Jumat, 21 Januari 2022

Di Lobi (2)

'Menelusuri halaman demi halaman, dan lembar demi lembar kertas, yang membawa berita atau sekadar menyampaikan kabar, matanya terfokus pada sebuah Headline, yang menarik perhatiannya, 'Perang,'
Para Musang dan Tikus selalu saling mengangkat senjata. Perselisihan ini, semakin memanas ketika seekor Musang, yang sudah senjakala oleh usia dan lemah, tak dapat menangkap tikus seperti sediakala. Oleh sebab itu, ia menggulung dirinya dalam laburan tepung dan berbaring di sudut yang gelap. Seekor Tikus, mengira ia makanan, melompat ke atasnya, dan langsung disambar dan diremas sampai mati. Yang lain binasa dengan cara yang sama, berikut yang ketiga, serta yang lain lagi, setelahnya. Seekor Tikus yang telah sangat tua, yang telah luput dari banyak jebakan dan jeratan, mengamati dari jarak aman, tipu daya musuhnya yang licik, dan berkata, “Ah! Engkau yang berbaring di sana, semoga engkau bahagia dalam harmoni yang sama seperti, yang sedang engkau pura-pura lakukan!”
Mendengar ini, para Tikus menyatakan perang terhadap para Musang. Namun, dalam setiap pertempuran, Musang selalu berjaya, serta menawan sejumlah besar Tikus, yang mereka santap sebagai makan malam keesokan harinya. Dalam keputusasaan, para Tikus membentuk Dewan, dan di sana, diputuskan bahwa pasukan Tikus kerap mengalami kekalahan, lantaran tak punya pemimpin. Maka, sejumlah besar Jenderal dan Komandan diangkat di antara para Tikus yang paling istimewa.

Agar membedakan diri mereka dari para prajurit sesuai pangkatnya, para pemimpin baru, dengan bangga mengikat erat di kepala mereka, Jengger besar, yang tinggi, disertai hiasan bulu atau jerami. Seusai persiapan panjang pasukan Tikus dalam segala jenis seni-perang, antara lain strategi perang Sun Zi, Sun Bin, Pang Juan, dan masih banyak lagi, mereka mengirim tantangan ke para Musang.
Para Musang menerima tantangan tersebut, dengan penuh semangat, sebab mereka selalu siap berperang, bila penganan telah terhidang di depan mata. Mereka segera menyerang pasukan Tikus dalam jumlah besar. Seketika, pasukan Tikus menyerah sebelum menyerang, dan seluruh tentara, tunggang-langgang mencari perlindungan. Para prajurit Tikus, dengan mudah menyelinap ke dalam lubang-lubang mereka, namun tak demikian dengan para Jenderal dan Komandan Tikus, mereka tak bisa masuk melalui lubang sempit, gara-gara terganjal oleh jengger aneh di kepala mereka. Tak satupun yang lepas dari rahang Musang yang lapar. 
Kehebatan itu, ada penaltinya, dan semakin banyak kehormatan yang dituntut, akan semakin berbahaya. Perang ini terjadi di Belahan Bumi Utara, dan hingga berita ini diturunkan, masih berlangsung. Ada berita menarik, yang telah terjadi di Sabuk Khatulistiwa. Seorang Raja berseru, 'Hentikan Perang!' Para pengikutnya yang setia, yang selalu menjunjung sang Raja, walau cuma mendengar sepenggal kalimat, merasa bangga dan memekik kepada semua orang, 'Saatnya sang Raja menjadi Kaisar! Saatnya sang Raja menjadi Kaisar!'
Seorang Nyonya Bangsawan yang sangat disegani, mengamati, dengan nada satire menimpali, 'Apa? Menjadi Kaisar? Memang negeri ini, punya nenek moyangmu?'
Di Tavern, nada memikat sang vokalis, masih melantun,
Takes more than combat gear, to make a man
[Butuh lebih dari sekadar alat-tempur, guna menjadikan manusia]
Takes more than a license, for a gun
[Butuh lebih dari sekadar lisensi, demi sebuah bedil]
Confront your enemies, avoid them when you can
[Songsong musuhmu, hindari bila memungkinkan]
A gentleman will walk, but never run
[Seorang jentelmen 'kan melangkah, namun takkan pernah lari]

Kembali, pandangan sang lelaki mengitari lembaran koran, dan terhenti saat ia membaca 'Tajuk Rencana,'
Darmabakti, Fulus, dan Pamor, bepergian bersama; mereka punya kedekatan, dan seperti yang terjadi, kawan yang sangat baik.
'Nah Sepupu,' kata sang Fulus, 'Walau kita menempuh jalan yang sama, ada kemungkinan, kita 'kan saling kehilangan.' 
'Hampir pasti, mungkin bisa begitu,' kata sang Darmabakti. 'Namun, bila memang itu mesti  terjadi,' kata sang Pamor, 'Apa yang hendaknya kita lakukan agar dapat saling menemukan? Ada baiknya, engkau terlebih dahulu memberikanku semacam Isyarat, bahwa jika aku tak menemukanmu, aku mungkin mengenalmu, atau setidaknya, dimana keberadaanmu.'
'Dengan segenap Jiwaku,' kata sang Fulus, 'Dimanapun engkau melihat perkembangan besar yang terjadi dalam bidang Seni dan Sains, citarasa tinggi dalam sebuah gubahan, baik Syair maupun Prosa, sebingkai Lukisan yang indah, dan sebuah Patung yang aneh, carilah aku, dan yakinlah bahwa aku takkan jauh.'
'Giliranku,' kata sang Darmabakti, 'Aku tak mudah ditemukan bila hilang, dan janganlah engkau membayangkan menemukanku di kota-kota besar dan padat. Aku lebih suka bersembunyi di padang pasir. Namun, bila engkau melihat orang-orang hebat yang penuh kasih-sayang, dan dermawan kepada Orang Miskin, yang tak merasa nyaman dengan kesulitan orang-orang yang kepadanya mereka telah menjalin persahabatan, dan yang menganggap Kemuliaan teragung itu, semata demi melayani mereka yang berada dalam Kesulitan, Suami yang setia, Hakim yang adil, Menteri yang tekun; Penakluk yang berintegritas, dan Pecinta kebaikan dalam masyarakat, maka tanyakanlah aku, engkau pasti akan menemukanku.
'Baiklah,' kata sang Pamor, 'Aku harus menyampaikan ini juga, bahwa aku tak berpandangan buruk tentang diriku, namun, aku harus memberitahukan sebuah Tindakan Pencegahan, yaitu, Jagalah diriku sebaik-baiknya; berhati-hatilah, jangan melalaikanku, jika engkau melakukannya, semua Tanda dan Token yang diberikan oleh siapapun kepadamu, takkan membantumu. Sebab mereka yang pernah kehilangan diriku, takkan pernah menemukanku lagi.'
Sang lelaki bergegas menutup korannya, dan meletakkannya kembali di rak, saat lelaki lain berjalan mendekatinya. Mereka saling menyapa dengan Salam, dan lelaki yang baru saja tiba, berkata, 'Maaf Pak, aku pemandu yang akan mengantarkan berkeliling.' Sang lelaki berkata, 'Baiklah, setelah ini, kita akan pergi kemana?' Sang pemandu berkata, 'Aku akan membawa bapak ke lokasi dimana ditemukan patung seorang pria, yang memakai helm, mengendarai sepeda motor balap. Sang patung  tak dapat dikenali, lantaran berada di bawah tumpukan batu bata merah dan bagian depan helmnya, tertutup oleh cendol yang telah mengeras,' sembari mereka berjalan menuju gerbang hotel. Seorang wanita diikuti oleh putra dan putrinya, mendekat, dan sang lelaki berkata, 'Oh, mereka ini, istri dan anak-anakku!' Sang pemandu mengangguk dan berkata, 'Aku rasa, anak-anak juga akan senang melihat patung itu, karena bisa jadi, bagian dari pelajaran sejarah.'

Mereka meninggalkan hotel, demikian pula aku, dan sang vokalis, sayup-sayup mengakhiri lagunya,
Whoo oh, I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
Whoo oh, I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York *)
Sebelum Rembulan pergi, ia berkata, "Bila engkau hendak menggapai Kehebatan, terlebih dahulu, pikirkanlah tentang bantuan atau kemudahan pelayanan. Menjadi hebat itu, bertanggungjawab terhadap orang lain, yang sepantasnya engkau berikan sebagai pertukaran. Jadi, Melayani dan Bertanggungjawab itu, takkan jauh-jauh dari ventilasi Kehebatan. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Sieur De La Motte, One Hundred New Court Fables, Peter-Nofter-Row
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons
*) "Englishman in New York" karya "Sting" Gordon Summer