Selasa, 25 Januari 2022

Truth Will Out (1)

"Abu Dzar, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan," berkata Rembulan saat ia bangkit usai mengucapkan Basmalah dan Salam, "Bahwa Nabi kita tercinta (ﷺ) bersabda,
قُلِ اَلْحَقَّ, وَلَوْ كَانَ مُرًّا
'Katakanlah al-Haqq, walau itu, pahit.' [Ibnu Hibban memandangnya Sahih sebagai bagian dari hadits yang panjang].
Beliau (ﷺ) juga bersabda,
فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
'... Karena sesungguhnya, Kebenaran itu, menenteramkan, dan Kebohongan itu, menabur keraguan.' [Sunan at-Tirmidzi; Sahih menurut Al-Albani]
Lalu, mengapa kita seyogyanya mengatakan Kebenaran? William Shakespeare menulis, dalam karyanya, sebuah drama komedi abad ke-16, 'The Merchant of Venice,' bahwa salah satu karakternya, Lancelot Gobbo, berkata, '... Restuilah aku: Kebenaran 'kan tiba bersinar; pembunuhan tak bisa lama disembunyikan; seorang anak manusia mungkin boleh, tapi pada akhirnya, TRUTH WILL OUT.'
Siddharth 'Buddha' Gautam berkata, 'Tiga hal yang takkan dapat lama disingit: Matahari, Bulan, dan Kebenaran.'
Iya kaan? Matahari, tak boleh tidak, akan terbit, setelah Bulan minta-diri sebelum fajar, keduanya silih berganti, demikian pula, Ke-be-na-ran.

Sebagai sketsa, perhatikan baik-baik cerita bertajuk 'Dan... dan...' berikut ini,
Dan sang raja, seorang lelaki yang tegak-berdiri di hamparan dunia, dan senyumnya manis bak semanggi, namun batin terdalamnya, ciut bak kacang-polong.
Dan ia punya dua putra; dan si bungsu, bocah yang sangat dekat di hatinya, dan akan tetapi si sulung, orang yang memprihatinkannya. Dan kadarullah, pada suatu pagi, genderang-istana bergema di Baluwarti megah sebelum jelang siang; dan sang Raja, berkuda bersama kedua putranya, dan barisan para-perewa, berada di belakangnya. Dan mereka berkendara selama dua jam, dan sampai di kaki gunung coklat yang sangat curam.
'Dan kemana tujuan kita?' kata putra sulung. 'Di balik gunung coklat ini,' kata sang Raja, dan tersenyum pada dirinya sendiri.
'Dan ayahku tahu apa yang ia lakukan,' kata putra bungsunya. Dan mereka berkuda selama dua jam lebih, dan tiba di tepi sungai hitam yang sangat dalam.
'Dan kemana tujuan kita? ' tanya putra sulung. 'Di seberang sungai hitam ini,' kata sang Raja, dan tersenyum pada dirinya sendiri. 'Dan ayahku tahu apa yang ia lakukan,' kata putra bungsunya. Dan mereka berkendara sepanjang hari, dan tiba sekitar waktu matahari terbenam, di sisi sebuah telaga, dan dimana terdapat Baluwarti gadang.

'Dan di sinilah tujuan kita,' kata sang Raja, 'Dan rumah seorang Raja, dan seorang Begawan, dan rumah dimana engkau akan banyak belajar.''
Dan di gerbang Baluwarti, sang Raja, dan yang juga seorang begawan. dan berkenalan dengan mereka, dan ia lelaki yang garang, dan di sampingnya berdiri putrinya, dan ia indah laksana sang fajar, dan yang tersenyum dan menunduk.
'Dan ini kedua putraku,' kata Raja yang pertama. 'Dan ini putriku,' kata Raja begawan.
'Dan ia anak-dara yang sangat cantik,' kata Raja pertama, 'dan aku suka senyumannya.'
'Dan mereka anak-anak yang tumbuh dengan baik,' kata yang kedua, 'dan aku menyukai kesungguhannya.'
Dan setelah itu, kedua Raja saling bertatapan, dan berkata, 'Dan sesuatu mungkin 'kan terjadi.'
Dan sementara itu, kedua pemuda, memandang sang dayang, dan yang satu kucam, dan yang satunya, biram; dan sementara sang dayang, menunduk dan tersenyum.
'Dan inilah gadis yang 'kan kunikahi,' kata si sulung. 'Sebab kurasa, ia tersenyum padaku.' Dan si bungsu menarik lengan baju ayahnya. 'Ayah,' katanya, 'Dan kuhaturkan sepatah kata di telingamu. Bila aku beroleh budi dari fikrahmu, bolehkah aku menikahi gadis ini, sebab, kurasa, ia tersenyum padaku?'
'Dan sepatah kata untukmu,' kata Raja ayahnya. 'Menunggu itu, perburuan terbaik, dan saat geraham terkatup, lisan takkan kemana.'
Dan merekapun memasuki Baluwarti, dan bersuka-ria; dan inilah rumah yang megah, dan para pemuda tercengang; dan Raja begawan duduk di ujung meja, dan diam, dan para pemuda merasa segan; dan sang dayang yang meladeni, dan tersipu-sipu mesem dengan mata merunduk, dan yang bikin batin, kepo, eh bukan, serasa lapang.

Dan sebelum siang hari, putra sulung bangun, dan ia menemukan sang dayang, dan sedang menenun, dan sebab ia gadis yang taman. 'Dara,' sapanya, 'Dan kukan berusaha sekuat tenaga, menikahimu.'
'Dan bicaralah dengan ayahku,' katanya, dan ia menunduk seraya tersenyum, dan celik laksana kuntum mawar. 'Dan batinnya bersamaku,' kata putra sulung, dan ia berjalan ke telaga, dan bersenandung,
Here we are, riding the sky
[Disnilah kita, menggoda langit]
Painting the night, with sun
[Merajah senja, dengan surya]
You and I, mirrors of light
[Engkau dan aku, bayangan kirana]
Twin flames of fire
[Gelora kembar agni]
Lit in another time and place
[Berkobar dalam waktu dan ruang berbeda]

I knew your name, I knew your face
[T'lah kukenali jenamamu, t'lah kukenali wajahmu]
Your love and grace
[Cinta dan Keikhlasanmu]
Past and present, now embrace
[Masalalu dan masakini, s'karang berangkulan]
Worlds collide in inner space, unstoppable
[Mayapada beradu di bumantara, tak terbendung]
The songs we play *)
[Dalam dodoi yang kita alunkan]
Dan tak lama kemudian, datanglah putra bungsu. 'Dara,' sapanya, 'Dan bila ayah kita bersepakat, kuingin menikah denganmu.'
'Dan bicaralah dengan ayahku,' katanya, dan lalu menunduk, dan senyumannya, mekar bak kembang ros.
'Dan ia anak dara yang berbakti,' kata putra bungsu, 'Dan ia akan menjadi istri yang setia.' Dan kemudian ia berpikir, 'Dan apa yang mesti kulakukan?' dan ia teringat pada Raja begawan, ayah sang dayang; dan ia pun beranjak ke kuil, dan mengorbankan seekor musang dan kelinci.

Dan kabarpun tersiar; dan dua pemuda serta Raja pertama, dipanggil ke hadapan Raja begawan, dan dimana ia duduk di kursi yang tinggi. 'Aku kurang memperhatikan alat-tempur,' kata Raja begawan, 'dan sedikit pada kekuatan. Karena kami diam di sini, di antara bayang-bayang, dan hati muak melihatnya. Dan kami diam di sini, bersama angin, bagai pakaian mengering, dan hati penat oleh angin. Dan ada sesuatu yang kusuka, dan ini benar; dan untuk sesuatu yang olehnya, aku akan menyerahkan putriku, ialah sebuah batu-uji. Dan sebab dalam cahaya batu tersebut, segala yang semu, akan sirna, dan kesejatian bakal tampak, dan segala selainnya, takkan bernilai. Dan oleh sebab itu, anak-anak, jika engkau hendak menikahi putriku, berkelanalah, dan bawakan untukku, batu-uji yang menjadi, harkat putriku.'
'Dan kuhaturkan sepatah kata di telingamu,' kata si bungsu kepada ayahnya. "Dan kurasa, kita akan baik-baik saja, tanpa batu ini."
'Dan sepatah kata untukmu,' kata ayahnya, 'Dan aku tak mengikuti alur berpikirmu; maka saat geraham terkatup, lisan takkan kemana.' Dan ia tersenyum kepada Raja begawan.

Dan namun, si sulung berdiri, dan menyebut Raja begawan, dengan panggilan ayah. 'Walau aku tak jadi menikah dengan putrimu, kutetap memanggilmu dengan sebutan itu, oleh rasa cintaku akan kearifanmu; dan walau sekarangpun, aku akan berkuda dan menjelajahi dunia, demi batu-uji tersebut.' Dan setelah itu, ia mohon-diri, dan berkendara menyongsong dunia.

'Dan kurasa, aku akan menyusul,' kata putra bungsu, 'Dan jika aku beroleh pamitmu. Sebab batinku cuma tertuju pada sang dayang.'
'Dan engkau 'kan kembali bersamaku," kata ayahnya. Dan merekapun pulang, dan saat mereka tiba di Baluwarti, dan sang Raja membawa putra kesayangannya, masuk ke dalam sebuah khasanah. 'Dan ini,' katanya, 'Batu-uji yang akan memperlihatkan Kebenaran; sebab tiada Kebenaran, selain Kebenaran apa adanya; dan andai engkau memperhatikan ini, engkau akan mempersaksikan dirimu, sebagai dirimu sendiri.'
Dan putra bungsu memandang ke dalamnya, dan melihat wajahnya, bak wajah seorang pemuda, yang tak punya b'rengos, dan ia cukup puas; dan apalah benda itu, cuman sebilah cermin. 'Dan tiada kehebatannya, guna dijadikan karya,' katanya; 'Akan tetapi, bila itu dapat menjadikanku, merengkuh sang dayang, aku takkan sambat. Walakin, alangkah dongoknya saudaraku, yang berlalu pergi jelajahi dunia, padahal selama ini, batu-ujinya, ada di rumah!' 
Dan maka, merekapun kembali ke Baluwarti sang begawan, dan menunjukkan cermin tersebut kepadanya; dan ketika ia melihat ke dalamnya, dan saksikan dirinya bak seorang Raja, dan rumahnya bak rumah seorang Raja, dan segala sesuatu, seperti apa adanya, dan ia berseru dan beryukur pada Ilahi. 'Dan kini kutahu,' katanya, 'Dan tiada Kebenaran melainkan Kebenaran apa adanya; dan aku sesungguhnya seorang Raja, dan walau batinku, meragukannya.' Dan ia merobohkan kuilnya, dan membangun yang baru; dan setelah itu, putra bungsu, menikah dengan sang dayang.
[Bagian 2]