Keutamaan Qalbu (2)
Sang elang bertanya, "Apa haknya qalbu itu?" Kucica berkata, "Haknya qalbu itu, mengetahui kebenaran. Dan, kebenaran yang tertinggi itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Qalbu diciptakan hanya untuk mengingat Allah. Allah itu, Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Menetapkan, dan Yang memulakan segala sesuatu yang muncul di dalam benak kita. Apapun ilmu yang dipahami qalbu itu, ada di antara tanda-tanda Allah, yang sangat jelas, di bumi dan langit-Nya. Reka-cipta atau penemuan manusia, sebenarnya sesuatu yang disingkap oleh Allah. Apapun ilmu sejati yang dipelajari manusia, adalah apa yang Allah tunjukkan dan perkenankan agar dapat dipelajari. Ilmu sesat itu, berasal dari Setan. Namun, tanpa seizin Allah, ilmu inipun tak dapat dipelajari. "
Sang elang bertanya, "Jenis ingatan yang manakah, yang merupakan makanan yang baik bagi qalbu?" Kucaci berkata, "Banyak orang sering mengartikan dzikir (mengingat Allah) itu, dalam arti yang sangat sempit: 'mengulang-ulang ucapan tertentu, dalam jumlah yang tertentu.' Namun, dzikir itu sebenarnya, dzikir qalbu dan mengingat Allah dengan sesadar-sadarnya, yang hendaknya menyertai setiap perbuatan dan ucapan orang yang beriman. Sa'id bin Jubair berkata, "Dzikir adalah ketaatan kepada Allah. Sesiapa yang menaati Allah, sebenarnya ia mengingat-Nya. Siapapun yang tak menaati-Nya, bukanlah orang yang mengingat-Nya, walaupun ia bertasbih, dan banyak membaca Al-Qur'an.” Ibnu Taimiyyah menyatakan, "Setiap pernyataan yang dilontarkan lidah dan terkandung dalam qalbu, yang mendekatkan seseorang kepada Allah, termasuk mempelajari ilmu, mengajarkannya, mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran, adalah bentuk dzikrullah.
Mengingat Allah yang seperti ini, adalah makanan qalbu, sedangkan bentuk dzikir formal - dimana seseorang mengingat Allah dengan ucapan-ucapan tertentu, di waktu tertentu, sebagaimana ditentukan oleh sunnah - membantu dan mengembangkan dzikir qalbu yang benar. Lebih jauh lagi, karena dzikir adalah makanan qalbu, qalbu yang kurang makanan itu, qalbu yang mati. Oleh karenanya, Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabb-nya dan orang yang tak mengingat Rabb-nya, ibarat yang mati dan yang hidup.” [HR Bukhari dan Muslim]
Seorang bijak Suriah, yang di masa lalu, berkata, "Mengingat Allah dalam hubungannya dengan qalbu, seperti makanan yang diperlukan oleh tubuh. Maka, karena tubuh tak dapat menemukan kepuasan dalam makanan ketika sakit, demikian juga qalbu tak dapat menemukan lezatnya mengingat Allah karena jatuh cinta pada materi dunia ini," atau sesuatu yang seperti itu.
Ketika seseorang melekatkan-diri dengan materi dunia ini, mengejar dan bersenang-senang dengannya, maka kelekatan ini akan menempati sebagian besar qalbu, yang sebenarnya diciptakan untuk melekatkan-diri kepada Allah. Karenanya, hal tersebut mengalihkan perhatian seseorang dari tujuan yang lebih tinggi, yakni untuk mencapai kedekatan dengan Allah, kebenaran, dan surga. Inilah mengapa Allah memperingatkan kita dengan firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” [QS Al-Munaafiqoon(63):9]
Allah juga berfirman,
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
“Bermegah-megahan telah melalaikanmu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” [QS. at-Takaathur(102):1-2]
Meskipun umat Islam yakin akan fakta bahwa dunia ini akan binasa, banyak yang belum menginternalisasi kenyataan ini dan mengimplikasikannya di dalam qalbu mereka. Mereka malah disibukkan dengan keinginan dan tujuan duniawi mereka, tak sadar betapa kecilnya dunia ini. Suatu kali, Rasulullah (ﷺ) melewati seekor kambing mati yang bertelinga sangat kecil, atau mungkin telinganya terpotong. Rasulullah (ﷺ) mengambilnya dan bertanya kepada para sahabat, "Siapakah di antara kalian yang ingin membeli ini dengan satu dirham?" Mereka berkata, “Kami tak menginginkannya. Untuk apa kami menggunakannya? ” Beliau bersabda, "Adakah diantara kalian yang ingin memilikinya secara percuma?" Mereka menjawab, “Demi Allah, jika ia hidup saja, kami menganggap kambing itu cacat, karena telinganya kecil, apalagi jika ia sudah mati? " Rasulullah (ﷺ) kemudian bersabda kepada mereka, “Demi Allah, dunia ini lebih tak berarti bagi Allah dari pada kambing mati ini, dibanding dengan kalian.” [HR Muslim). Menyadari hal ini, akan membantu kita menerapkan sabda Rasulullah (ﷺ), “Hiduplah di dunia ini ibarat seorang musafir atau pelancong.”
Lebih jauh lagi, terlepas dari upaya seseorang mencari kepuasan dunia ini, upaya inipun tak memastikan bahwa ia akan mencapai apa yang dicarinya. Kenyataannya, orang yang melepaskan dirinya dari kesenangan hidup ini, akan mendapat pahala dunia, kepuasan batin dan kemudahan dalam urusannya. Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Barangsiapa menjadikan dunia ini sebagai tujuan utamanya, maka Allah akan menghambur-hamburkan urusan baginya, Dia akan meletakkan kemiskinan di depan matanya, dan tiada yang akan datang kepadanya dari dunia ini kecuali apa yang telah ditulis untuknya. Tetapi bagi siapa yang menjadikan akhirat tujuannya, maka Allah akan merangkumkan urusannya baginya, Dia akan meletakkan kekayaan di dalam qalbunya, dan dunia akan datang kepadanya, tunduk dan patuh.” Jika qalbu disibukkan dengan mengingat Allah, tahu akan kebenaran, dan merenungkan ilmu, maka qalbu akan berada di tempat yang benar, sama seperti mata ketika digunakan untuk melihat sesuatu berada di tempat yang benar. Yang dimaksud dengan "tempat yang benar" berarti digunakan sebagaimana mestinya. Artinya, tidak disalahgunakan. Di sisi lain, jika tak digunakan untuk ilmu dan bukan untuk mengetahui kebenaran, ia melupakan Rabb-nya dan tak berada di tempatnya. Sebaliknya, ia hilang. Tentunya, tempatnya yang benar adalah kebenaran, dan segala sesuatu selain kebenaran, adalah sesat. Ketika kebenaran ditinggalkan, yang tersisa hanyalah kebathilan dan kesesatan. Oleh karenanya, jika tak berada dalam kebenaran, tiada yang tersisa untuknya kecuali kepalsuan.
Qalbu itu sendiri, tak menerima apapun kecuali kebenaran. Jadi, jika apa yang bertentangan dengan kebenaran, dimasukkan ke dalamnya, qalbu takkan mau menerima apa yang tak dicipta untuknya. Inilah Sunnatullah, dan engkau takkan pernah menemukan perubahan dalam Sunnatullah. Meskipun demikian, qalbu tak pernah dibiarkan sendiri tanpa pengawasan, karena akan selalu berada di lembah pemikiran dan alam aspirasi. Ia takkan pernah berada dalam keadaan kosong dan dibiarkan seperti mata dan telinga. Ia mungkin berada di tempat yang salah, dikekang atau disingkirkan, dimana sebenarnya ia tak punya tempat.
Sungguh menakjubkan bahwa keadaan ini hanya menjadi nyata bagi seseorang ketika ia kembali kepada kebenaran, baik dalam kehidupan ini, ketika ia bertobat, atau ketika ia berakhir di kehidupan berikutnya. Ia akan melihat keburukan dari keadaan dimana ia berada dan seberapa jauh qalbunya tersesat dari kebenaran, jika ia digunakan dalam kesesatan. Di sisi lain, jika qalbu dtempatkan dalam keadaan dimana ia diciptakan, terbebas dari refleksi apapun dan terlepas dari pikiran apapun, ia akan menerima ilmu, terbebas dari kebodohan, dan melihat kebenaran dengan jelas, kemudian beriman kepada Rabb-nya dan kembali bertobat kepada-Nya.
Setiap orang bertanggung jawab akan iman kepada Allah dan pada Hari Kiamat. Setiap manusia memiliki keyakinan kepada Allah, yang tertanam di dalam jiwanya dan Allah menunjukkan kepada setiap penyembah berhala, selama hidupnya, tanda-tanda bahwa berhala itu, bukanlah Allah. Karenanya, setiap manusia yang berakal-sehat, dituntut beriman kepada Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa tanpa sekutu. Namun, Allah melalui rahmat dan berkah-Nya, menerima alasan mereka yang tak membawa risalah ini bersama dengan mereka yang tak mampu memahami risalah ini, karena ketidakmampuan fisik yang ditakdirkan.
Setiap anak lahir dalam fitrahnya. Inilah Sunnatullah di mana Dia menciptakan manusia. Takkan ada perubahan dalam ciptaan Allah. Inilah agama yang benar. Namun, dalam kebanyakan situasi, jiwa ini, disibukkan dengan godaan dunia dan kebutuhan fisiknya, sehingga hasratnya, menghalangi qalbu dari kebenaran. Ibnu al-Qayyim menjelaskan bahwa hasrat menyebabkan keinginan dan tujuan seseorang terdistorsi atau hancur. Cita-cita dan hasratnya menjadi hal-hal yang tak bermanfaat. Hal ini menyebabkan seseorang terlalu memanjakan diri dalam kehidupan duniawi ini karena ia tak memiliki kepastian tentang realitas akhirat. Hal yang berbahaya tentang hasrat adalah bahwa hal itu dapat mempengaruhi seseorang setelah ia memperoleh ilmu, suatu keadaan yang biasanya lebih sulit untuk disembuhkan dibanding kebodohan. Lebih jauh lagi,hasrat itu sangat banyak ragamnya, sehingga seseorang harus berusaha mengendalikan semuanya. Ada nafsu seksual, hasrat akan kekuasaan atau prestise, hasrat akan pujian atau dikagumi karena kecantikan, kekayaan, status, dan bahkan keshalihan atau ilmu pengetahuan, dll. Seseorang bisa menjadi budak hasratnya, sehingga ia melihat kebenaran menurut hasratnya itu. Al-Qurtubi mengutip ucapan Ibnu Mas'ud, "Engkau hidup di masa dimana hasrat dikendalikan oleh kebenaran. Namun, akan tiba saatnya masa dimana kebenaran dibentuk oleh hasrat. Kita berlindung kepada Allah di masa-masa seperti itu. " Dalam esainya, Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, tentang seseorang yang diperbudak oleh hasratnya, “Jika seseorang mencapai apa yang diinginkannya, ia puas dan jika ia tak dapat mencapainya, ia tak puas. Orang seperti ini, hamba (abdi) dari hal-hal yang diinginkannya. Ia adalah budak hasratnya, karena hamba dan penghambaan sejati adalah hamba dan penghambaan qalbu."
Dalam keadaan ini, ia ibarat mata yang menatap ke arah permukaan tanah. Dalam keadaan seperti ini, mustahil baginya melihat bulan sabit, atau bahkan meliriknya. Pernyataan ini dari perumpamaan Al-Qur'an sebagai berikut,
اَفَمَنۡ یَّمۡشِیۡ مُکِبًّا عَلٰی وَجۡہِہٖۤ اَہۡدٰۤی اَمَّنۡ یَّمۡشِیۡ سَوِیًّا عَلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ
“Orang yang merangkak dengan wajah tertelungkupkah, yang lebih terpimpin (dalam kebenaran), ataukah, orang yang berjalan tegak di atas jalan yang lurus?” [QS Al-Mulk (67): 22]
Atau, ia bisa juga condong ke arah kebenaran, namun hasrat dan kebutuhan materi menghalangi qalbunya mengikuti kebenaran itu, dan hal ini, bagaikan mata yang ada kotoran di dalamnya, yang menghalanginya melihat sesuatu. Hasrat dan keinginan dapat mengganggu sebelum qalbu dapat mempelajari kebenaran dan menghalanginya dari merenungkannya. Dengan demikian, kebenaran takkan menjadi jelas baginya, seperti ungkapan, ''Cintamu pada sesuatu, membutakan dan menulikan." Seseorang yang jatuh cinta, seringkali tak dapat melihat kesalahan orang yang ia cintai. Prinsip cinta yang membutakan berlaku bagi apapun yang membuat manusia tergila-gila atau ketagihan.
Maka, qalbu akan tetap berada dalam pikiran yang kelam. Hal ini seringkali disebabkan oleh kesombongan, yang mencegahnya mencari kebenaran. Allah berfirman,
اِلٰـہُکُمۡ اِلٰہٌ وَّاحِدٌ ۚ فَالَّذِیۡنَ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡاٰخِرَۃِ قُلُوۡبُہُمۡ مُّنۡکِرَۃٌ وَّ ہُمۡ مُّسۡتَکۡبِرُوۡنَ
"Tuhanmu, adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang yang tak beriman kepada akhirat, qalbu mereka mengingkari (keesaan Allah), dan merekalah orang yang sombong." [QS. An-Nahl (16):22]
Hasrat dan keinginan, juga bisa menentang qalbu setelah qalbu mengenal kebenaran sehingga menyebabkan ia menyangkal lagi kebenaran itu, dan berpaling darinya, seperti yang difirmankan Allah,
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ
"Akan Ku-palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku), orang-orang yang menyombongkan diri di bumi, tanpa alasan yang benar. Kalaupun mereka melihat setiap tanda (kekuasaan-Ku), mereka tetap takkan beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak (akan) menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya. Yang demikian itu, karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lengah terhadapnya." [QS Al-A'raaf (7):146]
Contoh klasik dari prinsip ini, dari zaman Nabi (ﷺ) adalah Umayyah bin Abis-Salt, Rasulullah (ﷺ) bersabda tentangnya, "Umayyah bin Abis Salt hampir memeluk Islam." [Shahih Al-Bukhari dan Muslim].
Umayyah berasal dari suku Thaqif di Taif, dan termasuk di antara mereka yang mencari agama yang benar dan membaca Kitab Suci. Dikatakan bahwa ia termasuk di antara mereka yang memeluk Nasrani. Ia sering menyebut Tauhid dan Hari Kiamat dalam puisi-puisinya. Dari hasil penelitiannya dalam Kitab Suci, ia menyampaikan kepada Abu Sufyan bahwa tiba saatnya bagi seorang nabi muncul di antara orang Arab dan ia berharap bahwa nabi itu, dirinya sendiri. Namun, penelitiannya menunjukkan bahwa nabi tersebut berasal dari keturunan 'Abdul Manaf. Segera setelah itu, Muhammad (ﷺ) muncul, dan Umayyah memberitahu Abu Sufyaan bahwa dialah nabi itu. Saat Abu Sufyan bertanya, “Bukankah kita harus mengikutinya?” Ia menjawab, “Aku merasa malu di hadapan para wanita suku Thaqih, karena aku pernah mengatakan kepada mereka bahwa akulah orangnya. Haruskah aku menjadi pengikut anak lelaki bani ‘Abdul Manaaf?”
At-Tabarani bin Mandah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa al-Fari'ah binti Abis-Salt, saudara perempuan Umayyah, kemudian mendatangi Rasulullah (ﷺ) dan membacakan beberapa puisi Umayyah dan beliau bersabda, "Syair-syairnya beriman, akan tetapi, qalbunya tak beriman."
Syarid berkata, "Suatu hari ketika, aku berada di belakang Rasulullah (ﷺ) pada tunggangan yang sama, beliau bertanya kepadaku, "Ingatkah engkau akan puisi Umayyah bin Abis-Salt? " Aku menjawab, "Ya." Beliau berkata, "Bacakanlah." Maka aku melafalkan beberapa bait dan beliau berkata, "Lanjutkan." Lalu aku melafalkan bait lainnya dan beliau bersabda, "Tambah lagi," sampai aku melafalkan seratus bait. Beliau berkomentar, "Ia hampir menjadi seorang Muslim dalam syair-syairnya" [Sahih Muslim]
Ia hidup sampai Perang Badar dan membuat puisi untuk orang-orang kafir yang meninggal selama itu. Umayyah meninggal setelah itu, berakhir dalam keadaan kafir, pada tahun ke-9 Hijriyah. Abul-Faraj al-Asfahani, meriwayatkan kata-kata terakhirnya di ranjang kematiannya, “Aku tahu bahwa hanafiyyah itu benar. Tapi keraguan menyelimutiku tentang Muhammad (ﷺ). "
[Bagian 3]
[Bagian 1]
English