Jumat, 28 Januari 2022

Truth Will Out (2)

Dan Rembulan kemudian berkata, "Dan mari kita teruskan cerita 'Dan... dan...' ini,
Dan sementara itu, sang putra sulung menjelajahi dunia demi menemukan batu-uji Kebenaran; dan setiap kali ia sampai ke suatu tempat, ia akan bertanya kepada khalayak, pernahkah mereka mendengarnya. Dan pada setiap tempat, khalayak akan menjawab, 'Tak sekadar mendengar, bahkan kami sendiri, di antara semua orang, memilikinya, dan benda tersebut, menggelantung di sisi cerobong asap kami, sampai hari ini.' Dan kemudian, putra sulung akan bersuka-cita, dan memohon agar diperkenankan melihatnya. Dan terkadang, bentuknya berwujud sebilah cermin, yang seolah menampakkan sesuatu, dan arkian, ia berkata, 'Dan ini takkan mungkin terjadi, dan seharusnya, lebih dari sekadar penampakan.' Dan adakalanya, maujudnya dalam rupa sebongkah batu-bara, yang tak membuktikann apa-apa; dan kalakian, ia akan berkata, 'Dan ini takkan mungkin terjadi, dan seharusnya, lebih dari sekadar penampakan.' Dan sesekali, sosoknya tampak seperti batu-uji yang sesungguhnya, indah dalam rona, berhias polesan, kirana mendiami sisi-sisinya; dan saat ia menemukannya, ia memintanya, dan khalayak di tempat itu, menyerahkannya, lantaran semua orang, sangat dermawan akan pemberian semacam itu; dan di penghujungnya, kimpulnya penuh, dan berdencing saat ia mengendarai kuda; dan ketika ia berhenti di tepi jalan, ia lalu mengeluarkan dan mencobanya,  kepalanya serasa berputar bagai baling-baling kincir angin.
'Dan wabah atas pekerjaan ini!' kata putra sulung, 'sebab aku merasakan, tiada kesudahannya. Di sini, kupunya yang merah, dan yang ini, biru, dan hijau; dan bagiku, seluruhnya tampak mengagumkan, namun saling mempermalukan. 
Dan wabah dalam pertukaran! Dan jika bukan karena Raja yang seorang Begawan, dan yang kusebut ayahku, dan jika bukan pula lantaran anak-dara yang cantik di Baluwarti, dan yang menjadikan mulutku bernyanyi, dan batinku membuncah, aku akan mencampakkan semuanya ke perairan-payau, dan pulang, dan menjadi Raja seperti kerabat yang lain.' Namun ia, ibarat pemburu yang telah melihat rusa jantan di gunung, sehingga saat malam tiba, dan perapian telah dinyalakan, dan cahaya bersinar di rumahnya, dan hasrat akan rusa jantan tersebut, menetap di dadanya.

Dan putra sulung tiba di tepi perairan-payau; dan malam telah tiba, dan tempat yang menyeramkan, dan bahana sang bahar, terdengar melengking. Dan di sana, ia memperhatikan ada sebuah rumah, dan seorang lelaki duduk di sana, dekat cahaya lilin, karena ia tak punya perapian. Dan selanjutnya, putra sulung menemuinya, dan sang lelaki memberinya air-putih, sebab ia tak punya roti; dan menganggukkan kepala saat diajak berbicara, lantaran ia tak punya sepatah-kata.
'Dan punyakah engkau batu-uji Kebenaran?' tanya putra sulung; dan sang lelaki melenggut, 'Seharusnya aku tahu itu,' seru putra sulung, 'Dan kimpulku dipenuhi olehnya!' Dan ia tertawa, walau batinnya letih. Dan sang lelaki ikut tergelak, dan oleh embusan tawanya, lilinnya padam.
'Dan tidurlah!' kata sang lelaki, 'sebab saat ini, kurasa engkau telah melangkah terlampau jauh; dan pencarianmu telah berakhir, dan lilinku telah pudar.'
Dan di kala pagi telah tiba, sang lelaki menyerahkan kerikil bening di tangannya, dan yang tak memiliki keindahan dan warna, dan putra sulung memandangnya dengan cibiran, dan menggelengkan kepalanya, dan ia berlalu, lantaran seolah batu itu, baginya tak berharga.

Dan sepanjang hari itu, ia berkuda, dan otaknya hampa, dan hasrat pengejarannya sirna. 'Dan andai kerikil malang ini, batu-uji itu?' katanya; dan iapun turun dari kudanya, dan mengosongkan kimpulnya di tepi jalan.
Dan ketika seluruh batu-uji diadu satu dengan yang lain, semuanya kehilangan warna dan nyala, dan merana bagai bintang di pagi hari; akan tetapi, dibawah cahaya sang kerikil, keindahannya tetap merona, dan cahaya sang kerikil, yang terbinar. Dan putra sulung menepuk keningnya. 'Dan bagaimana jika yang inilah Kebenaran?' serunya, 'Dan yang lain cuma Benar sedikit?' Dan ia mengambil sang kerikil, dan mengarahkan cahayanya ke langit, dan binaran sang kerikil menembus ke atas laksana gorong-gorong; dan ia berputar ke arah bukit, dan perbukitan itu, hampa dan terjal, namun kehidupan mengalir di sisinya, sehingga hidupnya pun bergerak; dan ia meletakannya menyala di atas butiran debu, dan ia menyaksikan debu-debu tersebut, dalam sukacita dan kegetiran; dan ia mengarahkannya ke dirinya sendiri, dan berlutut dan berdoa.
'Dan aku bersyukur kepada Ilahi,' kata putra sulung, 'Aku telah menemukan batu-ujian; dan sekarang aku dapat mengalihkan tali-kekangku, dan pulang ke Raja dan sang dayang, yang menjadikan mulutku bernyanyi dan batinku membuncah.' 
Dan tiba-tiba terdengar pekikan, dan putra sulung menoleh ke dalam hutan, dan mengendap-endap perlahan. Dan ia melihat pertarungan antara pasukan berjubah, dan sekelompok orang, yang dari ciri-cirinya, ia kenal sebagai kelompok bersenjata. Dan seluruh pasukan berjubah di bantai, dan yang hidup hanya seorang wanita. Dan ia berpikir, 'Dan aku akan menolongnya; dan apa yang harus kulakukan?' Dan ia berlutut dan berdoa, sebab ia tahu, bahwa tiada kekuatan, melainkan Dia.
Dan ia menghunus pedangnya, menebas habis urat-leher musuh. Dan ia menemukan seorang wanita berniqab, dan yang berkata, 'Semoga seribu kebaikan untukmu, Pangeran!' Dan putra sulung bertanya, 'Bagaimana engkau tahu bahwa aku seorang pangeran?' Dan wanita berniqab menjawab, 'Dari budi-bahasamu, engkau tak dapat membohongiku!' Dan merekapun saling berbagi kisah pengalaman masing-masing, dan putra sulung berkata, 'Dan aku akan mengantarmu pulang ke negerimu, namun terlebih dahulu, ikutlah aku menemui sang Raja.' Dan wanita berniqab mengangguk.

Dan rupanya, suara sang wanita berniqab, sangatlah indah, dan di tengah perjalanan, ia bersenandung,
Age to age, I feel the call
[Abad demi abad, kurasakan seruan itu]
Memory of future dreams
[Kenangan impian masa depan]
You and I, riding the sky
[Engkau dan aku, menggoda langit]
Keeping the fire bright
[Menjaga sang agni tetap memendar]
From another time and place
[Dari waktu dan ruang berbeda]

I know your name, I know your face
[Kukenali jenamamu, kukenali wajahmu]
Your touch and grace
[Cinta dan Keikhlasanmu]
All of time cannot erase
[Sepanjang waktu takkan dapat terhapus]
What our hearts remember, stays forever
[Apa yang qalbu kita ingat, menetap selamanya]
On a song we play *)
[Pada sebuah lagu yang kita alunkan]
Dan barang sekejap, putra sulung terkesima, 'Senandung itu!' Dan ia menggeleng, 'Nehi, nehi! Saat ini, di dalam batinku, hanya ada tiga bayangan, sang dayang, sang dayang dan sang dayang, pokoknya sang dayang.' Dan terkadang, engkau tak memperhatikan, kacamatamu berada di atas kepala, dan mencarinya kemana-mana. Dan orang bijak bilang, 'Mata bisa memandang, yang nun jauh di sana, namun upil di ujung hidung, tak sanggup di celik.'

Dan sampailah mereka di Benteng gadang. Dan tatkala mereka masuk ke balairung, terlihat sang adik duduk di kursi agung, dan sang dayang di sampingnya; dan pada saat itulah, kemarahan putra sulung memuncak, sebab dalam batinnya, ia mengira, 'Akulah yang seharusnya duduk di sana, dan sang dayang di sisiku.'
'Engkau siapah?' kata saudaranya. 'Dan mengapa engkau berada di Benteng?'
'Aku abangmu,' jawabnya. 'Dan aku datang demi menikahi sang dayang, sebab aku telah membawa batu-uji Kebenaran.' Kemudian sang adik tertawa terbahak-bahak. 'K'napah' katanya, 'Aku telah menemukan batu-uji, dan menikahi sang-dayang.'
Dan muka sang kakak pucat-pasi laksana pagi-buta. 'Aku berharap agar engkau berlaku adil,' katanya, 'Sebab aku merasakan hidup dalam kegalauan.'
'Adil?' tukas sang adik. 'Engkau orang sakit, yang resah dalam pelarian, lantaran meragukan keadilanku atau Raja ayahku yang telah lama bertahta dan dikenal di negeri ini.'
'Tidak,' kata sang kakak, 'Engkau telah punya segalanya, maka bersabarlah juga; dan perkenankan aku mengatakan bahwa DUNIA INI PENUH DENGAN BATU-UJIAN, DAN TAMPAK, TAKKAN MUDAH MEMBEDAKAN YANG MANA KEBENARAN.'
'Aku tak merasa malu,' kata sang adik. 'Disitu, tengoklah ke dalamnya!'
Maka sang kakak memandang ke cermin, dan ia terperanjat; karena ia telah nampak menua, dan rambutnya memutih di kepala; dan ia terduduk di balairung dan meraung.
'Dan sekarang,' kata sang adik, 'lihat, betapa konyolnya peran yang telah engkau mainkan, jelajahi dunia demi mencari apa yang ada di dalam khasanah ayah kita, dan pulang demi gonggongan anjing belaka, dan bersama 'teroris-radikal' perempuan berniqab ini. Dan aku yang berbakti dan tajir-melintir, duduk di sini, dimahkotai dengan keutamaan dan kesenangan, dan bahagia dalam cahaya batinku.'
'Kurasa, lidahmu sangat keji,' kata sang kakak, dan ia mengeluarkan kerikil bening dan mengarahkan cahayanya pada saudaranya; dan lihat, lelaki adiknya berbohong, hatinya menciut secomel kacang-polong, dan batinnya berisi sekantong kegentaran bak ketungging-boncel, dan cinta telah mati di dadanya. Dan pada saat itu, sang kakak berteriak sekeras-kerasnya, dan kemudian mengarahkan cahaya kerikil pada sang dayang, dan aduhai, ia semata perempuan berkedok, dan batinnya telah benar-benar mati, dan ia tersenyum bak jam dinding berdetak dan tak tahu mengapa.
Dan ia diam sejenak, ada sesuatu yang terlupakan. Dan kemudian mengarahkan cahaya kerikil pada wanita berniqab, dan di sana, tegak-berdiri seorang Tuan-putri, dengan segala Keanggunannya, dan dalam segala Syantik yang sempurna. Dan ia mendekatinya dan berkata, 'Bukalah niqabmu barang s'bentar, agar aku bisa mengenalimu!' Sang wanita melepas niqabnya, dan sungguh benar apa yang telah ia saksikan.
Seraya memegang lengan wanita berniqab, ia berkata kepada saudaranya, 'Oh, baiklah, aku melihat, semua ada baik dan buruknya. Maka selamat tinggal semuanya; dan aku akan menyongosng dunia bersama kerikil ini, di dalam sakuku.' Dan kemudian, saat ia berjalan pergi, ia berkata kepada sang wanita, 'Dan aku akan mengantarkanmu pulang!'

Dan keduanya berkuda, dan di sepanjang perjalanan, keduanya bersenandung,
Burn that page for me
[Hanguskan lembaran itu untukku]
I cannot erase the time of sleep
[Kutak dapat menghapus masa lelap itu]
I cannot be loved, so set me free
[Kutak dapat dicinta, maka bebaskanlah aku]
I cannot deliver your love
[Kutak dapat merengkuh cintamu]
Or caress your soul
[Atau pedulikan dirimu]

So, turn that page for me
[Maka, bukalah lembaran itu untukku]
I cannot embrace the touch that you give
[Kutak dapat menerima sentuhan yang engkau berikan]
I cannot find solace in your words
[Kutak dapat temukan pelipur dalam perkataanmu]
I cannot deliver you, your love
[Kutak dapat merengkuhmu, cintamu]
Or caress your soul *)
[Atau pedulikan dirimu]
Dan tersebutlah, Tuan-putri dan sang Pangeran, saling jatuh-cinta, dan menikah, dan hidup bahagia, selamanya'."
Dan sebelum undur-diri, Rembulan berkata, "Ali bin Abu Thalib, radhiyallahu 'anhu, berkata,
إِنَّ الْحَقَّ والباطل لا يُعْرَفان بأقدار الرِّجَالِ اعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ واعْرِفِ الباطل تَعْرِفْ من أتاه
'Sesungguhnya, yang haq dan yang batil itu, tak dapat ditakar oleh derajat manusia. Kenalilah kebenaran dan engkau 'kan mengenali umatnya. Kenalilah Kebatilan dan engkau 'kan mengenali, siapa pembawanya.' [Ansab al-Asyraf]
Sungguh, Kebenaran itu, punya kekuatan lebih, di Dunia dan Akhirat, dan bagi orang-orang yang menyampaikan Kebenaran, rahmat Allah, 'kan teranugerah, pada mereka. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Robert Louis Stevenson, Fables, Charles Scribner's Sons
- William J. Rolfe, Litt. D, Shakespeare's Comedy of the Merchant of Venice, American Book Company
*) "Star Sky" karya Thomas J. Bergersen & Felicia Farerre

Selasa, 25 Januari 2022

Truth Will Out (1)

"Abu Dzar, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan," berkata Rembulan saat ia bangkit usai mengucapkan Basmalah dan Salam, "Bahwa Nabi kita tercinta (ﷺ) bersabda,
قُلِ اَلْحَقَّ, وَلَوْ كَانَ مُرًّا
'Katakanlah al-Haqq, walau itu, pahit.' [Ibnu Hibban memandangnya Sahih sebagai bagian dari hadits yang panjang].
Beliau (ﷺ) juga bersabda,
فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
'... Karena sesungguhnya, Kebenaran itu, menenteramkan, dan Kebohongan itu, menabur keraguan.' [Sunan at-Tirmidzi; Sahih menurut Al-Albani]
Lalu, mengapa kita seyogyanya mengatakan Kebenaran? William Shakespeare menulis, dalam karyanya, sebuah drama komedi abad ke-16, 'The Merchant of Venice,' bahwa salah satu karakternya, Lancelot Gobbo, berkata, '... Restuilah aku: Kebenaran 'kan tiba bersinar; pembunuhan tak bisa lama disembunyikan; seorang anak manusia mungkin boleh, tapi pada akhirnya, TRUTH WILL OUT.'
Siddharth 'Buddha' Gautam berkata, 'Tiga hal yang takkan dapat lama disingit: Matahari, Bulan, dan Kebenaran.'
Iya kaan? Matahari, tak boleh tidak, akan terbit, setelah Bulan minta-diri sebelum fajar, keduanya silih berganti, demikian pula, Ke-be-na-ran.

Sebagai sketsa, perhatikan baik-baik cerita bertajuk 'Dan... dan...' berikut ini,
Dan sang raja, seorang lelaki yang tegak-berdiri di hamparan dunia, dan senyumnya manis bak semanggi, namun batin terdalamnya, ciut bak kacang-polong.
Dan ia punya dua putra; dan si bungsu, bocah yang sangat dekat di hatinya, dan akan tetapi si sulung, orang yang memprihatinkannya. Dan kadarullah, pada suatu pagi, genderang-istana bergema di Baluwarti megah sebelum jelang siang; dan sang Raja, berkuda bersama kedua putranya, dan barisan para-perewa, berada di belakangnya. Dan mereka berkendara selama dua jam, dan sampai di kaki gunung coklat yang sangat curam.
'Dan kemana tujuan kita?' kata putra sulung. 'Di balik gunung coklat ini,' kata sang Raja, dan tersenyum pada dirinya sendiri.
'Dan ayahku tahu apa yang ia lakukan,' kata putra bungsunya. Dan mereka berkuda selama dua jam lebih, dan tiba di tepi sungai hitam yang sangat dalam.
'Dan kemana tujuan kita? ' tanya putra sulung. 'Di seberang sungai hitam ini,' kata sang Raja, dan tersenyum pada dirinya sendiri. 'Dan ayahku tahu apa yang ia lakukan,' kata putra bungsunya. Dan mereka berkendara sepanjang hari, dan tiba sekitar waktu matahari terbenam, di sisi sebuah telaga, dan dimana terdapat Baluwarti gadang.

'Dan di sinilah tujuan kita,' kata sang Raja, 'Dan rumah seorang Raja, dan seorang Begawan, dan rumah dimana engkau akan banyak belajar.''
Dan di gerbang Baluwarti, sang Raja, dan yang juga seorang begawan. dan berkenalan dengan mereka, dan ia lelaki yang garang, dan di sampingnya berdiri putrinya, dan ia indah laksana sang fajar, dan yang tersenyum dan menunduk.
'Dan ini kedua putraku,' kata Raja yang pertama. 'Dan ini putriku,' kata Raja begawan.
'Dan ia anak-dara yang sangat cantik,' kata Raja pertama, 'dan aku suka senyumannya.'
'Dan mereka anak-anak yang tumbuh dengan baik,' kata yang kedua, 'dan aku menyukai kesungguhannya.'
Dan setelah itu, kedua Raja saling bertatapan, dan berkata, 'Dan sesuatu mungkin 'kan terjadi.'
Dan sementara itu, kedua pemuda, memandang sang dayang, dan yang satu kucam, dan yang satunya, biram; dan sementara sang dayang, menunduk dan tersenyum.
'Dan inilah gadis yang 'kan kunikahi,' kata si sulung. 'Sebab kurasa, ia tersenyum padaku.' Dan si bungsu menarik lengan baju ayahnya. 'Ayah,' katanya, 'Dan kuhaturkan sepatah kata di telingamu. Bila aku beroleh budi dari fikrahmu, bolehkah aku menikahi gadis ini, sebab, kurasa, ia tersenyum padaku?'
'Dan sepatah kata untukmu,' kata Raja ayahnya. 'Menunggu itu, perburuan terbaik, dan saat geraham terkatup, lisan takkan kemana.'
Dan merekapun memasuki Baluwarti, dan bersuka-ria; dan inilah rumah yang megah, dan para pemuda tercengang; dan Raja begawan duduk di ujung meja, dan diam, dan para pemuda merasa segan; dan sang dayang yang meladeni, dan tersipu-sipu mesem dengan mata merunduk, dan yang bikin batin, kepo, eh bukan, serasa lapang.

Dan sebelum siang hari, putra sulung bangun, dan ia menemukan sang dayang, dan sedang menenun, dan sebab ia gadis yang taman. 'Dara,' sapanya, 'Dan kukan berusaha sekuat tenaga, menikahimu.'
'Dan bicaralah dengan ayahku,' katanya, dan ia menunduk seraya tersenyum, dan celik laksana kuntum mawar. 'Dan batinnya bersamaku,' kata putra sulung, dan ia berjalan ke telaga, dan bersenandung,
Here we are, riding the sky
[Disnilah kita, menggoda langit]
Painting the night, with sun
[Merajah senja, dengan surya]
You and I, mirrors of light
[Engkau dan aku, bayangan kirana]
Twin flames of fire
[Gelora kembar agni]
Lit in another time and place
[Berkobar dalam waktu dan ruang berbeda]

I knew your name, I knew your face
[T'lah kukenali jenamamu, t'lah kukenali wajahmu]
Your love and grace
[Cinta dan Keikhlasanmu]
Past and present, now embrace
[Masalalu dan masakini, s'karang berangkulan]
Worlds collide in inner space, unstoppable
[Mayapada beradu di bumantara, tak terbendung]
The songs we play *)
[Dalam dodoi yang kita alunkan]
Dan tak lama kemudian, datanglah putra bungsu. 'Dara,' sapanya, 'Dan bila ayah kita bersepakat, kuingin menikah denganmu.'
'Dan bicaralah dengan ayahku,' katanya, dan lalu menunduk, dan senyumannya, mekar bak kembang ros.
'Dan ia anak dara yang berbakti,' kata putra bungsu, 'Dan ia akan menjadi istri yang setia.' Dan kemudian ia berpikir, 'Dan apa yang mesti kulakukan?' dan ia teringat pada Raja begawan, ayah sang dayang; dan ia pun beranjak ke kuil, dan mengorbankan seekor musang dan kelinci.

Dan kabarpun tersiar; dan dua pemuda serta Raja pertama, dipanggil ke hadapan Raja begawan, dan dimana ia duduk di kursi yang tinggi. 'Aku kurang memperhatikan alat-tempur,' kata Raja begawan, 'dan sedikit pada kekuatan. Karena kami diam di sini, di antara bayang-bayang, dan hati muak melihatnya. Dan kami diam di sini, bersama angin, bagai pakaian mengering, dan hati penat oleh angin. Dan ada sesuatu yang kusuka, dan ini benar; dan untuk sesuatu yang olehnya, aku akan menyerahkan putriku, ialah sebuah batu-uji. Dan sebab dalam cahaya batu tersebut, segala yang semu, akan sirna, dan kesejatian bakal tampak, dan segala selainnya, takkan bernilai. Dan oleh sebab itu, anak-anak, jika engkau hendak menikahi putriku, berkelanalah, dan bawakan untukku, batu-uji yang menjadi, harkat putriku.'
'Dan kuhaturkan sepatah kata di telingamu,' kata si bungsu kepada ayahnya. "Dan kurasa, kita akan baik-baik saja, tanpa batu ini."
'Dan sepatah kata untukmu,' kata ayahnya, 'Dan aku tak mengikuti alur berpikirmu; maka saat geraham terkatup, lisan takkan kemana.' Dan ia tersenyum kepada Raja begawan.

Dan namun, si sulung berdiri, dan menyebut Raja begawan, dengan panggilan ayah. 'Walau aku tak jadi menikah dengan putrimu, kutetap memanggilmu dengan sebutan itu, oleh rasa cintaku akan kearifanmu; dan walau sekarangpun, aku akan berkuda dan menjelajahi dunia, demi batu-uji tersebut.' Dan setelah itu, ia mohon-diri, dan berkendara menyongsong dunia.

'Dan kurasa, aku akan menyusul,' kata putra bungsu, 'Dan jika aku beroleh pamitmu. Sebab batinku cuma tertuju pada sang dayang.'
'Dan engkau 'kan kembali bersamaku," kata ayahnya. Dan merekapun pulang, dan saat mereka tiba di Baluwarti, dan sang Raja membawa putra kesayangannya, masuk ke dalam sebuah khasanah. 'Dan ini,' katanya, 'Batu-uji yang akan memperlihatkan Kebenaran; sebab tiada Kebenaran, selain Kebenaran apa adanya; dan andai engkau memperhatikan ini, engkau akan mempersaksikan dirimu, sebagai dirimu sendiri.'
Dan putra bungsu memandang ke dalamnya, dan melihat wajahnya, bak wajah seorang pemuda, yang tak punya b'rengos, dan ia cukup puas; dan apalah benda itu, cuman sebilah cermin. 'Dan tiada kehebatannya, guna dijadikan karya,' katanya; 'Akan tetapi, bila itu dapat menjadikanku, merengkuh sang dayang, aku takkan sambat. Walakin, alangkah dongoknya saudaraku, yang berlalu pergi jelajahi dunia, padahal selama ini, batu-ujinya, ada di rumah!' 
Dan maka, merekapun kembali ke Baluwarti sang begawan, dan menunjukkan cermin tersebut kepadanya; dan ketika ia melihat ke dalamnya, dan saksikan dirinya bak seorang Raja, dan rumahnya bak rumah seorang Raja, dan segala sesuatu, seperti apa adanya, dan ia berseru dan beryukur pada Ilahi. 'Dan kini kutahu,' katanya, 'Dan tiada Kebenaran melainkan Kebenaran apa adanya; dan aku sesungguhnya seorang Raja, dan walau batinku, meragukannya.' Dan ia merobohkan kuilnya, dan membangun yang baru; dan setelah itu, putra bungsu, menikah dengan sang dayang.
[Bagian 2]

Jumat, 21 Januari 2022

Di Lobi (2)

'Menelusuri halaman demi halaman, dan lembar demi lembar kertas, yang membawa berita atau sekadar menyampaikan kabar, matanya terfokus pada sebuah Headline, yang menarik perhatiannya, 'Perang,'
Para Musang dan Tikus selalu saling mengangkat senjata. Perselisihan ini, semakin memanas ketika seekor Musang, yang sudah senjakala oleh usia dan lemah, tak dapat menangkap tikus seperti sediakala. Oleh sebab itu, ia menggulung dirinya dalam laburan tepung dan berbaring di sudut yang gelap. Seekor Tikus, mengira ia makanan, melompat ke atasnya, dan langsung disambar dan diremas sampai mati. Yang lain binasa dengan cara yang sama, berikut yang ketiga, serta yang lain lagi, setelahnya. Seekor Tikus yang telah sangat tua, yang telah luput dari banyak jebakan dan jeratan, mengamati dari jarak aman, tipu daya musuhnya yang licik, dan berkata, “Ah! Engkau yang berbaring di sana, semoga engkau bahagia dalam harmoni yang sama seperti, yang sedang engkau pura-pura lakukan!”
Mendengar ini, para Tikus menyatakan perang terhadap para Musang. Namun, dalam setiap pertempuran, Musang selalu berjaya, serta menawan sejumlah besar Tikus, yang mereka santap sebagai makan malam keesokan harinya. Dalam keputusasaan, para Tikus membentuk Dewan, dan di sana, diputuskan bahwa pasukan Tikus kerap mengalami kekalahan, lantaran tak punya pemimpin. Maka, sejumlah besar Jenderal dan Komandan diangkat di antara para Tikus yang paling istimewa.

Agar membedakan diri mereka dari para prajurit sesuai pangkatnya, para pemimpin baru, dengan bangga mengikat erat di kepala mereka, Jengger besar, yang tinggi, disertai hiasan bulu atau jerami. Seusai persiapan panjang pasukan Tikus dalam segala jenis seni-perang, antara lain strategi perang Sun Zi, Sun Bin, Pang Juan, dan masih banyak lagi, mereka mengirim tantangan ke para Musang.
Para Musang menerima tantangan tersebut, dengan penuh semangat, sebab mereka selalu siap berperang, bila penganan telah terhidang di depan mata. Mereka segera menyerang pasukan Tikus dalam jumlah besar. Seketika, pasukan Tikus menyerah sebelum menyerang, dan seluruh tentara, tunggang-langgang mencari perlindungan. Para prajurit Tikus, dengan mudah menyelinap ke dalam lubang-lubang mereka, namun tak demikian dengan para Jenderal dan Komandan Tikus, mereka tak bisa masuk melalui lubang sempit, gara-gara terganjal oleh jengger aneh di kepala mereka. Tak satupun yang lepas dari rahang Musang yang lapar. 
Kehebatan itu, ada penaltinya, dan semakin banyak kehormatan yang dituntut, akan semakin berbahaya. Perang ini terjadi di Belahan Bumi Utara, dan hingga berita ini diturunkan, masih berlangsung. Ada berita menarik, yang telah terjadi di Sabuk Khatulistiwa. Seorang Raja berseru, 'Hentikan Perang!' Para pengikutnya yang setia, yang selalu menjunjung sang Raja, walau cuma mendengar sepenggal kalimat, merasa bangga dan memekik kepada semua orang, 'Saatnya sang Raja menjadi Kaisar! Saatnya sang Raja menjadi Kaisar!'
Seorang Nyonya Bangsawan yang sangat disegani, mengamati, dengan nada satire menimpali, 'Apa? Menjadi Kaisar? Memang negeri ini, punya nenek moyangmu?'
Di Tavern, nada memikat sang vokalis, masih melantun,
Takes more than combat gear, to make a man
[Butuh lebih dari sekadar alat-tempur, guna menjadikan manusia]
Takes more than a license, for a gun
[Butuh lebih dari sekadar lisensi, demi sebuah bedil]
Confront your enemies, avoid them when you can
[Songsong musuhmu, hindari bila memungkinkan]
A gentleman will walk, but never run
[Seorang jentelmen 'kan melangkah, namun takkan pernah lari]

Kembali, pandangan sang lelaki mengitari lembaran koran, dan terhenti saat ia membaca 'Tajuk Rencana,'
Darmabakti, Fulus, dan Pamor, bepergian bersama; mereka punya kedekatan, dan seperti yang terjadi, kawan yang sangat baik.
'Nah Sepupu,' kata sang Fulus, 'Walau kita menempuh jalan yang sama, ada kemungkinan, kita 'kan saling kehilangan.' 
'Hampir pasti, mungkin bisa begitu,' kata sang Darmabakti. 'Namun, bila memang itu mesti  terjadi,' kata sang Pamor, 'Apa yang hendaknya kita lakukan agar dapat saling menemukan? Ada baiknya, engkau terlebih dahulu memberikanku semacam Isyarat, bahwa jika aku tak menemukanmu, aku mungkin mengenalmu, atau setidaknya, dimana keberadaanmu.'
'Dengan segenap Jiwaku,' kata sang Fulus, 'Dimanapun engkau melihat perkembangan besar yang terjadi dalam bidang Seni dan Sains, citarasa tinggi dalam sebuah gubahan, baik Syair maupun Prosa, sebingkai Lukisan yang indah, dan sebuah Patung yang aneh, carilah aku, dan yakinlah bahwa aku takkan jauh.'
'Giliranku,' kata sang Darmabakti, 'Aku tak mudah ditemukan bila hilang, dan janganlah engkau membayangkan menemukanku di kota-kota besar dan padat. Aku lebih suka bersembunyi di padang pasir. Namun, bila engkau melihat orang-orang hebat yang penuh kasih-sayang, dan dermawan kepada Orang Miskin, yang tak merasa nyaman dengan kesulitan orang-orang yang kepadanya mereka telah menjalin persahabatan, dan yang menganggap Kemuliaan teragung itu, semata demi melayani mereka yang berada dalam Kesulitan, Suami yang setia, Hakim yang adil, Menteri yang tekun; Penakluk yang berintegritas, dan Pecinta kebaikan dalam masyarakat, maka tanyakanlah aku, engkau pasti akan menemukanku.
'Baiklah,' kata sang Pamor, 'Aku harus menyampaikan ini juga, bahwa aku tak berpandangan buruk tentang diriku, namun, aku harus memberitahukan sebuah Tindakan Pencegahan, yaitu, Jagalah diriku sebaik-baiknya; berhati-hatilah, jangan melalaikanku, jika engkau melakukannya, semua Tanda dan Token yang diberikan oleh siapapun kepadamu, takkan membantumu. Sebab mereka yang pernah kehilangan diriku, takkan pernah menemukanku lagi.'
Sang lelaki bergegas menutup korannya, dan meletakkannya kembali di rak, saat lelaki lain berjalan mendekatinya. Mereka saling menyapa dengan Salam, dan lelaki yang baru saja tiba, berkata, 'Maaf Pak, aku pemandu yang akan mengantarkan berkeliling.' Sang lelaki berkata, 'Baiklah, setelah ini, kita akan pergi kemana?' Sang pemandu berkata, 'Aku akan membawa bapak ke lokasi dimana ditemukan patung seorang pria, yang memakai helm, mengendarai sepeda motor balap. Sang patung  tak dapat dikenali, lantaran berada di bawah tumpukan batu bata merah dan bagian depan helmnya, tertutup oleh cendol yang telah mengeras,' sembari mereka berjalan menuju gerbang hotel. Seorang wanita diikuti oleh putra dan putrinya, mendekat, dan sang lelaki berkata, 'Oh, mereka ini, istri dan anak-anakku!' Sang pemandu mengangguk dan berkata, 'Aku rasa, anak-anak juga akan senang melihat patung itu, karena bisa jadi, bagian dari pelajaran sejarah.'

Mereka meninggalkan hotel, demikian pula aku, dan sang vokalis, sayup-sayup mengakhiri lagunya,
Whoo oh, I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
Whoo oh, I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York *)
Sebelum Rembulan pergi, ia berkata, "Bila engkau hendak menggapai Kehebatan, terlebih dahulu, pikirkanlah tentang bantuan atau kemudahan pelayanan. Menjadi hebat itu, bertanggungjawab terhadap orang lain, yang sepantasnya engkau berikan sebagai pertukaran. Jadi, Melayani dan Bertanggungjawab itu, takkan jauh-jauh dari ventilasi Kehebatan. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Sieur De La Motte, One Hundred New Court Fables, Peter-Nofter-Row
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons
*) "Englishman in New York" karya "Sting" Gordon Summer

Selasa, 18 Januari 2022

Di Lobi (1)

"Di lobi sebuah hotel," Rembulan berkicau setelah mengucapkan Basmalah dan Salam, "Aku memperhatikan seorang lelaki, yang entah ia sedang menunggu seseorang atau sesuatu, ku tak tahu, yang kutahu, ia sedang membaca koran. Dan perkenankan aku mennyampaikan tentang membaca koran.
Mereka bilang, membaca koran itu, ibarat dua sisi Candra, ada sisi-gelapnya, dan ada sisi-terangnya. Sisi gelapnya, saat engkau membaca koran, akan terkesan seperti seorang pengangguran yang membuang-buang waktu. Terlebih lagi, adakalanya, berita yang dipublikasikan terbukti dusta, keliru, atau tersaji kurang pantas, dan membaca konten-konten tersebut, membingungkan pembaca. Sama halnya dengan media atau platform berita lainnya, cerita yang menyayat hati, di dalam koran, tak dibarengi dengan trigger-warning. Peristwa-peristiwa seperti ini, membuat pembaca merasa terancam atau tak aman.
Adapun sisi-terangnya, membaca koran akan menjauhkan otakmu dari kepikunan. Membaca koran itu, kebiasaan yang baik. Banyak nilai-nilai pendidikan dapat diperoleh dengan membaca koran. Informasi politik, ekonomi, hiburan, olahraga, bisnis, industri, perdagangan dan niaga, akan disuguhkan untukmu. Tak hanya meningkatkan pengetahuanmu tentang informasi umum, dengan kebiasaan ini, juga akan meningkatkan kemampuan bahasa dan kosa-katamu.
Sekarang ini, partai politik telah mulai menerbitkan korannya sendiri, tak semua, tapi umumnya, cuma menggarisbawahi sisi benderang mereka dan mempertontokan sisi-kelam partai lain. Fakta pemlintiran semacam ini, memecah-belah bangsa, dan sistem perpolitikan mereka, dipertanyakan. Maka, waspadalah terhadap para penggombal, yang gombalannya, lebih lajat dari pengakuan Giacomo Girolamo Casanova.

Selagi sang lelaki membolak-balikkan korannya, dari sudut lobi, melalui pintu tavern hotel, mengalun irama dari vokalis sebuah klub band,
Whoo oh, I'm an alien, I'm a legal alien
[Woo oh, aku alien, aku alien legal]
I'm an Englishman in New York
[Aku orang Inggris di New York]
Whoo oh, I'm an alien, I'm a legal alien
[Woo oh, aku alien, aku alien legal]
I'm an Englishman in New York
[Aku orang Inggris di New York]

If 'Manners maketh Man' as someone said
[Jika 'Perilaku menentukan Manusia" seperti kata seseorang]
He's the hero of the day
[Ia, sang johan terkini]
It takes a man to suffer ignorance 
[Butuh seorang penderita kejahilan]
And smile, be yourself no matter what they say
[Dan tersenyumlah, jadilah dirimu, tak peduli apa kata mereka]
Setelah membolak-balik koran beberapa kali, sang lelaki tertarik pada sebuah artikel,
'Baginda yang agung! Siapakah yang dicintai rakyat, dan paling didamba? Matahari terbit, yang fajarnya bergegas menyingsing, dan memancarkan Kemuliaan, menjadikan negeri ini, merasakan rasa-manis dalam masa-massa yang paling membahagiakan: Kepada Baginda, patik mempersembahkan—dan jiwaku bersandar sepenuhnya pada belas-kasihanmu—hikayat yang istimewa ini, yang mana, Brahma sendiri, mendiktekannya langsung kepadaku. Sesungguhnya, tampilan luarnya bagai Dongeng, tetapi, dalam kenyataannya, Kebenaran yang agung. Ia merupakan Filosofi dalam masa kanak-kanakmu. Apabila pesan Moral mendekati Baginda, dengan tatapan tajam, bahasa yang kasar, dan sikap yang menakutkan, pastilah  engkau 'kan berputih-mata. Oleh sebab itu, akan lebih masuk akal, bila ia mendandani dirinya dengan kejenakaan, dan mempersembahkan padamu, ribuan kenikmatan yang berarti.
Dalam karya ini, patik menghaluskannya dengan keceriaan dan kelakar. Orang lain, bisa jadi, mungkin, dapat melakukannya lebih baik, namun dalam hal ini, Baginda yang agung, terimalah Persembahan yang tulus dan setia dari usaha patik yang malang ini; jika menghasilkan buah yang kuinginkan, patik akan merasa mendapat kehormatan, dan menjunjung Langit dengan segala Kemuliaan-Nya. Disini, tugas Para Raja terlacak, dalam citra yang lebih indah dalam keceriaan. Patik akan melangkah lebih jauh, jika ini tak cukup, kelak, Keteladanan Bagindalah yang akan berbicara lebih banyak. Namun, jangan abaikan tema-tema lain yang telah patik arahkan kepada semua Manusia secara umum: Tiada satupun yang menyangkut Umat Manusia bila engkau bertindak sebagai Orang-asing. Raja-raja Agung terbentuk dari Orang-orang Besar. Berusahalah menjadikan dirimu seorang Manusia, dan ketika itu selesai, Raja yang rancak, akan datang menghampirimu. Menjadikan seorang manusia sebagai objek, sungguhlah berat; bahkan dapat menghinakan seorang Raja. Karya penting ini, seyogyanya ditanamkan ke dalam diri Baginda, yang dibutuhkan rakyat, dari dukunganmu!
Saat Kebenaran merelakan dirinya padamu, jadikanlah perhatian Baginda, terus-menerus memandangnya, dan kesaksiannya yang tulus, meletakkan dasar dari segala kebajikan yang kokoh dalam qalbu kerajaanmu. Dan jika masa pengajaran telah sirna, mungkin, Kebenaran yang sama ini, takkan dapat kutunjukkan lagi. Inilah kata yang menakutkan, namun seuatu yang sering terjadi. Semua Raja disanjung, duhai Baginda yang Perkasa! Sekarang saatnya; memikirkan, perisai diri dari segala petaka di masa depan.
Khabarnya, ada seorang Puan cantik—patik secara kentara, memilih Kecantikan, yang bergandengan dengan Kemuliaan. Sang puan, berdandan di meja-riasnya, Kaca Pandangnya yang setia, bagai seorang teman, menyampaikan lebih banyak Kebenaran dibanding orang lain. 'Engkau sangat cantik!' kata sang cermin, 'dan aku berkata demikian dalam Keadilan yang sesungguhnya. Bila ada orang yang memperhatikan kerupawananmu, mungkin hanpir bersaing dengan Venus. Aku bilang hampir, melainkan engkau hendaknya memperbaikinya—dan akan manjur, walau dengan sedikit perawatan—ada kekurangan yang kulihat dalam dirimu, tak seberapa, menurutku, sepele; tetapi itu tak mengabaikan pentingnya wanita yang baik, mengubahnya. Apa gunanya semua Pemerah pipi itu? Katakan padaku mengapa engkau mengubah karunia yang telah diberikan alam kepadamu? Lembutkanlah sedikit Penampilanmu; Senyuman itu, jika tak dibuat-buat, akan jauh lebih menyenangkan!' Nasihat ini, disepakati sang puan, dan ternyata hanya mengikutinya cuma sebentar, saat Kerumunan besar tamu datang menemuinya.
Ia bangkit berdiri menerimanya, dan meninggalkan Kaca Pandang-nya. Seluruh ruangan bergema bersama sanjungannya; semuanya, termasuk kenyataannya; bedak tebal yang sangat mencolok, begitu juga penampilannya, senyumnya, pesonanya, dan keanggunannya, tiada yang membentuk kecantikan sempurna. Singkatnya, banyak yang bisa dikatakan, bahwa puan yang malang ini, telah melupakan nasihat dari cerminnya yang setia.
Dengan gamblang engkau 'kan melihat, Pangeran yang agung, bahwa puan cantik itu, dirimu sendiri, dan Kaca Pandang itu, jauh lebih baik dari seorang penasehat biasa, yang petunjuk-petunjuk jenakanya, dengan sangat hati-hati, membentuk bagi kami, rakyatmu, seorang Raja yang sempurna. Langit memberkahi setiap upaya. Setiap kali Penyanjung mendekatimu, ingatlah, bahwa nasihat terbaik itu, semata bersumber dari Kaca Pandang.
Sang lelaki tersenyum dan manggut-manggut, sementara itu, senandung sang vokalis, lanjut mengalun,
Whoo oh, I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
Whoo oh, I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York

Modesty, propriety, can lead to notoriety
[Kesantunan, kepatutan, bisa membawa nama-buruk
You could end up as the only one
[Engkau bisa berakhir dalam kesendirian]
Gentleness, sobriety, are rare in this society
[Kelembutan, kesabaran, jarang ada di dalam masyarakat ini]
At night, a candle's brighter than the sun
[Di malam hari, sebuah lilin, lebih benderang dibanding matahari]
Tatapan sang lelaki, kemudian bergerak menjelajahi lembaran korannya, pada sebuah kolom, ia berhenti dan membaca,
Tersebutlah, penduduk negeri Kera, hendak memilih seorang Raja, dan mereka memutuskan bahwa Popularitas, haruslah menjadi satu-satunya Kualifikasi, dan barangsiapa yang memilikinya, yang paling pantas mengenakan Mahkota. Dan sungguh, dalam hal ini, mereka bertindak hati-hati, karena Kepercayaan akan gelisah, bila kita tak mempunyai cara, untuk menghargai dan menghormati mereka, yang menjadi pemimpin, dan melalui siapa, kita menerima Hukum.
Konvensi, diadakan di Lapangan terbuka, dimana setiap warganegara, menunjukkan Kemampuannya, mereka melompat, menari dan meloncat-loncat; demi Toya Kerajaan; seperti yang kukatakan sebelumnya, guna menakar para Kera, yang akan terpilih sebagai pemilik popularitas berlimpah. Sekarang, engkau seyogyanya tahu bahwa, di sana, tergantung sebuah Apel, di dahan yang sangat tinggi, dan siapa di antara mereka, yang dengan gesit merebutnya, layak naik Tahta.
Adakah dorongan lain selain Ambisi dan Asa akan Kemuliaan? Sinyal telah diberikan, yang gagah-berani, maju dan melompat, namun tujuan tak tercapai, semata menggoyangkan Apelnya; yang satu mendekati dahan, dan yang lain merengkuh, namun menggenggam udara-hampa dengan perasaan tak puas.
Pergumulannya panjang, namun usai banyak usaha yang tak membuahkan hasil, dan saat buah Apel—oleh dahannya yang telah terguncang dahsyat—hampir jatuh ketika angin bertiup, muncullah dua Penipu yang belum melakukan upaya apapun, satu di antaranya sangat gesit, yang lain agak lamban; dan mulai bertarung, walhasil, buah Apelnya, kadarullah, jatuh tepat ke mulut kera yang lamban. Kera yang gesit, kecewa, segala usahanya sia-sia, dan ia boleh saja berbangga diri pada Kesempurnaannya, jika ia mau.
Para Majelis Rakyat yang dungu, tersenyum, dan dengan lantang menyatakan, ia yang memiliki Apel, menjadi Raja mereka, dan hanya kepadanya, mereka akan bersumpah setia, 'Hidup sang Raja!' ribuan kali berulang, dan teriakan dan syabas mereka, bahkan menembus awan.
'Duhai nuraniku, ini sangat menggelikan, sungguh keputusan yang sangat membagongkan,' berkata Kera tua muhtasyam, yang duduk dan mengamati segalanya, dalam senyum-getir. 'Betapa bodoh dan konyolnya kita? Tapi ini muncul di antara kami, yang sangat mirip dengan para manusia : KITA MENILAI BERDASARKAN PERISTIWA!'
Beberapa penulis yang telah merangkai Koleksi Sejarah Kerajaan Kera, bervariasi dalam meriwayatkan pemilihan ini. Pada bagianku, aku merasa ragu, sisi mana yang hendak kupilih, namun dari segala penjuru , pesan Moralnya, sangatlah apik.
Beberapa Penulis mengatakan, bahwa Kera tua yang disegani, lamban oleh usia, duduk di atas akar pohon, dan menjadi satwa yang punya banyak Ilmu dan Pengalaman dalam urusan dunia, mampu mencermati, bahwa setelah dahan apel diguncang-guncang, buah Apel akan segera jatuh, seketika ia menangkapnya saat meluncur ke bawah, dan bahwa Rakyat, yang melihat akal-sehat dan pikiran-jernihnya, mengangkatnya sebagai Pasak Kunci. SUNGGUH, TIADA SEORANG RAJA, MELAINKAN DENGAN HIKMAH.
[Bagian 2]

Jumat, 14 Januari 2022

Di Kedai Kopi

"Suatu ketika, aku mengunjungi sebuah hotel bernama Varukai," sapa Rembulan saat ia bertandang, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "Bentuknya bulat bagai kura-kura yang terikat,  
kereta kuda mewah berderet di halaman depannya, dan di bagian terluarnya terdapat Kedai Kopi. Saat pantulan cahayaku meretas ventilasi, aku berpapasan dengan seorang biduan, yang berdiri di atas panggung, bersenandung, 
Los dol! Ndang lanjut lehmu WhatsApp-an!
[Santuy! Lanjutin aje WhatsAppan lu!]
Cek paket datane, yen entek tak tukokne
[Cek paket datenye, kalo abis, gue beliin]
Tenan, Dek, elingo, yen mantan nakokno kabarmu
[Beneran Mpok, kalo mantan nanyain kabar lu]
Tandane iku ora rindu
[Itu tandenye, kagak rindu]
Nanging kangen kringet bareng awakmu
[Tapi, kangen k'ringatan bareng elu]
Kedai tersebut, menurut penduduk setempat, dulunya, sebuah pasar tradisional, namun mengalami kebakaran, kemudian berubah menjadi sebuah hotel, dan berakhir menjadi milik sah para pengusaha tajir. Bukanlah hal yang aneh, di negeri yang kukunjungi ini, bahwa Keadilan, tak berlaku bagi Rakyat, melainkan semata demi para Pebisnis.
Lalu, aku melihat sekeliling, ada banyak meja, masing-masing berkapasitas 4 kursi, dan di tengah meja, diletakkan sebuah nomor-kode. Setelah itu, aku mengalihkan sorotanku secara acak. Pertama, ke meja berkode 888, mereka yang duduk di sana, makan malam dengan tenang. Dan kemudian, aku bergeser ke meja 1122, pengunjungnya berbicara dengan berbisik, dalam bahasa yang tak kupahami. Selanjutnya, aku pindah ke meja 411, seorang pengunjung berkata kepada rekan semejanya,
Konon, datanglah ke bumi, seorang pengunjung dari planet tetangga. Dan ia bertemu di area pendaratannya, seorang filsuf masyhur, yang akan menunjukkan kepadanya, segalanya. Pertama-tama, mereka mengunjungi sebuah Rimba, dan sang orang-asing memperhatikan pepohonan. 'Yang ini semua, siapa?' tanyanya. 'Ini cuma tanaman,' jawab sang filsuf. "Mereka hidup, namun sama sekali tak menarik.'
'Aku belum tahu tentang itu,' kata sang orang-asing. 'Mereka tampaknya punya perilaku yang sangat baik. Pernahkah mereka bercakap-cakap?'
'Mereka tak dikaruniai dengannya,' kata sang filsuf. 'Namun kurasa, aku mendengar mereka, bersenandung,' kata sang penanya. 'Ooo, yang itu, cuma tiupan-angin di antara dedaunan,' kata sang filsuf.' Aku akan menerangkan padamu, tentang teori angin, sangat menarik.'
'Kalau begitu,' kata sang orang-asing, 'Andai aku tahu apa yang mereka pikirkan.'
'Mereka tak bisa berpikir,' kata sang filsuf. 'Aku tak tahu tentang itu,' balas sang orang asing: dan kemudian meletakkan tangannya pada batang sebuah pohon, 'Aku suka orang ini,' katanya.
'Mereka sama sekali bukan orang,' kata sang filsuf. 'Ayo ikut.'

Selanjutnya, mereka melalui padang rumput dimana ada Kerbau. 'Manusia-manusia ini, sangat kotor,' kata sang orang-asing. 'Mereka sama sekali bukan manusia,' kata sang filsuf; dan ia menjelaskan seperti apa Kerbau itu, dalam ungkapan ilmiah, yang aku sendiri, tak paham.
'Aku tahu sekarang,'' kata sang orang-asing. 'Akan tetapi, mengapa mereka tak pernah melihat ke atas?'
'Lantaran mereka pemakan daging,' kata sang filsuf, 'Dan oleh hidup di atas rumput, yang tak bergizi-tinggi, namun sangat mencermati urusan bisnis, sehingga mereka tak punya waktu berpikir, atau berkata-kata, atau melihat pemandangan, atau menjaga agar tubuh mereka, tetap bersih.'
'Yah,' kata sang orang-asing, 'Itulah salah satu cara agar dapat hidup, tiada keraguan. Namun, aku lebih suka orang yang berkepala hijau.'

Berikutnya, mereka tiba di sebuah kota, dan jalan-jalan dipenuhi dengan manusia, pria dan wanita. 'Mereka semua, orang-orang yang sangat aneh,' kata sang orang-asing. 'Mereka semua, penduduk dari bangsa yang paling agung di dunia ini,' kata sang filsuf. 'Benarkah demikian?' kata sang orang-asing. "Kayaknya, mereka nggak gitu-gitu amat!'
Aku agak tergesa-gesa, karenanya, aku tak berlama-lama mengacuhkan percakapan mereka. Lalu, aku diam sejenak, mendengarkan senandung sang biduan,
Tak gawe los dol, blas aku ra rewel
[Gue buat santuy aja, sama s'kali gue nggak rewel]
Nyanding sliramu sing angel disetel
[Dekat ame elu, nyang susah disetel]
Tutuk-tutukno chattingan karo wong liyo
[Puas-puasin dah, cetting ame nyang laen]
Rapopo, aku ra gelo
[Nggak ape-ape, gue nggak tersinggung]
Kemudian, sorotanku bergeser, ke meja 511, aku tak menemukan apa yang kucari. Dan pindah ke meja 1234, aku mendengar, yang satu berkata kepada yang lain,
Dua kuda-delman, Gelding [kuda jantan yang sudah dikebiri] dan Mare [kuda betina yang sudah kelewat tua], dibuang ke Pulau Samoa, dan ditempatkan di padang-rumput yang sama, dengan Kuda Pelana, agar bebas berlarian di pulau tersebut. Keduanya, agak segan mendekatinya, lantaran mereka menganggap, satwa yang satu ini, kuda perkasa nan gagah, dan mengira, ia takkan mau berbicara dengan mereka.
Sekarang, giliran sang Kuda Pelana, yang belum pernah sama sekali melihat dua makhluk sebesar itu, 'Mereka pastilah para penggedhe,' sangkanya, dan dengan santun, ia mendekati keduanya, 'Bapak dan Ibu,' katanya, 'Aku paham bahwa engkau berdua, tuan Meneer dan nyonya Mevrouw kan? Aku menyambutmu dengan rasa suka-cita, dan semoga kalian berdua, betah di pulau ini.'
Para 'Kolonial' memandangnya dengan curiga, dan saling bertanya. 'Siapa sih?' tanya sang Gelding. 'Ia tampak mencurigakan,' jawab sang Mare. 'Kurasa, ia tak perlu diperhitungkan,' berkata sang Gelding.
'Tergantung, mungkin ia, seorang ekstrimis,' kata sang Mare.
Lalu mereka menoleh padanya. 'Pergilah ke neraka!' seru sang Gelding. 'Aku tak menyangka kelancanganmu, berbicara kepada kaum sekelas kami!' teriak sang Mare. Sang kuda pelana berlalu seraya berbisik pada diri sendiri, 'Nah, bener kan omongan inyong!' gumamnya, 'Mereka itu, para penggedhe!'
Aku beranjak ke meja yang lain, ke meja 1010, tak ada apa-apa, ke meja 637, bukan, meja 707, nehi. Dan di meja 9999, kutemukan percakapan,
Empat reformis bertemu di bawah semak berduri. Mereka sepakat, bahwa dunia, telah layak diperbaharui. 'Kita harus menghapuskan hak kepemilikan,' kata yang pertama.
'Kita harus menghapuskan pernikahan,' kata yang kedua.
'Kita harus melenyapkan paham Ketuhanan,' kata yang ketiga.
'Kuberharap, kita bisa menghapuskan, perintah mencari nafkah,' kata yang keempat.
'Jangan biarkan kita melancangi politik praktis,' kata yang pertama. 'Pertama-tama, ialah dengan menurunkan derajat manusia, ke tingkat murba.'
'Pertama-tama,' kata yang kedua, 'ialah dengan memberikan kebebasan gender.'
'Pertama-tama,' kata yang ketiga, 'ialah dengan mencari cara pelaksanaannya.'
'Langkah pertama,' kata yang pertama, 'dengan menghapus segala jenis Kitab Ketuhanan.'
'Pertama-tama,' kata yang kedua, 'dengan menghapuskan hukum.'
'Nah, jika demikian,' yang ketiga menimpali, 'Bagaimana kalau, pertama-tama, umat manusia, dilenyapkan saja?'
Sejenak, aku berhenti, lalu kadarullah, aku mendengar percakapan singkat, di meja 13, seorang pengunjung berkata kepada koleganya,
Ini bukan karanganku dewek, melainkan di tulis oleh seorang penulis Barat, bahwa,
Sang katak berkata, 'Elu mestinye, malu pada diri lu 'endiri,'
'Waktu gue masih jadi kecebong, nyang namenye 'Ekor,' gue nggak punye.'
'Lu tu ye!' tangkis sang kecebong, 'Pasti, nggak perne jadi 'ebong!'
Tak menemukan apa yang kucari, akhirnya, kutinggalkan kedai kopi, namun aku masih sempat mendengar sang biduan, mengakhiri nyanyiannya,
Kok tutup-tutupi, nomere mbok ganti
[Lu tutup-tutupin, nomernye lu ganti]
Firasat ati, angel diapusi
[Firasat ati, suse ditipu]
Snajan mbok ganti tukang las
[Meski lu gantiin tukang las]
Bakul sayur lan tukang gas
[Bakul sayur dan tukang gas]
Titeni, bakale ngerti *)
[Liat aje, bakal ketauan]
Pungguk bertanya, "Maafkan, duhai Rembulan! Apa yang engkau cari?" Rembulan menjawab, "Aku mencari meja 333."
“Bisa jadi, belum tersajikan,” kata sang Pungguk. "Tapi, sang Mentari bilang, ia sudah muncul!" komentar Rembulan. "Kalau begitu, nantikan sajalah!" Pungguk menenangkan, "Betewe, apa yang engkau temukan di kedai kopi itu?' tanya Pungguk. Rembulan menutup, "Aku tak menemukan apapun selain, Kegamangan, telah menyapu Bahana. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Robert Louis Stevenson, Fables, Charles Scribner's Sons
*) "Los Dol" karya Denny CakNan

Selasa, 11 Januari 2022

Anjing di Palungan

“Biasanya, komunikasi tak tercapai, kecuali secara tak sengaja,” sapa Rembulan usai mengucapkan Basmalah dan Salam. “Dalam Komunikasi Formal, diperlukan komunikasi yang efektif. Ada tiga makna dalam komunikasi yang efektif, pertama, kita memperoleh apa yang kita inginkan—momen hubungan emosional yang positif atau hasil yang nyata. Kedua, sudut pandang kita, dapat dipahami, dan hal tersebut, dikomunikasikan kembali kepada kita. Dan ketiga, pihak lain, akan terlihat baik-baik saja dengan pertukaran informasi itu; tak menunjukkan gejala ketidakpastian, putus-asa, takut, apalagi, marah. Karenanya, engkau seyogyanya memperhatikan, seluruh penataan latar-belakang yang membuat pembicaraanmu, dipahami. Engkau hendaknya dengan cepat mengumpulkan kelompok kata yang maknanya tunggal dan jelas, yang akan melukiskan gambaran idemu, dan menyusunnya menjadi pesan non-grafis, yang tertata dan dapat dikenali, untuk diucapkan.
Saat engkau berbicara, engkau memberi isyarat atau gestur. Gestur ini, komponen dasar bahasa yang memberikan kontribusi informasi yang bermakna dan unik, bagi pesan lisan dan mencerminkan pengetahuan dan pengalaman yang mendasari sang pembicara. Dan di sisi pendengar, gestur dan sikap postur tubuh, dapat mengkomunikasikan, tanggapkah pendengarnya, menerima, terbuka atau menolakkah akan pesan yang disampaikan.

Dan seperti biasa, aku akan bercerita tentang perjalananku ke sebuah negeri bernama Bumi Kukka. Pancaran sinarku, menyoroti tiga lokasi. Di loka pertama, aku menyaksikan empat satwa, Singa, Beruang, Kera, dan Rubah.
Tiran Belantara, sang Singa, menerbitkan titah kepada seluruh rakyatnya, agar segera berkumpul, bersih-bersih di sarang kerajaannya. Di antara yang hadir, ada sang Beruang, yang mengeluhkan aroma kurang sedap, yang mengganggu hidungnya, berasal dari peraduan sang Monarki. Maka sikap ini, bukanlah perilaku yang bijak, agar ia tetap bernyawa di hadapan Yang Mulia. Penghinaan ini, sangat tak disukai, sehingga amarah sang Singa, membaringkannya meregang-nyawa di kaki sang Despotis.
Sang Kera, menilik apa yang telah terjadi, gemetar membayangkan bengkaraknya, dan berusaha mencari kemurahan-hati, berdamai dengan sanjungan yang menghinakan. Ia memulai dengan dalih bahwa, menurutnya, bacin yang menusuk hidung itu, wewangian rempah-rempah Arab; dan, berseru mencela kelancangan sang Beruang, lalu menyanjung keindahan cakar Yang Mulia, 'Berbentuk sangat indah,' katanya, 'Untuk mengoreksi, kelakuan para badut.' Mungkin oleh kurangnya literasi, sanjungan yang menghebohkan ini, tak diterima sesuai, sebab terbukti tak kalah menghinanya dengan kelancangan sang Beruang, dan sang Kera yang sopan, dengan cara yang senada, terbujur kaku di sisi Tuan Bruin.
Dan sekarang, Yang Mulia mengarahkan tatapannya pada sang Rubah. 'Nah, Reynard,' katanya, 'Dan aroma apa yang engkau temukan di sini?' 'Gusti Pangeran Ageng,' jawab sang Rubah, yang waspada, 'Hidungku, tak pernah dianggap sebagai indra yang paling menonjol; dan saat ini...' lalu dengan menirukan Londho Kampung yang sedang boso, ia berkata, 'Kulo mboten badhe wantun maringaken pendapat kulo, amargi, kulo kepareng flu berat.' Sang Rubah tetap bernafas, dan apa yang ada didalam otak sang Rubah, bahwa, perhatikanlah ucapanmu, bila berada, di hadapan kekuatan yang lebih besar.
Di loka kedua, aku menyaksikan seekor Keledai dan Anjing gembala. Sebelum melanjutkan, perkenankan aku, mengatakan ini, 'Orang-orang yang hidup sebagai teladan, seyogyanya melihat secara sempit, tak mengatakan atau melakukan sesuatu, yang mengandung resiko: lantaran ia bisa menjadi orang, yang 'kan sungguh tak dapat ditoleransi, di tempat berbeda, dalam situasi yang berbeda.'
Jadi, aku melihat seekor Keledai, yang Majikannya, memiliki pula seekor Anjing gembala. Sang anjing, kata Pak Ogah, 'Disayang banget Bleh!' dan menerima berlimpah tepukan dan pujian dari sang Tuan, serta potongan-potongan daging pilihan, dari piring sang Bos. Setiap hari, sang Anjing akan berlari mendapati sang Meneer, bermain-main dan melompat, menjilati tangan dan mukanya.
Menyaksikan semua ini, seperti ocehan para Ambtenaar, 'De Ezel was jaloers op de Hond.' Walau diberi makan cukup, masih banyak tugas yang mesti ia tuntaskan; selain itu, tuan Meneer hampir tak pernah memperhatikan sang Keledai.
Nah, sang keledai, hasad, mulai berpikir bahwa yang kudu ia lakukan, demi memenangkan hati sang Majikan, berperilaku bak de Hond. Maka, suatu hari, ia meninggalkan kandangnya, dan dengan bersemangat, masuk ke dalam rumah.
Ia menemukan tuan Meneer, sedang duduk di meja makan, tiiba-tiba ia menendang tumit sang Tuan, dan, dengan ringkikan keras, berjingkrak mengitari meja, menjadikan sang Bos kesal saat ia melakukannya. Kemudian, ia meletakkan kaki depannya di lutut sang Majikan, dan menjulurkan lidahnya, menjilati wajah sang Bos, seperti yang ia perhatikan, dilakukan oleh sang Anjing. Akan tetapi, tubuhnya yang berat, membuat kursi terguncang, dan sang Ezel dan tuan Meneer, terguling di tumpukan piring pecah dari atas meja.
Sang Majikan sangat terkejut dengan perilaku aneh sang Keledai, segera berteriak meminta bantuan, yang seketika menarik perhatian para pelayan. Saat mereka melihat bahaya yang mengancam tuan Meneer, dari seekor satwa yang gabir, mereka mengejar sang Keledai dan mengusirnya dengan sepakan dan cambukan, agar balik ke kandang. Di sana, mereka meninggalkannya, meratapi kebodohannya, yang tiada menghasilkan apa-apa kecuali pecut yang bertubi-tubi.
Perilaku yang dipandang menyenangkan di satu sisi, bisa jadi, akan sangat kasar dan kurang-sopan, di sisi yang lain.
Di loka ketiga, aku menyaksikan seekor Anjing di Palungan.
Aku melihatnya terlena dalam palungan yang penuh dengan jerami, dan ia terbangun oleh para Sapi, yang pulang dengan kelelahan dan kelaparan, usai bekerja di ladang. Namun sang Anjing, tak membolehkan mereka mendekati palungan, dan menggeram serta menyalak, seolah palungan tersebut berisi daging dan tulang terbaik, semuanya eksklusif bagi dirinya sendiri.
Para Sapi sebal dengan sang Anjing. 'Idiiih, songong baangeeet!' berkata yang satu. 'Dienye kagak bise makan jerami, eeh kite nyang laper, kagak boleh makan di mari!' yang lain menimpali.
Nah, saatnya Pak Tani masuk. Di kala ia memperhatikan bagaimana tingkah sang Anjing, segera mengambil sebatang tongkat, dan menghalaunya dari kandang dengan bilangan pukulan, oleh kelakuannya yang bergajul, dan berkata, 'Jangan korbankan orang lain, demi kesenanganmu sendiri!'
Lalu, Rembulan menutup dengan berkata, "Kita perlu mempertahankan hubungan dengan orang lain, guna memperoleh apa yang kita pandang, kita butuhkan dan inginkan dari hidup ini, dengan cara yang baik. Sebagai langkah awal, kita memerlukan sebuah kesadaran, untuk mengungkapkan proses tersembunyi dan otomatis, yang mempengaruhi pembicaraan sehari-hari, termasuk pembelajaran budaya kita yang mendalam, dan bagian bawah sadar benak kita, dimana banyak dari pembelajaran ini, tersimpan. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin

Jumat, 07 Januari 2022

Keputusan Itu (2)

Lelaki ketiga bercerita,
'Pak,' berseru letnan satu, menerobos masuk ke kabin sang Kapten, 'Kapalnya akan karam!'
'Baiklah, Pak Spoker,' sahut sang Kapten; 'Tapi, itu bukan alasan agar engkau merapikan dulu rambut-cekakmu. Pertajam pikiranmu, barang sebentar, Pak Spoker, dan engkau 'kan melihat bahwa dalam sudut pandang filosofis, tak ada yang baru dalam posisi kita: kapal (andaipun ia akan tenggelam) sebenarnya sudah terbenam semenjak ia diluncurkan.'
'Ia cepat stabil,' kata letnan satu, saat ia kembali dari pangkas-rambut. 'Cepat katamu, Pak Spoker?' tanya sang Kapten. 'Ungkapan itu, aneh, karena waktu (bila engkau memikirkannya), relatif belaka.'
'Pak,' kata sang letnan, 'Kurasa, tiada gunanya memulai pembicaraan seperti ini, saat kita semua akan berada dalam Loker Davy Jones [sebuah metafora untuk dasar laut: yakni keadaan kematian di antara pelaut-pelaut yang tenggelam dan bangkai kapal yang karam] dalam sepuluh menit.'
'Dengan alasan yang berimbang,' tukas sang Kapten dengan lembut, 'Tiada gunanya memulai pertanyaan sekritis apa pun; bahwa kita pasti mati, itu sebuah keniscayaan, sebelum kita mengakhirinya. Keprihatinanmu terlalu berlebihan, Tuan Spoker, biasalaah, manusiaaa,' kata sang Kapten seraya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
'Aku sangat prihatin mempertimbangkan posisi kapal,' kata Pak Spoker. 'Berusaha berbicara seperti perwira yang baik, kan?' jawab sang Kapten, meletakkan lengannya di pundak sang letnan.

Di dek, mereka menemukan para awak kapal bergegas masuk ke ruang-ibadah, dan seketika, mabuk. 'Awak kapalku,' kata sang Kapten, 'Dalam hal ini, tak masuk diakal bila kapal akan karam, katakanlah padaku, dalam sepuluh menit, setelah itu, apah? Dalam pandangan filosofis, tiada yang berubah dalam posisi kita. Sepanjang hidup kita, mungkin kita akan mengalami pecah-pembuluh-darah atau disambar petir, tak cukup dalam sepuluh menit, bahkan bisa ddalam sepuluh detik; dan itu tak menghalangi kita, makan malam, atau menyimpan uang di Bank Tabungan, tidak. Kuyakinkan diri kalian, dengan segenap hatiku, aku tak bisa memahami sikap kalian.'
Para awak sudah tak mau mendengarkan lagi. 'Ini pemandangan yang sangat menyakitkan, Pak Spoker,' kata sang Kapten. 'Namun dalam pandangan filosofis, atau apapun itu,' jawab letnan satu, 'Mereka bisa saja mabuk, sejak naik ke atas kapal.'
'Aku tak tahu, selalukah engkau mengikuti pikiranku, Pak. Spoker,' jawab sang Kapten dengan lembut. 'Tapi, mari kita lanjutkan!'

Di ruang mesiu, mereka menemukan seorang pelaut-tua mengisap pipa-rokoknya. 'Astaga!' seru sang Kapten, 'Ngapain aja kamu?'
'Nah, Pak,' berkata sang pelaut-tua, dengan nada permohonan maaf, 'Mereka bilang padaku, kapal akan karam.'
'Dan seandainya, iya, emang 'napa?' kata sang Kapten. 'Dalam pandangan filosofis, tiada yang 'kan berubah dalam posisi kita. Semangat, duhai kawan sejawatku, semangatlah, kapanpun dan dalam pandangan apapun, walaupun dalam bahaya kapal yang akan karam; tapi kan, semestinya, gaya seorang lelaki tampan itu, membawa payung, mengenakan sepatu karet India, memulai pekerjaan besar, dan berperilaku dalam segala hal, berharap seolah ia akan hidup kekal. Dan dalam pandanganku yang sederhana, aku tak suka orang yang, walaupun di atas kapal yang karam, lalai minum pil atau memutar arlojinya. Yang seperti itu, kawan, bukanlah sikap manusiawi.'
'Maaf, Pak!' kata Pak Spoker. 'Tapi, apa sebenarnya perbedaan antara, bercukur di kapal yang karam dan merokok di gudang mesiu?'
'Atau melakukan apapun, dalam keadaan apapun, yang dapat terjadi?' tukas sang Kapten. 'Alasan yang sempurna; beri aku cerutu!'

Dan dua menit kemudian, 'Bum!' sang kapal meletup dengan ledakan yang membagongkan.'
Akhirnya, suara tiga lelaki itu, menggemakan senandung 'The Wellerman' di antara belantara pohon bakau,
No line was cut, no whale was freed
[Tiada temali digentaskan, tiada paus dilepaskan]
The Captain's mind was not on greed
[Bukannya otak sang kapten yang loba]
But he belonged to the whaleman's creed
[Melainkan ia penganut ajaran Pemburu Paus]
She took that ship in tow
[Sang paus mengeret sang kapal]

For forty days, or even more
[Selama empat puluh hari, atau bahkan lebih]
The line went slack, then tight once more
[Tali-temali mulai renggang, tapi dieratkan kembali]
All boats were lost, there were only four
[Seluruh sekoci telah hilang, cuma tertinggal empat]
But still that whale did go
[Tapi sang paus masih beraksi]

As far as I've heard, the fight's still on
[Sepenjang pengetahuanku, pertarungan terus berlangsung]
The line's not cut and the whale's not gone
[Talinya tak tandas dan sang paus tak lepas]
The Wellerman makes his a regular call
[Sang Wellerman seperti biasa menghubungi]
To encourage the Captain, crew, and all
[Menyemangati sang kapten, para awak, dan semuanya]

Soon may the Wellerman come
[Semoga sang Wellerman bergegas datang]
To bring us sugar and tea and rum
[Bawakan kita gula dan teh serta rum]
One day, when the tonguin' is done
[Kelak, bila proses pemotongan sirip paus telah usai]
We'll take our leave and go
[Kita 'kan undur-diri dan pergi]
Sebelum berlalu, sang Rembulan berkata, "Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Robert Louis Stevenson, Fables, Charles Scribner's Sons
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco

[Bagian 1]

Selasa, 04 Januari 2022

Keputusan Itu (1)

"Plato bilang," berkata Rembulan saat ia telah tiba, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "Keputusan yang baik, didasarkan pada ilmu, dan bukan pada angka. Dalam hidup ini, setiap hari, kita dihadapkan pada situasi yang mengharuskan kita, memilih. Ada yang mudah, dan ada kalanya, sulit. Mengambil keputusan yang baik, sebagaimana yang engkau s'kalian tahu, metode yang hendaknya dipelajari, dan terlebih lagi, ia sebuah keterampilan yang seyogyanya, dipertajam.
Yang demikian itu, kuketahui dari tiga orang lelaki, ketika berkas sinarku, menyorot masuk melalui jendela sebuah gubuk kecil di tengah-tengah pohon bakau, di sebuah pulau bernama Bhumi Tala. Mereka sedang berdendang,
There once was a ship that put to sea
[Pernah, ada sebuah kapal melaut]
And the name of that ship was the Billy o' Tea
[Dan nama kapalnya, Billy o'Tea]
The winds blew hard, her bow dipped down
[Angin bertiup kencang, lambungnya pun terbenam]
'Blow, me bully boys, blow!'
[Tarik, para-kelasiku, tariklah!]

She had not been two weeks from shore
[Belumlah ia dua minggu melaut]
When down on her, a right whale bore
[Ketika di sisinya, seekor paus dambaan muncul]
The captain called all hands and swore
[Sang kapten perintahkan para kelasi dan berseru]
He'd take that whale in tow
[Ia 'kan mengeret sang paus]

Before the boat had hit the water
[Sebelum sekoci menyentuh air-laut]
The whale's tail came up and caught her
[Ekor sang paus timbul dan menghantamnya]
All hands to the side, harpooned and fought her
[Para kelasi ke sisi kapal, menjulir dan melawannya]
When she dived down below
[Saat ia menyelam di kedalaman]

Soon may the Wellerman come
[Semoga sang Wellerman bergegas datang]
To bring us sugar and tea and rum
[Bawakan kita gula dan teh serta rum]
One day, when the tonguin' is done
[Kelak, bila proses pemotongan sirip paus telah usai]
We'll take our leave and go
[Kita 'kan undur-diri dan pergi]
Ketika aku teringat bahwa kidung tersebut sebuah sea-shanty, nyanyian para kelasi, The Wellerman, yang berasal dari Selandia Baru, yang merujuk pada kapal pasokan yang dimiliki oleh The Weller Bersaudara, yang termasuk di antara pemukim Eropa paling awal di Otago, dalam sejarah perburuan ikan-paus di Selandia Baru, salah seorang berkata, 'Yuk, masing-masing kita, ngomongin sebuah cerita!' Dan dua lainnya menjawab, 'Ide yang cakep! Tapi, lu dulu deh yang ngomong!' Maka, lelaki pertama berkata, 'Menunda-nunda itu, ibarat sungai yang mengalir perlahan, namun ia menggerogoti setiap kebajikan, menjadikan otak berkarat, dan meninggalkan jejak pada setiap perbuatan, dalam hidup seseorang. Istilah ini, tak memberikan cukup waktu bagi perdebatan yang panjang. Dan berapa banyak lagi, yang membuang waktu mereka, yang dengan santai menimbang-nimbang, yang mana dari dua urusan, yang harus dimulai terlebih dahulu?
'Seorang pemuda pemalas, ditanya, mengapa ia berbaring sangat lama di ranjangnya? Dengan bercanda ia menjawab, 'Setiap pagi dalam hidupku, aku mendengar alasan. Ada dua dara cantik menyertaiku, masing-masing mereka bernama Ketekunan dan Kemalasan, yang berdiri di sisi tempat tidurku, segera setelah aku terbangun, mengajukan desakan yang sangat berlawanan. Yang satu membujukku agar segera bangun, yang lain membujukku agar tetap berbaring; dan kemudian, secara bergantian, mereka menyajikanku berbagai dalih, mengapa aku harus bangun, dan mengapa aku tetap berbaring. Semua ini, membuatku tak berkutik sangat lama, sehingga, ibarat pembelaan dalam sebuah pengadilan, dan sebelum pengajuan bukti-bukti usai, waktu makan malam telah menjelang.'
Hari esok, masihlah merupakan waktu kritis bila semuanya harus diselesaikan. Hari esok datang, pergi, dan tetap saja, Kemalasan, yang berangsur-angsur kehilangan substansinya, menyenangkan diri bersama bayang-bayang. Dan dengan demikian, manusia menjalani hidupnya, laksana burung yang terbang di angkasa, dan tak meninggalkan jejak di belakangnya, dalam kelalaian. Waktu sekarang, milik kita, dan hendaknya dikelola dengan bijak, lantaran kita tak mampu menetukan setiap momen yang akan lewat, atau mengulang kembali, sesuatu yang telah berlalu. Entah berapa banyak kualitas baik yang dimiliki otak; semuanya akan berstatus dorman, bila kita hendak memunculkan semangat dan kebulatan tekad yang diperlukan; oleh sebab otak yang tertidur-pulas ini, tak meninggalkan perbedaan antara kejeniusan yang mengagumkan dan pemahaman yang dahsyat. Baik otak, maupun tubuh, tak dapat aktif dan energik, tanpa pengerahan tenaga yang tepat. Kesulitan itu, muncul dari kemalasan, dan kenestapaan itu, akibat dari sifat yang suka menggampang-gampangkan sesuatu. Karenanya, apa pun yang dapat dilakukan kedua lenganmu, laksanakanlah sebaik-mungkin.'

Kemudian, giliran lelaki kedua, ia berkata, 'Saat pekerjaan kita dielu-elukan oleh orang yang sering menyanjung, atau orang yang picik, maka kita hendaknya tak mengangkat diri kita, terlalu tinggi. Sebab bila tak waspada, banyak orang yang merasa besar-kepala, memamerkan dirinya, semata menjadi bulanan-bulanan khalayak.
Seorang lelaki, yang biasa bernyanyi diiringi harpanya, di kedai-kedai bir kecil, dan menjadikan dinding-dinding sempit itu, sebagai tempat pelipur-lara bagi orang yang, itu-itu saja, yang mungkin pula, telah bosan mendengarkannya. Namun, dari sanalah, ia berambisi agar tampil di sebuah teater umum, dimana ia berangan-angan dan berkhayal, akan menggapai reputasi yang terus meningkat, dan menjadi tajir-melintir, dalam waktu singkat. Lantaran itulah, ia berani menghadapi uji-coba; namun saking luasnya tempat itu, bercampur dengan kerumunan orang banyak, mematikan dan melemahkan, baik suara maupun alat-musiknya, sehingga hampir tak ada yang dapat didengar, dan walaupun bisa, performanya sangat buruk, sangat rendah, dan memalukan di telinga penontonnya, yang telah matang akan seni, akhirnya iapun dicemooh dan disingkirkan dari panggung.
Seorang badut, walau ia takkan pantas bekoar dihadapan Majelis Rakyat, atau pada pembicaraan berat dan serius serta yang memerlukan akal-sehat, mungkin akan sangat menyenangkan bagi sekelompok orang yang ingin bersenang-senang dengan segelas anggur. Bukanlah audiens atau masyarakat yang jenaka, yang dapat memberi kita penghargaan yang pantas, atau memastikan kesuksesan kita, di tempat yang memerlukan kinerja kelas satu. Kita hendaknya punya kemampuan atau nilai-nilai yang memadai, yang bisa memuaskan selera mereka yang telah mahir, bila tidak, maka bisa jadi, segala upaya kita 'kan sia-sia, dan menjadikan pula, diri kita, konyol.
Giliran lelaki ketiga, berbicara, ia berkata, 'Aku tak tahu apa pesan moral dari cerita yang akan kusampaikan, pokoke, dengerin bae lah!