Selasa, 11 Januari 2022

Anjing di Palungan

“Biasanya, komunikasi tak tercapai, kecuali secara tak sengaja,” sapa Rembulan usai mengucapkan Basmalah dan Salam. “Dalam Komunikasi Formal, diperlukan komunikasi yang efektif. Ada tiga makna dalam komunikasi yang efektif, pertama, kita memperoleh apa yang kita inginkan—momen hubungan emosional yang positif atau hasil yang nyata. Kedua, sudut pandang kita, dapat dipahami, dan hal tersebut, dikomunikasikan kembali kepada kita. Dan ketiga, pihak lain, akan terlihat baik-baik saja dengan pertukaran informasi itu; tak menunjukkan gejala ketidakpastian, putus-asa, takut, apalagi, marah. Karenanya, engkau seyogyanya memperhatikan, seluruh penataan latar-belakang yang membuat pembicaraanmu, dipahami. Engkau hendaknya dengan cepat mengumpulkan kelompok kata yang maknanya tunggal dan jelas, yang akan melukiskan gambaran idemu, dan menyusunnya menjadi pesan non-grafis, yang tertata dan dapat dikenali, untuk diucapkan.
Saat engkau berbicara, engkau memberi isyarat atau gestur. Gestur ini, komponen dasar bahasa yang memberikan kontribusi informasi yang bermakna dan unik, bagi pesan lisan dan mencerminkan pengetahuan dan pengalaman yang mendasari sang pembicara. Dan di sisi pendengar, gestur dan sikap postur tubuh, dapat mengkomunikasikan, tanggapkah pendengarnya, menerima, terbuka atau menolakkah akan pesan yang disampaikan.

Dan seperti biasa, aku akan bercerita tentang perjalananku ke sebuah negeri bernama Bumi Kukka. Pancaran sinarku, menyoroti tiga lokasi. Di loka pertama, aku menyaksikan empat satwa, Singa, Beruang, Kera, dan Rubah.
Tiran Belantara, sang Singa, menerbitkan titah kepada seluruh rakyatnya, agar segera berkumpul, bersih-bersih di sarang kerajaannya. Di antara yang hadir, ada sang Beruang, yang mengeluhkan aroma kurang sedap, yang mengganggu hidungnya, berasal dari peraduan sang Monarki. Maka sikap ini, bukanlah perilaku yang bijak, agar ia tetap bernyawa di hadapan Yang Mulia. Penghinaan ini, sangat tak disukai, sehingga amarah sang Singa, membaringkannya meregang-nyawa di kaki sang Despotis.
Sang Kera, menilik apa yang telah terjadi, gemetar membayangkan bengkaraknya, dan berusaha mencari kemurahan-hati, berdamai dengan sanjungan yang menghinakan. Ia memulai dengan dalih bahwa, menurutnya, bacin yang menusuk hidung itu, wewangian rempah-rempah Arab; dan, berseru mencela kelancangan sang Beruang, lalu menyanjung keindahan cakar Yang Mulia, 'Berbentuk sangat indah,' katanya, 'Untuk mengoreksi, kelakuan para badut.' Mungkin oleh kurangnya literasi, sanjungan yang menghebohkan ini, tak diterima sesuai, sebab terbukti tak kalah menghinanya dengan kelancangan sang Beruang, dan sang Kera yang sopan, dengan cara yang senada, terbujur kaku di sisi Tuan Bruin.
Dan sekarang, Yang Mulia mengarahkan tatapannya pada sang Rubah. 'Nah, Reynard,' katanya, 'Dan aroma apa yang engkau temukan di sini?' 'Gusti Pangeran Ageng,' jawab sang Rubah, yang waspada, 'Hidungku, tak pernah dianggap sebagai indra yang paling menonjol; dan saat ini...' lalu dengan menirukan Londho Kampung yang sedang boso, ia berkata, 'Kulo mboten badhe wantun maringaken pendapat kulo, amargi, kulo kepareng flu berat.' Sang Rubah tetap bernafas, dan apa yang ada didalam otak sang Rubah, bahwa, perhatikanlah ucapanmu, bila berada, di hadapan kekuatan yang lebih besar.
Di loka kedua, aku menyaksikan seekor Keledai dan Anjing gembala. Sebelum melanjutkan, perkenankan aku, mengatakan ini, 'Orang-orang yang hidup sebagai teladan, seyogyanya melihat secara sempit, tak mengatakan atau melakukan sesuatu, yang mengandung resiko: lantaran ia bisa menjadi orang, yang 'kan sungguh tak dapat ditoleransi, di tempat berbeda, dalam situasi yang berbeda.'
Jadi, aku melihat seekor Keledai, yang Majikannya, memiliki pula seekor Anjing gembala. Sang anjing, kata Pak Ogah, 'Disayang banget Bleh!' dan menerima berlimpah tepukan dan pujian dari sang Tuan, serta potongan-potongan daging pilihan, dari piring sang Bos. Setiap hari, sang Anjing akan berlari mendapati sang Meneer, bermain-main dan melompat, menjilati tangan dan mukanya.
Menyaksikan semua ini, seperti ocehan para Ambtenaar, 'De Ezel was jaloers op de Hond.' Walau diberi makan cukup, masih banyak tugas yang mesti ia tuntaskan; selain itu, tuan Meneer hampir tak pernah memperhatikan sang Keledai.
Nah, sang keledai, hasad, mulai berpikir bahwa yang kudu ia lakukan, demi memenangkan hati sang Majikan, berperilaku bak de Hond. Maka, suatu hari, ia meninggalkan kandangnya, dan dengan bersemangat, masuk ke dalam rumah.
Ia menemukan tuan Meneer, sedang duduk di meja makan, tiiba-tiba ia menendang tumit sang Tuan, dan, dengan ringkikan keras, berjingkrak mengitari meja, menjadikan sang Bos kesal saat ia melakukannya. Kemudian, ia meletakkan kaki depannya di lutut sang Majikan, dan menjulurkan lidahnya, menjilati wajah sang Bos, seperti yang ia perhatikan, dilakukan oleh sang Anjing. Akan tetapi, tubuhnya yang berat, membuat kursi terguncang, dan sang Ezel dan tuan Meneer, terguling di tumpukan piring pecah dari atas meja.
Sang Majikan sangat terkejut dengan perilaku aneh sang Keledai, segera berteriak meminta bantuan, yang seketika menarik perhatian para pelayan. Saat mereka melihat bahaya yang mengancam tuan Meneer, dari seekor satwa yang gabir, mereka mengejar sang Keledai dan mengusirnya dengan sepakan dan cambukan, agar balik ke kandang. Di sana, mereka meninggalkannya, meratapi kebodohannya, yang tiada menghasilkan apa-apa kecuali pecut yang bertubi-tubi.
Perilaku yang dipandang menyenangkan di satu sisi, bisa jadi, akan sangat kasar dan kurang-sopan, di sisi yang lain.
Di loka ketiga, aku menyaksikan seekor Anjing di Palungan.
Aku melihatnya terlena dalam palungan yang penuh dengan jerami, dan ia terbangun oleh para Sapi, yang pulang dengan kelelahan dan kelaparan, usai bekerja di ladang. Namun sang Anjing, tak membolehkan mereka mendekati palungan, dan menggeram serta menyalak, seolah palungan tersebut berisi daging dan tulang terbaik, semuanya eksklusif bagi dirinya sendiri.
Para Sapi sebal dengan sang Anjing. 'Idiiih, songong baangeeet!' berkata yang satu. 'Dienye kagak bise makan jerami, eeh kite nyang laper, kagak boleh makan di mari!' yang lain menimpali.
Nah, saatnya Pak Tani masuk. Di kala ia memperhatikan bagaimana tingkah sang Anjing, segera mengambil sebatang tongkat, dan menghalaunya dari kandang dengan bilangan pukulan, oleh kelakuannya yang bergajul, dan berkata, 'Jangan korbankan orang lain, demi kesenanganmu sendiri!'
Lalu, Rembulan menutup dengan berkata, "Kita perlu mempertahankan hubungan dengan orang lain, guna memperoleh apa yang kita pandang, kita butuhkan dan inginkan dari hidup ini, dengan cara yang baik. Sebagai langkah awal, kita memerlukan sebuah kesadaran, untuk mengungkapkan proses tersembunyi dan otomatis, yang mempengaruhi pembicaraan sehari-hari, termasuk pembelajaran budaya kita yang mendalam, dan bagian bawah sadar benak kita, dimana banyak dari pembelajaran ini, tersimpan. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin