Jumat, 02 November 2018

Pelajaran dari Sirah : Berani dan Tegar

Sang politisi melanjutkan, "Salah satu hal yang menjadi pembeda dari Baginda Nabi (ﷺ), kesediaan beliau, mempertaruhkan nyawanya sendiri. Pada titik manapun, beliau takkan pernah mengutus orang lain, melakukan apa yang beliau sendiri, tak mau lakukan. Posisi logis sang pembawa panji itu, berada di garis depan, di depan orang lain dimana ia terlihat jelas. sehingga orang lain dapat mengikuti patokannya. Secara alami, keadaan ini menempatkan pemimpin di garis depan, namun kesediaan menerima tanggungjawab inilah tanda kepemimpinan dan menginspirasi kehormatan, cinta dan kesetiaan.
Ada banyak sekali kisah dari Sirah, dimana beliau berada di garis terdepan, menghadapi potensi bahaya bahkan sebelum orang lain menyadari kehadirannya. Tak ada titik dalam hidupnya, beliau menempatkan salah seorang Sahabat dalam bahaya atau bersembunyi di belakang mereka. Perjalanan beliau ke Ta'aif adalah teladan yang baik, dimana beliau secara pribadi mengambil risiko, alih-alih mengirim orang lain. Pada kesempatan lain, dalam pertempuran Hunain melawan suku Hawazim, ketika kaum Muslimin mematahkan barisan dan mundur dalam kebingungan saat mereka tiba-tiba disergap, Abu Sufyan bin Harb, radhiyallahu 'anhu, melihat serangan itu dan berkata, 'Hanya laut yang bisa menghentikan mereka sekarang.' Artinya, mereka takkan berhenti sampai mereka mencapai pantai Laut Merah bermil-mil jauhnya. Namun dalam kebingungan dan situasi kekacauan itu, Baginda Nabi (ﷺ) terus maju, tak mau menunjukkan punggungnya kepada musuh. Para Sahabat berusaha menahannya dengan menarik kendali begal, tetapi beliau terus maju.
Beliau melihat Abdullah bin Masud, radhiyallahu 'anhu, dan memerintahkann agar ia memanggil kaum Ansar dan di antara mereka, Banu Najjar, yang merupakan pasukan khusus beliau. Dan merekapun datang dan mengelilingi beliau. Pada akhirnya, hanya sedikit lebih dari 100 orang yang berdiri bersama Baginda Nabi (ﷺ) di medan tempur dan membalikkan gelombang suku Hawazim dan memenangkan pertempuran hari itu. Allah menolong mereka, dan hanya beberapa orang inilah yang Allah sebutkan, saat Baginda Nabi (ﷺ) bersabda bahwa Allah telah menurunkan "sakinah" kepada mereka dan membantu mereka dengan pasukan yang tak terlihat. Begitulah keberanian Baginda Nabi (ﷺ), tak ada yang dapat menandinginya.

Contoh lain adalah perlakuan beliau terhadap Abdullah bin Abi Sarh, yang merupakan salah seorang dari 7 orang yang dihukum mati karena penistaan ​​agama dan menyebabkan kerusakan pada Islam dan terhadap pribadi Baginda Nabi (ﷺ) sendiri. Rasulullah (ﷺ) menjatuhkan hukuman pada mereka dan bersabda bahwa mereka akan dibunuh walau mereka ditemukan tergantung di penutup Kabah. Abdullah bin Abi Sarh meminta perlindungan Utsman bin Affan, radhiyallahu 'anhu, saudara sesusunya. Utsman membawanya menemui Baginda Nabi (ﷺ). Abdullah bin Abi Sarh berkata, "Aku datang untuk berbai'at." Baginda Nabi (ﷺ) tak menanggapi. Abdullah bin Abi Sarh mengulangi permintaannya untuk kedua kalinya. Baginda Nabi (ﷺ) tetap diam. Ketika ia mengatakannya untuk yang ketiga kalinya, Baginda Nabi (ﷺ) menerima Bai'atnya dan iapun kembali ke Islam. Ketika ia pergi, Baginda Nabi (ﷺ) bersabda kepada orang-orang yang hadir, “Tidakkah ada di antara kalian yang cukup bijak, bangkit dan membunuhnya saat kalian melihatku diam?” Kaum Ansar berkata, “Wahai Rasulullah (ﷺ), jika engkau memberi isyarat saja, kami akan membunuhnya.' Baginda Nabi (ﷺ) bersabda, 'Para Nabi tak membunuh dengan memberikan isyarat.' Abdullah bin Abi Sarh menjadi seorang Muslim yang baik dan memegang beberapa posisi otoritas yang tinggi selama Kekhalifahan Umar ibnu al-Khattab dan Utsman ibn Affan, radhiyallahu 'anhum, dan meninggal dalam keadaan sujud saat shalat Subuh.
Dalam insiden ini, Baginda Nabi (ﷺ) menunjukkan komitmen beliau pada kebenaran dan kepercayaan dimana bahkan bagi musuh terburuknyapun, beliau takkan mau melakukan apapun secara diam-diam.

Ketika beliau belum berhasil di Mekah, Baginda Nabi (ﷺ) memutuskan pergi ke Ta'aif, yang merupakan rumah Bani Tsaqif yang merupakan suku besar lainnya di Hijaz, dengan harapan bahwa mereka akan lebih mudah menerima pesannya. Bani Tsaqif dihormati sebagai salah satu suku Arab yang paling penting, sebagaimana kaum Quraisy dihormati dan mereka juga memiliki kuil dewi di kota mereka.
Mereka terbukti lebih buruk. Beliau menyampaikan pesan itu kepada para pemimpin suku Bani Tsaqif. Namun setan mulai bekerja dengan caranya saat Islam dihadirkan, sehingga Bani Tsaqif merespon dengan cara-cara yang melanggar tradisi dan etiket mereka sendiri dan mempermalukan diri mereka sendiri, bagi anak cucu mereka dalam sejarah Banu Taaqif dan orang-orang Arab. Orang-orang Arab dikenal karena kode etik kehormatan mereka, menghormati tamu. Ada banyak cerita yang dikenal dalam sejarah orang-orang Arab, terutama tentang kepala suku yang benar-benar memiskinkan diri dalam komitmen mereka menghormati tetamu. Baginda Nabi (ﷺ) bukan orang asing, tetapi orang yang dikenal dari kaum bangsawan Quraisy, dan paling pantas menerima keramahan dan kemurahan-hati mereka, bahkanpun jika mereka tak setuju dengan apa yang beliau sampaikan.
Baginda Nabi (ﷺ) pergi ke Ta'aif bersama Zaid bin Haritsa, radhiyallahu 'anhu, dan beliau berusaha menyampaikan pesan Islam kepada tiga bersaudara yang merupakan pemimpin Bani Tsaqif. Seperti yang telah kusebutkan, keramahan dan kemurahan-hati terhadap tamu adalah kode etik yang sangat dijaga di antara semua suku, terutama di kalangan orang Arab. Tentulah ada dalam benak Baginda Nabi (ﷺ) yang mengingat tradisi ini dan status beliau sendiri, para pemimpin Bani Tsaqif setidaknya akan memberinya ruang. Namun yang mengejutkannya, bukannya menyapa dengan kesopanan yang menjadi hak beliau sebagai tamu, dan karena beliaulah anggota aristokrasi suku Quraisy, Bani Hasyim, mereka melanggar setiap aturan untuk menghormati tamu dan memperlakukannya dengan mempermalukan diri mereka sendiri dan kehormatan Bani Tsaqif. Kisah mereka ditulis dengan kata-kata memalukan dalam catatan sejarah hingga akhir zaman, dan Allah menetapkan bahwa ketika Bani Tsaqif dari Ta'aif, akhirnya memeluk Islam, mereka datang sebagai orang-orang yang ditaklukkan, kehilangan seluruh harta-kekayaan mereka kepada kaum Muslimin. Allah takkan mengampuni mereka yang menyusahkan Nabi-Nya.

Baginda Nabi (ﷺ) berusaha menemui tiga bersaudara kepala suku Bani Tsaqif. Yang dua, mau bertemu dengannya, namun yang satu menolak. Yang satu berkata, “Aku akan menghancurkan Kiswatul Ka'aba jika Allah mengutusmu sebagai seorang Nabi.” Yang kedua berkata, “Tak dapatkah Allah menemukan orang yang lebih baik daripada yang diutus sebagai seorang nabi?” Yang ketiga menolak, bahkan tak mau bertemu dengan beliau, dan berkata, 'Aku tak bisa berbincang denganmu, karena jika engkau memang seorang Nabi, maka aku tak memenuhi syarat berbincang denganmu. Dan jika engkau seorang pembohong, maka mengapa aku harus berbincang denganmu?" Dalam upaya terakhir agar tak memperkeuh suasana, Baginda Nabi (ﷺ) bersabda kepada mereka, "Jika engkau tak dapat menerima pesanku, setidaknya anggaplah ini sebuah perbincangan pribadi." Namun mereka menolak dan sebagai gantinya mereka menyuruh budak-budak mereka dan yang lainnya, mengolok-ngolok Baginda Nabi (ﷺ) dan melempari dengan batu serta mengusirnya dari kota. Zaid bin Haritsa berusaha dengan sekuat tenaga, melindungi Baginda Nabi (ﷺ). Tetapi karena mereka melemparkan batu dari segala arah, keduanya terluka. Baginda Nabi (ﷺ) berdarah karena luka yang dideritanya hampir tak terbayangkan. Sungguh tragis, orang yang mereka aniaya, adalah orang yang hanya ingin menolong mereka.
Bayangkanlah adegan itu, saat seorang aristokrat Quraisy, manusia terbaik yang berjalan di muka bumi, dicerca, dilecehkan dan dihajar hanya karena ia membawa pesan bahwa tiada yang pantas disembah selain Allah.
Ingatlah bahwa Pencipta langit dan bumi menyaksikan semua ini. Namun Dia membiarkan itu terjadi agar komitmen Utusan-Nya (ﷺ) menjadi jelas bagi semua umat manusia sampai akhir zaman. Kehendak-Nya-lah bahwa Utusan inilah (ﷺ), yang terakhir dan bahwa pesan selanjutnya akan dikirim oleh para pengikutnya. Maka dari itu, perlu membentuk model komitmen yang akan menjadi mercusuar panduan bagi siapa saja yang menghadapi kesulitan yang berkaitan dengan Dakwah Islam ke dunia yang tak peduli. Tak seorangpun yang mempelajari kehidupan Baginda Nabi (ﷺ), dapat mengatakan bahwa baginya lebih sulit daripada bagi Rasulullah (ﷺ).
Itulah alasan mengapa Dia, Yang menciptakan segalanya dan Yang mengendalikan segalanya, tak melakukan apapun, untuk menghentikan sebuah batupun yang membentur Nabi-Nya, melainkan menjadi saksi yang mendukung Nabi-Nya bahwa ia tak melewatkan sebuah batupun dalam upayanya membawa pesan Islam ke depan.

Akhirnya Baginda Nabi (ﷺ) dan Zaid bin Haritsa berlindung di sebuah perkebunan, milik dua orang Mekah. Mereka melihat keadaan Baginda Nabi (ﷺ) dan mengirim budak mereka bernama Addas, seorang Nasrani, membawa buah anggur dan air untuknya. Meski mereka musuh-musuhnya, mereka memutuskan membantu untuk menghormati tradisi keramahan orang-orang Arab. Ketika Addas memberikan anggur kepada Baginda Nabi (ﷺ), beliau mengambil sebutir dan mengucapkan, "Bismillah."
Addas berkata, “Orang-orang di negeri ini tak mengucapkan kalimat itu.” Baginda Nabi (ﷺ) bersabda, “Darimana asalmu dan apa agamamu?” Addas berkata, “Aku seorang Nasrani dari Niniweh di Irak.' Baginda Nabi (ﷺ) bersabda,' Jadi, engkau berasal dari negeri seorang shalih, Yunus bin Matta, Nabi Allah.' Addas berkata,' Bagaimana engkau tahu tentang Yunus? ' Baginda Nabi (ﷺ) bersabda, 'Ia, saudaraku karena ia seorang Nabi dan aku, seorang Nabi.' Allah memberi petunjuk bagi mereka yang tulus dengan kebenaran; maka Addas membungkuk dan mencium kaki, tangan, serta kepala Baginda Nabi (ﷺ). Majikannya melihat apa yang terjadi dan berkata, ‘Lihat, betapa ia merusak semua orang? Sekarang budak kita juga mengikuti agamanya. "
Ketika Addas kembali ke majikannya, mereka bertanya mengapa ia mencium tangan dan kepala Baginda Nabi (ﷺ)? Addas berkata, ‘Tiada seorangpun di seluruh negeri ini, yang lebih baik darinya. Ia mengatakan kepadaku sesuatu yang tak seorangpun selain seorang nabi, yang dapat menyampaikannya." Mereka berkata, "Jangan biarkan ia membuatmu meninggalkan agamamu karena agamamu lebih baik daripada agamanya." Hal yang luar biasa dalam percakapan ini adalah, bahwa orang-orang menasihati Addas agar tetap dalam agama Nasrani, mereka sendiri penyembah berhala yang tak tahu apa-apa tentang agama Nasrani. Namun mereka tak ingin ia menerima Islam. Permusuhan adalah penyakit aneh, yang membutakan penderitanya terhadap segala kebajikan, hanya karena penyakit itu berasal dari orang yang mereka benci.

Bayangkanlah keadaan Baginda Nabi (ﷺ). Beliau gagal dalam upayanya menghadirkan Islam kepada orang-orang Ta'aif. Beliau kurang berhasil dengan orang-orang di Mekah. Apa yang pasti dirasakannya pada saat itu, yang merupakan kegagalan terburuk, karena ia telah diremehkan dan diserang secara pribadi? Beliau tersungkur dalam sujud dan berdoa,
"Ya Allah! Aku mengadukan kelemahanku kepada-Mu, ketidakberdayaanku dan penghinaan yang telah kualami dari manusia. Wahai Yang Maha Penyayang dari mereka yang penyayang. Wahai Rabb orang-orang yang lemah dan juga Rabb-ku. Kepada siapakah telah Engkau serahkan diriku? Kepada orang jauh yang akan menerimaku dengan permusuhan? Ataukah kepada musuhku yang telah Engkau serahkan segala urusanku? Asalkan Engkau tak marah padaku, aku tak peduli. Ridha-Mu lebih berharga bagiku. Aku berlindung kepada-Mu dengan cahaya wajah-Mu, yang menyinari segala kegelapan, dan yang memperbaiki urusan dunia dan akhirat, dari turunnya murka-Mu atasku, atau turunnya azab-Mu atasku. Kepada Engkaulah kuadukan, hingga Engkau ridha.
Tiada daya dan upaya melainkan dengan-Mu.''
Allah mendengar doa Nabi-Nya (ﷺ) dan mengutus Jibril, alaihissalam. malaikat Jibril datang bersama malaikat lain. Malaikat Jibril berkata kepada Baginda Nabi (ﷺ), "Rabb-mu telah mendengar doamu dan telah memerintahkanku membawa malaikat ini dan menempatkannya dibawah perintahmu. Perintahlah dan ia akan patuh." Malaikat itu berkata, "Ya Rasulullah. Aku adalah malaikat di pegunungan. Rabb-mu memerintahkan-ku agar patuh pada perintahmu. Perintahkanlah aku dan aku akan menyatukan dua gunung di kedua sisi lembah Ta'aif, dan semua orang yang menyiksamu akan musnah."
Baginda Nabi (ﷺ) bersabda, ‘Allah tak mengutusku untuk membunuh orang. Allah mengutusku untuk menuntun orang menuju apa yang diridhai-Nya. Harapanku pada Rabb-ku, bahwa walau orang-orang ini tak menerima pesanku hari ini, kelak keturunan merekalah yang akan menerimanya.' Begitulah Rasulullah (ﷺ), yang kebaikan dan belas-kasihnya, menjadi teladan sepanjang zaman.

Ada banyak pelajaran bagi kita dalam kisah ini selain pelajaran utama tentang komitmen. Tapi salah satu pelajaran yang kita pelajari adalah tentang pengabdian para Sahabat terhadap Baginda Nabi (ﷺ). Zaid bin Haritsa melindungi Nabi (ﷺ) dengan tubuhnya sendiri. Ia menjemput batu yang ditujukan kepada Baginda Nabi (ﷺ). Sahabat lain melakukan hal yang sama, dalam perang Badar dan Uhud, dimana mereka melindunginya dari anak-panah. Abu Talha al-Ansari, radhiyallahu 'anhu, tertembus banyak anak-panah di lengan kanannya sehingga lengannya penuh dengan anak-panah dan orang-orang yang melihatnya, kagum melihat betapa ia terus berdiri sebagai perisai hidup bagi Rasulullah (ﷺ).
Hari ini, melindungi Sunnah Rasulullah (ﷺ), sama saja dengan melindungi tubuh dan pribadi Nabi (ﷺ). Abu Muslim Al-Qaulani, rahimahullah, berkata, ‘Berpikirkah para sahabat bahwa kita akan membiarkan mereka memiliki Nabi (ﷺ) untuk diri mereka sendiri? Tidak, kita akan bersaing dengan mereka untuk mendapatkan berkah Nabi (ﷺ) dan mengambil bagian kita untuknya.' Hari ini, ketika kita melindungi Sunnah dengan mempraktikkannya, kita membela kehormatan Baginda Nabi (ﷺ) dan bersuara menentang mereka yang berusaha memperolok-olokannya, apa yang kita lakukan, mungkin tak sebesar yang dilakukan Zaid atau Abu Talha, tetapi Allah akan ridha dengan kita, jika kita mendukung Utusan-Nya dan Sunnah-nya, dan akan menghadiahi kita sesuai dengan Keagungan dan Rahmat-Nya. Sama halnya dengan meninggalkan Sunnah atau menyerang atau menyangkal pentingnya hadis, sama saja dengan menyerang diri dan tubuh Baginda Nabi (ﷺ), seperti yang dilakukan orang-orang Ta'aif. Inilah pilihan kita, dengan siapa ingin memukuli kita - para Sahabat, atau orang kafir dan munafik; dengan penduduk surga atau penduduk neraka.

Apa yang menonjol dengan jelas dalam doa tersebut, adalah bagaimana Baginda Nabi (ﷺ) berbicara tentang kelemahan beliau dan kurangnya pengaruh. Beliau tak mengutuk mereka yang menolak, menghina, dan menyiksanya. Beliau tak meminta agar diturunkan ke atas kepala-kepala mereka, murka Allah, karena menolak menerima pesannya. Beliau menghadapi kelemahannya sendiri dan memohon kepada Allah agar memberinya kekuatan. Beliau bermohon kepada Allah, bahwa asalkan Dia ridha dengannya, ia tak peduli dengan pendapat dunia. Dan jika Dia tak ridha, maka Baginda Nabi (ﷺ) akan melakukan segalanya, dengan kekuatannya untuk terus bekerja sampai Dia ridha.
Menjadi fokus sasaran saat engkau mendapat aplaus, itu mudah. Menjadi sasaran terfokus ketika engkau dikritik dan ketika engkau tak memiliki dukungan yang jelas, sangatlah sulit. Terutama ketika kritik itu mungkin berbentuk pelecehan fisik atau psikologis yang tak menyenangkan. Agar tetap berada dalam jalur yang engkau pilih dan menghadapi kegagalanmu sendiri, supaya dapat meyakinkan orang; namun pada akhirnya tak ragu akan kesuksesanmu, adalah ujian bagi sang pemimpin. Dalam kegelapan malam, saat kegelapan didalam jiwa lebih buram daripada kegelapan di luar, ketika seorang lelaki berdiri sendirian tanpa ada dukungan, saat itulah ia menyadari bahwa dukungan nyata bagi misinya, berasal dari dalam. Dan itu muncul dari hubungannya dengan Allah, dimana ia merasa benar-benar nyaman dengan membawa masalahnya, hanya kepada Dia yang dapat menyelesaikannya.

Bagi Rasulullah (ﷺ), Ta'aif bukanlah intimidasi atau kehilangan harapan dalam misinya, melainkan pembaruan tekad dan penguatan semangat. Setelah peristiwa Ta'aif, situasi semakin memburuk. Dua sumber dukungan utama yang ia miliki, pamannya, Abu Talib dan istri tercinta beliau, Sayyida Khadijah, radhiyallahu 'anha, keduanya berpulang dalam jarak waktu yang singkat. Ancaman terhadap misinya, pengikutnya dan kehidupannya sendiri semakin hari semakin parah, dan akhirnya, beliau harus meninggalkan Mekah tercinta, tempat kelahiran dan leluhurnya. Tetapi melalui semua ini, apa yang paling jelas adalah fakta bahwa beliau tak menghentikan upaya menyampaikan pesannya, walau sementara. Beliau terus bekerja tanpa henti untuk membawa pesan Tauhid kepada siapa saja yang mau mendengarkannya, dan bahkan kepada mereka yang menolak mendengarkan. Beliau tak mengurangi usaha atau kehilangan harapan.
Doa inilah, tonggak bagi siapa saja yang ingin mempelajari perilaku yang benar bagi orang yang ingin memimpin. Meskipun menderita, ia tak mengutuk mereka yang menganiaya dirinya. Sebagai gantinya, ia berkomitmen kembali pada perjanjiannya dan menyatakan bahwa ia akan terus berani menghadapi segala kesulitan dan berusaha, sampai Allah ridha ia telah menyelesaikan tugasnya. Komitmen inilah yang terus berlanjut dan tak berkurang, terlepas dari perlawanan atau kesulitan yang merupakan ciri khas pemimpin yang luar biasa. Sebaliknya, kesulitan tampaknya hanya menjadikan komitmen semakin kokoh dan kuat.
Pertentangan bukanlah bukti bahwa engkau salah, melainkan bahwa hanya engkaulah yang benar, maka engkau ditentang. Hantaman yang tak mematahkan punggungmu, hanya akan menjadikanmu lebih kuat.

Bagi seorang pemimpin, keberanian fisik dan moral adalah syarat utama. Seperti yang mereka katakan, 'Orang tak mengikuti gelar, mereka mengikuti keberanian.' Hari ini, seseorang mungkin tak perlu memasukkan jiwa orang lain ke dalam genggamannya, melainkan kesediaannya untuk membela apa yang orang itu yakini, atau mendukung pengikut seseorang dengan pertaruhan diri, adalah alat yang sangat kuat untuk membangun kesetiaan dan untuk menunjukkan komitmenmu terhadap tujuan itu. Banyak dari situasi seperti ini tak masuk akal. Oleh karenanya, penting bahwa keberanian atas keyakinannya, menjadi ciri sang pemimpin. Tantangan itu datangnya dari depan dan itu terkadang membahayakan. Namun, perlu diingat bahwa tak ada seorang pemimpinpun yang pengecut.
Orang menyimak dengan mata mereka. Mereka tak peduli apa yang engkau ucapkan sampai mereka melihat apa yang engkau lakukan. Mereka lebih condong menyaksikan apa yang engkau lakukan daripada mendengarkan apa yang engkau ucapkan. Jika mereka melihat engkau melakukan sesuatu yang berbeda dari apa yang engkau katakan kepada mereka, maka mereka akan percaya dan mengikuti tindakanmu, bukan pada perkataanmu. Dalam prosesnya, kredibilitasmu sendiri yang akan sangat terganggu. Kredibilitas berada di celah antara ucapan dan tindakan.
Baginda Nabi (ﷺ) selalu sadar akan hal ini dan menunjukkan pesannya dengan menjalankannya. Itulah sebabnya ketika seseorang bertanya kepada Ummul Mukminin, Sayyidah 'Aisya, radhiyallahu 'anha, tentang kehidupan Baginda Nabi (ﷺ), ia menjawab, “Tidakkah engkau membaca Al-Qur'an?” Maksudnya, hidup beliau adalah manifestasi pengamalan Al-Qur'an.
Ketegaran terdiri dari dua posisi yang tampak paradoks: menghadapi fakta tentang kegagalan tanpa upaya menyamarkan kenyataan; secara bersamaan, punya keyakinan mutlak dalam kesuksesan, walau ketika engkau tak dapat melihat tanda-tanda bahwa pekerjaanmu berhasil."

Sang politisi berkata, "Wahai anak muda, aku ingin menekankan pentingnya mempelajari Sirah, yang tampaknya telah kita abaikan sama sekali. Sirah adalah Tafsir hidup Al-Quran. Inilah metodologi penerapan apa yang diperintahkan Allah. Jika kita tak ingin mencari petunjuk didalamnya tentang bagaimana mengikuti perintah Allah, kemana lagi akan kita cari? Tapi sayangnya, bahkan di sekolah-sekolah agama kita, Sirah tak diajarkan sebagai mata-pelajaran tersendiri. Siswa belajar tentang kehidupan Baginda Nabi (ﷺ) dari studi Hadis dan dari keadaan wahyu (Asbabun Nuzul) Al-Qur'an, ketika mereka belajar Tafsir. Ini tak memadai. Penting mempelajari Sirah Nabi (ﷺ) karena Allah mewahyukan bahwa hidup beliau adalah teladan terbaik untuk kita ikuti, namun kita tak menganggap perlu mempelajari kehidupan yang dirahmati itu. Sekarang, seberapa logiskah itu? Wallahu a'lam."
"Sungguh, (Al-Qur'an) itu benar-benar firman pemisah (antara yang hak dan yang batil), dan (Al-Qur'an) itu bukanlah sendagurauan. Sungguh, mereka (orang kafir) merencanakan tipu daya yang jahat. Dan Aku pun membuat rencana (tipu daya) yang jitu. Karena itu berilah penangguhan kepada orang-orang kafir itu. Berilah mereka itu kesempatan untuk sementara waktu." - [QS.16:13-17]
Rujukan :
- Muhammad Al-Ghazali, Fiqh-us-Seerah, IIFSO
- Mirza Yawar Baig, Leadership Lesson from the Life of Rasoolullah (ﷺ), Standard Bearer Academy.