Sang politisi berkata, "Wahai anak muda, bagi seorang pemimpin, hal yang terpenting, membedakan diri dengan yang lain berdasarkan pesan yang dibawanya. Jika sang pemimpin mengkompromikan pesannya demi popularitas, perolehan materi, pengikut atau apapun, keunikan pesan itu akan hilang serta akan kehilangan nilainya sebagai standar yang jelas, sebagai panutan. Ini tentu saja tak mudah dilakukan, karena ada banyak tekanan sosial dan tekanan lainnya, sesuai norma-norma dan adat-istiadat yang ada. Tampil berbeda, terutama saat menentang sistem yang ada, tidaklah mudah, namun itulah kriteria penting yang membedakan sang pemimpin.
Ketika kaum Quraisy menggunakan cara mencibir dan mencemooh, berharap bahwa metode itu akan menjatuhkan mental kaum Muslimin, sehingga mereka akan lari-bersembunyi karena merasa malu dan segera kembali ke agama leluhur mereka, namun harapan itu, mengecewakan. Tak seorang Muslimpun yang meninggalkan kebenaran yang telah dirahmati Allah kepadanya; kenyatannya, umat Islam terus bertambah. Metode cemoohan tak berhasil menghalangi siapapun dari jalan Allah atau menyimpangkan ciri-cirinya; hal ini bahkan memperkuat keyakinan kaum Muslim bahwa penyembahan berhala itu, tak mengandung apapun kecuali aib dan cela, sehingga harus dicabut dari masyarakat. Apa yang dapat dihasilkan oleh ejekan orang bebal terhadap orang terpelajar? Allah berfirman,
"Dan mulailah ia (Nuh) membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Ia (Nuh) berkata, 'Jika kamu mengejek kami, maka kelak kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami). Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan (siapa) yang akan ditimpa azab yang kekal'.” - [QS.11:38-39]Orang Quraisy berusaha menggunakan strategi lain, yang berisi daya pikat dan ancaman. Mereka mengutus kepada Baginda Nabi (ﷺ), menawarkan segala hal duniawi yang diinginkannya, dan mereka mengirim kepada pamannya, yang melindunginya, peringatan tentang akibat melindungi beliau dan mendesaknya agar membungkam Baginda Nabi (ﷺ), agar tak membahayakan diri dan keluarganya. Kaum Quraisy mengirim 'Utbah bin Rabi‘ah, orang yang kalem dan tenang, ia menemui Baginda Nabi (ﷺ) dan berkata, "Wahai keponakan, engkau tahu dimana posisimu berada di antara kami karena leluhurmu. Namun, engkau telah membawa masalah yang rawan kepada kaummu dan menghancurkan komunitas mereka. Jadi, dengarkan aku, dan aku akan menawarkanmu beberapa alternatif; mungkin engkau dapat menerimanya. Jika, dengan urusan ini, engkau ingin mendapatkan kekayaan, kami akan mengumpulkannya untukmu, dari milik sendiri, sehingga engkau akan menjadi orang yang paling kaya diantara kami. Jika engkau menginginkan jabatan, kami akan menjadikanmu pemimpin kami dan takkan pernah memutuskan urusan apapun tanpa berunding denganmu. Jika engkau ingin menjadi raja, kami akan menjadikanmu raja kami. Dan jika engkau kerasukan roh jahat yang tak dapat engkau lepaskan, kami akan mencari tabib terbaik dan menghabiskan semua yang kami miliki untuk menyembuhkanmu."
Setelah itu, Baginda Nabi (ﷺ) membacakan kepadanya ayat-ayat pembuka Surat Al-Fussilat,
"Haa Mim. (Al-Qur'an ini) diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan, bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya) serta tidak mendengarkan. Dan mereka berkata, “Hati kami sudah tertutup dari apa yang engkau seru kami kepadanya dan telinga kami sudah tersumbat, dan di antara kami dan engkau ada dinding, karena itu lakukanlah (sesuai kehendakmu), sesungguhnya kami akan melakukan (sesuai kehendak kami).” Katakanlah (Muhammad), “Aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu tetaplah kamu (beribadah) kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Dan celakalah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka ingkar terhadap kehidupan akhirat." - [QS.[41:1-7]Beliau terus membaca sampai ayat 13, yang menyebutkan,
"Jika mereka berpaling maka katakanlah, 'Aku telah memperingatkan kamu akan (bencana) petir seperti petir yang menimpa kaum ’Ad dan kaum Tsamud'.”Baginda Nabi (ﷺ) memilih ayat-ayat wahyu yang mulia agar lawan bicaranya dapat mengetahui realitas dari pesan dan utusan Sang Pencipta. Baginda Nabi (ﷺ) membawa sebuah Kitab Mulia dari Sang Pencipta kepada ciptaan-Nya, yang menuntunnya menjauh dari kesalahan dan menyelamatkannya dari kehancuran. Beliau, di hadapan semua orang, bertanggung jawab untuk meyakininya, menindaklanjutinya dan tunduk pada semua perintahnya. Karena itu, ketika Allah menuntut para hamba-Nya agar mereka menapaki jalan yang benar menuju jalan-Nya dan memohon ampunan-Nya, Baginda Nabi (ﷺ) yang menerapkannya terlebih dahulu terhadap dirinya, agar tetap istiqamah dan memohon ampunan, tanpa mencari kekuasaan, kekayaan atau status. Allah telah memberikan semua ini kepada beliau, dan beliau telah meninggalkannya, tak mau menyentuhnya. Sebagai gantinya, beliau mewakafkan segala yang ada padanya. Beliau menghabiskan segunung kekayaan di jalan Allah dan ketika beliau meninggalkan kehidupan duniawi ini, beliau tak memiliki sedirhampun untuk diwariskan kepada keturunannya.
‘Utbah, atas nama kaum Quraisy, menginginkan agar Baginda Nabi (ﷺ) berhenti berdakwah dan menegakkan keadilan di antara umat manusia. Apa jadinya kehidupan jika seonggok batu terlepas dari bumi dan terbang melalui strata ruang untuk meminta matahari atau bintang lain berhenti memberi cahaya dan panas ke alam semesta? Permintaan yang aneh sekali! Sebaiknya, orang yang membuat permintaan seperti itu, pulang dan duduk manis. Faktanya, setelah mendengar ayat-ayat Al-Qur'an ini, pikiran aktif Utbah mulai bergerak. Ia mendengarkan ancaman itu dan terenyuh. ‘Utbah meletakkan tangannya ke samping dan pergi seolah-olah petir menyambarnya. Ia kembali dengan cepat ke kaum Quraisy dan mendesak mereka agar tak mengusik Baginda Nabi (ﷺ).
Adapun delegasi Quraisy yang menemui Abu Thalib, mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, keponakanmu telah mengutuk tuhan-tuhan kami dan mengkritik agama kami; ia telah meremehkan berhala-berhala kami dan menuduh leluhur kami telah sesat. Kami minta engkau menjaga jarak antara ia dengan kami, biarkan kami yang berurusan dengannya; engkau salah seorang diantara kami, karena engkau tak setuju dengan pandangannya.” Abu Thalib berbicara dengan baik kepada mereka dan menolak saran mereka dengan sopan. Maka merekapun pergi, dan Baginda Nabi (ﷺ) melanjutkan dakwahnya. Seketika, hubungan antara beliau dan mereka mencapai tingkat nadir sehingga beliau menjadi pusat pembicaraan dan fitnah orang Quraisy. Sekali lagi, mereka menemui Abu Thalib dan berkata, “Abu Thalib, kami menghormatimu karena usiamu dan kemuliaanmu di antara kami. Kami telah memintamu agar menahan keponakanmu, namun engkau tak melakukannya. Demi Allah, kami takkan memberi ampun bagi siapa saja yang mengutuk para tuhan dan leluhur kami, serta meremehkan kebiasaan kami. Jadi, laranglah ia berdakwah atau kami akan melawan dirimu dan dirinya, sampai salah satu dari kita yang binasa." Kemudian mereka meninggalkannya.
Abu Thalib merasa sangat khawatir akan ditinggalkan oleh kaumnya dan sikap permusuhan mereka terhadapnya. Namun demikian, ia tak merasa nyaman menyerahkan Baginda Nabi (ﷺ) kepada mereka. Maka ia berpesan kepada Baginda Nabi (ﷺ), menyampaikan apa yang dikatakan orang Quraisy, dan ia mendesak, "Jaga dirimu dan diriku, dan jangan membebaniku dengan sesuatu yang tak sanggup kutanggung." Baginda Nabi (ﷺ) mengira bahwa pamannya telah berubah pikiran, menarik perlindungan darinya dan tak berdaya membelanya. Maka beliau berkata, "Wahai paman, demi Allah, walau mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini sampai Allah menyebabkan kemenangan atau aku mati dalam upaya menunaikannya, aku takkan menyerah."
Baginda Nabi (ﷺ) kemudian menangis dan berdiri. Namun, sang paman memanggilnya kembali dan berkata, "Pergilah, keponakanku, dan lakukan apapun yang engkau inginkan. Karena Allah takkan pernah menyerahkanmu untuk apapun." Ia juga membaca bait puisi ini, "Demi Allah, mereka takkan pernah menyentuhmu seberapapun banyaknya mereka sampai aku terkubur dan terkunci di dalam bumi. ” Demikianlah, daya-pikat dan ancaman gagal menghentikan dakwah.
Orang-orang Quraisy menyadari bahwa target mereka, jauh dari jangkauan, maka mereka kembali ke cara lama, mencurahkan kemarahan mereka kepada orang-orang beriman dan menghabiskan tenaga menyiksa dan berusaha memurtadkan mereka. Baginda Nabi (ﷺ) sangat sedih atas nasib-malang yang menimpa para sahabatnya, sementara ia tak dapat menghentikan mereka. Beliau mendekati mereka yang memberinya dukungan dan takut jika mereka tetap tinggal di Mekah, lalu diputuskan, mereka berhijrah ke Abissinia. Ini terjadi pada tahun kelima setelah kenabian, atau dua tahun setelah beliau secara terbuka menyatakan pesannya.
Sekarang, mari kita lihat beberapa pilihan yang tersedia bagi Rasulullah (ﷺ) ketika beliau mulai mendakwahkan pesannya. Pertama, beliau bisa menerima jabatan raja kaum Quraisy, kemudian membuat perubahan. Kedua, beliau bisa berkompromi, dan kemudian berusaha secara bertahap melakukan perubahan. Ketiga, beliau bisa mengutuk kejahatan sosial dan menjadi pembaru sosial terlebih dahulu, setelah mendapatkan dukungan, kemudian beliau bisa menyampaikan pesan teologisnya.Rujukan :
Namun, beliau tak memilih satupun diantara pilihan tersebut. Melainkan beliau melakukan apa yang selalu dilakukan para nabi - beliau menyatakan pesannya, secara langsung, dalam berbagai bentuk kata. Inilah salah satu dari banyak bukti petunjuk Ilahi dan teladan terbaik dari Tawakkal pada Allah, karena siapakah selain orang yang diberi petunjuk oleh Allah, yang dapat melakukan apa yang dilakukannya?
Keengganan berkompromi, adalah tema dalam seluruh hidupnya. Beliau tak mau menerima Islam Bani Tsaqif dari Ta'aif, saat mereka mensyaratkan bahwa mereka akan menerima risalahnya, mau menegakkan shalat, namun tak mau menunaikan Zakat - meskipun ia teramat-sangat membutuhkan dukungan yang pada waktu itu. Ada orang menyarankan beliau agar melunakkan pendiriannya dan mengatakan bahwa ia harus menerima Islam Bani Tsaqif, mungkin pada waktunya, mereka akan membayar Zakat. Namun, Baginda Nabi (ﷺ) menolak mengubah pendiriannya dan mengatakan bahwa orang yang memisahkan Shalat dari Zakat, bukanlah seorang Muslim. Berdasarkan keputusan inilah, Abu Bakar Siddiq, radhiyallahu 'anhu, menyatakan perang terhadap mereka yang menolak membayar Zakat sepeninggal Baginda Nabi (ﷺ). Ketika ia ditanya, alasan ia menyatakan perang terhadap Muslim yang menolak membayar Zakat, ia mengutip keputusan Baginda Nabi (ﷺ) yang mengatakan bahwa orang yang menolak membayar Zakat, bukanlah seorang Muslim.
Kerusakan terbesar pada suatu penyebab dilakukan oleh mereka yang, mungkin dengan maksud yang baik, melunak dalam menerapkan prinsip-prinsip. Ketika itu, terjadi, sifat istimewanya akan hilang dan pesan itu akan kehilangan makna.
Sikap integritas penuh ini, menonjol dalam Dakwah Nabi (ﷺ) dimana beliau tak mau berkompromi dengan pesannya, mempermudahnya atau mencairkannya dengan cara apapun untuk menyenangkan siapapun. Inilah salah satu dari banyak bukti sifat Ilahi dari pesan yang secara alami Baginda Nabi (ﷺ) ketahui dan rasakan, bahwa sebagai pembawa pesan, beliau tak berwenang merubahnya. Ada tekanan moral dan psikologis yang besar pada dirinya, agar menerima, paling tidak sebagian dari agama politeisme keluarga dan suku-sukunya, dan membaurkannya dengan tradisi dan adat mereka. Beliau menolak.
Mereka mengusahakan segala cara persuasif. Seperti yang telah disebutkan, mereka menawarkan emas, wanita, kekuasaan dan kewenangan. Mereka menawarkan menjadikannya raja. Mereka mengancamnya dengan hukuman mati. Mereka bahkan mengatakan kepadanya bahwa mereka akan bersedia menyembah Rabb-nya satu hari, jika beliau setuju menyembah tuhan mereka di hari lain. Mereka mengatakan kepadanya bahwa mereka akan menerima Pesan monoteismenya jika beliau berhenti mengatakan bahwa politeisme dan penyembahan berhala itu, keliru. Akhirnya ketika pamannya Abu Thalib, yang telah memberinya perlindungan bertanya langsung kepadanya, beliau menjawab, "Pamanku, bahkan jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku takkan menghentikan pesan ini, yang telah dibebankan ke atas pundakku.
Mari kita renungkan, apa yang kita lakukan hari ini atas nama segala macam sikap toleran dalam Islam, dimana kita memperbolehkan, melunakkan pesan, membiarkan segala macam bid'ah masuk ke dalamnya, dan melakukan apapun kecuali berbicara dengan jelas dan langsung. Tanyakan kepada dirimu sendiri, ‘Andai Baginda Nabi (ﷺ) masih hidup hari ini dan mengambil sikap yang diambilnya di Mekah, berapa banyak dari kita yang bersedia berdiri di sisinya? Hari ini kita bahkan takut mengikuti Sunnah-nya dan diakui sebagai pengikutnya. Sayang sekali! Semoga Allah menolong kita.
Bagaimanapun juga, sebuah bendera hanyalah selembar kain, jika dicuci dan dikeringkan diatas jemuran, takkan punya status istimewa. Namun ketika selembar kain itu diangkat pada tiang bendera dan dibentangkan, lalu dikibarkan oleh angin, orang memberi hormat. Bendera tak mengubah sifatnya, tetapi sekarang telah terbedakan berdasarkan sifatnya. Selama ia masih sebagai kain diatas tali jemuran, ia bukanlah sesuatu yang istimewa. Namun begitu berkibar, terlihat jelas, simbol identitas negara yang diwakilinya, ia memperoleh rasa-hormat dan penghargaan, dan diberi penghormatan.
Agar orang-orang mengikuti sang pemimpin, identitasnya, tujuan yang dipimpinnya, dan apa yang akan diperoleh pengikut setelah mengikutinya, semua harus jelas, tak ambigu, dan menginspirasi. Sebuah bendera adalah simbol, namun hanya ketika ia terbentang tinggi.
Ketika mereka yang menentang Islam melihat bahwa mereka tak dapat menghentikan dakwah para Da'i, mereka berusaha memaksanya agar memperlunak pesan itu supaya lebih 'enak' bagi mereka yang memiliki penyakit kemunafikan dalam qalbu mereka. Orang-orang yang tak berniat menundukkan keinginan mereka pada perintah Allah, namun tak keberatan pura-pura bersikap shalih dan setuju mendukung Rasululullah (ﷺ) selama ia bersedia melunak atau mengubah pesan sesuai dengan gaya hidup dan keinginan mereka. Sikap berbelanja Fatwa ini, sekarang banyak terlihat di kalangan Muslim sendiri, dimana mereka mencari orang-orang yang bersedia memutarbalikkan aturan agama agar mengizinkan mereka menuruti keinginan bathil mereka. 'Ulama' seperti itu dihormati dan dihargai. Namun mereka yang memiliki integritas untuk menegur mereka dan mengatakan kebenaran serta melarang kejahatan, difitnah, dianiaya dan ditindas."
Sang politisi menyimpulkan, "Wahai anak muda, sangatlah mudah menyiksa orang, yang tak dapat membela dirinya, dan teramatlah mudah membunuh orang, yang sudah tak berdaya. Engkau bisa saja membunuh seorang pemimpi, namun takkan bisa membunuh impiannya, dan engkau dapat membunuh seseorang, namun takkan bisa membunuh sebuah gagasan. Sangatlah penting bagi sang pemimpin agar tak tergoda dengan janji pengikut dan tak pernah mengubah, melemahkan atau memodifikasi pesannya agar sesuai dengan siapapun, dalam keinginan untuk mendapatkan pengikut. Pesannya itu, membedakannya sebagai sang pemimpin, jika ia mengkompromikan pesannya, maka ia telah kehilangan segalanya.
Seseorang yang tak punya keyakinan-diri untuk tampil-beda dan puas menjadi seekor domba dalam sebuah kawanan, sungguh tak pantas jadi pemimpin. Agar orang-orang mengikuti sang pemimpin, identitasnya, apa yang ia perjuangkan, tujuan yang ia tuju, dan apa yang akan diperoleh para pengikutnya sebagai hasil dari mengikutinya, semuanya harus jelas, tak ambigu, serta tentu, menginspirasi. Menjadi seorang pemimpin berarti mengambil keputusan sulit dan membiasakan diri dalam kesendirian. Domba banyak kawan, namun dengan mudah diterkam oleh harimau yang berjalan sendirian. Wallahu a'lam."
"Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tak termasuk orang-orang musyrik.” - [QS.12:108]
- Muhammad Al-Ghazali, Fiqh-us-Seerah, IIFSO
- Mirza Yawar Baig, Leadership Lesson from the Life of Rasoolullah (ﷺ), Standard Bearer Academy.