Kemudian sang sejarawan berkata, "Wahai anak muda, ketahuilah bahwa umat Islam bukanlah sekelompok orang yang bertujuan hidup dengan cara apapun dan menuju ke arah manapun selagi mereka punya cukup makanan dan hiburan. Sebaliknya, umat Islam punya sebuah ideologi yang menetapkan hubungan mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang memperjelas visi atau pandangan hidup mereka, mengatur urusan internal mereka sesuai dengan pola tertentu dan mengarahkan hubungan eksternal mereka menuju tujuan yang telah pasti. Ada perbedaan besar antara seseorang yang berkata kepadamu, "Perhatianku di dunia ini hanyalah, menjalani hidupku," Sebaliknya yang lain berkata, "Jika aku tak melindungi kehormatanku, menjaga hak-hakku, mengharap ridha Allah dan mempertahankan apa yang telah ditetapkan-Nya, maka semoga kakiku takkan membawaku dan mataku takkan menuntunku."
Kaum Muhajirin pergi ke Madinah, tak meninggalkan kampung halaman mereka hanya karena kekayaan atau kekuasaan. Kaum Ansar, yang menyambut mereka, bersumpah akan melawan kaum mereka sendiri dan negeri mereka menjadi target bangsa-bangsa Arab, tak melakukannya untuk hidup dengan cara apapun karena ada peluang. Mereka semua, berkeinginan dipimpin oleh Wahyu, menggapai eridha Allah dan mewujudkan tujuan akhir, yang dengannya manusia diciptakan dan kehidupan ditegakkan. Bisakah mereka yang mengingkari Rabb mereka dan menyerah pada nafsu demi apapun melainkan makhluk tercela atau setan terkutuk?
Dari sudut pandang inilah, segera setelah Rasulullah (ﷺ) menetap di Madinah, beliau mengalihkan perhatiannya pada peletakan fondasi yang diperlukan untuk memenuhi misinya. Prioritas dasarnya adalah, pertama, hubungan umat dengan Allah; kedua, hubungan para anggota umat dengan sesamanya; dan, ketiga, hubungan umat dengan non-Muslim.
Mengenai pondasi dasar pertama, Rasulullah (ﷺ) segera membangun masjid, dimana rangkaian ibadah lslam, yang telah lama ditekankan, dapat diterapkan, dan dimana sholat dapat didirikan, mendekatkan umat lebih dekat kepada Rabb-nya dan membersihkan qalbu mereka dari pencemaran dan sketsa kehidupan duniawi. Rasulullah (ﷺ) membangun masjidnya, dimana untanya berlutut, di tanah kosong milik dua anak yatim di bawah asuhan As'ad bin Zurarah. Meskipun kedua anak lelaki itu ingin menyumbangkan tanahnya demi tujuan Allah, Rasulullah (ﷺ) mendesak agar membayarnya dengan harga penuh. Tanah ini, sebelum dikembangkan menjadi masjid, sebelumnya ditutupi dengan pohon kurma dan penyemaian, dan ada beberapa makam milik penyembah berhala.
Rasulullah (ﷺ) memerintahkan agar pohon-pohon kurma itu ditebang dan makam-makam itu harus ditiadakan. Pohon-pohon kurma ditata untuk menandai kiblat masjid, yang pada saat itu, masih mengarah ke Yerusalem. Panjang masjid dari arah-kiblatnya ke dinding belakang, 100 dzira (= 100 hasta), dan kedua sisinya kira-kira memiliki panjang yang sama. Sisi-sisinya terbuat dari batu dan fondasinya digali sedalam 3 dzira dan dibangun dari batu-bata. Rasulullah (ﷺ) dan para sahabat bergotong-royong, mengambil batu bata, menaruhnya di pundak mereka, seraya bersenandung, "Ya Allah, tiada kehidupan selain kehidupan Akhirat, maka ampunilah kaum Ansar dan Muhajirin." Para Sahabat menjadi lebih bersemangat lagi, saat mereka melihat Rasulullah (ﷺ) sendiri turut bekerja keras seperti mereka dan tak mau menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dari mereka. Salah seorang sahabat menyanyikan bait ini, "Jika kami duduk saat Rasul sedang bekerja, maka itulah perbuatan keliru diantara kami."
Masjid itu selesai dalam segala kebersahajaan; lantainya terbuat dari pasir dan kerikil, ranting-ranting pohon kurma menjadi langit-langitnya dan pilar-pilarnya dari batang-batang pohon. Mungkin saat hujan turun, lantainya akan berlumpur, dan mungkin juga hewan peliharaan bisa keluar-masuk melalui dindingnya yang terbuka.
Bangunan sederhana dan berkhidmat ini, memelihara para malaikat agar tetap berada di antara umat, merekalah para pendidik kepribadian perkasa dan bangsawan akhirat. Di masjid inilah, Allah memperkenankan Rasul-Nya (ﷺ) menguji pilihan orang-orang yang percaya padanya, dan membentuk mereka dengan disiplin-disiplin surgawi, mulai pagi hingga malam yang gelap. Status masjid dalam masyarakat Islam itu, unik. Ia, sebuah institusi. Ia, sumber bimbingan spiritual dan material, dan juga, ia, aula ibadah, madrasah ilmu dan pusat literasi sastra. Sangat melekat dengan shalat tepat waktu dan shaf para ahli ibadah, yang merupakan sikap moral dan tradisi yang membentuk esensi Islam. Namun, sekarang, para umat, yang tak mampu membangun kepribadian berdasarkan moral yang kuat, telah menghibur-diri dengan membangun masjid besar yang didalamnya berisi penyembahan kurcaci! Berbeda dengan para generasi terdahulu. Mereka menghindari menghiasi masjid, tetapi selalu mensucikan dan mendisiplinkan diri, dan mencerminkan kesejatian Islam.
Masjid tempat Rasulullah (ﷺ) membhaktikan upaya pembagunan beliau sebelum menunaikan tugas yang lain, tak sekedar berbentuk sebidang tanah dimana shalat ditegakkan. Karena kenyatannya, seluruh permukaan bumi inilah masjid, dan umat Islam tak perlu membatasi diri ke tempat tertentu untuk tujuan ibadah. Ia sebenarnya adalah simbol yang sangat penting dalam Islam. Ia adalah simbol hubungan yang mendalam antara penyembah dan Rabb mereka, yang terus diperbaharui dengan berlalunya waktu dan berulang sepanjang malam dan siang. Takkan ada nilai dalam sebuah peradaban yang melalaikan adanya Satu Illah, tak mengenal Hari Akhirat dan membaurkan yang baik dengan yang buruk. Peradaban yang dibawa Islam, terus-menerus mengingatkan para umat kepada Allah, dan pertemuan dengan-Nya mendorong kepatuhan pada kebaikan dan penolakan terhadap kejahatan, serta tetap dalam batas-batas yang ditentukan Allah.
Sangatlah menarik bahwa kalender Islam, tak dimulai dari tanggal kelahiran atau wafatnya Rasulullah (ﷺ), melainkan dihitung sejak hijrah beliau ke Madinah dengan tujuan memulai persaudaraan seiman, umat Islam, dan pembentukannya menjadi negeri yang Islami. Struktur ini penting karena mempengaruhi perilaku.
Mengenai pondasi dasar kedua, hubungan antar sesama anggota umat, Rasulullah (ﷺ) mendasarkannya pada persaudaraan yang sempurna. Inilah persaudaraan dimana tak ada istilah "aku", dan para individu bergerak dengan semangat, minat, dan harapan kelompok, tak melihat diri mereka sebagai entitas tersendiri yang terpisah darinya. Persaudaraan seiman berarti bahwa prasangka rasial jahiliyah haruslah dibubarkan; bahwa hanya untuk Islamlah para umat hendaknya menunjukkan antusiasme; bahwa segala perbedaan garis keturunan, warna dan kesukuan, seyogyanya dihilangkan; dan bahwa tak seorangpun yang akan ditempatkan di depan atau di belakang, melainkan hanya dengan keshalihannya. Rasulullah (ﷺ) menjadikan persaudaraan ini menjadi sebuah kontrak yang harus dilaksanakan, bukan sekedar kata-kata dan perbuatan, yang terkait dengan garis-keturunan dan kekayaan, juga bukan sekadar ucapan yang digumamkan oleh lidah dan tak bermakna sama sekali.
Sikap yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain, kasih-sayang dan cinta ini, bagian integral dari persaudaraan seiman, dan mengisi masyarakat baru dengan keteladan yang paling berarti. Kaum Ansar, sangat ingin menyambut saudara-saudara mereka, para Muhajirin, sehingga setiap Muhajir, banyak yang ditarik agar tinggal bersama seorang Ansar. Kaum Muhajirin menghargai pengorbanan yang tulus ini dan tak pernah menyalahgunakan atau berlebih-lebihan menggunakannya, yang memungkinkan mereka membangun diri mereka dalam transaksi-bisnis yang bebas dan bermartabat.
Rasulullah (ﷺ) sebagai kakak-tertua dari umat yang beriman ini. Beliau tak membedakan dirinya di atas mereka dengan gelar terhormat. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari otoritas Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu, Baginda (ﷺ) bersabda, “Bila aku harus memilih seseorang dari umatku sebagai teman, aku akan memilih Abu Bakar sebagai teman. Namun persaudaraan Islam itu, lebih baik."
Persaudaraan sejati takkan tumbuh dalam lingkungan yang buruk. Dimanapun bila ada ketidaktahuan, kepengecutan, kekikiran dan keserakahan, sebagai hal yang lazim, persaudaraan takkan muncul dan rasa-cinta takkan tumbuh. Andai bukan karena fakta bahwa para Sahabat dibesarkan pada kualitas yang murni dan disatukan pada prinsip-prinsip yang dapat diterima, maka dunia ini takkan mencatat bagi mereka persaudaraan yang dalam karena Allah. Cita-cita luhur yang menyatukan mereka, dan teladan cemerlang yang telah menuntun mereka ke sana, adalah dua hal yang menumbuhkan sifat-sifat kebajikan dan kehormatan di dalam diri mereka, dan tak memberikan ruang bagi munculnya kualitas-kualitas yang buruk.
Selain itu, dalam diri Rasulullah (ﷺ), terkumpul segala kebajikan yang tersebar di seluruh umat manusia, dan karenanya, beliau merupakan cerminan puncak kesempurnaan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Tak heran, jika orang-orang yang memperoleh pelatihan dari beliau dan selalu mendukungnya, adalah orang yang hidup dengan keberanian, kesetiaan dan kemurahan-hati. Cinta itu laksana mata air yang mengalir dengan sendirinya. Tak perlu mesin untuk mengekstrak airnya. Demikian pula, persaudaraan itu, tak dapat dipaksakan oleh hukum dan peraturan. Ia bisa terjadi hanya ketika orang-orang menghapuskan sikap mementingkan diri, keserakahan, dan egosentris mereka. Adanya saling persaudaraan di antara umat Islam generasi awal ini, karena mereka telah berevolusi ke tingkat yang lebih tinggi dalam segala aspek kehidupan, melalui Islam, dan telah bersaudara dengan menjadi hamba-hamba Allah. Namun, jika mereka menghamba pada diri mereka sendiri, mereka takkan membiarkan satu sama lain untuk terus hidup.
Penekanan Islam pada nilai-nilai sikap luhur dalam membangun persaudaraan ini, tak meniadakan fakta bahwa penguasa hendaknya melembagakan sistem di dalam masyarakat, sehingga masing-masing diberikan haknya dan melakukan tugasnya. Jika ia tak melakukannya dengan sukarela, maka ia wajib melakukannya. Ini mirip dengan wajib belajar, pajak, dinas militer dll.
Mengenai pondasi dasar ketiga, hubungan umat dengan non-Muslim, Rasulullah (ﷺ) melembagakan aturan hukum yang berwawasan-terbuka dan ramah, yang tak pernah dikenal sebelumnya di dunia yang penuh dengan rasisme dan prasangka. Siapapun yang beranggapan bahwa Islam adalah agama yang tak mau menerima agama lain sebagai tetangga, dan bahwa umat Islam adalah umat yang takkan pernah menemukan ketenangan kecuali mereka sendiri yang tetap dominan di dunia ini, adalah keliru, atau lebih tepatnya, bias dan lancang.
Ketika Rasulullah (ﷺ) sampai di Madinah, ia menemukan orang-orang Yahudi telah menetap di sana dan para penyembah berhala, merupakan penduduk asli tempat itu. Beliau tak memulai dengan membuat strategi apapun untuk mengusir atau mengobarkan perang terhadap orang-orang ini. Sebaliknya, beliau menerima kehadiran orang Yahudi dan penyembah berhala dengan niat yang baik, dan mengusulkan agar mereka membuat perjanjian secara setara, mereka dengan agama mereka, dan beliau dengan agama beliau.
Kita akan mengutip klausa kontrak yang beliau tutup dengan orang-orang Yahudi sebagai bukti pendirian Islam dalam masalah ini. Ibnu Ishaq meriwayatkan Shahifatul Madinah atau Piagam Madinah, juga dikenal sebagai Konstitusi Madinah, tanpa rantai perawi, klausanya menyatakan,
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha PenyayangDokumen ini mengungkapkan keinginan umat Islam saling kerjasama yang tulus dengan orang-orang Yahudi Madinah, untuk membangun perdamaian dan ketenangan di seluruh kota dan menghentikan para pemberontak atau pembuat masalah, apapun agama mereka. Jelas dinyatakan bahwa kebebasan beragama dijamin. Jadi tak ada sedikitpun pemikiran untuk menyerang kelompok manapun atau menindas orang yang lemah. Sebaliknya, kata-kata dalam dokumen ini dengan jelas menekankan bantuan kepada mereka yang tertindas, perlindungan bagi mereka yang mencari perlindungan, dan melindungi semua hak umum dan khusus. Piagam ini berisi permohon petolongan Allah untuk kebajikan dan keshalihan, dan juga memohon kepada Allah agar menjatuhkan murka-Nya kepada siapa saja yang membahayakan dan menipu orang lain.
Inilah piagam dari Muhammad Rasulullah (ﷺ), di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal dari) Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka.
Pasal 1 Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komuitas) manusia lain
Pasal 2 Kaum muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara baik dan adil di antara mukminin
Pasal 3 Banu Auf sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 4 Banu Sa’idah sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 5 Banu Al-Hars sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 6 Banu Jusyam sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 7 Banu An-Najjar sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 8 Banu ‘Amr bin ‘Awf sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 9 Banu Al-Nabit sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 10 Banu Al-‘Aws sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin
Pasal 11 Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara mereka tetapi membantunya dengan baik dalam poembayaran tebusan atau diat
Pasal 12 Seorang mukmin tidak diperbolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya tanpa persetujuan dari padanya
Pasal 13 Orang-orang mukmin yang taqwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zhalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka
Pasal 14 Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang beriman membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman
Pasal 15 Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak bergantung kepada golongan lain
Pasal 16 Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzhalimi dan ditentang olehnya
Pasal 17 Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka
Pasal 18 Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu membahu satu sama lain
Pasal 19 Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus
Pasal 20 Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman
Pasal 21 Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya
Pasal 22 Tidak dibenarkan orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan dan menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dari Allah pada hari kiamat, dan tidak diterima dari padanya penyesalan dan tebusan
Pasal 23 Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla dan (keputusan) Muhammad (ﷺ)
Pasal 24 Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan
Pasal 25 Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga
Pasal 26 Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 27 Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 28 Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 29 Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 30 Kaum Yahudi Banu Al-‘Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 31 Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 32 Kaum Yahudi Banu Jafnah dari Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 33 Kaum Yahudi Banu Syutaibah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf
Pasal 34 Sekutu-sekutu Sa’labah diperlakukan sama seperti mereka (Banu Sa’labah)
Pasal 35 Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi)
Pasal 36 Tidak seorang pun dibenarkan (untuk berperang), kecuali seizin Muhammad (ﷺ). Ia tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesunggunya Allah sangat membenarkan ketentuan ini
Pasal 37 Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi mauk muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya
Pasal 38 Kaum Yahudi memikul bersama mukiminin selama dalam peperangan
Pasal 39 Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya haram (suci) bagi warga piagam ini
Pasal 40 Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat
Pasal 41 Tidak boleh jaminan diberikan kecuali seizin ahlinya
Pasal 42 Bila terjadi suatu persitiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla, dan (keputusan) Muhammad (ﷺ). Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi piagam ini
Pasal 43 Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi pendukung mereka
Pasal 44 Mereka (pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib
Pasal 45 Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksankan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya
Pasal 46 Kaum Yahudi Al-‘Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah palingmembenarkan dan memandang baik isi piagam ini
Pasal 47 Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan bertakwa.
Kaum Muslim dan Yahudi sepakat membela Yathrib jika musuh menyerang, dan mereka memberikan hak untuk meninggalkan Madinah kepada siapa saja yang ingin pergi dan hak untuk tetap tinggal selama kesuciannya terjaga. Hendaknya dicatat bahwa, Rasulullah (ﷺ) menyebutkan dalam dokumen ini tentang perselisihan antara umat Islam dan para penyembah berhala di Mekah dan beliau mengumumkan penolakannya atas kerjasama dengan mereka dan melarang pemberian bantuan dalam bentuk apapun kepada mereka. Mungkinkah selain dari yang diharapkan dari orang-orang yang luka masih meneteskan darah dari serangan orang Quraisy dan sekutunya pada mereka?
Lalu, sungguh-sungguhkah orang-orang Yahudi itu dalam perjanjian mereka dengan perjanjian ini? Hampir dapat dipastikan bahwa mereka tak sungguh-sungguh saat menerima ketentuan perjanjian ini. Problema suatu perjanjian adalah bahwa kesetiaan kepadanya hanya berlangsung selama seseorang dapat melihat manfaat pribadi darinya. Dan ketika perjanjian itu menjadi batu sandungan dalam memenuhi ambisi pribadi seseorang, kelonggaran dan peluangnya, dicari-cari, dimana seseorang tak ingin tetap terikat olehnya. Orang-orang Yahudi biasa membangun kekuatan materi dan politik mereka atas dasar perpecahan di antara orang-orang Arab. Namun, ketika orang-orang Arab masuk ke dalam Islam, perbedaan lama mereka mulai menghilang dan waktu mulai menunjukkan bahwa Islam akan menjadikan mereka ke dalam suatu negara. Karena itu, orang-orang Yahudi mulai merasa tak nyaman. Mereka dipenuhi rasa-cemas. Mereka segera mulai bersekongkol melawan keyakinan baru ini dan berbohong seraya menunggu yang mengikutinya.
Orang-orang Yahudi di Madinah, sebenarnya mempresentasikan keadaan dimana terdapat semua religiositas formal yang memalukan dan perdagangan tercela dengan berkedok prinsip-prinsip surgawi. Karakteristik yang paling menonjol dari lingkungan semacam ini, adalah iri-hati, kemunafikan, formalitas luar tanpa pemahaman, dan suka-perselisihan. Dan di balik itu semua, ada niat yang licik dan prasangka yang buruk.
Mungkin karena kedekatan mereka dengan bangsa Arab, mereka telah memperoleh beberapa sifat-sifat utama orang gurun, seperti kemurahan-hati dan keberanian. Namun, introversi rasial mereka mendominasi karakter mereka, dan kebajikan ini melekat pada diri mereka bagai kertas-dinding yang menempel pada jalan yang retak.
Seseorang akan berharap agar orang-orang Yahudi menyambut Islam, walau jika mereka tak melakukannya, maka paling tidak, orang akan berharap agar mereka lebih tertegun merenung dibanding para penyembah berhala dalam menentangnya, karena Rasulullah (ﷺ) mengajak mereka ke arah Tauhid, bersikap jujur dan mempersiapkan kehidupan yang lebih kekal di akhirat. Agamanya yang menghargai Nabi Musa, alaihissalam, sangat menghargai risalahnya, dan mendesak orang-orang Yahudi agar melaksanakan hukum-hukumnya dan tetap dalam batas-batasnya. Orang-orang Yahudi, pada awalnya, diam sebagai orang yang ragu-ragu dan kemudian mereka memutuskan menunjukkan perlawanan secara terbuka. Rujukan akan dapat ditemukan dalam banyak ayat Al-Qur'an tentang sikap mereka.
Engkau akan terkejut menemukan bahwa orang-orang Yahudi bertingkah sama tak pantasnya dengan para penyembah berhala kepada Allah, mengabaikan hukum-hukum-Nya dan berbicara tentang-Nya dengan nada yang tak santun. Jika umat Islam menunjukkan kemarahan pada seorang yang menyekutukan seorang putra kepada Allah, baik itu manusia atau batu, lalu apa yang akan engkau katakan tentang orang yang menggambarkan Rabb langit dan bumi ini sebagai yang miskin dan kikir? Allah berfirman,
"Dan orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu, padahal kedua tangan Allah terbuka; Dia memberi rezeki sebagaimana Dia kehendaki. Dan (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu pasti akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan mereka. Dan Kami timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari Kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya. Dan mereka berusaha (menimbulkan) kerusakan di bumi. Dan Allah tak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." - [QS.5:64]
Rujukan :"Sungguh, Allah telah mendengar perkataan orang-orang (Yahudi) yang mengatakan, 'Sesungguhnya Allah itu miskin dan kami kaya.' Kami akan mencatat perkataan mereka dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa hak (alasan yang benar), dan Kami akan mengatakan (kepada mereka), “Rasakanlah olehmu azab yang membakar!" - [QS.3:181]Namun demikian, umat Islam tetap membiarkan orang-orang yang keras kepala ini, berada dalam kekeliruan mereka dan tak mencabut ketidakyakinan mereka dengan pedang. Cukuplah dengan menghadirkan pesannya, mengungkapkan kebenarannya dan mengisi ruang dengan ayat-ayat dan bukti-buktinya. Mereka yang merasa nyaman dan memasukinya, akan memperoleh manfaatnya. Jika tidak, mereka akan dibiarkan sendiri, dan umat Islam takkan meminta apapun dari mereka kecuali kesantunan dan kedamaian, serta membiarkan kebenaran terus berjalan tanpa hambatan atau keberatan. Rasulullah (ﷺ) datang ke Madinah dan mengulurkan tangannya kepada orang-orang Yahudi. Beliau menanggung segala penghinaan mereka dengan kesabaran, hingga akhirnya beliau melihat mereka bersatu untuk menghancurkan dirinya dan umatnya. Saat itulah beliau menghadapi tantangan mereka dan terjadilah sejumlah peristiwa antara beliau dan mereka.
Dari rasa takut kepada Allah dan ketulusan kepada-Nya, sisi spiritual dari masyarakat baru ini, tercipta dengan persaudaraan yang tulus, strukturnya saling bergandengan, dan fondasinya tetap kokoh. Dengan keadilan, kesetaraan dan kerjasama, kebijakan terhadap orang luar dirumuskan, dan para pengikut agama lain, disertakan dalam perjanjian. Hasilnya, situasi menjadi stabil dan umat Islam menemukan ruang yang cukup untuk membangun kembali kekuatan mereka dan mengurus urusan mereka."
Kemudian sang sejarawan berkata, "Wahai anak muda, tanpa struktur dan sistem perilaku, bergantung pada kehendak pribadi individu yang dapat berubah, maka karya sebuah generasi dapat sepenuhnya hilang. Namun jika struktur yang kuat diciptakan, yang dapat memberi makna kepada generasi demi generasi, maka engkau dapat meyakini bahwa pondasi dasar yang melahirkan mereka akan tetap hidup dan kuat. Tantangan terbesar yang dihadapi Rasulullah (ﷺ), menyatukan orang-orang yang pernah menjadi musuh turun-temurun, tak hanya pada satu platform, tetapi menjadikan mereka saling bersaudara dan menjadikan mereka saling mencintai, sehingga mereka rela saling berkorban bahkan nyawa sebagai taruhannya, untuk melindungi seseorang yang dulunya, musuh mereka. Inilah tantangan yang takkan dilakukan oleh siapapun selain Rasulullah (ﷺ). dan dengan demikian inilah sebuah bukti sifat Ilahi dari Kenabian Rasulullah (ﷺ). Akhirnya, tiada tantangan yang dapat dicapai tanpa pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Bagi orang-orang yang terbiasa berpikir dalam hal kesukuan, warna kulit, dan garis keturunan, serta ingin lebih dominan terhadap yang lain, apa campurannya, perekat yang akan mengikat mereka terlepas dari segala perbedaan ras dan suku? Di sinilah kekuatan fondasi umat Islam turut berperan, dan Islam akan menjadi kekuatan yang merekatkan.
Seseorang menjadi saudara yang lain, bukan karena suku, keturunan, atau warna kulitnya, melainkan karena apa yang ia bawa dalam qalbunya - sebuah keyakinan bahwa tiada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah, dan bahwa Muhammad (ﷺ) adalah rasul dan utusan-Nya yang terakhir. Keyakinan inilah yang menyatukan, tak hanya suku Arab dengan suku Arab lainnya, namun juga bangsa Arab dengan yang bukan-Arab, antara hitam, putih, merah dan kuning, di seluruh dunia. Semua ini mungkin kelihatan aneh saat ini, karena kita tampaknya telah kehilangan semuanya dan kembali ke zaman gelap Jahiliyyah sebelum diperkenalkannya Islam, diskriminasi dan pemikiran kesukuan, tetapi Allah mempersaksikan bahwa mukjizat Rasulullah (ﷺ) ini benar-benar terjadi. Wallahu a'lam."
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, 'Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam qalbu kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang'.” - [QS.59:10]
- Muhammad Al-Ghazali, Fiqh-us-Seerah, IIFSO
- Mirza Yawar Baig, Leadership Lesson from the Life of Rasoolullah (ﷺ), Standard Bearer Academy.