Jumat, 13 Maret 2020

Mengapa? (3)

Sang raja bertanya, "Adakah petunjuk dari Sunnah dalam menangani epidemi?" Sang Syeikh berkata, "Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Kebersihan itu, separuh dari iman.' Dan di antara bentuk tanggungjawab terbesar adalah agar seseorang tetap selalu membersihkan-diri, secara bathiniah seperti yang telah kita bahas sebelumnya, dan secara lahiriah sebagai berikut. Yang pertama, menjaga kebersihan: mencuci tangan. Salman Al Farisi, suatu hari, mendekati Rasulullah (ﷺ) dan berkata, 'Aku membaca di Taurat 'Berkah dalam makanan itu, terletak pada mencuci tangan setelah makan.' Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Berkah dalam makanan terletak pada mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.' Jika mencuci tangan dianjurkan sebelum dan sesudah makan, maka prioritas yang paling utama adalah mencuci tangan untuk berjaga-jaga terhadap penyakit epidemi.

Yang kedua, pembatasan sosial. Orang yang sakit hendaknya mengasingkan-diri dan membatasi jarak dari kerumunan dan tak berkumpul dengan mereka yang tak sakit. Rasulullah (ﷺ) mewajibkan, bahwa siapapun yang sehat tak boleh mendekati orang sakit. Hal ini diperintahkan terutama di tempat-tempat berkumpul seperti pasar, tempat pertemuan, atau masjid. Amr bin Syarid meriwayatkan dari ayahnya, bahwa sebuah delegasi (datang menemui Rasulullah (ﷺ)) dari Thaqif yang didalamnya ada seorang lelaki penderita kusta. (Ia ingin mendekati Rasulullah (ﷺ) dan akan berbai'at). Rasululllah (ﷺ) memberi pesan untuknya, "Kami telah menerima bai'atmu, pulanglah." Hadits ini mengajarkan bahwa seseorang hendaknya menerapkan pembatasan sosial agar tak tertular penyakit seperti yang diajarkan Rasulullah (ﷺ) “Jangan menggembalakan ternak yang sakit bersama ternak yang sehat.”
Rasulullah (ﷺ) menggunakan perkataan berikut ini sebagai gambaran bahwa orang sehat juga hendaknya menjauh dari orang sakit saat penyakitnya menular. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Seseorang hendaknya menjauhkan diri dari penderita kusta bagaikan ia melarikan diri dari singa.'' Maknanya, seseorang tak boleh berkumpul dengan siapapun yang berpenyakit menular kecuali jika ada tindakan pencegahan atau membantu mereka (misalnya petugas kesehatan).

Ketiga, menahan-diri. Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Ketika engkau mendengar bahwa (sampar, penyakit epidemi) ada di sebuah negeri, jangan pergi ke sana dan jika itu terjadi di berada tempatmu berada, maka jangan pergi, lari darinya.'”
Ibnu Hajar, rahimahullah, membahas masalah ini secara lebih rinci, dan mengatakan bahwa ada tiga skenario berkenaan dengan meninggalkan negeri dimana wabah itu terjadi, pertama, ketika seseorang pergi dengan tujuan melarikan diri darinya, dan bukan untuk tujuan lain. Tindakan ini tak diragukan lagi termasuk dalam larangan itu; kedua, ketika ia pergi untuk suatu tujuan tertentu selain melarikan diri darinya, seperti bekerja dan sejenisnya. Tindakan ini tak termasuk dalam larangan tersebut, dan ini adalah kategori yang berkaitan dengan izin yang, diriwayat oleh Imam An-Nawawi, termasuk ijma' para 'ulama; ketiga, ketika seseorang pergi untuk tujuan kerja atau sebaliknya, tetapi menambahkan tujuannya agar dapat aman dari epidemi. Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, tetapi Ibnu Hajar menyatakan bahwa dari pandangan ‘Umar bin al-Khattab, diperbolehkan pergi dalam kasus seperti ini.
Dampak dan penerapan hal ini di zaman kita, adalah karantina dan pelarangan perjalanan massal ke daerah-daerah yang terkena dampak begitu epidemi diumumkan. Tak bijaksanalah bila menunda larangan bepergian kecuali ada jaminan bahwa penyakit dapat dibendung. Apa yang kita saksikan pada zaman kita adalah respons yang sangat lambat dan bahkan seolah meremehkan, sehingga berefek jauh ketika tindakan pencegahan tak segera diambil untuk mencegah penyebaran penyakit seperti yang dicontohkan oleh perintah Sunnah - karantina diri agar tak menyebarkan penyakit, serta larangan bepergian massal guna membatasi penyebaran penyakit.
 
Keempat, penutupan ruang publik, dan untuk sementara tak menyelenggarakan shalat berjamaah dan shalat Jum'at di Masjid. Hal-hal seperti penutupan sekolah, acara yang bersifat kerumunan-massal, adalah respons yang memerlukan anjuran pemerintah dan para 'Ulama. Ibnu Qudamah menyebutkan "... dan alasan yang sah untuk tak sholat berjamaah dan shalat Jum'at adalah orang yang takut menurut Rasulullah (ﷺ). yang bersabda, "Barangsiapa yang mendengar adzan shalat, tak ada yang menghalanginya untuk menjawabnya kecuali alasan yang syar'i." Mereka bertanya apa alasan itu?' Dan beliau bersabda, 'Rasa-takut atau sakit.' Rasa-takut itu memiliki tiga tingkatan, pertama, rasa-takut akan diri-sendiri; kedua, rasa-takut akan harta; dan ketiga, rasa-takut akan keluarga.

Sang Syaikh diam sejenak, lalu berkata, "Wahai paduka, sekarang kita sedang menuju rumah. Ketahuilah bahwa rumah untuk kita adalah tempat makan, pernikahan, tidur dan istirahat. Rumah juga tempat privasi kita, bertemu dengan isteri dan anak-anak, tempat berteduh, tempat perlindungan dari kejahatan dan perlindungan dari orang jahat, juga sumber kebahagiaan jika pilihan yang tepat diambil saat membentuknya.
Yang paling penting, rumah adalah sarana penting untuk membangun masyarakat Muslim. Masyarakat yang terdiri dari rumah dan itulah asalnya. Rumah adalah kehidupan dan kehidupan adalah masyarakat. Jika rumah itu kuat, maka masyarakat akan kuat dalam menerapkan hukum-hukum Allah, menentang tujuan musuh-musuh Allah, menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Segala puji bagi Allah Yang menetapkan penyakit dan menganugerahkan kesembuhan. Dia Yang menguji untuk memberi dan membersihkan sampai segala yang tersisa menjadi suci. Segala puji bagi Allah Yang berkehendak kepada yang lemah dan melihat bagaimana yang kuat menggunakan kemampuan mereka guna membantu mereka yang membutuhkan, dengan demikian membantu menyembuhkan keserakahan mereka, dan semuanya akan diminta pertanggungjawaban untuk melihat siapa yang terbaik dalam amalnya.
Dia menciptakan kita dan membuat kita dari tanah yang gembur sehingga kita tak pernah tertipu oleh kekuatan kita dan menyadari kerapuhan kita. Dia mengirimkan tanda-tanda universal yang mengitari dunia ini sehingga kita ingat hubungan kolektif yang kita miliki dari Rabb kepada manusia. Dia menghidupkan yang mati dan menghidupkan kembali qalbu dengan dzikir kepada-Nya. Orang-orang yang mengenal-Nya adalah orang-orang yang terkaya, sedang mereka yang mungkin dianggap orang-orang paling kaya, namun lalai dari-Nya, sesungguhnya orang yang paling miskin dan tersesat dalam kesesatan. Sesungguhnya, penyakit itu, ujian dan sebuah tanda dari tanda-tanda Allah. Wallahu a'lam."
Rujukan :  
- Hasib Noor, Prophetic Guidance on Epidemic Desease : Corona Virus 2020, The Legacy Institute.

[Bagian 1]

Senin, 09 Maret 2020

Mengapa? (2)

Sang Syaikh melanjutkan, "Wahai baginda, kata untuk penyakit yang berjangkit dan menyebar atau mewabah dalam Al-Quran dan Sunnah adalah Tha'un (الطاعون) atau Waba' (وباء). Terkadang, kata-kata ini digunakan secara bergantian dan di lain waktu merujuk pada jenis penyakit epidemi tertentu, penyakit yang mirip dengan pes atau sampar. Iyad mengatakan, "Tha'un merujuk pada [sejenis penyakit tertentu, pes atau sampar] yang dikenal karena bisul-bisul yang menutupi tubuh, dan Waba' secara umum merujuk pada semua penyakit epidemi. Waba 'disebut sebagai Tha'un karena kemiripannya dalam menyebabkan kematian, jadi setiap Tha'un adalah Waba', namun tak setiap Waba 'adalah Tha'un. Singkatnya, Tha'un sering digunakan secara bergantian dengan Waba' sebagai penyakit epidemi umum yang mengarah pada kematian - dan dalam beberapa konteks tertentu, Tha'un mengacu pada penyakit yang seperti pes, atau sampar. Perbedaan antara Tha'un dan Waba' ini penting ketika membahas hadis-hadis tertentu karena hadits-hadits itu merujuknya berdasarkan konteks yang digunakan.
Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Aku melihat (dalam mimpi) seorang wanita hitam-kelam dengan rambut acak-acakan keluar dari Madinah dan menetap di Mahai'a. Aku menafsirkannya sebagai (simbol) Waba' (penyakit, epidemi ) dari Madinah yang dipindahkan ke Mahai'a, yang berarti, Al-Juhfa." Di sini, Rasulullah (ﷺ) merujuk pada Waba '- khususnya penyakit Malaria dan Influenza yang ada di Madinah dan dikenal mengakibatkan orang sakit dan kota penuh dengannya sejauh kedua orang tua Nabi (ﷺ) wafat karena penyakit yang terkait dengan kota itu. Waba' di sini disebut penyakit umum, epidemi, yang membunuh beberapa orang dan menyebabkan banyak orang sakit.
Rasulullah (ﷺ) berdoa secara khusus agar kota ini diberkahi dan disucikan dari penyakit ini, dengan mengucapkan, "Ya Allah! Jadikanlah Madinah kami cintai, seperti Engkau menjadikan Mekah kami cintai, dan lebih banyak lagi! Dan pindahkanlah penyakit demam yang ada di dalamnya ke Al-Juhfa. Ya Allah! Berkahilah Mudd dan Sa' kami (sejenis takaran ntuk makanan dan bekal)."
Dan ketika Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Tha'un (sampar, penyakit epidemi) adalah hukuman rijz (musibah), Dia mengazab kaum sebelummu." Dan Aisyah, radhiyallahu 'anha, berkata bahwa ia bertanya kepada Rasulullah (ﷺ) tentang Tha'un (sampar) dan beliau (ﷺ) bersabda, “Ini adalah hukuman yang diturunkan Allah kepada siapapun yang Dia kehendaki, tetapi Allah telah menjadikannya rahmat bagi orang-orang mukmin... " Kedua konteks Tha'un ini, merujuk lagi pada penyakit epidemi umum.

Rasulullah (ﷺ) bersabda tentang Madinah, "Ada Malaikat di pintu masuk Madinah yang mencegah Tha'un (sampar) dan Dajjal dari memasukinya." Dalam hal ini, Tha'un mengacu pada penyakit spesifik pes atau sampar, namun Madinah tak dilindungi dari penyakit epidemi umum.
Imam An-Nawawi berkata, "Tha'un di sini terdiri dari bisul bernanah (bisul) yang melepuh di tubuh. Ia timbul di selangkangan, atau di ketiak, atau di tangan, atau di jari-jari dan anggota tubuh lainnya, disertai dengan pembengkakan dan rasa sakit yang hebat ... Setiap Tha'un itu, Waba', tetapi tak setiap Waba' itu, Tha'un."
Selanjutnya ia mengatakan, "Adapun Waba' (penyakit epidemi), al-Khalil dan yang lainnya mengatakan bahwa itu merujuk pada sampar. Yang lain mengatakan bahwa itu merujuk pada penyakit yang menyebar luas. Pandangan yang benar, sebagaimana dicatat oleh para 'ulama, bahwa penyakit apapun yang mempengaruhi banyak orang di suatu wilayah negeri, namun tak semuanya; berbeda dari penyakit biasa dimana sejumlah besar orang yang terkena dampak dan dengan cara lain; dan dimana mereka semua dipengaruhi oleh jenis penyakit yang sama, tidak seperti di waktu yang berbeda, ketika orang menderita berbagai jenis penyakit. Setiap Tha'un itu, Waba ', namun tak setiap Waba' itu, Tha'un.
Hadits ini sangat penting dalam pemahaman kita karena Madinah dilindungi dari penyakit sampar yang masuk, namun bukan epidemi!

Ada beberapa kali epidemi berjangkit di Mekah dan Madinah.
Antara tahun 13-24 H - Abu Al-Aswad Du'aly (cendekiawan terkenal yang menyusun aturan tata bahasa Arab) meriwayatkan, “Aku pergi ke Madinah ketika ada wabah penyakit dan orang-orang sekarat dengan cepat. Aku sedang duduk dengan `Umar saat pengantaran jenazah berlangsung..."
152 H - Sebuah prasasti di atas batu berisi doa yang memohon pertolongan terhadap epidemi yang melanda Madinah ditemukan oleh sejarawan, Muhammad Al-Mughadhawi. Prsasati bertuliskan, "Ya Allah, hapuskanlah Waba '(penyakit epidemi) dan penderitaan dari orang-orang Madinah," ditulis dalam Jumada tahun 152 H.
735 H - Epidemi Difteri melanda Madinah yang membunuh 15 orang setiap hari. Mereka belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya.
749 H - penyakit epidemi melanda Mekah
1235 H (1814 M) - 8000 meninggal di Hijaz secara umum karena penyakit epidemi
1246 H (1831 M) - Penyakit epidemi yang datang dari India membunuh tiga perempat jemaah haji di Mekah.
1252-1255 H (1837 CE - 1840 CE) - Periode haji di Mekah menyaksikan penyakit epidemi.

Rasulullah (ﷺ) pada tahun 9 H, pada ekspedisi Tabuk, menyampaikan sejumlah nubuwah, diantaranya bahwa akan datang Tha'un yang akan menimpa sejumlah pengikutnya. ‘Auf bin Malik Al-Ashja'i berkata,“Aku menemui Rasulullah (ﷺ) selama ekspedisi Tabuk, ketika beliau berada di tenda yang terbuat dari kulit, lalu aku duduk di depan tenda. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Masuklah wahai 'Auf! " Aku bertanya, "Dengan seluruh tubuhku, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ya, dengan seluruh tubuhmu." Kemudian beliau bersabda: "Wahai 'Auf, ingatlah diantara enam tanda-tanda hari Kiamat, salah satunya adalah kematianku." Lalu beliau melanjutkan: "Kemudian dikuasainya Baitul Maqdis (oleh orang-orang non-Muslim), munculnya penyakit yang mematikan di tengah-tengah kalian, yang dengannya Allah mematikan anak-anak dan diri-diri kalian serta membersihkan amal perbuatan kalian. Kemudian melimpahnya harta benda yang kalian miliki, sehingga walaupun ia telah diberi seratus dinar namun dirinya tetap marah (karena kurang), dan suatu fitnah yang akan terjadi di antara kalian sehingga takkan tersisa lagi satu rumahpun dari rumah-rumah kaum Muslimin kecuali akan dimasuki (fitnah tersebut). Kemudian antara kalain dengan Bani Ashfar (Romawi) akan terjadi gencatan senjata, lalu mereka mengkhianati kalian. Mereka akan datang untuk menyerang kalian dengan membawa delapan puluh bendera perang, dan setiap bendera membawahi dua belas ribu pasukan."
 
Penyakit yang disebutkan dalam nubuwah Rasulullah (ﷺ) itu, terjadi selama kekhalifahan Umar bin Al-Khattab. Selama kampanye militer pada tahun 18 H / 639 M, wabah di Emaus (bahasa Arab: 'Amawas), Palestina, sebuah kota yang berjarak 30 kilometer dari Baitul Maqdis (Yerusalem) pecah dan banyak sahabat Rasulullah (ﷺ) menderita. Al-Jauhari mengatakan "itulah wabah pertama dalam Islam," sebagaimana dinubuwatkan oleh Rasulullah (ﷺ).
Khalifah pada waktu itu, Umar bin Al-Khattab, radhiyallahu 'anhu, mendengar tentang hal itu, dan dengan keprihatinannya pergi menemui mereka.
‘Abdullah bin ‘Abbas meriwayatkan peristiwa itu ketika ‘Umar bin Al-Khattab berangkat ke Syam (Palestina, Siria, Yordania, Lebanon, dll). Ketika ia sampai di suatu tempat bernama 'Sargh', komandan pasukan, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah dan teman-temannya bertemu‘ Umar dan mengatakan kepadanya bahwa sebuah wabah telah menyebar di Syam.

'Abdullah bin 'Abbas berkata, 'Umar berkata kepadaku, 'Panggilkan beberapa Muhajirun yang terdahulu,' maka akupun memanggil mereka, meminta nasuhat mereka dan memberitahu mereka bahwa wabah telah menyebar di Syam. Mereka tak setuju. Beberapa dari mereka berkata, 'Engkau telah memulai suatu masalah dan kami tak menyarankan bahwa engkau harus menarik diri darinya.' Yang lain berkata, 'Engkau membawa serta orang-orang yang tersisa serta para Sahabat, dan kami tak menyarankan bahwa engkau akan menyebabkan mereka terkena wabah itu.'' Umar kemudian berkata, 'Pergilah.' Kemudian ia berkata, 'Panggilkan kaum Ansar, 'dan akupun memanggil mereka dan ia berkonsultasi dengan mereka.
Tanggapan mereka sama seperti kaum Muhajirin dan ada yang setuju dan ada yang tak setuju. Ia berkata, "Pergilah." Kemudian ia berkata, "Tolong panggilkan aku sesepuh Quraisy yang dulu hijrah pada peristiwa penaklukkan Makkah." Maka akupun memanggil mereka, dan tak ada di antara mereka yang tak setuju tentang hal itu. Mereka berkata, “Kami menyarankan engkau harus kembali dengan pasukanmu dan tak membiarkan mereka terkena wabah ini.” Maka, Umar mengumumkan, “Aku akan pulang di pagi hari, maka lian juga ikut pulang.” Abu 'Ubaidah bin Jarrah berkata, 'Akankah engkau melarikan diri dari takdir Allah?' ‘Umar berkata,‘Jika saja orang lain selain engkau yang mengatakan itu, Abu ‘Ubaidah! Ya, kita lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain. Tak berpikirkah engkau bahwa jika engkau memiliki unta dan mereka pergi ke lembah yang memiliki dua sisi, yang salah satunya subur dan lainnya tandus. Bukankah jika engkau melepas mereka merumput di sisi yang subur, maka merumput itu sesuai takdir Allah, dan jika engkau melepas mereka merumput di sisi yang tandus, maka merumput itu juga sesuai dengan takdir Allah? '
‘Abdul Rahman bin‘ Auf-yang telah absen karena beberapa urusan - kemudian datang dan berkata, ‘Aku tahun tentang masalah ini. Aku mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Apabila kalian mendengar ada suatu wabah di suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Sebaliknya kalau wabah tersebut berjangkit di suatu daerah sedangkan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar melarikan diri darinya." Umarpun memuji Allah [karena ia mengambil keputusan yang benar] dan kemudian berlalu."

Sang raja bertanya, "Wahai Syeikh, bagaimana orang-orang shalih menghadapi wabah dan penyakit epidemi?" Sang Syeikh berkata, "Saat Tha'un di Amawas, ada sejumlah pelajaran spiritual tentang bagaimana seorang mukmin menghadapi penderitaan epidemi dalam teladan para Sahabat, radhiyallahu 'anhum.
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, sahabat Rasulullah (ﷺ), di antara sepuluh orang yang dijanjikan surga ketika Rasulullah (ﷺ) masih hidup, tinggal dan membantu umatnya dan menolong mereka. Ia naik ke mimbar dan menghibur orang-orang yang menderita dengan berkata, “Wahai manusia! Penderitaan ini adalah rahmat bagi kalian semua, doa Nabi, dan meninggalnya orang-orang shalih di hadapanmu ... ”dan ia juga terkena wabah.
Sa'id bin Al-Musayyib meriwayatkan ketika Abu Ubaidah menderita wabah, ia memanggil orang-orang beriman di sekitarnya dan berkata, "Aku menasihati kalian semua dengan nasihat jika kalian semua menerimanya, janglah pernah berhenti untuk tetap pada kebaikan. Tetaplah shalat, puasa bulan Ramadhan, berzakat, kerjakan Haji dan Umrah, berkumpul bersama, menasihati para pemimpinmu dan jangan memperdaya mereka. Jangan biarkan dunia menipumu. Bahkan jika seseorang hidup seribu tahun, mereka pasti akan mencapai apa yang engkau saksikan di hadapanmu, kematianku. Allah telah menulis maut atas anak-anak Adam dan mereka akan mati. Orang yang paling cerdas di antara mereka adalah yang paling patuh pada Rabb mereka dan yang beramal demi Akhirat. Wasalamu'alaikum wa rahmatullah. Wahai Muadz bin Jabal, pimpinlah umat melaksanakan shalat.”

Setelah itu, ia meninggal, Allah ridha padanya. Muadz bin Jabal, di pemakamannya berdiri di depan orang-orang dan berbicara kepada mereka seraya berkata, “Wahai manusia! Kembalilah kepada Allah, bertobat dari dosa-dosamu. Setiap hamba yang bertemu Allah, yang bertobat dari dosa-dosa mereka akan pantas mendapat apmunan Allah. Siapapun yang berhutang kepada mereka, lunasilah karena seorang hamba (Allah) ditahan di bawah janji untuk mengembalikan hutang mereka. Siapa pun yang telah bangun hari ini dan meninggalkan saudara mereka (karena perselisihan dan dendam) kemudian pergi keluar dan menemui mereka dan berdamai. Tak boleh seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Wahai Muslim! Kalian telah bersedih oleh meninggalnya seorang lelaki yang tak taku nyatakan aku telah melihat seorang hamba yang lebih patuh atau terbuka hatinya, atau lebih jauh dari menyembunyikan kemalangan (terhadap orang lain), atau lebih mencintai semua orang dan berharap baik bagi mereka menasihati mereka darinya. Berdirilah dan mintakanlah rahmat baginya dan berdoalah untuknya. "
Muadz bin Jabal kehilangan anak-anak dan keluarganya sebelum meninggal, sementara itu dengan sabar mengatakan ketika Abu Ubaidah berkata di hadapannya, “Penderitaan ini adalah rahmat bagi kalian semua, doa nabi, dan meninggalnya orang-orang shalih di hadapanmu."

Orang-orang shalih di masa lalu menjalani realitas penderitaan dengan kepastian iman kepada Allah dan keyakinan bahwa tiada yang menimpa kecuali hanya dengan kehendak-Nya dan tiada yang diambil hanya dengan izin-Nya. Mereka sepenuhnya yakin pada keberadaan mereka bahwa apa yang menimpa manusia takkan pernah lepas dari mereka, dan apa yang terlewatkan tak pernah dimaksudkan untuk mereka, dan kehidupan ini hanyalah fase persiapan yang sementara, lebih penting mempersiapkan kehidupan Akhirat. Seperti yang disampaikan oleh Nabi kita tercinta (ﷺ) tentang wabah bahwa, "Inilah hukuman yang Allah turunkan kepada siapapun yang Dia kehendaki" - dan bahwa, "Dia menjadikannya rahmat bagi orang Mukmin," beliau (ﷺ) tak mengatakan Muslimin. Mukminin di sini merujuk pada tingkat keyakinan yang lebih tinggi dari mereka yang menginternalisasi dan memiliki keyakinan iman yang lebih dari sekadar percaya dan masuk Islam. Karena agama memiliki tiga tingkatan, Islam, Iman, dan Ihsan. Ungkapan "rahmat bagi orang Mukmin" di sini merujuk pada tingkat keyakinan yang lebih tinggi yang menginternalisasi hikmah ketetapan Allah dan mengaktualisasikannya menjadi, bukan hanya tindakan anggota badan, pernyataan lidah, melainkan juga tindakan dan pernyataan qalbu karena ketergantungan mutlak pada Allah, kesabaran di saat sulit dan bersyukur. Hal ini menguatkan pernyataan Nabi kita tercinta (ﷺ). Orang-orang beriman menggemakan firman-firman Rabb kita yang menggambarkan tanda orang-orang beriman. Rasulullah (ﷺ) mewujudkan pesan yang diajarkan oleh Yang Mahakuasa, dan memberikan pelajaran spiritual yang merupakan bentuk harapan yang sangat kuat di masa-masa paling sulit. Pesan ketekunan, melalui ujian, dan mengetahui hikmah ada di tangan Yang Maha Penyayang, Yang Mahatinggi, Mahabijaksana. Allah memerintahkan Nabi-Nya (ﷺ) agar menyampaikan pesan itu sendiri dengan memerintahkan Nabi (ﷺ) menyampaikan kepada umat manusia dan orang-orang beriman,

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
"Katakanlah (Muhammad), 'Takkan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang mukmin." - [QS.9:51]
[Bagian 1]
[Bagian 3]

Jumat, 06 Maret 2020

Mengapa? (1)

Sang raja bertanya, "Wahai Syaikh, mengapa Allah menurunkan penderitaan bagi umat manusia?" Syaikh Abdul Jalil berkata, "Tak ada yang dapat menjawab mengapa Allah menurunkan penderitaan kepada umat manusia. Semua itu, hikmah Allah, hanya Dia Yang dapat menetapkannya.
Wahai baginda, dalam Islam, penyakit adalah tanda pensucian, Ketika Rasulullah (ﷺ) akan memasuki rumah orang sakit yang sedang dikunjungi, beliau bersabda,

لاَ بَأْسَ طَهُورٌ اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ
"Tak mengapa, sakitmu membersihkan dosa-dosamu, Insyaallah."
Beliau (ﷺ) bersabda, “Perumpamaan orang-orang beriman, saat ia menderita penyakit atau demam, ibarat sepotong besi yang diletakkan di dalam api; cacatnya lenyap dan tersisalah yang baik-baik." Beliau (ﷺ) bersabda, "Kunjungilah orang sakit. Ikuti prosesi pemakamannya. Ingatkan dirimu untuk kehidupan selanjutnya." Bacalah kebaikan dari Nabi kita tercinta (ﷺ) yang mendengar bahwa seorang wanita dari umatnya sedang sakit, bertanya tentangnya, dan ketidakhadirannya diperhatikan agar ia berusaha mengunjunginya, memanjatkan doa-doa, dan memberikan kata-kata dan kehadiran yang menghibur. Ummi al-Ala berkata, Rasulullah (ﷺ) mengunjungiku ketika aku sakit. Beliau (ﷺ) bersabda, "Bersuka-citalah, wahai Ummi al-Ala ', Allah menghapus dosa-dosa seorang Muslim karena penyakit mereka sebagaimana api menghilangkan cacat emas dan perak." Dan kekasih kita (ﷺ) bersabda, "Tiada musibah yang menimpa seorang Muslim kecuali bahwa Allah menghapus dosa dari mereka karenanya, walau itu hanya tertusuk duri."
Walaupun penyakit yang melanda sebuah negeri itu dapat menjadi pembersihan dari dosa, namun juga bisa menjadi tanda ketidakridhaan Allah karena dosa-dosa atau penindasan. Amirul Mukminin, Abu Bakar As-Siddiq, radhiyallahu 'anhu, berkata,
"Wahai manusia, dengarkan ayat ini,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ ۖ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu takkan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu semua akan kembali, kemudian Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." - [QS.5:105]
Tetapi aku mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Ketika orang melihat seorang penindas namun tak mencegahnya (dari penindasan dan kejahatan mereka), ada kemungkinan bahwa Allah akan menjerat mereka semua dengan azab."
Pada akhirnya, Allah menilai setiap orang yang mengalami penderitaan berdasarkan niat mereka. Setiap orang yang menderita hendaknya berprasangka baik pada Rabb mereka. Mereka juga hendaknya bertanya pada diri mereka sendiri. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Pasukan akan menyerang Ka'bah dan ketika mencapai tanah gurun, mereka semua tertelan bumi." Aisyah, radhiyallahu 'anha, bertanya, "Wahai Rasulullah! Kenapa mereka semua?" Beliau menjawab, "Mereka semua tertelan bumi tetapi mereka akan dibangkitkan ada Hari Kiamat sesuai dengan niat mereka." Aisyah berkata bahwa ia bertanya kepada Rasulullah (ﷺ) tentang wabah dan beliau (ﷺ) bersabda, “Itu azab yang Allah turunkan kepada siapapun yang Dia kehendaki, akan tetapi Allah telah menjadikannya rahmat bagi orang-orang beriman. Setiap hamba yang tinggal di negeri yang terserang wabah, tetap sabar dan berharap mendapat pahala dari Allah, mengetahui bahwa tak ada yang akan menimpa mereka kecuali apa yang telah Allah tetapkan, akan diberikan pahala syahid.”

Penyakit, terutama epidemi, menimbulkan rasa cemas. Perasaan kita mengenai penyakit yang tak diketahui ini, yang menimpa kita, mungkin menimbulkan perasaan tak menentu dan ada yang bahkan membuat kita tak berdaya. Di saat inilah, kita membangun ketahanan emosional dan spiritual. Di antara keyakinan inti dari iman kita, yang menjadi dasar keyakinan kita, adalah yakin bahwa tiada yang menimpa seseorang kecuali itu kehendak Allah dan ada tujuannya, walaupun kita mungkin tak dapat memahaminya. Allah berkehendak dan berhikmat, yang dapat kita rasakan, dan mungkin juga, dalam beberapa hal, tak dapat kita rasakan. Namun iman kita tertanam dalam keyakinan tertinggi, yang kita miliki, bahwa semua berasal dari-Nya dan Dialah Yang Mahakuasa, Maha Bijaksana.

Allah berfirman,

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
"Tiada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada qalbunya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." - [QS.64:11]
Meskipun kita mungkin tak memahami seluruh hikmah di balik kesulitan, penderitaan, perubahan global, dan perjuangan - dalam perjalanannya, kita menyaksikan kebutuhan kita kepada Yang Mahakuasa dan realita betapa lalainya kita. Pengabaian diri. Mengabaikan keterikatannya pada Ilahi. Itu bukan berarti kita memerlukan sebuah penderitaan untuk belajar, tetapi membantu untuk merefleksikan hikmah-hikmahnya karena tak ada yang diselamatkan dari kesulitan, tetapi kita semua membutuhkan iman untuk mengatasinya.

Saat-saat sulit, mengajarkan kita empati. Seseorang yang telah melalui konflik dapat berempati bahkan lebih pribadi dibanding dengan seseorang yang lebih buruk daripada mereka. Pada saat-saat ini, kita menyaksikan wujud kasih-sayang dan pelayanan kepada kemanusiaan, yang kita ambil pelajarannya dan mengikat kita bahwa hanya imanlah yang dapat mengajarkan kita. Kekuatan pengorbanan akan sangat kuat saat seseorang mengorbankan sesuatu dari sedikit yang dimilikinya, tetapi pada saat itu, memberi untuk kepentingan orang lain, inilah pelajaran yang diajarkan kepada kita oleh Sang Ilahi dan Kekasih-Nya. Keegoisan umat manusia berkurang saat mereka merasa lemah dan belajar bahwa satu-satunya jalan-keluar mereka adalah saling peduli dan menyeru Dia Yang mempertalikan mereka.
 
Pada kenyataannya, kita belajar bahwa persiapan sejati yang kita butuhkan adalah persiapan rohani. Pembersihan dan pemurnian yang kita butuhkan adalah dari qalbu. Isolasi yang kita butuhkan adalah isolasi ego kita, hasrat, dan candu dosa. Iman mengajarkan kita bahwa saat-saat yang paling sulit - mengajari kita lebih banyak tentang kerentanan dan diri sejati kita. Kita telah menyaksikan, seperti banyak dari kita yang telah tahu, bahwa ada larangan sementara bepergian ke tempat-tempat paling sakral dan suci, yakni ke Mekah dan Madinah. Ya, tanda iman itu tak hanya sedih karena tak bisa mengunjunginya, tetapi seberapa banyak dari kita yang bertanya, bersemayamkah semangat kota-kota suci itu di dalam qalbu kita? Adakah kesucian Allah yang ditemukan di Ka'bah dan di Mekah di dalam dada kita? Samakah cinta, kedamaian, ketenangan, dan pelipur lara yang kita temukan di Kota Kekasih kita dan mengikuti jalannya, juga mengkhawatirkan kita? Kita mungkin merenungkan halangan sementara, tetapi semoga kita tak pernah terhalang dari rahmat Allah. Semoga kita tak pernah tertahan dari hadirnya Nabi kita tercinta (ﷺ), dengan cara mengikuti teladannya dan mewujudkan risalahnya bahwa beliau diutus sebagai rahmat bagi seluruh ciptaan. Semoga kita tak pernah merasa sangat terikat dengan dunia ini sehingga kita berpegang-erat padanya, memperebutkan sampah-sampahnya, padahal sampah-sampah itulah tempat pengembalian terakhir kita.

Rencana mungkin telah berubah, uang telah hilang, tetapi iman sejati mempersiapkan kita menghadapi kesulitan semacam ini, yang tak serta-merta menghilangkannya. Kehilangan harta, khususnya, akan kita lihat tanda pada orang beriman. Segala sesuatu yang diberikan atau diambil, berasal dari Yang Maha Tinggi, Yang Maha Memberi, dan Yang Maha Menghargai. Jika kita merasa kehilangan, pikirkanlah orang yang tak punya apa-apa. Bersyukur di saat-saat sulit, akan membuat kita lebih mudah untuk melakukan pengayaan.

Sang raja bertanya, "Wahai Syaikh, bagaimana para ulama memandang wabah?" Sang Syaikh berkata, "Adapun penyakit epidemi yang diturunkan, hadis Nabi (ﷺ) mengacu pada perbedaan yang jelas tentang bagaimana ulama memandang wabah. Hikmah global berlaku berbeda bagi orang yang berbeda, sesuai dengan niat mereka dan bagaimana Allah menghendaki untuk mereka, pertama, tanda - yakni tanda untuk merenungkan kekuatan universal Yang Mahakuasa dan kembali kepada-Nya. Kedua, berkah dan rahmat - seperti apa yang telah disabdakan Rasulullah (ﷺ). Ketiga, sebab - waktu dan tanggal ditakdirkannya datang dan berlalu, dan inilah penyebab, jika bukan virus Corona, mungkin saja terjadi sesuatu yang lain. Keempat, azab - bagi para penindas dan mereka yang ingkar.

Lebih jauh lagi, masuk ke dalam ranah teori Islam, yang menjelaskan tingkat dimana seorang hamba Allah memahami bencana. Baik itu, peningkatan - yakni ujian dimana Allah meningkatkan status orang-orang yang Dia sayangi; penyucian - dari dosa-dosa yang telah dilakukan dan lebih baik bagi mereka bahwa mereka disucikan dalam kehidupan ini daripada nanti di Akhirat; perenungan - yakni tanda-tanda yang dikirimkan kepada seseorang agar kembali ke Rabb mereka; atau penderitaan - hukuman karena dosa dan pengingkaran.

Kita tak punya rujukan universal dari hadits, yang jelas, itu tergantung pada orang itu dan kondisi orang yang sedang menderita. Hanya Allahlah yang berhak menilai seseorang dan kebijaksanaan yang tepat mengapa mereka mengalami penderitaan. Hadits-hadits yang telah disebutkan sekali lagi menyoroti kearifan universal yang telah kami sebutkan dan jenis-jenis penderitaan yang membuat seseorang bertanggungjawab. Semua akan dibangkitkan dan akan bergantung pada niat mereka sendiri. Aisyah, radhiyallahu 'anha, bertanya, "Wahai Rasulullah! Kenapa mereka semua?" Beliau (ﷺ) bersabda, "Mereka semua akan ditelan oleh bumi tetapi mereka akan dibangkitkan di Hari Kiamat sesuai dengan niat mereka."
Dari prinsip-prinsip universal Allahlah bahwa meskipun azab ini dijatuhkan, azab itu dapat mencakup yang lain berdasarkan niat dan kebijaksanaan seperti yang disebutkan di atas dan tak membedakan antara orang yang beriman, yang tak beriman, yang tak bersalah, maupun para penindas. Dan Allah berfirman,

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ
"Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antaramu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya." - [QS.8:25]
Melainkan, adalah kewajiban setiap orang beriman agar menempuh cara yang diperlukan untuk melindungi diri darinya, secara medis, fisik, dan tak lupa, tentu saja secara spiritual, dan mengambil langkah-langkah pencegahan untuk diri mereka sendiri dan orang lain.

Ada sebuah riwayat, hikmah ilahi dari penderitaan yang menimpa manusia, disebutkan oleh Zainab binti Jahsy, radhiyallahu 'anha, yang meriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah (ﷺ) datang kepadanya dalam keadaan ketakutan dan berkata, "La ilaha illa Allah. Celakalah orang-orang Arab dari kejahatan yang akan menyerang. Hari ini telah terbuka sebesar ini dari penghalang penahan Ya'juj dan Ma'juj." Dan beliau membuat lingkaran dengan ibu jari dan jari telunjuk. Zainab berkata, "Wahai Rasulullah, akankah kita binasa sementara ada orang-orang shalih di antara kita?" Beliau bersabda, "Ya, jika kejahatan menyebar, menguasai."
Realitas menyeluruh dari takdir ilahi yang disebutkan dalam hadis ini, tentang epidemi, yang dapat menyerang dunia seketika, dan kelompok-kelompok orang khususnya - berasal dari tanda-tanda Allah yang Dia kirimkan kepada ciptaan. Tanda-tanda realitas kekuasaan Allah atas ciptaan-Nya, bahwa para penindas takkan dapat lari dari genggaman-Nya, dan bahwa bagi-Nya, segala kekuasaan dan milik-Nya, akhirnya akan kembali pada-Nya. Pada akhirnya, hikmah Allah melampaui ruang lingkup terbatas pandangan kita tentang pemahaman dan hanya Yang Mahakuasa Yang memiliki esensi sempurna dalam kebijaksanaan-Nya, luhur dalam takdir-Nya, dan halus dalam pengaruh-Nya. Ini hanya beberapa hikmah yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dan hikmah-hikmah yang lain seperti melindungi kita dari sesuatu yang lebih besar, atau membangunkan kita agar merenungkan kematian kita sendiri dan agar kembali kepada sang Ilahi, dan hanya kesadaran untuk tak menyebarkan penyakit dengan menjaga kebersihan. Allah berfirman,

اِنَّمَا مَثَلُ الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا کَمَآءٍ اَنۡزَلۡنٰہُ مِنَ السَّمَآءِ فَاخۡتَلَطَ بِہٖ نَبَاتُ الۡاَرۡضِ مِمَّا یَاۡکُلُ النَّاسُ وَ الۡاَنۡعَامُ ؕ حَتّٰۤی اِذَاۤ اَخَذَتِ الۡاَرۡضُ زُخۡرُفَہَا وَ ازَّیَّنَتۡ وَ ظَنَّ اَہۡلُہَاۤ اَنَّہُمۡ قٰدِرُوۡنَ عَلَیۡہَاۤ ۙ اَتٰہَاۤ اَمۡرُنَا لَیۡلًا اَوۡ نَہَارًا فَجَعَلۡنٰہَا حَصِیۡدًا کَاَنۡ لَّمۡ تَغۡنَ بِالۡاَمۡسِ ؕ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ لِقَوۡمٍ یَّتَفَکَّرُوۡنَ
"Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, hanya ibarat air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi dengan subur (karena air itu), di antaranya ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman)nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang yang berpikir." ― [QS. 10:24]
Maka, filosofi seorang Muslim dalam menghadapi penderitaan adalah merefleksikan kearifan universal dan bertanya pada diri sendiri “Apa yang bisa aku lakukan?” daripada mempertanyakan paradigma yang tak terlihat dan membenarkan kelumpuhan keraguan teologis diri-sendiri, "Mengapa Allah melakukannya?"
[Bagian 2]

Senin, 02 Maret 2020

Reset!

Burung pungguk tampil ke depan, dengan suara lirih, ia bersenandung,

Kulihat Ibu Pertiwi
Sedang bersusah-hati
Air-matanya berlinang
Emas-intankah kau kenang?
Hutan, gunung, sawah, lautan
Simpanan kekayaan
Kini Ibu sedang lara
Merintih dan berdoa

Lalu, sang pungguk menyapa, "Assalāmu ʿalaikum waraḥmatullāhi wa-barakātuh!" Para unggas menjawab, "Wa ʿalaikumus-salām wa-raḥmatullāhi wa-barakātuh!" Burung kea berkata, "Wahai pungguk, adakah kisah yang kan engkau bagikan bersama kami?" Sang pungguk berkata, "Ya, dengarkan baik-baik!" Kemudian sang punggukpun mulai bercerita...

"Alkisah, ada sebuah negeri, Negeri Entah-Berantah, yang diperintah oleh seorang raja yang adil, Raja Abdul Malik namanya, dan ia memerintah negerinya dengan bijak. Sang raja, orang yang baik, bersahaja dan santun, serta lembut hatinya, bahkanpun seekor lalat, takkan mau ia ganggu. Ia juga tak suka berpakaian mewah, dan ia tak pernah mengumumkan, baik secara langsung atau melalui para buzzer dan influenser bayaran, betapa murah pakaian yang dipakainya. Ia juga tak makan makanan mahal atau minum anggur, ia tak menghabiskan uang rakyat yang telah membayar pajak bagi kemewahan istananya atau kuda-kuda yang bagus. Pajak yang dibayar rakyatnya, ia wujudkan dalam bentuk sekolah dan perguruan tinggi sehingga kaum muda dapat mempelajari segala bentuk perdagangan dan mempelajari segala ilmu, dan dengan demikian, dapat saling berbagi dengan lebih baik. Ia juga memerintahkan agar rumah sakit dibangun dan para tabib, terdididik dengan baik, sehingga rakyatnya yang menderita penyakit dapat tertangani dengan cepat. Ia memerintahkan agar jalan dan jalur kereta api dibangun, bukan untuk kepentingan pengusaha atau demi ketenarannya, melainkan agar barang-barang yang diproduksi di satu daerah dapat dengan cepat diangkut ke bagian lain negeri itu, dimana dibutuhkan. Ia juga memperingatkan agar para penegak hukum tak menyalahgunakan jabatan mereka, menerima suap.
Sang raja mencintai istrinya, Ratu Jamilah, dan di malam hari ia duduk bersama putranya, Pangeran Hasan, bercakap-cakap dengannya. Tetapi yang paling ia sukai adalah duduk di ruang kerjanya dengan buku-buku dan laporan-laporan dari seluruh penjuru negeri dan menyusun rencana-rencana baru untuk membuat kehidupan rakyatnya menjadi lebih baik. Raja tak pernah berlagak, atau berpura-pura tampil sederhana, melainkan ia adalah seorang pemikir sejati, dan ketika ia melihat laporan dari seluruh bagian negeri, ia harus meyakini bahwa ia benar-benar memerintah negara dengan baik.

Suatu hari, sang raja tampak muram, ini tak lepas dari perhatian sang hulubalang, Sa'ad. Sa'ad selalu menemani sang raja kemanapun ia pergi, bagaikan sang waktu yang selalu menyertai kehidupan ini. Dengan santun, Sa'ad menyapa sang raja, "Wahai baginda, apa yang tuanku pikirkan? Engkau tampak bersusah-hati." Mendengar ucapan Sa'ad, sang raja terbangun dari lamunannya. Ia menjawab, "Duhai Sa'ad, aku sedang memikirkan tentang apa yang terjadi di dunia ini. Aku sangat prihatin. Wahai Sa'ad, situasi ini sangat memprihatinkan. Aku ingin berbicara dengan penasihat raja. Mintalah Syeikh Abdul Jalil datang menemuiku!" Sa'ad menjawab, "Baik, yang mulia!"

Beberapa saat kemudian, Syeikh Abdul Jalil, penasihat kerajaan, telah berbicara dengan raja. Sang raja berkata, "Wahai Syeikh, dunia sekarang berfokus pada virus korona, seluruh kantor berita, seluruh apa yang telah kita ketahui, telah tertutup, kita hendaknya menyadari gambaran besar pemahaman keseluruhan tentang apa sedang terjadi sekarang ini. Bencana telah datang laksana sembilan tanda-tanda yang diberikan kepada Nabi Musa, alaihissalam, bagi Firaun.

Ketahuilah Syeikh, di bagian lain dunia, tujuh belas koma sembilan juta hektar lahan telah terbakar, tiga ribu rumah rusak, setengah miliar hewan terbunuh. Keadaan darurat dan mereka menyebutnya sebagai bola api yang datang dari langit.
Di negeri lain, asap mencekam dari satu negeri ke negeri lain, yang berjarak ribuan mil. Di negeri lain, dilanda banjir bandang, puluhan ribu orang mengungsi dan banjir ini terus berlangsung hingga hari ini. Di negeri lain lagi, menderita akibat gempa bumi dahsyat 5,8 hingga 6,4 pada skala Richter, gempa dan gempa lagi.
Mengikuti bencana besar ini, banyak gunung berapi telah menghantam daratan. Di negeri lain, angin kencang muncul, hujan lebat, salju, ombak besar, listrik terputus. Di satu bagian negeri, seluruh desa tertutup busa. Negeri tetangga kita menderita gempa 6,8 skala Richter. Hujan lebat menyebabkan tanah longsor yang menghancurkan negeri. Di negeri yang jauh, terjadi kekeringan terburuk yang pernah diderita dalam beberapa dekade belakangan ini, ratusan belalang dan jutaan serangga terbang, belalang, segerombolan belalang, seratus lima puluh juta belalang akan cukup menghancurkan persediaan makanan untuk 2.500 orang. Belalang ini menghancurkan lahan.

Di negeri lain, banjir menyebabkan keadaan darurat, dan tentu saja, di negeri Panda, kerusakan telah muncul di darat, di laut, karena apa yang telah dilakukan oleh tangan manusia menempatkan diri kita dalam hal ini, dan bagaimanapun, telah terjadi, apakah itu terjadi karena polusi yang kita lakukan, karena kehancuran yang kita buat, karena kita bingung, mungkinkah ini karena perang senjata kimia atau bocornya sebuah laboratorium? Namun semua itu, telah terjadi, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengizinkan semua ini terjadi, dan kita sebagai umat Islam, menerima kenyataan bahwa sekarang bencana telah mengintai setiap negeri, kerusakan ini telah mempengaruhi sistem ekonomi dan sistem orang yang akan melakukan barter, atau mereka yang melakukan pertukaran dengan benda-benda alam, dengan barang-barang, dengan nilai intrinsik, dengan emas dan perak, dan hewan, dan jenis barang lainnya, mereka juga mulai berdagang dengan uang kertas. Uang kertas ini, selama berabad-abad, perlahan-lahan menjadi tak berharga, hingga sekarang, perekonomian telah menjadi ilusi. Ilusi ekonomi dunia."
Syeikh Abdul Jalil berkata, "Allah Ta'ala berfirman,
أَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطٰانِ الرَّجِيْمِ
"Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk"
ظَهَرَ الۡفَسَادُ فِى الۡبَرِّ وَالۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ اَيۡدِى النَّاسِ لِيُذِيۡقَهُمۡ بَعۡضَ الَّذِىۡ عَمِلُوۡا لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُوۡنَ
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." - [QS.30:41]
Sebagai hasil dari syirik dan kekufuran, serta mengabaikan Akhirat, kejahatan, penindasan dan tirani, pasti muncul dalam perilaku dan karakter manusia. Allah menunjukkan akibat buruk dari perbuatan manusia di dunia ini sebelum hukuman di akhirat, sehingga mereka memahami kenyataan, merasakan kekeliruan mereka dan kembali kepada ajaran yang benar, yang telah disampaikan oleh para nabi Allah kepada manusia sejak masa paling awal, dan selain itu juga mulai merubah perilaku, yang tak ada cara lain mengatur perilaku manusia di atas dasar yang kuat.

Allah juga berfirman,

وَلَنـُذِيۡقَنَّهُمۡ مِّنَ الۡعَذَابِ الۡاَدۡنٰى دُوۡنَ الۡعَذَابِ الۡاَكۡبَرِ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُوۡنَ
"Dan pasti Kami timpakan kepada mereka sebagian siksa yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." - [QS.32:21]
“Azab yang lebih besar” adalah siksaan di akhirat, yang akan dijatuhkan pada orang-orang yang bersalah sebagai akibat dari kekafiran dan ketidaktaatan. "Siksa yang dekat", sebaliknya, menyiratkan malapetaka yang menimpa manusia di dunia ini, misalnya, penyakit yang menerpa kehidupan seseorang, kematian orang terdekat dan tersayang, kecelakaan, kehilangan, kegagalan, dll. Dan badai, gempa bumi, banjir, epidemi, kelaparan, kerusuhan, perang dan banyak bencana lainnya, dalam kehidupan bermasyarakat, yang mempengaruhi ratusan ribu orang secara bersamaan. Alasan adanya malapetaka ini adalah bahwa manusia hendaknya terlebih dahulu sadar sebelum datangnya "azab yang lebih besar" dan melepaskan sikap dan cara hidup yang akan menyebabkan mereka harus menderita siksaan yang lebih besar pada akhirnya. Dengan kata lain, ini bermakna, Allah tak menjamin manusia dalam keamanan yang sempurna di dunia sehingga ia dapat hidup dalam kedamaian penuh, dan salah memahami bahwa tiada kekuatan di atasnya, yang dapat menyebabkan dirinya terluka. Namun Allah telah mengatur segala hal, Dia menurunkan bencana dan malapetaka pada seseorang maupun pada suatu bangsa dan negeri dari waktu ke waktu, yang memberi pelajaran bagi manusia bahwa ia tak berdaya dan bahwa ada Penguasa Yang Mahakuasa atas dirinya, Yang memerintah kerajaan universal. Bencana-bencana ini mengingatkan setiap manusia dan kelompok, serta bangsa-bangsa bahwa ada Kekuatan lain di atas mereka yang mengendalikan nasib mereka. Semuanya belum ditempatkan pada pembuangan manusia. Kekuatan sesungguhnya ada di tangan Yang Maha Berdiri-sendiri. Ketika musibah dari-Nya turun ke atas manusia, kita takkan dapat menghindarinya dengan akal-akalan apapun, juga tak dapat melarikan diri darinya dengan memohon pertolongan jin, atau roh, atau dewa atau dewi, atau seorang nabi atau orang suci. Dipandang dari sudut pandang ini, musibah ini bukanlah musibah biasa, melainkan peringatan Allah, yang diturunkan agar manusia sadar akan kenyataan dan menghilangkan kekeliruannya. Jika manusia belajar dari pelajaran ini dan memperbaiki keyakinan dan perilakunya di dunia ini, ia takkan menghadapi siksaan yang lebih besar dari Allah di Akhirat kelak.

Wahai, yang mulia! Sekarang kita sedang di reset, di tata-ulang, dan karena kehilangan pekerjaan, karena perubahan gaya hidup kita, secara harfiah memaksa kita kembali ke cara hidup yang lebih alami dan itu membawa lebih banyak manfaat dan cara hidup yang lebih Islami, cara yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah ciptakan, dikembangkan bagi manusia. Kerusakan dalam kehidupan sosial, amoralitas mencapai proporsi epiknya dengan internet, dengan pelacuran, dengan pornografi, proporsi epik di seluruh dunia, seluruh generasi muncul dengan bahasa mereka, mengubah gaya hidup mereka, mereka telah berubah.

Sekarang kita telah mencapai titik nadir, dalam sejarah planet ini, dengan virus mengintai setiap negeri, dan dengan orang-orang yang sekarang mempertimbangkan kembali hubungan mereka, haruskah orang kulit putih terus membenci orang kulit hitam, haruskah orang non-Arab melawan Arab, haruskah bangsa-bangsa menjadi berdasarkan etnis dan suku terus melakukan ini? Kita, ras manusia, jika seseorang menderita di sebuah negeri, atau menderita di belahan bumi lainnya, maka seluruh dunia akan menderita, karena kita semua, satu keluarga manusia.
Kita semua adalah sebuah keluarga yang merupakan bagian dari satu kampung global. Kerusakan pada tingkatan politik, bahwa para pemimpin kita hendaknya berlaku jujur ​​dan bukan setiap saat melontarkan kebohongan serta mendasarkan apa yang mereka katakan pada suara atau mendasarkan apa kata mereka tentang kontrol individu. Kita tahu bahwa ada pemimpin di sebuah negeri yang memenangkan pemilihan dengan cara yang tak pantas, memberikan janji palsu dan didukung oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, melegalkan kecurangannya. Suatu hari, para pemimpin seperti ini akan dipaksa oleh keadaan agar mewujudkan janji-janji palsu mereka. Kekuasaan tak selamanya memuliakan kita, namun terkadang kekuasaan itu menghinakan kita.
Kerusakan dalam hubungan masyarakat keuangan dalam perekonomian, dikuasai oleh sejumlah orang kaya yang relatif sedikit dibanding dengan semakin banyaknya orang miskin di muka Bumi ini. Hubungan kita hendaknya berubah, dan pemerintah yang menimbun banyak uang dan yang telah mengubah banyak hal berdasarkan pemahaman mereka tentang ekonomi, hendaknya melakukan penyesuaian ulang. Namun sekarang, hal pertama yang kita lakukan, adalah pulang ke rumah! Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Shaykh Abdullah Hakim Quick,
Virtual Friday Talk, Islamic Institute of Toronto.

Jumat, 03 Januari 2020

Sebuah Keutamaan Moral

Sang angsa membacakan puisi,
Terkadang, kebenaran,
kita tergoda menyembunyikan.
Karena kelalaian,
atau hanya keangkuhan.

Berlebih-lebihan,
dapat menyebabkan kedustaan.
Mereka yang terkena imbas,
sakit dan menangis.

Saat kejujuran,
hendak kita elakkan.
Persahabatan,
akan selalu teruntuhkan.
Kemudian ia berkata, "Wahai saudara-saudariku, tahukah engkau tentang salah satu yang terbaik dari segala kebajikan moral? Banyak dari sifat-sifat manusia yang paling mulia seperti perilaku, kehormatan, dan keberanian, mengalir darinya." Para unggas menjawab, "Sampaikankanlah, wahai Angsa!" Sang angsa berkata, "Itulah kejujuran. Ada orang yang mungkin mengira bahwa kejujuran itu, hanya sebatas kata-kata. Sebenarnya bukan itu. Kejujuran dapat mewujudkan dirinya dalam perbuatan kita dan juga dalam keadaan diri-kita yang terdalam.
Seorang pemikir dan 'Ulama, al-Muhâsibî, berkata, “Agar kejujuran menjadi lengkap, seharusnya ia ada dalam tiga hal. Ia hendaknya ada dalam qalbu sebagai iman seseorang, ia hendaknya ada dalam niat di balik perbuatan seseorang, dan ia hendaknya hadir dalam kata-kata yang diucapkan seseorang."

Kita hendaknya jujur dalam kata-kata dan perbuatan. Kejujuran menembus serat terdalam seseorang ketika batinnya selaras dengan lahiriahnya. Perbuatan seseorang, jujur hanya ketika ia menerapkan apa yang ia akui. Ketidakjujuran dalam perbuatan lebih hina daripada ketidakjujuran dalam kata, karena itu hanyalah tampilan kemunafikan. Inilah yang dilakukan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf, alaihissalam, saat mereka datang dengan pakaian Nabi Yusuf yang berlumuran darah kepada ayah mereka.
Kebenaran dalam kata adalah jenis kebenaran yang paling akrab dan jelas, karena setiap pernyataan yang tak konsisten dengan kenyataan, jelas merupakan kebohongan. Allah berfirman,

وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَا تَصِفُ اَلۡسِنَتُکُمُ الۡکَذِبَ ہٰذَا حَلٰلٌ وَّ ہٰذَا حَرَامٌ لِّتَفۡتَرُوۡا عَلَی اللّٰہِ الۡکَذِبَ ؕ اِنَّ الَّذِیۡنَ یَفۡتَرُوۡنَ عَلَی اللّٰہِ الۡکَذِبَ لَا یُفۡلِحُوۡنَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta 'Ini halal dan ini haram,' untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung.” - [QS.16:116]
Dalam Al Qur'an, Allah berfirman bahwa kejujuran kita akan membawa kebaikan  di dunia ini. Dan tentu saja, kejujuran pasti akan bermanfaat bagi kita kelak di Akhirat. Allah berfirman,
قَالَ اللّٰہُ ہٰذَا یَوۡمُ یَنۡفَعُ الصّٰدِقِیۡنَ صِدۡقُہُمۡ ؕ لَہُمۡ جَنّٰتٌ تَجۡرِیۡ مِنۡتَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَاۤ اَبَدًا ؕ رَضِیَ اللّٰہُ عَنۡہُمۡ وَ رَضُوۡا عَنۡہُ ؕ ذٰلِکَ الۡفَوۡزُ الۡعَظِیۡمُ
“Allah berfirman, 'Inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.'” - [QS.5:119]
Selain jujur dalam kata dan perbuatan, kita hendaknya jujur dalam hubungan kita dengan Sang Pencipta, Allah. Ada banyak dimensi dari ungkapan kejujuran yang paling penting ini.
Ada ketulusan kita kepada Allah dalam hal keyakinan kita - dimana kita mengakui dan menerima bahwa Dialah Yang Maha Berdaulat dan hanya Dialah Yang pantas disembah dengan benar. Lalu ada kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi apa yang kita lakukan.
Ada perasaan rendah-hati dan malu yang hendaknya kita rasakan di hadapan-Nya. Jika kita benar-benar ingin jujur dalam hubungan kita dengan Allah, kita seharusnya tulus kepada-Nya sehingga tak ada motif lain dalam qalbu kita terhadap apa yang kita lakukan selain untuk mencari keridhaan-Nya.
Kita hendaknya tak berharap dengan ucapan terima kasih dan penghargaan dari sesama manusia. Kita dapat mencapai ini dengan memfokuskan perhatian kita untuk mencapai rahmat Allah. Kita hendaknya selalu sadar bahwa Allah selalu mengawasi kita.
Selain jujur ​​dalam hubungan kita dengan Sang Pencipta, kita hnedaknya berlaku jujur ​​dengan sesama manusia. Kejujuran terhadap sesama sangatlah penting. Juga, ada banyak aspek dalam hal ini. Pertama, kita hendaknya jujur ​​dalam berbagi dengan orang lain. Kita hendaknya tak melakukan tipu-daya dan memperlihatkan wajah kebohongan kepada orang lain. Sebaliknya, kita hendaknya tulus dan jujur dengan orang lain. Kita hendaknya jujur ​​dengan apa yang kita ucapkan. Karenanya, kita hendaknya selalu berhati-hati memastikan kebenaran berita yang kita dengar sebelum kita meneruskan dan menyampaikannya kepada orang lain.
Kita hendaknya jujur ​​dalam memberikan nasihat kepada orang lain. Kita hendaknya tulus dalam nasihat kita dan sungguh-sungguh memberikan yang terbaik guna membantu orang agar terhindar dari marabahaya dan memperoleh apa yang baik bagi mereka. Kita hendaknya berlaku jujur ​​dengan isteri kita. Kita hendaknya mengungkapkan isi hati kita kepadanya dan berbicara dengan bebas kepadanya tentang keprihatinan kita, rahasia kita, dan ambisi kita. Seorang suami atau istri adalah pasangan hidup, seorang sahabat, orang yang dapat dipercaya. Semakin terbuka suami dan istri dalam saling berkomunikasi dalam suasana kepercayaan dan keyakinan, semakin kuat hubungan mereka.

Nabi tercinta kita (ﷺ) sangat dikenal dengan kejujurannya, jauh sebelum beliau mulai menerima wahyu dan menjadi Utusan Allah. Beliau telah dikenal di kalangan kaumnya selama bertahun-tahun sebagai al-Amin. Rasulullah (ﷺ) menyampaikan tentang pengaruh kejujuran dan ketidakjujuran terhadap kepribadian kita. Hasan bin Ali meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
"Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa." [Sunan at-Tirmidzi 2518; Shahih]
Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” [Ṣaḥīḥ Muslim 2607;Muttafaqun Alaihi]
Beliau juga menjelaskan pengaruh kejujuran dan ketidakjujuran terhadap hubungan interpersonal kita. Hakim bin Hizam meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.” [Ṣaḥīḥ al-Bukhārī 1973; Muttafaqun Alaihi]
Sejatinya, kejujuran, menghasilkan kekuatan di setiap tingkatannya. Pada tingkat pribadi, ia memberikan integritas, harga-diri, dan kekuatan-bathin. Pada tingkat sosial, ia memberikan kedalaman dan substansi terhadap hubungan kita dengan orang lain. Pada tingkat spiritual, ia membawa ketulusan kepada Rabb kita yang merupakan kunci keselamatan kita.
Pada akhirnya, semua orang berhak atas kejujuran kita. Tak ada yang ingin didustai, bahkan kita sekalipun. Wallahu a'lam.
Rujukan :
- AM Ba Dahdah, Honesty, Islam Today