Kucica melanjutkan, "Qalbu itu, dibandingkan dengan ilmu, ibarat cangkir dengan air, atau kendi dengan madu, atau sebuah lembah dengan limpahan hujan. Qalbu memuat ilmu Allah, dan tingkat keyakinannya sesuai dengan berapa banyak keraguan yang ada. Adapun keragu-raguan, perbuatan baik takkan bermanfaat selama keraguan itu masih ada. Di sisi lain, Allah menganugerahkan manfaat kepada orang-orang yang yakin."
Beberapa salaf berkata, "Qalbu itu, wadah-wadah Allah di bumi-Nya. Yang paling dicintai Allah, yang paling peka dan suci." Wadah Allah berarti "wadah yang diciptakan Allah", dan bukan "wadah yang berisi Allah."
Jadi, jika qalbu itu, peka dan lembut, ia dengan mudah menerima ilmu, dan kemudian ilmu itu berakar kuat di dalamnya dan qalbu merasakannya. Di sisi lain, jika qalbu itu, keras dan kasar, akan sulit menerima ilmu.
Bersamaan dengan itu, qalbu hendaknya suci dan sehat, agar ilmu dapat tumbuh dan menghasilkan buah yang baik di dalamnya. Sebaliknya, jika ia menerima ilmu, dan di dalamnya terdapat selut dan najis, ia akan merusak ilmu tersebut dan menjadi gulma dalam tanaman. Walau mungkin tak menghalanginya bertunas, setidaknya gulma itu akan menghambat pertumbuhan dan pembungaan tanaman itu. Maksud ini akan jelas bagi mereka yang merenungkannya.
Jika qalbu digunakan untuk mengenali kebenaran, ia memiliki akan dua sisi, pertama, sisi yang cepat menuju kebenaran, yakni qalbu yang lembut dan peka, dan akibatnya, ia mengikuti pada kebenaran. Dari sudut pandang ini, qalbu disebut sebagai bejana dan wadah, karena penamaan ini merujuk pada apa yang dikandungnya dan diletakkan di dalamnya.
Kedua, sisi yang menjauh dari kepalsuan. Dari perspektif ini, qalbu disebut suci, sehat dan bersih. Karena penyebutan ini menyimpulkan tiadanya keburukan dan tiadanya najis dan selut. Al-Hasan al-Basri pernah berkata kepada seseorang, "Sembuhkanlah hatimu, karena Allah menginginkan hamba-hamba-Nya membersihkan qalbu mereka." Qalbu itu, tak bisa dibersihkan hingga seseorang mengenal Allah, memuja-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, berharap hanya kepada-Nya dan mempercayai-Nya, dan qalbunya dipenuhi dengan ciri-ciri ini. Inilah realisasi sesungguhnya dari pernyataan “Laa ilaaha illallaah.” “Qalbu yang sehat” itu, salah satu kriteria kesuksesan di kehidupan selanjutnya ”.
Elang bertanya, “Apa penyebab utama yang menyebabkan qalbu mengeras?” Kucica berkata, “Pertama, mengabaikan tanda-tanda Allah. Qalbu manusia mengeras setiap kali mereka mengabaikan tanda-tanda Allah. Tanda-tanda Allah itu, petunjuk bagi seseorang. Akibatnya, ketika tanda-tanda itu dengan sengaja dan terus-menerus diabaikan, qalbu mengeras terhadapnya dan tak ada pengaruhnya. Tanda-tanda Allah ada di sekitar dirinya, dan bahkan, di dalam diri orang itu sendiri. Sebelum, selama, dan setelah seseorang berbuat dosa, berbagai sinyal peringatan berbunyi seperti alarm. Sebelum melakukan dosa, hati-nurani bawaan mengenali dosa tersebut, sehingga calon pendosa dapat menghentikan dirinya sendiri sebelum niat itu menjadi perbuatan. Ilmu inilah, tentang kesadaran untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang diilhamkan Allah di setiap qalbu manusia. Kemudian, jika orang yang berpotensi berdosa itu berjalan dengan lesu mengabaikan hati-nuraninya, malaikat yang ditugaskan kepada setiap orang, menasihatinya, agar tak melanjutkan niatnya itu. Setelah tanda-tanda spiritual itu, Allah kemudian mengirimkan serangkaian tanda fisik untuk menghalangi calon pendosa itu. Tanda-tanda fisik bisa berupa, nasihat orang lain, panggilan telepon, ban kempes, dll. Tanda-tanda ini memberi kesempatan kepada calon pendosa itu agar menimbang kembali apa yang akan ia lakukan. Jika ia membatalkan niat-jahatnya, ia beroleh pahala dari Allah bagi dirinya sendiri. Bahkanpun saat benar-benar ia melakukan dosa, tanda-tanda lebih lanjut dikirim agar pendosa itu berhenti sebelum menyelesaikan perbuatannya. Dan setelah berbuat dosa pun, tanda-tanda lain dikirim lagi untuk mendorong pendosa itu agar segera bertobat. Ketika tanda-tanda ini terus-menerus diabaikan, qalbu melebarkan cangkangnya, yang secara efektif menutupinya dari tanda-tanda itu, dan dari pengaruh tanda-tanda itu.
Kedua, melanggar Perjanjian dengan Allah. Yang disebut "Perjanjian" disini, mengacu pada shalat, zakat, kepercayaan pada para nabi, menghormati, mematuhi dan membantu mereka. Dalam masalah shalat, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Perjanjian antara kita dan mereka itu, shalat, sesiapa yang meninggalkannya, menjadi kafirlah ia." Mereka yang hanya shalat pada hari Jum'at atau selama bulan Ramadhan saja, telah melanggar perjanjian dan pertalian dengan Allah. Akibatnya, shalat yang diwajiibkan, takkan memiliki efek yang ditujukan untuk mencegah perbuatan dosa, seperti yang difirmankan Allah, "Seseungguhnya, sholat yang diwajibkan itu, mencegah dari ucapan kotor dan perbuatan buruk." Qalbu yang setiap hari berbuat dosa karena mengabaikan shalat, menjadi ibarat fosil dan tak dapat ditembus oleh efek spiritualnya. Alhasil, ibadah dan ucapan doa, hanya akan menjadi kebiasaan ritual yang dilakukan untuk segala alasan kecuali untuk berkomunikasi dengan Allah dan menggapai ridha-Nya. Demikian pula, ketaatan kepada para nabi merupakan elemen penting dari perjanjian keimanan dengan Allah.
Ketiga, mengabaikan cobaan. Allah menurunkan cobaan untuk menguatkan orang-orang yang beriman, atau untuk mengingatkan mereka yang telah tersesat agar kembali ke jalan yang lurus, dan juga bagi orang-orang kafir agar menemukan agama yang benar dari Allah, atau sebagai hukuman bagi orang-orang munafik dan mereka yang tak dapat memperoleh manfaat dari peringatan tersebut.
Cobaan-cobaan itu, terkadang berfungsi sebagai pengingat yang menghukum bagi mereka yang tersesat dan dorongan bagi mereka agar kembali ke jalan yang benar. Ketika seseorang menyimpang, ia jarang mendengarkan nasehat orang di sekitarnya. Namun, ketika bencana menimpa mereka atau orang-orang yang dekat dan mereka sayangi, hal itu akan mengguncang mereka yang masih memiliki keyakinan untuk menyadari kesalahan mereka.
Bencana juga akan menimpa orang-orang yang mengaku beriman secara keliru, serta menunjukkan orang-orang yang tak beriman bahwa mereka memilih neraka dengan kehendak bebas mereka sendiri. Ada beberapa kasus orang memeluk agama Islam karena alasan yang salah, dan, setelah menemukan lebih banyak kesulitan dalam hidup mereka dibanding sebelum mereka pindah agama, kembali lagi kepada keyakinan sebelumnya.
Mereka yang berbuat zhalim, mengekspos diri mereka pada hukuman di kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya. Didalam Al-Qur'an, Allah menjelaskan banyak bangsa di masa lalu, yang mengingkari petunjuk Allah dan kemudian dihancurkan. Kisah-kisah ini menjadi peringatan bagi umat manusia tentang akibat melawan perintah Allah. Cobaan-cobaan, akan menyebabkan mereka yang tulus tentang kehidupan, menjadi rendah hati, merenungkan keadaan mereka dan memperbaiki kesalahan mereka. Namun, jika cobaan itu terus-menerus diabaikan, qalbu yang sombong dan angkuh akan tersuntik menentang petunjuk dan kukuh pendiriannya melawan kebenaran.
Keempat, kezhaliman. Bentuk kezhaliman terbesar adalah syirik. Orang yang terbiasa mengajak orang lain kepada selain Allah dan merasa kebutuhannya terpenuhi, akan mengalami kesulitan besar melepaskan perbuatan ini. Qalbunya menjadi keras terhadap pesan para nabi, yakni hanya menyembah Allah. Untuk melindungi penyembahan berhala, Setan telah menyiapkan banyak argumen yang menjadi ujian bagi orang kafir dan orang beriman.
Kelima, dzikir yang tak berpengaruh. Mereka yang, ketika diingatkan akan Allah dan perintah-Nya, berpaling, dan mencemooh dan mencaci orang-orang yang mengingatkan mereka, qalbu mereka telah mengeras mengingat Allah. Berbagai kewajiban agama yang diwajibkan, sesungguhnya agar membuat manusia tetap ingat akan Allah, dan untuk membantu mereka membuat pilihan yang tepat dalam hidup. Demikian pula, seluruh amal-shalih, sebenarnya suatu bentuk dzikrullah, karena Dialah yang menuntun manusia untuk melakukannya, melalui nabi dan rasul-Nya.
Keenam, berulangkali berbuat dosa, sepanjang waktu. Rasulullah (ﷺ) memperingatkan agar tidak meremehkan dosa kecil dengan bersabda, “Waspadalah terhadap dosa yang remeh.” Ketika seseorang terbiasa mengabaikan dosa-dosa kecil, qalbunya semakin mengeras terhadap dosa secara umum dan dosa besar, kemudian akan mudah baginya berbuat dosa. Dengan mewaspadai dosa sekecil apapun dan secara hati-hati menghindarinya, orang beriman ini akan sangat terlindungi dari dosa besar.
Di sisi lain, jika seseorang tak berupaya secara sadar untuk menghidupkan kembali imannya dan merenungkan tindakannya, bahkan ibadah yang suci dan tulus, dapat memburuk, bahkan menjadi ritual buta seiring berjalannya waktu. Ada perkataan yang berbunyi, "Kebiasaan akan melahirkan kenistaan." Benak kita akan beralih ke mode otomatis dan tubuh bekerja sesuai dengan perintah, sedangkan qalbu telah mati."
Rujukan :
- Dr. Abu Ameenah Bilal Philips, Commentary on Ibn Taymiyyah's Essay on the Heart, Dakwah Corner Bookstore (M) SDN BHD
- Dr. Abu Ameenah Bilal Philips, Commentary on Ibn Taymiyyah's Essay on the Heart, Dakwah Corner Bookstore (M) SDN BHD