10]
Rujukan :
- Muhammad Al-Ghazali, Fiqh-us-Seerah, IIFSO
- Mirza Yawar Baig, Leadership Lesson from the Life of Rasoolullah (ﷺ), Standard Bearer Academy.

Selasa, 06 November 2018

Pelajaran dari Sirah : Tak Bersedia Mengkompromikan Pesannya

Sang politisi berkata, "Wahai anak muda, bagi seorang pemimpin, hal yang terpenting, membedakan diri dengan yang lain berdasarkan pesan yang dibawanya. Jika sang pemimpin mengkompromikan pesannya demi popularitas, perolehan materi, pengikut atau apapun, keunikan pesan itu akan hilang serta akan kehilangan nilainya sebagai standar yang jelas, sebagai panutan. Ini tentu saja tak mudah dilakukan, karena ada banyak tekanan sosial dan tekanan lainnya, sesuai norma-norma dan adat-istiadat yang ada. Tampil berbeda, terutama saat menentang sistem yang ada, tidaklah mudah, namun itulah kriteria penting yang membedakan sang pemimpin.
Ketika kaum Quraisy menggunakan cara mencibir dan mencemooh, berharap bahwa metode itu akan menjatuhkan mental kaum Muslimin, sehingga mereka akan lari-bersembunyi karena merasa malu dan segera kembali ke agama leluhur mereka, namun harapan itu, mengecewakan. Tak seorang Muslimpun yang meninggalkan kebenaran yang telah dirahmati Allah kepadanya; kenyatannya, umat Islam terus bertambah. Metode cemoohan tak berhasil menghalangi siapapun dari jalan Allah atau menyimpangkan ciri-cirinya; hal ini bahkan memperkuat keyakinan kaum Muslim bahwa penyembahan berhala itu, tak mengandung apapun kecuali aib dan cela, sehingga harus dicabut dari masyarakat. Apa yang dapat dihasilkan oleh ejekan orang bebal terhadap orang terpelajar? Allah berfirman,
"Dan mulailah ia (Nuh) membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Ia (Nuh) berkata, 'Jika kamu mengejek kami, maka kelak kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami). Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan (siapa) yang akan ditimpa azab yang kekal'.” - [QS.11:38-39]
Orang Quraisy berusaha menggunakan strategi lain, yang berisi daya pikat dan ancaman. Mereka mengutus kepada Baginda Nabi (ﷺ), menawarkan segala hal duniawi yang diinginkannya, dan mereka mengirim kepada pamannya, yang melindunginya, peringatan tentang akibat melindungi beliau dan mendesaknya agar membungkam Baginda Nabi (ﷺ), agar tak membahayakan diri dan keluarganya. Kaum Quraisy mengirim 'Utbah bin Rabi‘ah, orang yang kalem dan tenang, ia menemui Baginda Nabi (ﷺ) dan berkata, "Wahai keponakan, engkau tahu dimana posisimu berada di antara kami karena leluhurmu. Namun, engkau telah membawa masalah yang rawan kepada kaummu dan menghancurkan komunitas mereka. Jadi, dengarkan aku, dan aku akan menawarkanmu beberapa alternatif; mungkin engkau dapat menerimanya. Jika, dengan urusan ini, engkau ingin mendapatkan kekayaan, kami akan mengumpulkannya untukmu, dari milik sendiri, sehingga engkau akan menjadi orang yang paling kaya diantara kami. Jika engkau menginginkan jabatan, kami akan menjadikanmu pemimpin kami dan takkan pernah memutuskan urusan apapun tanpa berunding denganmu. Jika engkau ingin menjadi raja, kami akan menjadikanmu raja kami. Dan jika engkau kerasukan roh jahat yang tak dapat engkau lepaskan, kami akan mencari tabib terbaik dan menghabiskan semua yang kami miliki untuk menyembuhkanmu."
Setelah itu, Baginda Nabi (ﷺ) membacakan kepadanya ayat-ayat pembuka Surat Al-Fussilat,
"Haa Mim. (Al-Qur'an ini) diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan, bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya) serta tidak mendengarkan. Dan mereka berkata, “Hati kami sudah tertutup dari apa yang engkau seru kami kepadanya dan telinga kami sudah tersumbat, dan di antara kami dan engkau ada dinding, karena itu lakukanlah (sesuai kehendakmu), sesungguhnya kami akan melakukan (sesuai kehendak kami).” Katakanlah (Muhammad), “Aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu tetaplah kamu (beribadah) kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Dan celakalah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka ingkar terhadap kehidupan akhirat." - [QS.[41:1-7]
Beliau terus membaca sampai ayat 13, yang menyebutkan,
"Jika mereka berpaling maka katakanlah, 'Aku telah memperingatkan kamu akan (bencana) petir seperti petir yang menimpa kaum ’Ad dan kaum Tsamud'.”
Baginda Nabi (ﷺ) memilih ayat-ayat wahyu yang mulia agar lawan bicaranya dapat mengetahui realitas dari pesan dan utusan Sang Pencipta. Baginda Nabi (ﷺ) membawa sebuah Kitab Mulia dari Sang Pencipta kepada ciptaan-Nya, yang menuntunnya menjauh dari kesalahan dan menyelamatkannya dari kehancuran. Beliau, di hadapan semua orang, bertanggung jawab untuk meyakininya, menindaklanjutinya dan tunduk pada semua perintahnya. Karena itu, ketika Allah menuntut para hamba-Nya agar mereka menapaki jalan yang benar menuju jalan-Nya dan memohon ampunan-Nya, Baginda Nabi (ﷺ) yang menerapkannya terlebih dahulu terhadap dirinya, agar tetap istiqamah dan memohon ampunan, tanpa mencari kekuasaan, kekayaan atau status. Allah telah memberikan semua ini kepada beliau, dan beliau telah meninggalkannya, tak mau menyentuhnya. Sebagai gantinya, beliau mewakafkan segala yang ada padanya. Beliau menghabiskan segunung kekayaan di jalan Allah dan ketika beliau meninggalkan kehidupan duniawi ini, beliau tak memiliki sedirhampun untuk diwariskan kepada keturunannya.
‘Utbah, atas nama kaum Quraisy, menginginkan agar Baginda Nabi (ﷺ) berhenti berdakwah dan menegakkan keadilan di antara umat manusia. Apa jadinya kehidupan jika seonggok batu terlepas dari bumi dan terbang melalui strata ruang untuk meminta matahari atau bintang lain berhenti memberi cahaya dan panas ke alam semesta? Permintaan yang aneh sekali! Sebaiknya, orang yang membuat permintaan seperti itu, pulang dan duduk manis. Faktanya, setelah mendengar ayat-ayat Al-Qur'an ini, pikiran aktif Utbah mulai bergerak. Ia mendengarkan ancaman itu dan terenyuh. ‘Utbah meletakkan tangannya ke samping dan pergi seolah-olah petir menyambarnya. Ia kembali dengan cepat ke kaum Quraisy dan mendesak mereka agar tak mengusik Baginda Nabi (ﷺ).

Adapun delegasi Quraisy yang menemui Abu Thalib, mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, keponakanmu telah mengutuk tuhan-tuhan kami dan mengkritik agama kami; ia telah meremehkan berhala-berhala kami dan menuduh leluhur kami telah sesat. Kami minta engkau menjaga jarak antara ia dengan kami, biarkan kami yang berurusan dengannya; engkau salah seorang diantara kami, karena engkau tak setuju dengan pandangannya.” Abu Thalib berbicara dengan baik kepada mereka dan menolak saran mereka dengan sopan. Maka merekapun pergi, dan Baginda Nabi (ﷺ) melanjutkan dakwahnya. Seketika, hubungan antara beliau dan mereka mencapai tingkat nadir sehingga beliau menjadi pusat pembicaraan dan fitnah orang Quraisy. Sekali lagi, mereka menemui Abu Thalib dan berkata, “Abu Thalib, kami menghormatimu karena usiamu dan kemuliaanmu di antara kami. Kami telah memintamu agar menahan keponakanmu, namun engkau tak melakukannya. Demi Allah, kami takkan memberi ampun bagi siapa saja yang mengutuk para tuhan dan leluhur kami, serta meremehkan kebiasaan kami. Jadi, laranglah ia berdakwah atau kami akan melawan dirimu dan dirinya, sampai salah satu dari kita yang binasa." Kemudian mereka meninggalkannya.
Abu Thalib merasa sangat khawatir akan ditinggalkan oleh kaumnya dan sikap permusuhan mereka terhadapnya. Namun demikian, ia tak merasa nyaman menyerahkan Baginda Nabi (ﷺ) kepada mereka. Maka ia berpesan kepada Baginda Nabi (ﷺ), menyampaikan apa yang dikatakan orang Quraisy, dan ia mendesak, "Jaga dirimu dan diriku, dan jangan membebaniku dengan sesuatu yang tak sanggup kutanggung." Baginda Nabi (ﷺ) mengira bahwa pamannya telah berubah pikiran, menarik perlindungan darinya dan tak berdaya membelanya. Maka beliau berkata, "Wahai paman, demi Allah, walau mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini sampai Allah menyebabkan kemenangan atau aku mati dalam upaya menunaikannya, aku takkan menyerah."
Baginda Nabi (ﷺ) kemudian menangis dan berdiri. Namun, sang paman memanggilnya kembali dan berkata, "Pergilah, keponakanku, dan lakukan apapun yang engkau inginkan. Karena Allah takkan pernah menyerahkanmu untuk apapun." Ia juga membaca bait puisi ini, "Demi Allah, mereka takkan pernah menyentuhmu seberapapun banyaknya mereka sampai aku terkubur dan terkunci di dalam bumi. ” Demikianlah, daya-pikat dan ancaman gagal menghentikan dakwah.
Orang-orang Quraisy menyadari bahwa target mereka, jauh dari jangkauan, maka mereka kembali ke cara lama, mencurahkan kemarahan mereka kepada orang-orang beriman dan menghabiskan tenaga menyiksa dan berusaha memurtadkan mereka. Baginda Nabi (ﷺ) sangat sedih atas nasib-malang yang menimpa para sahabatnya, sementara ia tak dapat menghentikan mereka. Beliau mendekati mereka yang memberinya dukungan dan takut jika mereka tetap tinggal di Mekah, lalu diputuskan, mereka berhijrah ke Abissinia. Ini terjadi pada tahun kelima setelah kenabian, atau dua tahun setelah beliau secara terbuka menyatakan pesannya.
Sekarang, mari kita lihat beberapa pilihan yang tersedia bagi Rasulullah (ﷺ) ketika beliau mulai mendakwahkan pesannya. Pertama, beliau bisa menerima jabatan raja kaum Quraisy, kemudian membuat perubahan. Kedua, beliau bisa berkompromi, dan kemudian berusaha secara bertahap melakukan perubahan. Ketiga, beliau bisa mengutuk kejahatan sosial dan menjadi pembaru sosial terlebih dahulu, setelah mendapatkan dukungan, kemudian beliau bisa menyampaikan pesan teologisnya.
Namun, beliau tak memilih satupun diantara pilihan tersebut. Melainkan beliau melakukan apa yang selalu dilakukan para nabi - beliau menyatakan pesannya, secara langsung, dalam berbagai bentuk kata. Inilah salah satu dari banyak bukti petunjuk Ilahi dan teladan terbaik dari Tawakkal pada Allah, karena siapakah selain orang yang diberi petunjuk oleh Allah, yang dapat melakukan apa yang dilakukannya?

Keengganan berkompromi, adalah tema dalam seluruh hidupnya. Beliau tak mau menerima Islam Bani Tsaqif dari Ta'aif, saat mereka mensyaratkan bahwa mereka akan menerima risalahnya, mau menegakkan shalat, namun tak mau menunaikan Zakat - meskipun ia teramat-sangat membutuhkan dukungan yang pada waktu itu. Ada orang menyarankan beliau agar melunakkan pendiriannya dan mengatakan bahwa ia harus menerima Islam Bani Tsaqif, mungkin pada waktunya, mereka akan membayar Zakat. Namun, Baginda Nabi (ﷺ) menolak mengubah pendiriannya dan mengatakan bahwa orang yang memisahkan Shalat dari Zakat, bukanlah seorang Muslim. Berdasarkan keputusan inilah, Abu Bakar Siddiq, radhiyallahu 'anhu, menyatakan perang terhadap mereka yang menolak membayar Zakat sepeninggal Baginda Nabi (ﷺ). Ketika ia ditanya, alasan ia menyatakan perang terhadap Muslim yang menolak membayar Zakat, ia mengutip keputusan Baginda Nabi (ﷺ) yang mengatakan bahwa orang yang menolak membayar Zakat, bukanlah seorang Muslim.
Kerusakan terbesar pada suatu penyebab dilakukan oleh mereka yang, mungkin dengan maksud yang baik, melunak dalam menerapkan prinsip-prinsip. Ketika itu, terjadi, sifat istimewanya akan hilang dan pesan itu akan kehilangan makna.
Sikap integritas penuh ini, menonjol dalam Dakwah Nabi (ﷺ) dimana beliau tak mau berkompromi dengan pesannya, mempermudahnya atau mencairkannya dengan cara apapun untuk menyenangkan siapapun. Inilah salah satu dari banyak bukti sifat Ilahi dari pesan yang secara alami Baginda Nabi (ﷺ) ketahui dan rasakan, bahwa sebagai pembawa pesan, beliau tak berwenang merubahnya. Ada tekanan moral dan psikologis yang besar pada dirinya, agar menerima, paling tidak sebagian dari agama politeisme keluarga dan suku-sukunya, dan membaurkannya dengan tradisi dan adat mereka. Beliau menolak.
Mereka mengusahakan segala cara persuasif. Seperti yang telah disebutkan, mereka menawarkan emas, wanita, kekuasaan dan kewenangan. Mereka menawarkan menjadikannya raja. Mereka mengancamnya dengan hukuman mati. Mereka bahkan mengatakan kepadanya bahwa mereka akan bersedia menyembah Rabb-nya satu hari, jika beliau setuju menyembah tuhan mereka di hari lain. Mereka mengatakan kepadanya bahwa mereka akan menerima Pesan monoteismenya jika beliau berhenti mengatakan bahwa politeisme dan penyembahan berhala itu, keliru. Akhirnya ketika pamannya Abu Thalib, yang telah memberinya perlindungan bertanya langsung kepadanya, beliau menjawab, "Pamanku, bahkan jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku takkan menghentikan pesan ini, yang telah dibebankan ke atas pundakku.

Mari kita renungkan, apa yang kita lakukan hari ini atas nama segala macam sikap toleran dalam Islam, dimana kita memperbolehkan, melunakkan pesan, membiarkan segala macam bid'ah masuk ke dalamnya, dan melakukan apapun kecuali berbicara dengan jelas dan langsung. Tanyakan kepada dirimu sendiri, ‘Andai Baginda Nabi (ﷺ) masih hidup hari ini dan mengambil sikap yang diambilnya di Mekah, berapa banyak dari kita yang bersedia berdiri di sisinya? Hari ini kita bahkan takut mengikuti Sunnah-nya dan diakui sebagai pengikutnya. Sayang sekali! Semoga Allah menolong kita.
Bagaimanapun juga, sebuah bendera hanyalah selembar kain, jika dicuci dan dikeringkan diatas jemuran, takkan punya status istimewa. Namun ketika selembar kain itu diangkat pada tiang bendera dan dibentangkan, lalu dikibarkan oleh angin, orang memberi hormat. Bendera tak mengubah sifatnya, tetapi sekarang telah terbedakan berdasarkan sifatnya. Selama ia masih sebagai kain diatas tali jemuran, ia bukanlah sesuatu yang istimewa. Namun begitu berkibar, terlihat jelas, simbol identitas negara yang diwakilinya, ia memperoleh rasa-hormat dan penghargaan, dan diberi penghormatan.
Agar orang-orang mengikuti sang pemimpin, identitasnya, tujuan yang dipimpinnya, dan apa yang akan diperoleh pengikut setelah mengikutinya, semua harus jelas, tak ambigu, dan menginspirasi. Sebuah bendera adalah simbol, namun hanya ketika ia terbentang tinggi.
Ketika mereka yang menentang Islam melihat bahwa mereka tak dapat menghentikan dakwah para Da'i, mereka berusaha memaksanya agar memperlunak pesan itu supaya lebih 'enak' bagi mereka yang memiliki penyakit kemunafikan dalam qalbu mereka. Orang-orang yang tak berniat menundukkan keinginan mereka pada perintah Allah, namun tak keberatan pura-pura bersikap shalih dan setuju mendukung Rasululullah (ﷺ) selama ia bersedia melunak atau mengubah pesan sesuai dengan gaya hidup dan keinginan mereka. Sikap berbelanja Fatwa ini, sekarang banyak terlihat di kalangan Muslim sendiri, dimana mereka mencari orang-orang yang bersedia memutarbalikkan aturan agama agar mengizinkan mereka menuruti keinginan bathil mereka. 'Ulama' seperti itu dihormati dan dihargai. Namun mereka yang memiliki integritas untuk menegur mereka dan mengatakan kebenaran serta melarang kejahatan, difitnah, dianiaya dan ditindas."

Sang politisi menyimpulkan, "Wahai anak muda, sangatlah mudah menyiksa orang, yang tak dapat membela dirinya, dan teramatlah mudah membunuh orang, yang sudah tak berdaya. Engkau bisa saja membunuh seorang pemimpi, namun takkan bisa membunuh impiannya, dan engkau dapat membunuh seseorang, namun takkan bisa membunuh sebuah gagasan. Sangatlah penting bagi sang pemimpin agar tak tergoda dengan janji pengikut dan tak pernah mengubah, melemahkan atau memodifikasi pesannya agar sesuai dengan siapapun, dalam keinginan untuk mendapatkan pengikut. Pesannya itu, membedakannya sebagai sang pemimpin, jika ia mengkompromikan pesannya, maka ia telah kehilangan segalanya.
Seseorang yang tak punya keyakinan-diri untuk tampil-beda dan puas menjadi seekor domba dalam sebuah kawanan, sungguh tak pantas jadi pemimpin. Agar orang-orang mengikuti sang pemimpin, identitasnya, apa yang ia perjuangkan, tujuan yang ia tuju, dan apa yang akan diperoleh para pengikutnya sebagai hasil dari mengikutinya, semuanya harus jelas, tak ambigu, serta tentu, menginspirasi. Menjadi seorang pemimpin berarti mengambil keputusan sulit dan membiasakan diri dalam kesendirian. Domba banyak kawan, namun dengan mudah diterkam oleh harimau yang berjalan sendirian. Wallahu a'lam."
"Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tak termasuk orang-orang musyrik.” - [QS.12:108]
Rujukan :
- Muhammad Al-Ghazali, Fiqh-us-Seerah, IIFSO
- Mirza Yawar Baig, Leadership Lesson from the Life of Rasoolullah (ﷺ), Standard Bearer Academy.