Jumat, 01 Januari 2021

Tentang Cinta (1)

Merpati putih, bersenandung

Kuingin tahu, apa itu cinta
Kuingin engkau tunjukkan padaku
Kuingin rasakan, apa itu cinta
Kutahu engkau bisa tunjukkan padaku

Kemudian ia berkata, "Puja dan puji hanya kepada Allah, yang oleh rahmat dan berkah-Nya, segala amal-shalih telah tergapai. Selawat dan salam tercurahkan atas Baginda Nabi (ﷺ), yang diutus sebagai rahmat ke seluruh dunia, juga tercurah atas keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau, hingga terputusnya sang waktu.

Wahai saudara-saudariku, saat kata "cinta" disebutkan, jiwa manusia terasa bugar dan bergetar, menikmati afeksi yang muktabar, dan aroma harum air-atar. Kata 'Kekasih' juga menyingsingkan jiwa manusia ke awang-awang, membersihkannya dengan air yang suci, berjabat dengan sang kekasih dalam gelungan aroma wewangian ini, dan mengerawang seolah di atas gegana yang lembut.
Ada pepatah lama menyebutkan, "Siapapun yang merasakan cinta, tahu nilainya." Mereka yang telah merasakan cinta dan melangkah di sepanjang alurnya, akan menyerunya. Ada orang-orang di zaman profan ini, menafsirkan cinta hanya menyangkut seputar bermesraan dan berdekapan di atas ranjang. Mereka telah lupa, bahwa ada jenis cinta yang lain, misalnya, cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul-Nya (ﷺ), cinta kepada orangtua, cinta kepada putra dan putri, cinta kepada saudara lelaki dan perempuan, dan akhirnya cinta karena Allah, yang lebih disukai di atas segala bentuk harta-pusaka. Mereka telah melupakan jenis-jenis yang luhur ini, dan sebaliknya mereka mengejar cinta terlarang yang mengarah pada permukahan, baik di rumah bordil atau di ruang terbuka seperti generasi campur-aduk yang ada sekarang ini, yang tak mengenal kepatutan maupun budi-pekerti.

Cinta mencakup serangkaian keadaan emosional dan mental yang kuat dan positif, dari kebajikan yang paling mulia atau kebiasaan baik, kasih sayang antarpribadi yang paling dalam, hingga kenikmatan yang paling bersahaja. Ada banyak pendapat tentang cinta. Salah satunya menyatakan bahwa cinta itu, intuisi, gerak-hati; bisikan qalbu yang melaluinya hati dari dua pecinta ada saling ketertarikan dan saling berhubungan secara emosional. Cinta juga merupakan bagian dari kodrat manusia yang berakar sangat dalam dan sangat dibutuhkan. Terkadang, cinta dikendalikan oleh idaman seseorang jika sang pecinta memilih cinta yang tulus dan suci, dan mau menjalani kehidupan orang-orang yang shalih.

Islam, dengan aktualitasnya, yang terwakili dalam fitrah, moralitas, dan kanunnya, mengakui pentingnya cinta yang berakar pada entitas manusia. Allah berfirman,
قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالُ ِۨاقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ
"Katakanlah, 'Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.'" [QS. At-Tawbah (9):24]
Menurut ayat ini, cinta diklasifikasikan menjadi tiga jenis: cinta peringkat tertinggi, cinta peringkat menengah, cinta peringkat terendah. Jenis-jenis ini telah ada dan diterapkan di seluruh dunia. Sesungguhnya, klassifikasi ini akan ada hingga berakhirnya masa.

Cinta tingkat tinggi itu, cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul-Nya (ﷺ), dan jihad atau berjuang di jalan-Nya. Tiada keraguan bahwa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), dan berjuang di jalan-Nya, lebih disukai, di mata orang-orang shalih, di atas segala jenis cinta lainnya, karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya (ﷺ) adalah syarat iman dan janji menjadi seorang Muslim sejati. Hal ini juga satu-satunya cara untuk membantu agama Allah, menebarkan pesan Islam dan membangun bangunan Islam di seluruh semesta.

Tentulah, orang beriman, yang merasakan nikmatnya iman, semakin cenderung cinta kepada Allah, karena ia tahu bahwa Allah itu, Yang Mahatinggi, Mahabesar dan Mahasempurna, tiada yang mampu melipatgandakan atau menggambarkan kesempurnaan dan kemuliaan ini. Ia juga percaya bahwa hukum-hukum Allah hendaknya diikuti, karena lebih komprehensif dan terlepas dari bias dan ketaksempurnaan. Oleh karena itu, ia berusaha dengan jujur dan tegas, menegakkan hukum ini, karena ia sadar bahwa Allah-lah Pemilik dunia ini dan juga Pengatur segala ciptaan. Sang Pemilik, mengatur urusan makhluk-Nya dengan cara yang Dia putuskan dan pilih. Manusia sebagai salah satu makhluk ini, tunduk pada Sang Pemilik dan Sang Pemelihara.

Ia juga mengakui bahwa Allah Maha Mengetahui, dan karenanya, Allah mengatur hukum yang sesuai dengan keadaan dan kepentingan makhluk-Nya. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah Yang Maha Esa, Maha Bijaksana dalam penilaian-Nya. Hikmah-Nya berarti bahwa Dia menempatkan segala hal pada tempat yang tepat untuk mencapai keuntungan dan mencegah kerugian. Orang beriman juga tahu bahwa Allah-lah Satu-satunya Pemberi hukum dan bahwa manusia sama sekali tak mampu membuat hukum untuk dirinya sendiri, karena ia dipengaruhi oleh lingkungan, emosi, sentimen, keyakinan, purbasangka, dan pihak-pihak yang diikutinya.

Karena hanya Allah-lah, Satu-satunya Pemilik, Pengendali umat manusia, Yang Mahatahu, Yang Maha Bijaksana, dan Yang Mahakuasa, orang beriman dengan hati dan jiwanya, lebih condong cinta kepada Allah, dan berusaha dengan tulus dan sepenuh hati melaksanakan perintah-Nya. Ia yakin bahwa kepribadiannya takkan lengkap kecuali dengan ia mengikuti petunjuk Allah.

Tiada keraguan, bahwa orang beriman yang merasakan manisnya iman, akan menyayangi Rasulullah (ﷺ). Orang beriman menemukan teladan terbaik dalam kepribadian beliau, karena Allah melukiskan beliau (ﷺ) dengan kualitas ini, yang terwakili dalam perbuatan, ucapan, dan kebiasaan. Ia menganggap beliau (ﷺ) sebagai manusia yang ideal, karena Allah menjaga beliau (ﷺ) dari kesalahan dan dosa. Ia juga menganggap beliau (ﷺ) punya karakter yang luar biasa karena Allah memberi beliau (ﷺ) sifat ini. Wajar bagi seorang mukmin tertarik mencintai Rasulullah (ﷺ) setelah ia mengakui kedudukan beliau (ﷺ) di sisi Allah. Ia juga mencintai beliau (ﷺ), karena ia menemukan beliau (ﷺ) sebagai manusia ideal dan teladan terbaik. Oleh karena itu, ia berusaha mengikuti tata-cara beliau (ﷺ) dalam segala urusan, duniawi dan agama, seperti yang dilakukan oleh para sahabat (رضى الله عنه) selama hidupnya. Mereka sangat mencintai beliau (ﷺ) sehingga mereka merasa sedih jika tak melihat beliau (ﷺ).

Tiada keraguan, bahwa orang-orang beriman, yang telah merasakan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), tertarik pada cinta berjuang di jalan Allah, dan melindungi Islam meskipun ada kesulitan dan hambatan yang mungkin mereka temui. Orang beriman tertarik pada Jihad, yang bermakna cinta berjuang di jalan-Nya, karena Allah menciptakannya bersama dengan orang-orang beriman lainnya untuk menyeru manusia keluar dari penyembahan berhala menuju penyembahan kepada Allah, dari dunia fana' menuju akhirat yang baqa', dan dari ketidakadilan menuju keadilan Islam.

Kata "Jihad" tampaknya telah menjadi kata yang paling menyeramkan dunia saat ini. "Jihad" itu, bukan bermakna "mengobarkan perang suci", atau "membunuh orang kafir", atau "melakukan terorisme." Kata "jihad" berarti "berjuang". Baginda Nabi (ﷺ) bersabda bahwa jihad terbaik itu, mengucapkan kata-kata kebenaran "di hadapan pemimpin yang zhalim." Bukan kekerasan. Bukan terorisme. Al-Qur'an menggambarkan tiga jenis jihad atau perjuangan, jihad melawan diri-kita-sendiri, jihad melawan setan - yang disebut jihad besar - dan jihad melawan musuh terbuka - yang dikenal sebagai jihad kecil. Seluruh kriteria ini, tak pernah memaknakan atau membolehkan terorisme.
Al-Qur'an dengan jelas mendefinisikan siapa yang merupakan "musuh terbuka". "Musuh terbuka" bukanlah pemerintah kita, pemeluk agama lain atau sesama warga negara kita. Sebaliknya, Al-Qur'an membolehkan umat Islam mengangkat-senjata dalam suatu jihad kecil, hanya jika lima syarat berikut terpenuhi: mempertahankan diri; dianiaya karena mempertahankan imannya; meninggalkan rumah dan bertugas ke negara lain untuk menjaga perdamaian; menjadi target pembunuhan karena keyakinan; dan untuk melindungi kebebasan beragama secara universal. Jadi apapun jihad kita, jadikanlah itu jihad sejati bagi perdamaian, pendidikan, dan perlindungan manusia dari semua agama.

Adapun cinta peringkat menengah, merupakan sentimen hati dan jangkauan perasaan psikologis yang bertandan dari seorang manusia yang hatinya berhubungan dengan, antara lain, agama, keluarga, kekerabatan, dan teman. Kasih-sayang, belas-kasihan, kesetiaan, dan simpati, memperkuat hubungan ini. Melalui peringkat ini, orang beriman akan saling mencintai, orangtua mencintai anak-anaknya dan sebaliknya, seorang suami mencintai istrinya dan sebaliknya, seseorang mencintai kerabatnya dan sebaliknya, sesama teman saling mencintai ... dll.
Islam menganggap cinta jenis ini, sebagai perasaan yang mulia dan agung. Namun, ia menempati peringkat kedua setelah cinta Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), karena tiada cinta lain yang setara dengannya. Allah, Rasul-Nya (ﷺ) dan jihad. Selain itu, cinta kepada Allah, Rasul-Nya (ﷺ), dan jihad, punya derajat dan kehormatan yang tinggi di sisi Allah. Pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan dari jenis cinta peringkat menengah ini, sebagai berikut: tanpa cinta timbal balik di antara pasangan, takkan ada keluarga, takkan ada keturunan, takkan ada kepedulian, takkan ada pendidikan, dan takkan ada pengasuhan; tanpa cinta yang ditanamkan dalam hati anak-anak, takkan ada hubungan orang tua-anak, takkan ada koherensi keluarga, dan takkan ada hubungan kerja sama dengan kerabat; tanpa cinta, takkan ada hubungan sosial, takkan ada kenalan, dan takkan ada kebahagiaan di antara umat manusia.
Jadi, cinta peringkat menengah ini, diperlukan untuk mencapai kepentingan individu dan masyarakat. Tak heran jika ajaran Islam memperkuat kecintaan orangtua kepada anak-anaknya dan sebaliknya, cinta suami kepada istri dan sebaliknya, dan cinta seorang manusia terhadap sesama teman, kerabat, dan umat manusia pada umumnya.

Sekarang, pertanyaan yang muncul, "Sampai sejauh manakah cinta tingkat menengah ini, hendaknya tetap ada?" Dalam konteks ini, kita telah sebutkan bahwa cinta peringkat menengah ini, merupakan kaidah hukum Islam, karena memperkuat hubungan antar individu dan kelompok. Karenanya, cinta ini hendaknya tetap ada, selamanya. Adakah alasan atau latar-belakang religius yang mendesak kita agar mengatasi atau membatasi jenis cinta ini? Selama seorang Muslim itu baik dan shalih, seyogyanya ia tak dimusuhi. Hasilnya, seperti yang kita ketahui, seharusnya tiada perselisihan, pertengkaran, maupun permusuhan di antara dua orang Muslim selama lebih dari tiga hari. Islam menyebutkan periode ini agar mereka dapat kembali menyadarkan diri, saling memaafkan dengan tulus, dan berjabatan-tangan. Jika permusuhan melampaui tiga hari, maka berdosalah mereka.
Islam mengajarkan kita agar saling menasihati dan membimbing rekan dan teman kita secara pribadi, mengajak mereka ke jalan keyakinan yang benar, dan menunjukkan kepada mereka akibat dari berbuat dosa di tengah perbuatan jahat. Jika ia tak mau menerima nasihat dan petunjuk itu, sang penasehat hendaknya menarik-diri darinya karena Allah, sama seperti ia menyayanginya karena Allah, bahkanpun jika ia itu, kerabat ataupun kawan. Baginda (ﷺ) bersabda,
“Sesungguhnya, sekuat-kuat tali iman itu, cinta karena Allah dan benci karena Allah.” [Musnad Ahmad, Hasan oleh Syekh Al-Albani]
[Bagian 2]