Selasa, 04 Januari 2022

Keputusan Itu (1)

"Plato bilang," berkata Rembulan saat ia telah tiba, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "Keputusan yang baik, didasarkan pada ilmu, dan bukan pada angka. Dalam hidup ini, setiap hari, kita dihadapkan pada situasi yang mengharuskan kita, memilih. Ada yang mudah, dan ada kalanya, sulit. Mengambil keputusan yang baik, sebagaimana yang engkau s'kalian tahu, metode yang hendaknya dipelajari, dan terlebih lagi, ia sebuah keterampilan yang seyogyanya, dipertajam.
Yang demikian itu, kuketahui dari tiga orang lelaki, ketika berkas sinarku, menyorot masuk melalui jendela sebuah gubuk kecil di tengah-tengah pohon bakau, di sebuah pulau bernama Bhumi Tala. Mereka sedang berdendang,
There once was a ship that put to sea
[Pernah, ada sebuah kapal melaut]
And the name of that ship was the Billy o' Tea
[Dan nama kapalnya, Billy o'Tea]
The winds blew hard, her bow dipped down
[Angin bertiup kencang, lambungnya pun terbenam]
'Blow, me bully boys, blow!'
[Tarik, para-kelasiku, tariklah!]

She had not been two weeks from shore
[Belumlah ia dua minggu melaut]
When down on her, a right whale bore
[Ketika di sisinya, seekor paus dambaan muncul]
The captain called all hands and swore
[Sang kapten perintahkan para kelasi dan berseru]
He'd take that whale in tow
[Ia 'kan mengeret sang paus]

Before the boat had hit the water
[Sebelum sekoci menyentuh air-laut]
The whale's tail came up and caught her
[Ekor sang paus timbul dan menghantamnya]
All hands to the side, harpooned and fought her
[Para kelasi ke sisi kapal, menjulir dan melawannya]
When she dived down below
[Saat ia menyelam di kedalaman]

Soon may the Wellerman come
[Semoga sang Wellerman bergegas datang]
To bring us sugar and tea and rum
[Bawakan kita gula dan teh serta rum]
One day, when the tonguin' is done
[Kelak, bila proses pemotongan sirip paus telah usai]
We'll take our leave and go
[Kita 'kan undur-diri dan pergi]
Ketika aku teringat bahwa kidung tersebut sebuah sea-shanty, nyanyian para kelasi, The Wellerman, yang berasal dari Selandia Baru, yang merujuk pada kapal pasokan yang dimiliki oleh The Weller Bersaudara, yang termasuk di antara pemukim Eropa paling awal di Otago, dalam sejarah perburuan ikan-paus di Selandia Baru, salah seorang berkata, 'Yuk, masing-masing kita, ngomongin sebuah cerita!' Dan dua lainnya menjawab, 'Ide yang cakep! Tapi, lu dulu deh yang ngomong!' Maka, lelaki pertama berkata, 'Menunda-nunda itu, ibarat sungai yang mengalir perlahan, namun ia menggerogoti setiap kebajikan, menjadikan otak berkarat, dan meninggalkan jejak pada setiap perbuatan, dalam hidup seseorang. Istilah ini, tak memberikan cukup waktu bagi perdebatan yang panjang. Dan berapa banyak lagi, yang membuang waktu mereka, yang dengan santai menimbang-nimbang, yang mana dari dua urusan, yang harus dimulai terlebih dahulu?
'Seorang pemuda pemalas, ditanya, mengapa ia berbaring sangat lama di ranjangnya? Dengan bercanda ia menjawab, 'Setiap pagi dalam hidupku, aku mendengar alasan. Ada dua dara cantik menyertaiku, masing-masing mereka bernama Ketekunan dan Kemalasan, yang berdiri di sisi tempat tidurku, segera setelah aku terbangun, mengajukan desakan yang sangat berlawanan. Yang satu membujukku agar segera bangun, yang lain membujukku agar tetap berbaring; dan kemudian, secara bergantian, mereka menyajikanku berbagai dalih, mengapa aku harus bangun, dan mengapa aku tetap berbaring. Semua ini, membuatku tak berkutik sangat lama, sehingga, ibarat pembelaan dalam sebuah pengadilan, dan sebelum pengajuan bukti-bukti usai, waktu makan malam telah menjelang.'
Hari esok, masihlah merupakan waktu kritis bila semuanya harus diselesaikan. Hari esok datang, pergi, dan tetap saja, Kemalasan, yang berangsur-angsur kehilangan substansinya, menyenangkan diri bersama bayang-bayang. Dan dengan demikian, manusia menjalani hidupnya, laksana burung yang terbang di angkasa, dan tak meninggalkan jejak di belakangnya, dalam kelalaian. Waktu sekarang, milik kita, dan hendaknya dikelola dengan bijak, lantaran kita tak mampu menetukan setiap momen yang akan lewat, atau mengulang kembali, sesuatu yang telah berlalu. Entah berapa banyak kualitas baik yang dimiliki otak; semuanya akan berstatus dorman, bila kita hendak memunculkan semangat dan kebulatan tekad yang diperlukan; oleh sebab otak yang tertidur-pulas ini, tak meninggalkan perbedaan antara kejeniusan yang mengagumkan dan pemahaman yang dahsyat. Baik otak, maupun tubuh, tak dapat aktif dan energik, tanpa pengerahan tenaga yang tepat. Kesulitan itu, muncul dari kemalasan, dan kenestapaan itu, akibat dari sifat yang suka menggampang-gampangkan sesuatu. Karenanya, apa pun yang dapat dilakukan kedua lenganmu, laksanakanlah sebaik-mungkin.'

Kemudian, giliran lelaki kedua, ia berkata, 'Saat pekerjaan kita dielu-elukan oleh orang yang sering menyanjung, atau orang yang picik, maka kita hendaknya tak mengangkat diri kita, terlalu tinggi. Sebab bila tak waspada, banyak orang yang merasa besar-kepala, memamerkan dirinya, semata menjadi bulanan-bulanan khalayak.
Seorang lelaki, yang biasa bernyanyi diiringi harpanya, di kedai-kedai bir kecil, dan menjadikan dinding-dinding sempit itu, sebagai tempat pelipur-lara bagi orang yang, itu-itu saja, yang mungkin pula, telah bosan mendengarkannya. Namun, dari sanalah, ia berambisi agar tampil di sebuah teater umum, dimana ia berangan-angan dan berkhayal, akan menggapai reputasi yang terus meningkat, dan menjadi tajir-melintir, dalam waktu singkat. Lantaran itulah, ia berani menghadapi uji-coba; namun saking luasnya tempat itu, bercampur dengan kerumunan orang banyak, mematikan dan melemahkan, baik suara maupun alat-musiknya, sehingga hampir tak ada yang dapat didengar, dan walaupun bisa, performanya sangat buruk, sangat rendah, dan memalukan di telinga penontonnya, yang telah matang akan seni, akhirnya iapun dicemooh dan disingkirkan dari panggung.
Seorang badut, walau ia takkan pantas bekoar dihadapan Majelis Rakyat, atau pada pembicaraan berat dan serius serta yang memerlukan akal-sehat, mungkin akan sangat menyenangkan bagi sekelompok orang yang ingin bersenang-senang dengan segelas anggur. Bukanlah audiens atau masyarakat yang jenaka, yang dapat memberi kita penghargaan yang pantas, atau memastikan kesuksesan kita, di tempat yang memerlukan kinerja kelas satu. Kita hendaknya punya kemampuan atau nilai-nilai yang memadai, yang bisa memuaskan selera mereka yang telah mahir, bila tidak, maka bisa jadi, segala upaya kita 'kan sia-sia, dan menjadikan pula, diri kita, konyol.
Giliran lelaki ketiga, berbicara, ia berkata, 'Aku tak tahu apa pesan moral dari cerita yang akan kusampaikan, pokoke, dengerin bae lah!