Kucica berkata, "Wahai saudara-saudariku, kita telah mendengar dari sang elang bagaimana intelek, yang bahasa Arabnya, Aql, bekerja. Ketahuilah bahwa Allah menciptakan setiap bagian dari tubuh manusia untuk tujuan dan fungsi tertentu. Dengan demikian, tangan diciptakan untuk menggenggam dan memegang, kaki untuk berjalan, lidah untuk mengartikulasikan ucapan, mulut untuk makan, hidung untuk mencium, kulit untuk merasa, demikian pula, fungsi anggota tubuh lain serta organ dalam dan luar. Jika seseorang menggunakan tubuhnya itu sesuai dengan penggunaannya dan sesuai tujuan perancangannya, maka itulah kebenaran dan keadilan yang jelas, yang sejalan dengan ditegakkannya langit dan bumi. Lebih jauh lagi, hal itu akan lebih baik dan bermanfaat bagi anggota tubuh dan pemiliknya, serta bagi fungsi penggunaannya. Orang itu, sesungguhnya dalam keadaan shalih dan orang-orang sepertinya termasuk orang yang telah mendapat petunjuk yang benar dari Rabb mereka, serta merekalah yang akan sukses.
Jika anggota badan tak dipergunakan dengan cara yang pantas, dan sebaliknya, disia-siakan, maka akan merugi dan tertipulah pemiliknya. "Cara yang pantas" itu, cara yang diridhai Allah; cara yang sesuai dengan perintah Ilahi, yang juga dikenal sebagai Syari‘ah. Jadi, jika anggota tubuh kita dipergunakan bertentangan dengan tujuan penciptaannya, akan membawa pada kesesatan dan kehancuran, dan pemiliknya termasuk di antara mereka yang telah menukar rahmat Allah dengan kekufuran.
Nakhoda dari seluruh anggota tubuh dan kepala, adalah hati, yang biasa sebut "qalbu." Hati disebut qalbu, karena qalbulah esensi dari apa yang terkandung dalam tubuh, dan esensi dari segala sesuatu itu, hatinya. Ibnu Taimiyyah berkata, "Sesungguhnya, Allah menciptakan qalbu manusia agar mereka mengetahui segala sesuatu, sama seperti Dia menciptakan mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar."
Diriwayatkan An-Nu'man bin Bashir, bahwa ia mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda,
Allah telah menempatkan dalam qalbu, pemberi peringatan bagi masing-masing kita, bila kita mulai mendekati kejahatan. Ini terbukti dari hadits yang tercatat dalam Musnad Ahmad, bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Allah membuat suatu perumpamaan, jalan yang lurus, pada kedua sisi jalan yang lurus terdapat dua buah tembok, yang pada kedua tembok itu terdapat banyak pintu yang terbuka dalam keadaan tertutup oleh penutup yang dijuraikan. Pada pintu jalan terdapat juru penyeru yang mengatakan. ‘Wahai manusia, marilah kalian semua masuki jalan yang lurus ini, dan janganlah kalian bercerai berai!’ Dan ada juru penyeru lagi dari atas jalan itu: maka apabila seseorang hendak membuka salah satu dari pintu-pintu itu, juru seru tersebut berkata.”Celakalah kamu. jangan kamu buka. Jika kamu membukanya, kamu pasti memasukinya (yakni neraka).’ ‘Jalan tersebut adalah perumpamaan agama Islam, sedangkan kedua tembok itu perumpamaan batasan-batasan Allah, dan pintu-pintu yang terbuka itu perumpamaan hal-hal yang diharamkan Allah. Juru penyeru yang ada di pintu jalan adalah perumpamaan Kitabullah, sedangkan juru penyeru yang dari atas jalan adalah nasihat Allah yang ada di dalam qalbu setiap muslim’.”إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ"Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tak diketahui orang banyak. Maka sesiapa yang takut terhadap syubhat berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan sesiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang memasukinya, maka lambat laun ia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika ia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa ia adalah qalbu." - [HR. Bukhari dan Muslim]
Pemberi peringatan ini terkadang disebut sebagai hati-nurani. Jika peringatannya diperhatikan dengan seksama, pikiran dan tindakan orang tersebut meningkat, dan sang pemberi peringatan, pada gilirannya menjadi lebih kuat. Jika pemberi peringatan diabaikan, pikiran dan tindakan seseorang akan menjadi semakin rusak dan sinyal pemberi peringatan semakin melemah, hingga tak lagi dapat lagi dirasakan. Keadaan ini disebut oleh Allah sebagai kebutaan. Dalam banyak kejadian, terlepas dari kelemahannya, sinyal-sinyal peringatan ini, tak pernah padam, karena jika hal itu terjadi, pemilik qalbu semacam itu, takkan pernah mau bertobat. Allah, dengan rahmat-Nya yang tertinggi, telah menjadikan sinyal-sinyal itu terus ada sehingga, meski seseorang menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan melakukan kejahatan, namun bisa berubah total pada saat-saat terakhir hidupnya dan mati di antara orang-orang beriman.
Ibnu Hajar mengulas tentang penekanan Rasulullah (ﷺ) terhadap qalbu itu dengan mengatakan, “Beliau menetapkan qalbu seperti itu, karena qalbu itu, yang memimpin sebuah tubuh; ketika pemimpinnya baik, para pengikutnya menjadi baik, dan ketika ia rusak, demikian pula para pengikutnya. Pernyataan ini berisi catatan tentang pentingnya qalbu, dorongan untuk memperbaruinya, dan petunjuk bahwa penghasilan yang halal, berpengaruh terhadapnya. Tujuannya adalah memahami bahwa Allah telah menempatkan di dalamnya.
Hal itu juga digunakan untuk membuktikan bahwa Aql, atau akal, bersemayam di dalam qalbu. Allah berfirman,
Dan Allah juga berfirman,اَفَلَمۡ یَسِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَتَکُوۡنَ لَہُمۡ قُلُوۡبٌ یَّعۡقِلُوۡنَ بِہَاۤ اَوۡ اٰذَانٌ یَّسۡمَعُوۡنَ بِہَا ۚ فَاِنَّہَا لَا تَعۡمَی الۡاَبۡصَارُ وَ لٰکِنۡ تَعۡمَی الۡقُلُوۡبُ الَّتِیۡ فِی الصُّدُوۡرِ"Maka, tak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada." - [QS.22:46]
Para penafsir Al-Quran mengatakan hati dalam konteks itu berarti "akal" dan bahwa Dia menyebutnya sebagai hati karena disitulah tempat dimana akal berada." Ibnu Katsir mengutip murid Ibnu Abbas, Mujahid, yang mengatakan, "Itu berarti pemahaman yang baik yang ia pahami, atau pikiran yang baik."اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَذِکۡرٰی لِمَنۡ کَانَ لَہٗ قَلۡبٌ اَوۡ اَلۡقَی السَّمۡعَ وَ ہُوَ شَہِیۡدٌ"Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya." - [QS.50:37]
Karena qalbu diciptakan untuk mengenal segala sesuatu, ia menuntut sesuatu dari keinginan akan ilmu, keadaan ini disebut pemikiran dan renungan, seperti halnya telinga yang memburu kata-kata ucapan agar dapat mendengarnya, disebut mendengarkan, dan perhatian mata terhadap sesuatu yang berusaha ia lihat, disebut penglihatan. Jadi, akal dibandingkan qalbu, ibarat membandingkan mendengar terhadap telinga, dan melihat terhadap mata, dll. Jika qalbu mengetahui apa yang dipantulkan akal, maka tercapailah tujuannya, sama seperti jika telinga telah mendengar apa yang didengarnya, atau mata telah melihat apa yang dilihatnya. Namun pencapaian tujuan-tujuan ini, tidak otomatis, meski kita cenderung abaikan begitu saja. Masing-masing dari semua itu, sebenarnya salah satu dari banyak berkah dari anugerah Allah.
Para filsuf mencari tujuan hidup, para ilmuwan mencari asal usul kehidupan, dll. Banyak orang dapat membaca Al-Qur'an, tetapi hanya mereka yang takut kepada Allah dan beriman pada yang ghaib, mendirikan sholat secara teratur dan mensedekahkan harta mereka, yang mendapatkan petunjuk bimbingan darinya. Berapa banyak pemikir yang tak menemukan ilmu yang mereka cari, sama seperti banyak orang yang mencari bulan sabit, tak melihatnya, dan banyak yang mendengarkan suara tertentu, tak mendengarnya. Sebaliknya, orang yang diberi ilmu tentang sesuatu, yang tak ia renungkan atau sebelumnya tak ia miliki ilmu tentangnya, tiba-tiba melihat bulan sabit tanpa bermaksud melakukannya atau orang yang mendengar pernyataan tanpa mendengarkannya. Semua ini disebabkan oleh fakta bahwa qalbu, dengan sendirinya menerima ilmu. Masalah ini tergantung pada pemenuhan kondisi tertentu dan kesiapan organ. Hal ini dapat merupakan hasil dari tindakan manusia dan dengan demikian, menjadi apa yang diinginkan atau bisa datang sebagai pertolongan Allah dan menjadi sebuah bawaan bagi orang itu.
Ketepatan dan kebenaran yang dengannya qalbu dicipta, adalah bahwa ia memahami banyak hal. Aku tak mengatakan bahwa itu hanya sebatas mengetahui sesuatu, karena seseorang dapat mengetahui sesuatu dan tak memahaminya, ia bahkan bisa melalaikan atau menolaknya. Orang yang memahami sesuatu adalah orang yang dapat menentukan batasannya, secara akurat mendefinisikannya, menyadarinya, dan mengonfirmasinya di dalam qalbunya. Pada saat dibutuhkan, itu sudah cukup baginya, dan tindakannya sesuai dengan pernyataannya, bathiniahnya sama dengan lahiriahnya. Inilah orang yang diberikan hikmah, dan bagi siapa yang telah diberikan hikmah, telah diberikan kebaikan yang sangat banyak.
Manusia, beragam dalam hal kemampuan mereka untuk memahami sesutau, dari yang sempurna hingga yang kurang, dan dalam jumlah yang mereka pahami, dari sedikit ke banyak, dan dari yang umum ke yang khusus, dll.
Tiga organ, pendengaran, penglihatan dan emosi, adalah cara utama untuk mendapatkan ilmu dan memahaminya, memahami apa yang disukai dan tak disukai, dan membedakan mana yang berbuat baik dan mana yang melakukan kejahatan, dll. Manusia dewasa, dapat memahami atau menyimpulkan alasan tersembunyi di balik tindakannya, sedangkan hewan dan anak-anak, tidak. Misalnya, seekor sapi mungkin diberi makan secara teratur untuk digemukkan, untuk disembelih dan dikonsumsi. Relatif terhadap sapi itu, manusia yang memberinya makan, melakukan apa yang baik untuknya, namun niatnya, untuk menyembelihnya, relatif terhadap sapi itu, adalah kejahatan.
Maksudku, ilmu yang membedakan antara manusia dan hewan, di luar dari apa yang mereka berbagi, bau, rasa, dan sentuhan. Bahkan indera penciuman, rasa dan sentuhan dapat memberikan pengetahuan seperti itu ketika ditafsirkan oleh pikiran manusia. Misalnya, sesuatu mungkin berbau harum, rasanya enak dan terasa nyaman, namun berbahaya; atau berbau busuk, rasanya tak enak dan tak nyaman, namun bermanfaat. Hewan, sama seperti anak-anak, tak dapat membedakan dalam banyak keadaan apa yang sebenarnya berbahaya atau bermanfaat bagi mereka. Di sini, kita berfokus pada indera penglihatan dan pendengaran, karena inilah sumber yang paling sering digunakan mengumpulkan informasi. Dominasi mereka tercermin dalam referensi Al-Qur'an yang sering kepada mereka untuk mengesampingkan yang lain.
Allah berfirman,
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah menyebutkan rahmat-Nya kepada para hamba-Nya karena Dia mengeluarkan mereka dari rahim ibu tanpa mengetahui apa-apa, kemudian Dia memberi mereka pendengaran untuk mengenali suara, penglihatan untuk melihat segala sesuatu, dan hati - yang berarti akal - yang pemilik tempat kedudukannya, menurut pandangan yang benar, adalah qalbu, meskipun dikatakan juga bahwa tempat kedudukannya adalah otak. Dengan akal, seseorang dapat membedakan antara apa yang berbahaya dan apa yang bermanfaat. Kemampuan dan indera ini berkembang secara bertahap dalam diri manusia. Semakin ia tumbuh, semakin banyak pendengaran, penglihatan, dan kecerdasannya meningkat, sampai mencapai puncaknya. Allah telah menciptakan kacakapan-kecakapan ini pada manusia agar memungkinkan mereka menyembah Rabb mereka, sehingga mereka menggunakan segenap organ, kemampuan, dan kekuatan ini untuk mematuhi Sang Pencipta.وَ اللّٰہُ اَخۡرَجَکُمۡ مِّنۡۢ بُطُوۡنِ اُمَّہٰتِکُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ شَیۡئًا ۙ وَّ جَعَلَ لَکُمُ السَّمۡعَ وَ الۡاَبۡصَارَ وَ الۡاَفۡـِٕدَۃَ ۙ لَعَلَّکُمۡ تَشۡکُرُوۡنَ"Dan Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur." - [QS.16:78]
Al-Bukhari mencatat, Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
Dalam tafsir Ibnu Katsir, hadits ini bermakna bahwa ketika seseorang tulus dalam ketaatannya kepada Allah, segala perbuatannya dilakukan karena Allah, sehingga ia hanya mendengar karena Allah, ia hanya melihat karena Allah, artinya ia hanya melihat atau mendengar hanya pada apa yang telah dihalalkan Allah. Ia tak merengkuh atau berjalan kecuali dalam ketaatan kepada Allah, memohon pertolongan Allah dalam segala hal.إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا، فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ عَبْدِي الْمُؤْمِنِ، يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.’”
Meskipun ketiganya disebutkan bersamaan, mata lebih rendah dibandingkan qalbu dan telinga. Ia berbeda karena hanya melihat hal-hal yang ada dan berjasad saja, seperti gambar dan obyek. Di sisi lain, qalbu dan telinga memungkinkan seseorang mengetahui tentang hal-hal rohani dan teoretis yang tak terlihat dan tak berwujud. Lebih jauh lagi, bahkan keduanya berbeda, karena qalbu memahami segala sesuatu dengan sendirinya, dan ilmu adalah makanan dan keistimewaannya. Adapun telinga, hanya membawa kata-kata yang mengandung ilmu ke qalbu. Dalam dirinya sendiri, ia menangkap pernyataan dan kata-kata, dan ketika mencapai qalbu, qalbu itu mengambil darinya ilmu yang dikandungnya. Sebenarnya, hal ini berlaku bagi seluruh indera. Kelima indera adalah sumber informasi yang ditafsirkan dan ditindaklanjuti oleh akal dan qalbu.
Penguasa ilmu, pada kenyataannya, adalah qalbu. Organ dan anggota tubuh lainnya, adalah gerbang kepada siapa informasi ditujukan, yang tak dapat mereka peroleh sendiri. Ia adalah penguasa pada derajat bahwa barangsiapa yang kehilangan salah satu organ lainnya, hanya kehilangan ilmu yang disampaikan melalui organ yang hilang itu. Dengan demikian, tunarungu tak dapat memperoleh ilmu dari ucapan, dan tunanetra tak dapat memandang apa yang terkandung dalam obyek yang sangat luas. Tunanetra yang meraba permukaan piramida atau pesawat ulang-alik, tak dapat memahami latarbelakangnya dengan indera sentuhannya.
Demikian juga, siapapun yang melihat sesuatu atau mendengarkan perkataan para 'Ulama, tanpa menghadirkan hati, takkan mengerti apa-apa. Dengan demikian, poros urusan itu, qalbu.
Mereka yang telah diberi hikmah dan mendapat manfaat dari ilmu, ada di dua tingkatan. Tingkat pertama, seseorang yang melihat kebenaran dengan sendirinya, dan menerimanya dan mengikutinya, tanpa memerlukan siapapun mengajaknya. Inilah orang yang benar-benar memiliki hati. Tingkat kedua, seseorang, yang tak memahami kebenaran itu sendiri, namun membutuhkan seseorang mengajarinya, menjelaskan untuknya, menasihatinya, dan membentuknya sesuai dengannya. Inilah orang yang penuh perhatian yang "mendengarkan dengan seksama," yang berarti "ia mendengar perkataan, mendalami dan memahaminya dalam benaknya dan menangkap implikasinya, dengan inteleknya." Inilah orang yang hatinya ada dan tiada. Seperti yang dikatakan Mujahid, "Ia di anugerahi ilmu dan itulah pengingat baginya."