Senin, 12 November 2018

Pelajaran dari Sirah : Otoritas Pusat dan Pendanaan

Sang sejarawan melanjutkan, "Wahai anak muda, kita telah membicarakan tentang fondasi dasar umat Islam, inilah ideologi inti sebagai persyaratan pertama bagi sebuah gerakan universal agar tetap hidup serta tumbuh-berkembang setelah pendiriannya.
Islam menyajikan ideologi yang mengedepankan keadilan, tanggungjawab sosial, dan penggerak melawan segala bentuk penindasan. Dasar teologis diterjemahkan ke dalam perbuatan dan aturan kehidupan nyata, yang menjadi model duniawi atau kemasyarakatan. Dalam Islam, tak cukup hanya dengan percaya pada Keesaan Allah dan kenabian Rasulullah (ﷺ), ada tindakan tertentu yang hendaknya dilakukan untuk membuktikan bahwa seseorang benar-benar beriman. Yang pertama di antaranya, adalah Shalat, dan yang kedua, yang dibicarakan dengan cara yang sama, adalah Zakat, bahwa setiap Muslim yang punya sarananya, sebagaimana diatur dalam Syariah, wajib menunaikan Zakat. Yang satu tak terpisahkan dari yang lain, dan bahkan saling menguatkan. Menariknya, jika engkau membaca sejarah awal Islam, dibanding dengan keyakinan terhadap Islam itu sendiri, akan sangat jelas bahwa semua yang menentang Islam, sesungguhnya disebabkan oleh keengganan mengikuti aturan Islam, yang hampir semuanya terkait dengan kemaslahatan masyarakat, keluarga dan negara. Kecenderungan ini berlanjut hingga hari ini, dan mereka yang merasa sulit mengikuti Islam, termasuk Muslim modern, hendaknya mempertimbangkan kembali keinginan mereka, agar dapat mengidentifikasi akar dari keengganan mereka itu. Bukanlah argumen teologis itu sendiri, melainkan fakta bahwa dalam Islam, tak hanya bersifat intelektual, namun juga hendaknya ditegaskan melalui perbuatan. Jika Islam hanya masalah kepercayaan secara konseptual dalam Tauhid, tugas yang diemban Rasulullah (ﷺ) akan sangat mudah.
Ada riwayat yang menyebutkan sebuah peristiwa dimana para pemimpin Mekah menemui Rasulullah (ﷺ) dan mengatakan kepada beliau bahwa mereka mau menyembah Allah dalam satu hari, dengan syarat beliau (ﷺ) setuju menyembah tuhan-tuhan mereka di hari berikutnya. Dalam dunia sekarang, hal ini mungkin tampak seperti argumen logis, dan khalayak mungkin menyebutmu 'radikal' atau 'fundamentalis' jika engkau tak setuju dengan sikap 'masuk akal' tersebut. Namun, Rasulullah (ﷺ) tak mau menerima usulan itu, karena menerimanya, akan meniadakan seluruh pesan Dien yang diwahyukan langsung dari Allah, yang secara diametris menentang politeisme, yang telah beliau (ﷺ) dakwahkan. Inilah ujian yang harus dihadapi seorang pemimpin dan tak peduli betapapun sulitnya, menolak mengkompromikan pendiriannya demi logika apapun. Jika ia tak melakukannya, maka ia akan kehilangan kualitasnya, yang sebelumnya ditampilkan sebagai ciri-khasnya.

Persyaratan kedua bagi gerakan universal adalah otoritas pusat yang dapat menciptakan kondisi yang diperlukan untuk menyebarkan ideologi, dan penerapannya didalam masyarakat. Otoritas pusat terdiri dari tiga bagian yang berbeda, yakni, pertama, Undang-undang yang mengatur tindakan yang dibolehkan atau dilarang, dengan imbalan atau hukuman secara simultan. Hukum harus mencakup segala aspek kehidupan dan didalamnya, punya fleksibilitas yang memadai, agar dapat memenuhi situasi yang muncul, yang mungkin belum ada pada saat dimulainya ideologi. Ini kita kenal sebagai Legislatif.
Kedua, mereka yang menafsirkan Undang-undang, dan menangani segala pelanggaran, pertanyaan, dan klarifikasi. Ini kita kenal dalam istilah Yudikatif. Lembaga Yudikatif, hendaknya fasih dalam Hukum dan juga mengenali masalah kontemporer, serta bagaimana masalah-masalah itu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Hanya pada saat itulah, mereka dapat menafsirkan Hukum sedemikian rupa, sehingga hukum itu terus berlaku hingga satu masa, lalu diikuti oleh masa selanjutnya, karena adanya perubahan dalam waktu, kehidupan dan manusia.
Ketiga, Administrasi Sipil yang memastikan bahwa Hukum dipatuhi, mereka yang mematuhinya, difasilitasi, dan mereka yang melanggarnya, dihukum. Yang ini kita kenal dalam istilah Eksekutif. Eksekutif adalah lengan dari Otoritas Pusat dan memastikan bahwa intransiensi individu tidak membahayakan jalinan Ideologi Inti. Eksekutif harus memiliki kemampuan membimbing, arif, diplomasi, dan keteguhan yang kuat untuk memastikan bahwa ia menempuh jalan tengah yang sempit, antara anarki dan kediktatoran, karena kedua hal ini, akan merusak kelangsungan hidup Ideologi Inti dalam jangka panjang.

Tantangan terbesar Rasulullah (ﷺ) di Madinah, adalah mewujudkan pemerintahan yang Islami, di negeri yang pluralistik dan multi agama. Di Madinah pada masa Hijrah, terdapat dua suku Arab utama, Aws dan Khazraj, di antara warga mereka, ada yang Muslim dan non-Muslim. Ada Muhajirin yang telah berhijrah, dari Mekah dan tempat lain, ke Madinah untuk bergabung dengan Rasulullah (ﷺ) dan kaum Muslimin. Ada tiga suku Yahudi utama, Bani Nadhir, Bani Qainuqah, Bani Quraidza dan kemudian ada banyak orang musyrik dan umat islam. Karena itu, undang-undang baru perlu dibuat, yang akan mempertimbangkan hak-hak semua yang terkait, dan memastikan bahwa keadilan diberlakukan bagi semua orang. Rasulullah (ﷺ) menciptakan apa yang mungkin merupakan Konstitusi pertama negara manapun hingga saat itu.
Rasulullah (ﷺ) membuat perjanjian antara kaum Muhajirin dan penduduk Madinah. Perjanjian ini termasuk kaum Muslimin dan Yahudi, yang juga tinggal di Madinah. Perjanjian itu mengikat kedua belah pihak dan karena pelanggaran suku-suku Yahudi itu sendiri, menyebabkan mereka akhirnya diusir dari Madinah. Perjanjian ini dapat dikatakan sebagai Konstitusi Negara Islam yang didirikan oleh Rasulullah (ﷺ), dan karenanya, mungkin akan menjadi dokumen pertama dalam sejarah dunia yang memberikan hak yang sama kepada semua orang, terlepas dari keyakinan agama mereka. Islam bukanlah agama baru karena Islam adalah agama semua nabi, sejak dimulainya zaman, namun sejauh yang menyangkut masyarakat pada waktu itu, Islam dianggap baru bagi mereka dan Rasulullah (ﷺ) dianggap pendirinya. Bagi pembuat perjanjian seperti ini, bila menjadi pemimpin agama baru yang ia dirikan, sangat mengejutkan. Beliau menggagas hak yang sama bagi semua orang, baik itu mereka yang termasuk umatnya maupun yang bukan.

Kita telah menyebutkan perjanjian yang dikenal sebagai Ṣaḥīfatul Madīnah atau Konstitusi Madinah. Elemen kunci dari piagam ini adalah, pertama, pembuat undang-undang adalah sang pemimpin. Rasulullah (ﷺ) membuat dokumen untuk mengatur hubungan sosial sehingga otoritasnya ditetapkan dan beliau menjadi hakimnya. Segala perbedaan pendapat harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya (ﷺ). Satu-satunya nama yang disebutkan adalah nama Rasulullah (ﷺ). Hubungan Rasulullah (ﷺ) dengan Allah secara jelas terdefinisikan dalam hal ini dan demikian pula fakta bahwa kewenangan Rasulullah (ﷺ) berasal dari Allah, dan oleh karenanya, aturan Allah-lah yang ditegakkan. Kedua, umat Islam adalah satu komunitas, tak termasuk yang lain. Jadi identitas khas Muslim adalah bagian pentingnya. Ketiga, orang Yahudi diperlakukan sama, diperbolehkan menjalankan kewajiban agama mereka secara bebas, dan mendapat jaminan dari umat Islam. Mereka harus mendukung kaum Muslimin dan memberi nasihat dan saran. Tak ada yang boleh meninggalkan Madinah tanpa seizin Rasulullah (ﷺ), ini sama seperti bahwa engkau tak boleh meninggalkan negerimu tanpa paspor. Keempat, Madinah dijadikan Al-Haram - pusat kota Madinah dijadikan tempat perlindungan, yakni tak boleh berburu, menebang pohon, atau berperang.
Islam menciptakan institusi 'Pemimpin Konstitusional' - Khalifah yang memerintah dibawah Hukum Ilahi. Ia memerintah dengan hukum yang tak ia buat sendiri dan di bawah Hukum Ilahi, ia bertanggung jawab terhadap warganya yang paling rendah. Khalifah adalah pelayan sejati rakyat, dipilih atas dasar keshalihan, kebijaksanaan, dan kemampuan dalam bernegara. Seperti yang jelas dari sejarah Islam awal, Khalafaur Rasyidin dipilih oleh para Sahabat yang sepakat menaatinya karena rasa hormat yang mereka junjung tinggi. Kepatuhan tunduk pada ideologi.

Persyaratan ketiga bagi pergerakan universal adalah pendanaan. Secara Islami, keyakinan kita adalah bahwa Allah, dengan kekuasaan-Nya, rahmat dan kasih-sayang-Nya, menyediakan segala yang kita butuhkan, namun seseorang hendaknya melakukan upaya yang diperlukan untuk memastikan bahwa semua sarana material, telah dipergunakan, dan semua aturan material, terpenuhi. Ada banyak teladan dari kehidupan Rasulullah (ﷺ), yang menunjukkan bahwa beliau mengambil segala bentuk persiapan, perbekalan, dan melakukan segala upaya fisik, sebelum beliau mengembalikannya kepada Allah dalam shalat dan doa. Islam tak membatasi jumlah uang yang dapat dihasilkan seseorang, namun mengatur cara memperolehnya. Islam sangat berhati-hati dalam cara memperoleh kekayaan dan bagaimana membelanjakannya, bukan berapa banyak yang didapatkan.
Islam menegaskan bahwa kekayaan diperoleh dengan menggunakan cara yang adil, tanpa bentuk penipuan apapun, tanpa rente dan bunga-uang, tanpa mengeksploitasi tenaga kerja atau masyarakat. Islam menegaskan bahwa kekayaan tak boleh diperoleh dengan mengorbankan kesejahteraan orang lain dan dengan demikian, melarang penimbunan barang, terutama makanan. Islam dengan tegas menyatakan bahwa kekayaan dibelanjakan untuk kemaslahatan masyarakat, dan karenanya wajib di zakatkan, dan mendorong seseorang agar memberi lebih banyak, setelah memenuhi kewajibannya. Rasulullah (ﷺ) tak pernah melarang atau menghentikan siapapun untuk berdagang dan menghasilkan uang. dan bahkan, beliau menyampaikan bahwa Allah menempatkan 9 dari 10 bagian dari berkah itu, ke dalam perdagangan. Pada satu kesempatan, ketika harga sangat tinggi, Rasulullah (ﷺ) menolak memberlakukan pengaturan harga, dan sebaliknya, mendorong masyarakat agar berperilaku secara bertanggungjawab terhadap semua konstituen masyarakat. Islam mengikuti prinsip free-enterprise dengan tanggungjawab sosial, berdasarkan pertanggungjawaban kepada Allah, dan akhirnya memperoleh pahala atau adzab kelak di Akhirat.

Dengan prinsip inilah, bahwa agar keberhasilan setiap gerakan universal ini, penting agar ada mekanisme pengumpulan dan administrasi dana yang terpusat, yang terdiri dari struktur pengumpulan dana yang berakar pada Ideologi Inti, metode untuk mengumpulkan dana, dan sarana yang dihasilkan dari pengumpulan dan pengadministrasian dana itu. Sangat penting menaati Otoritas Pusat dan pembayaran dana yang ditempatkan ke dalam Ideologi Inti itu sendiri, sehingga 'orang beriman' secara otomatis akan dilibatkan sebagai pendukung finansial aktif dari ideologi. Dengan cara ini juga, pergerakan ini, dijamin dari jumlah dasar tertentu setiap tahun, dapat dikelola sesuai dengan prinsip-prinsipnya, untuk keuntungannya.
Islam menjadikan institusi Zakat sebagai pembayaran wajib yang hendaknya dilakukan kepada negara. Islam mengatur bahwa minimal 2,5% dari Zakat harus disetorkan ke dana bersama yang dikelola oleh negara, yang akan digunakan untuk kesejahteraan. Tujuannya ada dua. Salah satunya, agar mendorong sirkulasi uang ke dalam perekonomian. Itulah sebabnya, Zakat dapat dibayarkan tak hanya dalam bentuk dana-moneter, namun juga, dalam bentuk emas dan perak yang merupakan salah satu cara menyimpan uang. Demikian pula, Zakat dibebankan atas hasil tanaman, persediaan barang dagangan, tanah yang dibeli untuk tujuan perdagangan. Semua ini untuk memastikan bahwa mereka yang kaya, tak menumpuk uang, dan sejumlah tertentu akan selalu dimasukkan kembali ke dalam sistem.
Tujuan kedua Zakat, untuk memberikan dana yang cukup di tangan Otoritas Pusat agar dapat menggunakannya sesuai dengan rencana pembangunan keseluruhan. Zakat adalah cara pembiayaan pembangunan yang paling efektif dan jika umat Islam membayar zakat dengan cara yang sesuai; membayar penuh dan membayarnya ke dana bersama; maka takkan ada seorang Muslimpun yang miskin di dunia, sebaliknya, umat Islam akan dapat berperan besar dalam pembangunan sosial bagi orang-orang miskin lainnya di seluruh dunia. Ini akan menjadi metode Dakwah yang paling kuat, yang merupakan tujuan mendasar dari Zakat.


Tanpa adanya metode pengumpulan dan distribusi sentral, negara tak mungkin dapat melakukan pengembangan strategis. Begitu pentingnya Institusi Zakat ini, sehingga dikombinasikan dengan shalat itu sendiri, dan dinyatakan sebagai bentuk lain dari doa - doa dalam bentuk finansial. Orang-orang yang menolak membayar Zakat, dinyatakan telah keluar dari Islam itu sendiri.
Allah memerintahkan Rasulullah (ﷺ) agar mengumpulkan zakat dari umat dan menyebutnya sebagai 'penyucian' harta mereka. Gagasannya, jika zakat dikumpulkan oleh negara, maka dipergunakan untuk tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini juga telah dispefikasikan. Allah berfirman,
"Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." - [QS.9:103]
"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." - [QS.9:60]
Sang sejarawan berhenti dan berkata, "Ada satu hal yang perlu kita ingat. Sejarah takkan memberi ampun siapapun yang mengubah aturannya. Begitu juga, tak ada ampun bagi umat Islam. Saat mereka mulai mengubah kemurnian model pergerakan universal, nasib merekapun mulai berubah. Pengaruhnya menjadi semakin tak mengglobal, dan kehadiran mereka, lebih banyak terlihat dalam buku-buku sejarah daripada dalam fakta yang sebenarnya. Meskipun menyakitkan, akan menarik bila kita meneliti apa yang terjadi dan pengaruhnya terhadap Islam dan Muslim di seluruh dunia.
Ketika Islam mulai bergeser dari Semenanjung Arab dan sejalan dengan waktu, semakin jauh dari zaman Rasulullah (ﷺ), dan memasuki Mesir, Suriah, Iran dan India, maka mulailah ia mengambil pengaruh dari kaum Nasrani Qibthy, filsafat dan mitologi Yunani dan Romawi, Zorastrianisme dan Hindu. Kemurnian doktrin Tauhid - Keesaan Allah tanpa ada sekutu dan perantara, hubungan langsung antara Sang Pencipta dan sang hamba - diselimuti oleh teori penyekutuan dalam berbagai bentuk.

Karena identitas unik Tauhid telah cacat, maka Islam juga kehilangan keunikannya. Islam dan umat Islam mulai menyerupai orang-orang Hindu, Nasrani, dan lainnya dalam hal gaya hidup, ritual, kebiasaan, dan praktik-praktik mereka. Mereka berhenti menjadi pembawa standar bagi ideologi yang bersih dan murni seperti udara gurun yang menjadi saksi kejayaannya pertama kali. Ia menjadi keruh bagaikan aliran lumpur yang berkelok-kelok melalui kesuraman hutan, airnya bergerak perlahan, bahkan tak mampu membawa walau hanya selembar daun kering, dan dasarnya suram dengan tetumbuhanyang membusuk dan berlumpur.
Ketika orang tak lagi melihat keunikan Islam, mereka juga berhenti tertarik padanya. Apa yang mereka lihat, tak jauh berbeda dari apapun yang mereka yakini dan tak memiliki solusi untuk masalah yang mereka derita, bahkan seolah tak banyak yang berubah kecuali nama ritual atau berhala yang disembah.

Namun di atas semua ini, tragedi yang sebenarnya terjadi, adalah perpecahan umat. Ketika berbagai interpretasi, filosofi dan aliran sesat dimulai, umat Islam mulai bubar. Dan dengan demikian konflik menjadi lebih internal daripada eksternal terhadap syirik dan kekufuran. Para pemimpin sekte yang berbeda, saling mengipas api kebencian untuk membangun pulau-pulau kecil pendukungnya sendiri, dengan mengorbankan seluruh umat. Umat Islam mulai saling membunuh. Umat Islam menolak saling bekerja sama. Umat Islam bekerja melawan sesamanya. Ras, kebangsaan, suku, warna kulit dan sekte, semuanya menjadi lebih penting daripada Umat. Semua batas yang telah banyak dihapus oleh upaya Rasulullah (ﷺ), kembali lagi ke umat dan umat Islam berpecah-belah seperti halnya mereka yang datang sebelumnya. Dan dengan hasil yang sama, dalam hal pengaruh, kekuasaan, dan kekayaan yang hilang.
Hal pertama yang terserang dan terlemahkan adalah fondasi dasar umat atau ideologi inti. Awalnya, perubahan dari Khalifah yang semula menjadi orang pilihan, menjadi orang yang mewarisi secara turun temurun. Karena itu, Khalifah menjadi raja, meski masih disebut Amirul Mukminin. Strukturnya tetap berbentuk cangkang kosong yang di dalamnya hidup makhluk yang berbeda. Karena kompetensi tak lagi menjadi kriteria kepemimpinan, dan kepemimpinan telah menjadi turun temurun, kompetensi kemudian dilihat sebagai ancaman oleh para pemimpin yang berkuasa. Para jenderal brilian seperti Tariq bin Ziyad dan Mohammad bin Qasim ditarik dari puncak karir mereka, dan dihukum karena berhasil dalam tugas-tugas mereka. Teladan Rasulullah (ﷺ) dalam hal tak memilih kaum-kerabat beliau sendiri untuk mewarisi jubah kepemimpinannya, berakhir dengan sangat cepat setelah beliau berpulang. Akibatnya, Islam dan posisi dominasi universalnya, menderita dan secara bertahap, terus merosot.
Waktu berubah dan begitu pula perilaku Khalifah. Khalifah seperti Sayyidina Abu Bakr Siddiq dan Umar bin al Khattab, radhiyallahu 'anhum, takkan bermimpi menggunakan sepeserpun dirham dari perbendaharaan negara, untuk diri mereka sendiri. Integritas ini, berubah menjadi keadaan dimana perbendaharaan negara menjadi milik pribadi raja dan keluarganya. Mereka membangun istana dan mengumpulkan kekayaan yang sangat legendaris. Pajak dipungut bukan untuk kesejahteraan masyarakat, melainkan untuk membiayai gaya hidup raja dan kaum bangsawannya. Peperangan terjadi, bukan untuk membuka pintu dunia bagi pesan Islam, tetapi untuk mendapatkan sejengkal tanah dan kekayaan. Orang-orang yang baru masuk Islam, diharuskan membayar jizya di samping Zakat yang mereka harus bayar sebagai Muslim, karena mereka bukan dari kelas penguasa. Penguasa Muslim menjadi penyebab orang menjauh dari Islam, alih-alih menjadi fasilitator bagi orang-orang yang ingin Islam. Akhirnya pada akhir Perang Dunia ke-1, Khalifah berakhir dengan penggulingan oleh orang murtad yang dididik dan didoktrin oleh Inggris, Kamal Pasha, yang juga dikenal sebagai Ataturk."

Kemudian sang sejarawan berkata, "Wahai anak muda, seperti yang dapat kita lihat dari semua contoh tersebut; selama ketiga elemen gerakan universal bekerja dengan selaras, maka gerakan itu memiliki energi dan kemajuan. Ketika salah satu atau lebih elemen itu, cacat atau berhenti berfungsi, gerakan itu kehilangan momentum dan bahkan dapat mati sepenuhnya. Wallahu a'lam."
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." - [QS.4:59]
Rujukan :
- Muhammad Al-Ghazali, Fiqh-us-Seerah, IIFSO
- Mirza Yawar Baig, Leadership Lesson from the Life of Rasoolullah (ﷺ), Standard Bearer Academy.