Jumat, 14 Januari 2022

Di Kedai Kopi

"Suatu ketika, aku mengunjungi sebuah hotel bernama Varukai," sapa Rembulan saat ia bertandang, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "Bentuknya bulat bagai kura-kura yang terikat,  
kereta kuda mewah berderet di halaman depannya, dan di bagian terluarnya terdapat Kedai Kopi. Saat pantulan cahayaku meretas ventilasi, aku berpapasan dengan seorang biduan, yang berdiri di atas panggung, bersenandung, 
Los dol! Ndang lanjut lehmu WhatsApp-an!
[Santuy! Lanjutin aje WhatsAppan lu!]
Cek paket datane, yen entek tak tukokne
[Cek paket datenye, kalo abis, gue beliin]
Tenan, Dek, elingo, yen mantan nakokno kabarmu
[Beneran Mpok, kalo mantan nanyain kabar lu]
Tandane iku ora rindu
[Itu tandenye, kagak rindu]
Nanging kangen kringet bareng awakmu
[Tapi, kangen k'ringatan bareng elu]
Kedai tersebut, menurut penduduk setempat, dulunya, sebuah pasar tradisional, namun mengalami kebakaran, kemudian berubah menjadi sebuah hotel, dan berakhir menjadi milik sah para pengusaha tajir. Bukanlah hal yang aneh, di negeri yang kukunjungi ini, bahwa Keadilan, tak berlaku bagi Rakyat, melainkan semata demi para Pebisnis.
Lalu, aku melihat sekeliling, ada banyak meja, masing-masing berkapasitas 4 kursi, dan di tengah meja, diletakkan sebuah nomor-kode. Setelah itu, aku mengalihkan sorotanku secara acak. Pertama, ke meja berkode 888, mereka yang duduk di sana, makan malam dengan tenang. Dan kemudian, aku bergeser ke meja 1122, pengunjungnya berbicara dengan berbisik, dalam bahasa yang tak kupahami. Selanjutnya, aku pindah ke meja 411, seorang pengunjung berkata kepada rekan semejanya,
Konon, datanglah ke bumi, seorang pengunjung dari planet tetangga. Dan ia bertemu di area pendaratannya, seorang filsuf masyhur, yang akan menunjukkan kepadanya, segalanya. Pertama-tama, mereka mengunjungi sebuah Rimba, dan sang orang-asing memperhatikan pepohonan. 'Yang ini semua, siapa?' tanyanya. 'Ini cuma tanaman,' jawab sang filsuf. "Mereka hidup, namun sama sekali tak menarik.'
'Aku belum tahu tentang itu,' kata sang orang-asing. 'Mereka tampaknya punya perilaku yang sangat baik. Pernahkah mereka bercakap-cakap?'
'Mereka tak dikaruniai dengannya,' kata sang filsuf. 'Namun kurasa, aku mendengar mereka, bersenandung,' kata sang penanya. 'Ooo, yang itu, cuma tiupan-angin di antara dedaunan,' kata sang filsuf.' Aku akan menerangkan padamu, tentang teori angin, sangat menarik.'
'Kalau begitu,' kata sang orang-asing, 'Andai aku tahu apa yang mereka pikirkan.'
'Mereka tak bisa berpikir,' kata sang filsuf. 'Aku tak tahu tentang itu,' balas sang orang asing: dan kemudian meletakkan tangannya pada batang sebuah pohon, 'Aku suka orang ini,' katanya.
'Mereka sama sekali bukan orang,' kata sang filsuf. 'Ayo ikut.'

Selanjutnya, mereka melalui padang rumput dimana ada Kerbau. 'Manusia-manusia ini, sangat kotor,' kata sang orang-asing. 'Mereka sama sekali bukan manusia,' kata sang filsuf; dan ia menjelaskan seperti apa Kerbau itu, dalam ungkapan ilmiah, yang aku sendiri, tak paham.
'Aku tahu sekarang,'' kata sang orang-asing. 'Akan tetapi, mengapa mereka tak pernah melihat ke atas?'
'Lantaran mereka pemakan daging,' kata sang filsuf, 'Dan oleh hidup di atas rumput, yang tak bergizi-tinggi, namun sangat mencermati urusan bisnis, sehingga mereka tak punya waktu berpikir, atau berkata-kata, atau melihat pemandangan, atau menjaga agar tubuh mereka, tetap bersih.'
'Yah,' kata sang orang-asing, 'Itulah salah satu cara agar dapat hidup, tiada keraguan. Namun, aku lebih suka orang yang berkepala hijau.'

Berikutnya, mereka tiba di sebuah kota, dan jalan-jalan dipenuhi dengan manusia, pria dan wanita. 'Mereka semua, orang-orang yang sangat aneh,' kata sang orang-asing. 'Mereka semua, penduduk dari bangsa yang paling agung di dunia ini,' kata sang filsuf. 'Benarkah demikian?' kata sang orang-asing. "Kayaknya, mereka nggak gitu-gitu amat!'
Aku agak tergesa-gesa, karenanya, aku tak berlama-lama mengacuhkan percakapan mereka. Lalu, aku diam sejenak, mendengarkan senandung sang biduan,
Tak gawe los dol, blas aku ra rewel
[Gue buat santuy aja, sama s'kali gue nggak rewel]
Nyanding sliramu sing angel disetel
[Dekat ame elu, nyang susah disetel]
Tutuk-tutukno chattingan karo wong liyo
[Puas-puasin dah, cetting ame nyang laen]
Rapopo, aku ra gelo
[Nggak ape-ape, gue nggak tersinggung]
Kemudian, sorotanku bergeser, ke meja 511, aku tak menemukan apa yang kucari. Dan pindah ke meja 1234, aku mendengar, yang satu berkata kepada yang lain,
Dua kuda-delman, Gelding [kuda jantan yang sudah dikebiri] dan Mare [kuda betina yang sudah kelewat tua], dibuang ke Pulau Samoa, dan ditempatkan di padang-rumput yang sama, dengan Kuda Pelana, agar bebas berlarian di pulau tersebut. Keduanya, agak segan mendekatinya, lantaran mereka menganggap, satwa yang satu ini, kuda perkasa nan gagah, dan mengira, ia takkan mau berbicara dengan mereka.
Sekarang, giliran sang Kuda Pelana, yang belum pernah sama sekali melihat dua makhluk sebesar itu, 'Mereka pastilah para penggedhe,' sangkanya, dan dengan santun, ia mendekati keduanya, 'Bapak dan Ibu,' katanya, 'Aku paham bahwa engkau berdua, tuan Meneer dan nyonya Mevrouw kan? Aku menyambutmu dengan rasa suka-cita, dan semoga kalian berdua, betah di pulau ini.'
Para 'Kolonial' memandangnya dengan curiga, dan saling bertanya. 'Siapa sih?' tanya sang Gelding. 'Ia tampak mencurigakan,' jawab sang Mare. 'Kurasa, ia tak perlu diperhitungkan,' berkata sang Gelding.
'Tergantung, mungkin ia, seorang ekstrimis,' kata sang Mare.
Lalu mereka menoleh padanya. 'Pergilah ke neraka!' seru sang Gelding. 'Aku tak menyangka kelancanganmu, berbicara kepada kaum sekelas kami!' teriak sang Mare. Sang kuda pelana berlalu seraya berbisik pada diri sendiri, 'Nah, bener kan omongan inyong!' gumamnya, 'Mereka itu, para penggedhe!'
Aku beranjak ke meja yang lain, ke meja 1010, tak ada apa-apa, ke meja 637, bukan, meja 707, nehi. Dan di meja 9999, kutemukan percakapan,
Empat reformis bertemu di bawah semak berduri. Mereka sepakat, bahwa dunia, telah layak diperbaharui. 'Kita harus menghapuskan hak kepemilikan,' kata yang pertama.
'Kita harus menghapuskan pernikahan,' kata yang kedua.
'Kita harus melenyapkan paham Ketuhanan,' kata yang ketiga.
'Kuberharap, kita bisa menghapuskan, perintah mencari nafkah,' kata yang keempat.
'Jangan biarkan kita melancangi politik praktis,' kata yang pertama. 'Pertama-tama, ialah dengan menurunkan derajat manusia, ke tingkat murba.'
'Pertama-tama,' kata yang kedua, 'ialah dengan memberikan kebebasan gender.'
'Pertama-tama,' kata yang ketiga, 'ialah dengan mencari cara pelaksanaannya.'
'Langkah pertama,' kata yang pertama, 'dengan menghapus segala jenis Kitab Ketuhanan.'
'Pertama-tama,' kata yang kedua, 'dengan menghapuskan hukum.'
'Nah, jika demikian,' yang ketiga menimpali, 'Bagaimana kalau, pertama-tama, umat manusia, dilenyapkan saja?'
Sejenak, aku berhenti, lalu kadarullah, aku mendengar percakapan singkat, di meja 13, seorang pengunjung berkata kepada koleganya,
Ini bukan karanganku dewek, melainkan di tulis oleh seorang penulis Barat, bahwa,
Sang katak berkata, 'Elu mestinye, malu pada diri lu 'endiri,'
'Waktu gue masih jadi kecebong, nyang namenye 'Ekor,' gue nggak punye.'
'Lu tu ye!' tangkis sang kecebong, 'Pasti, nggak perne jadi 'ebong!'
Tak menemukan apa yang kucari, akhirnya, kutinggalkan kedai kopi, namun aku masih sempat mendengar sang biduan, mengakhiri nyanyiannya,
Kok tutup-tutupi, nomere mbok ganti
[Lu tutup-tutupin, nomernye lu ganti]
Firasat ati, angel diapusi
[Firasat ati, suse ditipu]
Snajan mbok ganti tukang las
[Meski lu gantiin tukang las]
Bakul sayur lan tukang gas
[Bakul sayur dan tukang gas]
Titeni, bakale ngerti *)
[Liat aje, bakal ketauan]
Pungguk bertanya, "Maafkan, duhai Rembulan! Apa yang engkau cari?" Rembulan menjawab, "Aku mencari meja 333."
“Bisa jadi, belum tersajikan,” kata sang Pungguk. "Tapi, sang Mentari bilang, ia sudah muncul!" komentar Rembulan. "Kalau begitu, nantikan sajalah!" Pungguk menenangkan, "Betewe, apa yang engkau temukan di kedai kopi itu?' tanya Pungguk. Rembulan menutup, "Aku tak menemukan apapun selain, Kegamangan, telah menyapu Bahana. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Robert Louis Stevenson, Fables, Charles Scribner's Sons
*) "Los Dol" karya Denny CakNan