Iblis telah memperdaya Umat ini, dalam hal akidah, dengan menggunakan dua cara," Sang elang melanjutkan. "Yang pertama, taklid buta pada tradisi nenek moyang. Kedua, membahas secara lebih mendalam pada hal-hal yang tak dapat dipahami manusia, yang mengakibatkan banyak kebingungan atau keragu-raguan.
Adapun jalan pertama, Iblis meyakinkan orang yang taklid bahwa walau sumber atau alasan yang diikutinya itu masih meragukan, tapi kebenarannya mungkin tersembunyi, jadi yang terbaik adalah meniru orangnya. Banyak orang tersesat karena cara berpikir seperti ini. Faktanya, cara ini merupakan jalan destruktif bagi kebanyakan orang; Yahud dan Nasara meniru nenek-moyang dan cendekiawan mereka, dan begitu pula orang-orang Jahiliyyah. Dan hendaklah diketahui bahwa alasan yang sama yang mereka gunakan untuk mendukung taklid dapat digunakan untuk membantahnya - padahal jika sumber atau alasannya masih membingungkan dan kebenarannya masih sumir, hendaknya dijadikan suatu keharusan agar tak mengikutinya, karena dengan mengikutinya, akan mengarah pada kesesatan.
Allah menyampaikan kepada kita kisah tentang sahabat-Nya, Nabi Ibrahim, alaihissalam, dan bagaimana sebelumnya Dia menganugerahkan kepada Nabi Ibrahim petunjuk yang benar, dan Dia telah memberinya petunjuk sejak usia dini. Dia mengilhamkan padanya kebenaran dan bukti terhadap kaumnya. Allah berfirman,
maksudnya, Ibrahim bertanya, apa bukti yang kamu sembah dengan sangat taat itu.اِذۡ قَالَ لِاَبِیۡہِ وَ قَوۡمِہٖ مَا ہٰذِہِ التَّمَاثِیۡلُ الَّتِیۡۤ اَنۡتُمۡ لَہَا عٰکِفُوۡنَ"(Ingatlah), ketika ia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, 'Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?'" - [QS.21:52]
maksudnya, mereka tak punya alasan atau bukti kuat selain hanya mengiktui perbuatan sesat nenek-moyang mereka.قَالُوۡا وَجَدۡنَاۤ اٰبَآءَنَا لَہَا عٰبِدِیۡنَ"Mereka menjawab, 'Kami mendapati nenek-moyang kami menyembahnya.'” - [QS.21:53]
maksudnya, berbicara kepada nenek-moyangmu, yang perbuatannya kamu ikuti sebagai bukti, akan sama dengan berbicara kepadamu. Kamu dan mereka, bersama-sama salah arah dan tak mengikuti jalan yang lurus.قَالَ لَقَدۡ کُنۡتُمۡ اَنۡتُمۡ وَ اٰبَآؤُکُمۡ فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ"Ia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya kamu dan nenek moyangmu berada dalam kesesatan yang nyata.'”- [QS.21:54]
Dalam Al-Qur'an Surah Asy-Syu'araa [26] ayat 69 sampai 82, Allah berfirman tentang kisah Nabi Ibrahim, alaihissalam, ketika Nabi Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Apa yang kamu sembah?” Mereka menjawab, “Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya.” Nabi Ibrahim berkata, “Mendengarkah mereka ketika kamu berdoa kepadanya? Atau dapatkah mereka memberi manfaat atau mencelakakanmu?” Mereka menjawab, “Tidak, tetapi kami dapati nenek moyang kami berbuat begitu.” Nabi Ibrahim berkata, “Tidakkah kamu perhatikan apa yang kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang terdahulu? Sesungguhnya apa yang kamu sembah itu, musuhku, lain halnya Rabb seluruh alam, Yang telah menciptakanku, maka Dialah Yang memberi petunjuk kepadaku, dan Yang memberi makan dan minum kepadaku; dan apabila kusakit, Dialah yang menyembuhkanku, dan Yang 'kan mematikanku, kemudian 'kan menghidupkanku kembali, dan Yang sangat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari Kiamat.”
Telah diketahui bahwa salah satu alasan paling populer agar tak mengimani Nabi kita (ﷺ) dan para utusan Allah sebelum beliau (ﷺ), yakni berpegang pada tradisi warisan nenek-moyang seseorang. Dengan menerima anjuran para utusan Allah itu, seseorang hendaknya mengakui bahwa tradisi warisan nenek-moyang yang telah menjadi sumber kebanggaan dan identitas, dilepaskan dan dijadikan contoh sebagai sejarah kekeliruan, ketidaktahuan dan warisan keyakinan dan praktik yang kurang benar. Ini bukanlah hal yang mudah diterima, apalagi menyatakannya bagi siapapun. Kebetulan, kita sekarang jauh lebih mudah daripada orang-orang sezaman dengan nabi manapun, karena mereka harus mengambil kesepakatan dari seluruh suku, komunitas, kepemimpinan, dan yang di atas segalanya, warisan leluhur mereka. Al-Qur'an menangkap proses pemikiran orang-orang yang mengikuti warisan agama, sosial dan etika keluarga mereka dalam dua ayat yang sangat mirip. Allah berfirman,
danوَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.' Mereka menjawab, '(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).' Padahal, nenek moyang mereka itu, tak mengetahui apapun, dan tak mendapat petunjuk. - [QS.2:107]
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutuk orang-orang yang taklid buta pada nenek-moyang mereka, seraya berfirman,وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُوا۟ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۚ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul.' Mereka menjawab, 'Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).' Akankah (mereka mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tak mengetahui apa-apa dan tak (pula) mendapat petunjuk?" - [QS.5:104]
Maksudnya, apa yang mereka ikuti itu, yakni penyembahan berhala, tak punya landasan yang kuat, terlepas dari fakta bahwa mereka meniru orangtua dan nenek-moyang mereka yang mengikuti umat atau jalan tertentu.بَلۡ قَالُوۡۤا اِنَّا وَجَدۡنَاۤ اٰبَآءَنَا عَلٰۤی اُمَّۃٍ وَّ اِنَّا عَلٰۤی اٰثٰرِہِمۡ مُّہۡتَدُوۡنَ"Bahkan mereka berkata, 'Sesungguhnya kami mendapati nenek-moyang kami menganut suatu agama, dan kami mendapat petunjuk untuk mengikuti jejak mereka.'” - [QS.43:22]
Mereka menyatakan bahwa mereka telah mendapat petunjuk yang benar dengan mengikuti tradisi orangtua dan nenek-moyang mereka. Pernyataan mereka ini tanpa bukti. Kemudian, Allah menunjukkan bahwa apa yang diucapkan orang-orang seperti ini, sudah dinyatakan oleh orang-orang yang seperti mereka di antara kaum di masa lalu yang tak beriman kepada para rasul. Qalbu dan perkataan mereka, serupa.
Dan Allah berfirman,
وَكَذَٰلِكَ مَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ فِى قَرْيَةٍۢ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَآ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍۢ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّقْتَدُونَ
"Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, 'Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka.'” - [43:23]
قَٰلَ أَوَلَوْ جِئْتُكُم بِأَهْدَىٰ مِمَّا وَجَدتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْ ۖ قَالُوٓا۟ إِنَّا بِمَآ أُرْسِلْتُم بِهِۦ كَٰفِرُونَ
"(Rasul itu) berkata, 'Akankah (kamu mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek-moyangmu.' Mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampaikannya.'” - [43:24]
Sekalipun jika mereka yakin akan kebenaran dari apa yang engkau bawakan kepada mereka, mereka takkan mengikutinya, karena niat buruk dan kesombongan mereka terhadap kebenaran dan yang mengikutinya.
Dalam berbuat taklid buta, ada peniadaan intelek, padahal, intelek itu bertujuan untuk merenung. Sesungguhnya, tidaklah pantas seseorang yang telah membawa lilin yang menyala, lalu mematikannya dan berjalan dalam gelap.
Sebagian besar pengikut sebuah aliran pemikiran, memuliakan orang tertentu, dan karenanya, mengikuti pendapat mereka tanpa memahaminya dengan baik. Inilah inti dari kesesatan, karena orang yang seharusnya mempertimbangkan pendapat itu sendiri, bukan orang yang memegang pendapat ini. Al-Harits lbnu Haut bertanya pada Sayyidina Ali, radhiyallahu 'anhu, "Mungkinkah Talhah dan az-Zubair berada di jalan yang salah?" Sayyidina Ali menjawab, "Engkau telah tertipu. Kebenaran tidaklah ditentukan berdasarkan identitas individu (yang mengaku melihatnya). Pahamilah kebenarannya dan baru kemudian engkau akan mengenali orang-orang yang ada di dalamnya."
Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, "Tanda kurangnya ilmu bagi seseorang bila ia taklid buta dalam masalah akidah." Itulah sebabnya mengapa Imam Ahmad mengikuti posisi Zaid tentang tradisi nenek-moyang dan bukan posisi Abu Bakar, radhiyallahu 'anhum.
Bukti hal-hal tentang akidah, sudah sangat jelas, dan tak ada orang yang berakal sehat, yang tak bisa memahaminya. Adapun masalah cabang (yang tak terkait dengan keimanan), bagi orang yang awam, lebih baik mengikuti seseorang yang berilmu luas. Ini karena masalah-masalah ini jumlahnya besar dan kemungkinan besar bagi orang awam, salah memahaminya. Namun, orang awam itu, masih diharuskan menggunakan kecerdasannya untuk mengidentifikasi orang ('Ulama) yang paling layak diikuti.
Adapun cara kedua, sama seperti Iblis memperdaya orang-orang yang berpikiran sederhana agar berbuat taklid, ia juga mampu menipu orang-orang intelek. Ia melakukannya dengan sekuat tenaga. Iblis memperdaya manusia dengan menolak taklid namun mendorong mereka agar berlama-lama memikirkan bidang pemikiran tertentu. Ia menjerat manusia dengan pemikiran bahwa tanda kelemahan seseorang itu, bila mematuhi makna yang tampak dari ayat-ayat Al-Qur'an, maka ia mengarahkan mereka ke jalan para filsuf - hingga membawa mereka keluar dari pangkuan Islam.
Iblis mendorong manusia agar menolak taklid, namun mendalami ilmu kalam (retorika teologis dan penalaran deduktif). Mereka berpikir bahwa dengan cara ini, akan mengeluarkan mereka dari barisan orang awam.
Bukan karena kelemahan bahwa para 'Ulama Islam awal tetap diam mengenai bahaya ilmu kalam. Sebaliknya, mereka melihat bahwa ilmu itu tak memberikan jawaban yang memuaskan, dan mengubah kebenaran menjadi kebohongan, sehingga mereka tetap mendiamkannya dan mendorong orang lain agar tak memikirkannya. Imam Asy-Syafi'i berkata, 'Masih lebih baik bagi seorang hamba berbuat dosa yang telah diharamkan Allah, kecuali Syirik, daripada mendalami ilmu kalam.' Ia juga berkata, 'Jika engkau mendengar perkataan seseorang seperti:' Nama itu, sama dengan sesuatu yang dinamakan ', maka bersaksilah bahwa ia tak beragama.'
Ia juga mengatakan, 'Pandanganku mengenai kaum ilmu kalam adalah bahwa mereka harus dipukuli dengan ranting pohon palem, dan mereka hendaknya diarak berkeliling ke seluruh dusun, dan harus diumumkan: inilah hukuman bagi mereka yang meninggalkan Al-Qur'an dan Sunnah, serta mempelajari ilmu kalam. '
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, 'Orang yang mempelajari ilmu kalam takkan pernah berhasil, cendekia ilmu kalam tak punya agama.'
Bagaimana mungkin ilmu kalam tak dicela? Karena ilmu ini mengakibatkan kaum Mu'tazilah percaya bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal yang umum, bukan yang terperinci. Dan Jahm bin Safan berkata, 'Ilmu, Kemampuan, dan Kehidupan Allah hanya baru-baru ini saja (terjadi setelah sebelumnya tak ada).' Ia juga berkata, 'Allah, Yang Perkasa dan Mahatinggi, bukanlah sesuatu yang wujud.'
Abu 'Ali Al-Jubba'i, Abi Hasyim dan para pengikut mereka dari Basrah, menyatakan bahwa ketiadaan adalah sesuatu dengan esensi dan atribut, dan bahwa Allah tak memiliki kemampuan untuk menciptakan apapun. Dia hanya bisa membawa sesuatu keluar dari ketidakberadaan menjadi ada. Firqah Mujabbirah mengklaim bahwa manusia tak memiliki kehendak bebas, seperti halnya benda mati, kehilangan pilihan dan tindakan. Adapun para Murji'ah, mereka berkata, 'Barangsiapa yang mengucapkan syahadat, takkan pernah masuk Neraka, walaupun ia berbuat dosa.' Mereka menentang banyak Sunnah Nabi yang mengajarkan jalan agar para muwwahid, pada akhirnya akan keluar dari Neraka."
Kemudian sang elang berkata, "Wahai saudara-saudariku, karena permusuhan dan keputusasaan, iblis berusaha mnyesatkan umat manusia dari Jalan Allah; dan kesesatan ini, punya beragam wujud dan bentuk. Mulai dari menanamkan benih keraguan, hingga memunculkan ide-ide yang menyimpang, yang bertentangan dengan ajaran Islam. Banyak penyimpangan yang masih lazim saat ini, dan akan lebih banyak lagi yang direncanakan oleh iblis dan sekutunya, yang perlu diungkap dan dihindari. Wallahu a'lam."
- Imam Ibn Al-Jawzi, The Devil's Deceptions, Dar as-Sunnah Publishers.
Mulai dari sini
[Firqah]