Jumat, 25 Februari 2022

Putri Duyung

"Sang Pemabuk berceloteh, 'Kita selalu ingin hidup di Negeri Dongeng,'" berkata Rembulan membuka sebuah lembaran cerita, setelah mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan Salam, lalu berkata, "Dalam mabuknya, ia mengoceh, 'Sungguh rumpun manusia yang aneh. Makhluk fana yang malang, dimanakah hari-hari bahagiamu? Engkau selalu berharap dan mendamba, merintih dan mendesah, dan mendekam lama demi Kenikmatan, dan tatkala engkau telah memperoleh sejumlah buah belahan-jiwa dari Hasratmu, engkau masih mengeluh dan merana.

Ribuan Proyek membuncahkan benakmu; kapan kukan jadikan ini? Atau, kapan kukan jadikan itu? Jika Langit mengabulkan Keinginanmu, engkau masih meminta lebih banyak, dan tetap saja, getun. Padahal, salahnya bukan pada sifat benda, melainkan pada dirimu sendiri. Dengan membingkai prakarsa yang ngawur, engkaulah yang semata tertipu dan terperdaya.

Setiap hal di Alam Fana ini, punya dua Wajah, yang satu cantik, yang lain cacat. Betapa menawannya wujud itu! Betapa bahagianya aku dalam kepemilikannya! Yang mana ketika engkau telah mengalaminya, panoramanya berubah; kemudian 'kan jadi menakutkan! Alangkah tercelanya! Apa yang ingin kita lihat melalui Teleskop, namun kala dinikmati, kita memutar tampuk Perspektif yang lain.
Pernah, ada seorang pemuda, yang dengan kebebalannya, jatuh-hati pada Putri Duyung. Ia terus-menerus berada di tepi Laut, dan mencurahkan doa dan air-matanya demi Acarya Sukra, yang konon menguasai Venus. Ia merintih seolah Hatinya akan hancur, dan hampir tak dapat menguasai dirinya sendiri, agar beristirahat tidur saat senja tiba.

Kala di peraduannya, ia tak bisa rehat, lantaran benaknya masih dipakai merenungkan keindahan dara cantik dambaannya. Ia menelusuri setiap garis wajahnya, dan setiap coraknya, yang khas mempesona.

Sepanjang malam, dan setiap malam, dilaluinya seperti itu, dan dengan Ikrar dan Mantra kepada Sang Rawi demi mempercepat kemunculannya, dan membawa pada Kepuasan, agar ia dapat menikmati tamasya Bintu'l-Bahar nan indah.

'Duhai, Mata apa yang ada di sana!' katanya, dalam keriangan. 'Rupa yang sangat menawan! Alangkah rangka yang renik! Semlohai!' dan lanjut, 'Duhai dewa-dewi! Suara yang mempesona! Betapa nada-nada eksotis berdiam dalam lisannya! Jelas, sang Jagat itu, tak berisi keajaiban dan kesempurnaan, serta keindahan, yang dilengkapi dengan deraian Keapikan semacam itu!'

Singkatnya, kawan muda kita ini, merana dan merindukan Cinta. Sang Baruna melihat dan mendengar semuanya, dari singgasananya yang berhias Mutiara dan Koral, dan kasihan pada pemuda bergendak, masygul. 'Nih!,' katanya, 'pemuda tak bahagia, Putri Duyung milikmu, dan padamkanlah Api asmaramu.'

Maka, merekapun menikah dan berada pada puncak kebahagiaan. Malam dilalui dalam belaian-lembut, dan kasih-sayang penuh seronok, yang cuma diketahui oleh para pecinta setia. Walakin, keesokan paginya, alih-alih seorang wanita cantik yang ia temukan, melainkan sesosok monster, berada dalam rangkulannya.'"
Berjalan limbung, sang pemabuk terhuyung-huyung, berlalu sambil bersenandung,
Eling jaman semono
[Ingat jaman segitu]
Wayah kawin nanggap bal-balan
[Sewaktu perkawinan, nonton sepakbola]
Tamune rame tenan
[Tamunya rame banget]
Nganti sing ndelok akeh sing pingsan
[Hingga yang nonton, banyak yang pingsan]

Amplope akeh tenan
[Amplopnya banyak sekali]
Entok duit karung-karungan
[Dapat duit berkarung-karung]
Wong sing podo kondangan
[Orang-orang yang diundang]
Nganti akeh sing podo kelangan
[Sampai banyak yang kehilangan]

Angge-angge orong-orong
Ora melok nggawe melok momong
[Tak ikut bikin, ikutan ngasuh]
Entok rondo anak'e limo
[Dapat janda, anaknya lima]
Kumpul bareng, turu neng kloso
[Berkumpul bersama, tidur di tikar]

Angge-angge orong-orong
Ora melok nggawe melok momong
[Tak ikut bikin, ikutan ngasuh]
Kudu becik karo anake
[Harus baik dengan anaknya]
Kabeh kui dadi resikone *)
[Semuanya, jadi risikonya]
Rembulan menghela nafas, dan menanggapi, "Nah! Insan yang ripuh! Rasa meloya 'kan tumbuh oleh rapsodimu. Sebelum kenikmatan, di puncak harapan, engkau tak melihat apapun kecuali kepala dan tubuh, akan tetapi, setelah berbuah, ekor dan sisik, menjungkar. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Sieur De La Motte, One Hundred New Court Fables, Peter-Nofter-Row
*) "Angge-angge Orong-orong" karya Jhoni Sayekti & Ragil SB

Selasa, 22 Februari 2022

Sang Satir (2)

Tak pakai lama, sang Filsul bertutur,
"Seorang Satir, saat ia menjelajahi hutan di musim salju yang sangat dingin, bersua dengan seorang Pengelana, yang tengah kelaparan oleh cuaca ekstrem. Ia merasa kasihan pada sang Pengelana, dan dengan santun mengundangnya singgah ke rumahnya, sebuah gua nyaman, di liang bebatuan, yang suam menyenangkan.
Seketika setelah masuk dan duduk, walau terdapat perapian yang memadai di tempat tersebut, sang Pengelana, yang kedinginan, tak dapat menahan-diri, meniup-niup ujung-jemarinya. Kala sang Satir bertanya padanya, mengapa ia melakukannya; ia menjawab, bahwa ia melakukannya, demi menghangatkan tangannya.
Makhluk dengan tengkuk bermisai kuda ini, sang Satir, yang sedang dipersaksikan oleh secuil jagat para menungso, mengagumi insan yang, menguasai bobot yang sangat bernilai itu, semisal menghembus-hembuskan panas, dan oleh sebab itu, memutuskan, menjamunya dengan cara terbaik, yang ia bisa. Ia menghidangkan di atas meja, di hadapannya, dengan aneka buah kering [ingat lanx satura yang kusampaikan sebelumnya]; dan mengeluarkan sisa-sisa anggur hangat yang manis, yang, karena musim beku yang menjadikannya sangat layak, ia menghangatkannya dengan rempah-rempah, dituangkan di atas api, dan disajikan kepada sang petandang, yang sedang menggigil.
Namun, sang Pengelana, menghembus-hembuskan, dengan cara yang sama; dan setelah sang Satir meminta penjelasan mengapa ia meniup-niup lagi, ia menjawab, demi mendinginkan pinggannya. Jawaban kedua ini, memicu amarah sang Satir, sama seperti jawaban pertama, yang telah menembak keterkejutannya: lantas, seraya memegang pundak sang lelaki, ia mendorongnya keluar pintu, sambil mengatakan, ia tak mau bertanggungjawab atas seseorang yang punya bobot seorang bedebah, yang mnghembus-hembuskan panas dan dingin, dari mulut yang sama."
"Meski sang Pengelana yang malang dalam Fabel tersebut, tak salah atas apapun kekeliruan yang telah dilakukannya," kata sang Filsuf, "namun, seseorang tak dapat tidak, menyepakati, keberterusterangan sang Satir, yang tak dapat berdamai dengan skenario-skenario jamak semacam itu, yang lebih buruk dibanding sang Satir itu sendiri.
Seperti yang kuutarakan sebelumnya, tiada yang lebih menyenggol hati orang yang tulus, melainkan ia yang menghembuskan nafas berbeda, dari mulut yang sama. Akhir-akhir ini, banyak sekali pembeberan yang dihembuskan, yang satu belum selesai, dimunculkan pula pemerian berikutnya, yang mengakibatkan hiruk-pikuk dan tak menyisakan waktu kita, sebagaimana ucapan seorang kawan sejawat, 'Membuang waktu kita, hingga tak bisa mengurus diri dan keluarga kita. Mereka minta tambah dan menyabet segalanya!"

Jangan mau disesatkan, dan engkau 'kan bersinar lebih dari sehari. Dengarkan kisah Pertapa aneh yang sedang berkemah di sebuah padang-ilalang,
Saat-saat hari melelahkan, telah melesap, dan dunia tampak tersalut kebercukupan, ketika resah dan gelisah telah menanggalkan dada. Saat mata terlelap lembut, membuang letih, Dewi Cynthia mengalungkan pendarnya, dan hamparan langit pun, tertabur.
Seorang Pertapa aneh, oleh perenungannya, kebat-kebit, meninggalkan tendanya, menyusuri padang-ilalang. Dalam perenungan yang dalam, ia tergiring; menilik pesona alam; seraya dengan kalem, ia, menapaki jalan sepi; dimana banyak tergeletak, jejeran kendil-air dan tumpukan tanah dari keberagaman teraan, dan, salah satunya, ia perhatikan, di utus dari negeri Akuarium.
Tak sengaja, seekor cacing kunang-kunang, ditapakinya, yang memancarkan kilauan cahaya mungilnya; dengan bangga, menyibak setiap anugerah; menyinari dataran berlumut; berkitar berkeliling dari setiap tempat; dan ia tampak mengabaikan cacing lain yang telihat.
Sang Pertapa, entah dengan mata fisosofisnya, lalu membungkuk rendah dengan tangan-galaunya, mengangkatnya dari tanah yang penuh embun. Sang Lundi, walau tak cemas oleh kepanikan; menyadari tak berada dalam lingkupnya, menarik pancaran sinarnya, dan dengarkan apa yang seorang insan, manusia sia-sia! 'kan ucapkan.
Sang pertapa terpelajar, takjub, terjeda barang sesaat dan cemas menatap; tertegun saksikan sang cacing mati begitu cepatnya, lalu mencampakkannya. Tapi kemudian, kesimpulan ditetapkan, 'Reptil ngesot ini, lihat! telah mati; dan dengan hidupnya, kemuliaannya sirna. Begitu pula dengan segala pacuan ambisi, yang memenuhi setiap persemayaman mulia; cemerlang bersinar dengan cahaya sanggam, dan jalang di saat terang-hari, sampai roda keberuntungan berikutnya, berputar, dan meninggalkannya, dimana saat pertama ditemukan.'
Sang cacing-kunang, penuh-perhatian mendengar dan menimbang cermat setiap kata, berhias lagi dengan lampu kecilnya, lalu bersinar lebih indah di pelantaran. Dan olehnya mengundang keterpesonaan sang Pertapa, pendongeng masyhur di zamannya: 'Tahukah engkau, kekuatan bahagia agar bersinar? Sungguhkah milik para insan sebagaimana milikku? Kukenali jagatku: adakah ia setara, ia telah menapaki jalan yang mengarah pada ketenaran. Adakah ia di masa-masa rawan, undur-diri, dan memantau dengan telisik api ambisi; Seperti diriku, ia mungkin menyebarkan kegemerlapannya, dan terbasung dengan daun-salam segar di kepalanya: namun, ibarat pesolek, ia tersalah-jalan, bersinar dan berbinar, semata dalam sehari.'
"Bagiku," kata sang Filsuf ulung, "lebih cenderung memilih Nama-baik, daripada banyak harta, dan lebih disukai ketimbang dinar dan dirham. Ia yang mengikuti kebenaran, menemukan hakikat dan kemuliaan.
Ada seorang Filsuf bijak, yang sangat berpengalaman dalam segala pengetahuan, baik laduni maupun budi-pekerti, suatu hari, menemukan sebuah taman pusara, ia tenggelam dalam perenungan dua kerangka manusia, yang terbujur di hadapannya–yang satu, kerangka seorang Adipati, yang lain, seorang Gembel biasa. Sesaat kemudian, ia berseru, “Jika ahli anatomi yang terampil telah menunjukkan bahwa tulang-belulang, saraf, otot, dan isi perut semua manusia, dicipta menurut cara dan bentuk yang sama, niscaya, inilah bukti yang sangat meyakinkan, bahwa Keningratan sejati itu, terletak di dalam nalar dan qalbu yang sehat, bukan dalam bawaan. Semuanya menuju ke sebuah tempat, semuanya dari debu, dan semuanya kembali jadi debu. Yang ghani dan yang fakir, bertemu bersama: Yang Maha Pencipta, Dialah Pencipta mereka semua."
Sang Filsuf ulung melongok beker-sakunya, lalu berkata, "Sekarang waktuku!" Dan beberapa saat kemudian, ia melangkah ke dalam sebuah ruangan penuh khalayak, yang menyambutnya dengan sebuah iktikad,
And for every song, there's a song we're not singing
[Dan di antara setiap lagu, ada lagu yang tak hendak kita nyanyikan]
For every step, there's a step we're not taking
[Di antara setiap langkah, ada langkah yang tak hendak kita pijak]
So let me know if there's something I'm missing
[Maka ingatkan aku jika ada sesuatu yang kulewatkan]
'Cause this is all I need
[Karena semua ini kubutuhkan]
So say 'We'll be always, always!'
[Maka ucapkan, 'Kita 'kan s'lalu, s'lalu!]
Say it will be you and me 'til the old days
[Katakan itu 'kan terjadi padamu dan padaku hingga hari-tua]
Let us be always, always
[Mari kita s'lalu, s'lalu]
Through the highs and the lows, we'll be always *)
[Lalui pasang-surut, kita 'kan s'lalu]
Rembulan menyimpulkan dengan kalimat, "Kebersamaan, dalam 'konteks' ini, awalnya dipandang Haram, namun setelah ditelusuri paragraf demi paragraf ayat, dengan menilik kata per kata, ternyata Halal, walau ada upaya menyamarkan label Halal tampak seperti Haram. Gelindingan Bola-salju telah mematahkan ranting-ranting kecil tak berdaya, dan seyogyanya segera diluluhkan, agar timbunan salju, tak menerpa rumah-rumah rakyat di kaki bukit. Lalu, mengapa masih ragu? Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
*) "Always" karya Isak Ocke Danielson, Kristofer Ulf Oestergren & Olle Lars Anders Blomstroem

Jumat, 18 Februari 2022

Sang Satir (1)

"Mendengar tentang sang Phoenix, seorang kawan sejawat, Filsuf ulung yang kukagumi, tergelak, 'Plis dong ah, jangan samakan antara Satir dan Satire!'" kata Rembulan saat ia tiba, usai, seperti biasa, mengucapkan Basmalah dan Salam. "Dua kata ini," kata sang Filsuf, "erat dalam pengucapan, namun sering membingungkan. Seperti yang telah engkau ketahui bahwa, Satire itu, corak artistik, terutama dalam sastra dan drama, dimana kebiasaan-buruk, kekonyolan, penyelewengan, atau kedaifan manusia, diangkat sebagai kritikan berupa gurauan, suara-miring, bahan-candaan, ironi, parodi, karikatur, atau metode lain, terkadang dengan maksud menggagas pembenahan dalam masyarakat. Satire dirancang guna menunjuk orang atau lembaga, yang mengorup kekuasaan, atau melakukan sesuatu yang bukan demi kepentingan umum, biasanya, dengan harapan agar ada perbaikan keadaan. Kata sifatnya, Satiris. Kata Satire berasal dari bahasa Latin, Satira, mengacu pada sejenis puisi. Ide Satire, dipelopori oleh penulis drama Yunani, Aristophanes, dalam drama-drama komikalnya, yang disebut-sebut sebagai 'Old Comedy,' dan telah dikumpulkan menjadi 'The Comedies of Aristophanes.' Sebuah satire, dapat berupa film, drama, novel, esai, lagu, meme atau bentuk ekspresi lainnya. Satire itu, tradisi lama yang memiliki kesesuaian estetika, paling tidak, etimologis, dan tetap kuat.

Perlu engkau perhatikan, oleh sebab ia corak artistik, maka seyogyanya, di dalam Satire, takkan engkau temukan, secara langsung, ucapan tak senonoh, makian, penistaan, atau apapun yang sejenisnya. Kata 'satire' berasal dari kata Latin 'satur' dan frasa berikutnya 'lanx satura.' Satur bermakna 'penuh' tetapi penjajaran dengan 'lanx' menggeser maknanya menjadi 'keragaman atau campuran,' hingga ungkapan 'lanx satura' secara harfiah bermakna "hidangan lengkap beragam jenis buah-buahan." 
Muasal kata 'satire,' tak dipengaruhi oleh sosok 'Satir' dalam mitologi Yunani. Para Satir, dicirikan oleh perkataan tak laiknya—dan inilah salah satu yang membedakannya dengan Satire—dan dikenal sebagai pecinta anggur, musik, tarian, dan wanita. Mereka ini, para kolega dewa Dionysus dan diyakini mendiami tempat-tempat terpencil, semisal hutan, gunung, dan padang rumput. Mereka sering berupaya merayu atau memperkosa nimfa dan wanita fana, biasanya, hampir tak pernah berhasil. Adakalanya, mereka ditampilkan—mohon maaf—beronani, atau bertingkah dalam perilaku-kebinatangan. Kata 'satir' atau 'satyr,' yang digunakan kias, bermakna seorang lelaki dengan nafsu-berahi yang sangat besar, berasal dari kata Yunani, 'satyros.'
Satir atau Satyr, juga dikenal sebagai Silenus atau Silenos, dalam mitologi Yunani, dewa alam roh lelaki dengan telinga dan ekor yang menyerupai kuda. Representasi artistik awal. sesekali menampilkan kakinya mirip kuda, akan tetapi, pada abad VI SM, lebih sering direpresentasikan berwujud kaki manusia. Ngeri-ngeri sedep, mereka bersurai mirip tengkuk-kuda, berwajah dabat, dan berhidung pesek, serta sering dihadirkan tak berbusana. Maka, dalam Satire, diperlukan kecermatan," katanya, "agar tak tergelincir ke dalam sosok para Satir," lalu ia diam sejenak.

Lantas, ia meneruskan, "Dengar! Kesan yang membawa perbantahan, akan terlupakan, maka, pastikan bahwa kesan pertamamu, kesan yang baik.
Pernah, seorang Filsuf bijak, berada dalam sebuah Gentleman's Library—koleksi pribadi yang terdiri dari setidaknya 10.000 buku—melihat, tergeletak di atas meja, selembar kertas, yang dulunya putih, namun sekarang, terdapat banyak coretan dimana-mana, dengan gambar-gambar isapan-jempol dan tak jelas. 'Duh!' kata sang bijak, 'andai, kertas yang terkadang tiada borok ini, dipercayakan dan dirawat oleh tangan-tangan yang tepat, mungkin, pada saat ini, telah berisi syair yang sangat indah atau goresan yang tertata, pelajaran moral atau doktrin sains, bukannya ternoda, dan diperlakukan lebih buruk dari keterbengkalaian, oleh tampilan noda dan goresan, kotoran dan kehampaan, yang saat ini, cuma berguna memanggang anak-ayam atau menyalakan perapian, dan semakin cepat dimusnahkan, semakin baik.'"
Kemudian, sang filsuf menerangkan, "Otak anak bayi itu, suci tak ternoda, ibarat kertas putih terindah, tanpa bercak, dan kesan pertama yang diterimanya, kita semua belajar dari pengalaman, yang terdalam dan teramat sulit dihapuskan; oleh karenanya, menjadi kewajiban utama dalam tugas kita, sebab kita menghargai kebahagiaan masa depan sang anak, agar berhati-hati terhadap ajaran pertama dan gagasan yang diberikan kepadanya. Pujilah anak-anak lantaran ia berkelakuan-manis, dan mereka akan berusaha mengatur diri mereka sendiri. Pujilah mereka oleh berperilaku-baik, dan mereka bakal berusaha menjadi orang yang paling bermanfaat."

"Apa yang coba kuutarakan," katanya, "bahwa, segala kenangan akan sebuah kebajikan, 'kan tetap bernyawa. Ingatan masa kecil saja, sulit dihapuskan, apalagi, hendak membelokkan sejarah. Phaedrus, telah menua tatkala ia menulis fabelnya,
Seorang wanita tua, melihat Drum Anggur, yang telah dikosongkan, namun endapannya, yang masih mengharumkan udara dengan aroma nikmat yang mendalam, menempelkan hidungnya ke lubang drum, dan mengendus dalam-dalam selama beberapa saat, akhirnya berseru, 'Duhai, aroma yang nikmat! Bukan main menyenangkannya! Alangkah menawannya dirimu dahulu, walau sepahmu pun, sangat menyenangkan dan menyegarkan!'
Yang ini, ia terapkan pada dirinya sendiri; agar kita mengenali dengan baik, penilaian di masa mudanya, saat usia rentanya, masih mampu menghasilkan fabel tersebut. Inilah ide yang menyenangkan dan sekaligus melankolis, yang dihadirkan kepada kita, melalui interaksi dengan orang yang lebih tua, yang percakapannya mudah dinikmati dan disepakati, dan kita tak bisa tidak, menyimpulkan bahwa mereka pasti telah berperan-serta dalam puncak kehidupan, tatkala dalam kelanjutan-usianya, mereka masih mampu menghasilkan banyak kebahagiaan bagi kita.

Demikian pula, kita tak dapat menahan rasa penyesalan, bahwa sumber kebahagiaan ini, sekarang hampir mengering, dan akan meninggalkan kita selama-lamanya. Sebaliknya, dikala seseorang, yang di masa mudanya, lalai melapangkan pikirannya, seluruh perilaku sepanjang hidupnya, yang berdampak dari hasratnya yang sangat besar, dan usia rentanya, membebani dirinya sendiri, dan percakapannya, hambar bagi orang lain; dan laksana khamar yang bertubuh ramping dan berkualitas buruk, seketika menjadi gersang, hampa, atau tak berguna.

Punya lisan yang bebas itu, lebih mungkin sebagai penghalang, dibanding sebagai penuntun.
Seorang pemikir yang jujur dan naif, namun dalam benaknya tersimpan falsafah yang bajik, suatu ketika, berjalan-jalan, lalu ia melihat seekor Burung Beo yang mempesona, di toko tempat menjual burung; dan karena terpikat oleh celotehnya, menanyakan harganya: dan mereka menjawab, seratus lima puluh crown.
Sang Filsuf yang fakir ini, merasa sangat malu, mendapati kantongnya, takkan mampu membayar sejumlah uang tersebut; 'Namun,' katanya, 'karena aku menyukai burung ini, aku tak peduli jika aku harus mengirimkan sebuah truk kepadamu guna menebusnya; yakni, aku akan menyerahkan tempat tidur, kursi, dan semua barang bergerak lainnya, yang ada di penginapanku, senilai harga yang engkau tawarkan padaku.'
Sang penjaga toko setuju, dan tawar-menawar selesai, akan tetapi, ia masih tertegun, dan tak bisa menahan diri, menyayangkan dan bertanya kepada sang filsuf, tidakkah ia telah kehilangan akal sehatnya, bahwa ia, yang semestinya masih butuh membeli pakaian baru, bersikap boros dengan membereskan seluruh perabotan rumahnya, bahkan sampai bawah kolong ranjangnya, yang merupakan satu-satunya tempat istirahatkan tubuhnya yang lelah dan pikirannya yang terlalu banyak bekerja, dan semuanya, semata demi membeli burung beo norak ini?
Duh" sahut sang sang Filsuf, “Bagiku, ia akan menjadi harta yang tak ternilai, dan aku bakal menelanjangi diriku, ketimbang pergi tanpanya, karena aku merasa sial punya lisan yang bebas, dan batin yang naif dan terbuka;—kebajikan agung ini, adanya di zaman dahulu; sekarang, telah menjadi kedaifan yang tak terampunkan, sesuai dengan harga yang harus kubayarkan: namun kuberharap, dapat mengakhiri semua ini, dengan memelihara burung yang indah ini, yang akan “mengajariku, apa yang tak kuketahui, meskipun dalam dalam banyak gaya: yaitu, seni menyembunyikan pikiran sejati dari dalam batin kita sendiri, dan menggelitik telinga orang dengan kata-kata yang semata keluar dari lidah, dan orasi yang berulangkali dihafalkan.”
Tiada yang lebih menyenggol perasaan seseorang, yang tulus dan ikhlas, dibanding ia yang menghembuskan nafas berbeda, dari mulut yang sama. Lebih baik mempertahankan satu posisi, seperti yang diungkapkan dalam kisah sang Pengelana dan sang Satir berikut ini.
[Bagian 2]

Selasa, 15 Februari 2022

Sang Phoenix

"Ini omongan yang kudengar dari Hans Christian Andersen," Rembulan berkicau setelah mengucapkan Basmalah dan Salam. "Namun maafkan, aku tak mampu mengingat dengan tepat, apa yang ia sebutkan. Aku berusaha mengingat-ingat kalimatnya,
Di Taman Surga, di bawah Pohon Ilmu, tumbuh sekar mawar. Di sini, pada mawar pertama, seekor unggas lahir: cara mengangkasanya, laksana kilatan cahaya, miangnya indah, dan kidungnya, memukau.

Akan tetapi, tatkala Siti Hawa memetik buah ilmu tentang yang baik dan yang buruk, sewaktu ia dan Adam ditampik dari Firdaus, dari pedang sang Kerub—malaikat urutan tertinggi kedua dari hierarki makhluk surgawi, yang direpresentasikan dalam seni Timur Tengah kuno, sebagai singa atau banteng dengan sayap elang dan wajah manusia—yang menyala-nyala, seberkas percikan api, merebak ke dalam sarang unggas tersebut, yang seketika memanggangnya. Sang unggas binasa dalam kobaran sang agni; tetapi dari telur merah di sarangnya, mengirap telur baru, satu-satunya burung Phoenix yang tersendiri. Fabel tersebut menceritakan kepada kita, bahwa ia menetap di Negeri Kadrun—janabijana yang tak disukai para berudu—dan bahwa, setiap tahun, ia membakar dirinya hingga hilang-hayat, di sarangnya; namun acap kali, Phoenix anyar, yang satu-satunya di dunia, bertunas dari ovum merah.

Sang unggas mengepakkan sayap di sekitar kita, secepat sang halilintar, ronanya indah, senandungnya menawan. Dikala seorang Emak duduk di dekat buaian bayinya, ia tegak di atas bantal, dan, dengan sayapnya, membentuk cahaya-kemuliaan di sekitar kepala sang orok. Ia mengangkasa melalui ruang kecukupan, dan memboyong sinar-surya ke dalamnya, dan bunga lembayung di atas meja prasaja, semerbak tercium berlipat-ganda.

Namun belakangan ini, sang Phoenix, rupanya, bukanlah unggas Kadrun belaka. Ia mengepakkan sayapnya di keremangan cahaya belahan Utara, di atas dataran Lapland, dan melompat di antara puspita asfar dalam musim panas yang singkat, di Greenland. Di bawah pegunungan tembaga Fahlun, dan tambang batu-bara England, ia membubung-tinggi, dalam rupa ngengat berdebu, di atas buku himne pujian para penambang yang berlutut. Di atas daun padma, ia mengapung di perairan sakral Sungai Gangga, dan 'ain sang dara Hindi, berbinar bayan, saat ia saksikan sang unggas.

Burung Phoenix, tiadakah engkau mengenalnya? Burung Surgawi, nyanyian angsa kudus ! Di dalam k'reta Thespis—seorang penyair Yunani Kuno, yang pertama kali muncul di atas pentas, sebagai aktor yang memainkan karakter dalam sebuah drama—yang duduk menyaru sebagai burung gagak berceloteh, dan mengepakkan sayap hitamnya, dibalur dengan ampas anggur; di atas harpa nyaring Keltik, mengusap paruh merah angsa; dan di pundak Shakespeare, ia duduk dengan kedok burung dendang Odin, dan berbisik di telinga sang penyair, "Kekekalan!" dan pada pesta para pujangga, ia mengerawang melewati gorong-gorong Wartburg.

Pembaharuan sang Unggas Surgawi, ada di setiap abad, lahir dalam nyala-api, berakhir dengan nyala-api! Citramu, dalam bingkai emas, tergantung di aula Tauke yang tajir beraroma; dan engkau, dirimu, sering terbang berkeliling, dalam kehampaan dan diabaikan, sebuah mitos "Phoenix milik para Kadrun."
"Mungkin, aku tak meriwayatkannya dengan benar," kataku kepada seorang filsuf ulung. Dan, Insya Allah, akan kusampaikan padamu, apa komentarnya. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- H.W. Dulcken, Ph. D, What the Moon Saw and Other Tales by Hans C. Andersen, George Routledge and Sons.

Selasa, 08 Februari 2022

Dikadalin

"Tatkala terasa, 'it's too good to be true,' bisa jadi, demikian adanya," Rembulan mencoba mengajukan pandangannya, saat ia bersambang, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "Kita dapat melihat dalam pariwara yang dahsyat, bagaimana para penjual-obat, berkedok seolah tahu segalanya, dan menghadirkan mukjizat; dan bahwa, dengan samarannya tersebut, mereka mendapatkan keuntungan, atau menghancurkan kewarasan para pembaca, yang berpandangan sederhana. Sebagian besar kita, sering dikadalin, oleh beberapa orang atau pebisnis, para politisi, atau bahkan sebuah rezim—aku tak mengatakan semuanya bajing-loncat atau bromocorah, melainkan mereka berupaya menawarkan narasi kepadamu—menggunakan teknik-teknik tertentu, agar membuatmu, mengikuti narasi mereka dan melakukan apa yang mereka inginkan.

Banyak taktik yang digunakan oleh para penyilap ini, antara lain penyesatan, tekanan waktu agar membuatmu melakukan kesalahan, membuatmu menyukai sesuatu yang gratis, kepatuhan sosial dan bukti sosial, serta masih banyak lagi.

Dan aku menemukan tiga kasus, ketika mengunjungi negeri bernama Bhumi Mosam. Di TKP pertama, perhatianku tertuju pada yang berikut ini,
Seorang lelaki pengangguran nan pemalas, di sebuah dusun, ingin mempermainkan keluguan para tetangganya, dan pada saat yang sama, memasukkan sedikit uang ke sakunya atas beban mereka. Maka, ia beranjak ke tempat dimana mereka sering berkumpul, dan ikut nimbrung. Setelah perbincangan panjang tentang apa yang sedang dibicarakan, ia mengiklankan bahwa ia akan, pada hari tertentu, mempertontonkan kereta-roda, yang dipasang sedemikian rupa, dapat berjalan tanpa kuda..
'Beneran!' seseorang berkomentar. 'Omong kosong! Tak ada kereta roda yang bisa berjalan tanpa seekor kuda!' kata yang lain, 'Aku bisa tampilkan!' kata kolega kita. 'Kalau begitu, tunjukkan pada kami!' semuanya menantang. 'Tapi pertama-tama seperti biasa, perlihatkan dulu uangmu, sebab no money, no show!'
Lantaran kepo banget, dan slebor, warga dusun tertarik, dan, setiap kelompok warga berikutnya, yang keluar dari pertunjukan tersebut, merasa malu mengakui kepada orang sekeliling mereka, bahwa mereka tak menyaksikan apapun, selain 'gerobak.'
Dan semua orang yang keluar dari pagelaran, ketika ditanya, hanya bernyanyi dengan kecele,
Somewhere over the rainbow, way up high
[Entah di atas sang bianglala, tinggi di sana]
There's a land that I heard of once in a lullaby
[Ada negeri yang pernah kudengar dalam lagu pengantar tidur]
Somewhere over the rainbow, skies are blue
[Entah di atas sang bianglala, awang-awang berwarna belau]
And the dreams that you dare to dream
[Dan mimpi yang tega engkau impikan]
Really do come true *)
[Sungguh jadi kenyataan]
Jengah rasanya melihat, bahwa dengan seni kecurangan, satu setengah dunia memaksakan kekonyolan kepada orang lain, hingga terjerat oleh tipu-daya mereka, dan yang mengetahui dikala sudah terlambat, bahwa wong ciloko yang mereka percayai, tak lebih mengetahui ketimbang diri mereka sendiri, dan bahwa alih-alih dikarunia dengan pengetahuan superior, ternyata, cuma superior dalam hal, seni ketidakjujuran.

Di TKP kedua, camkan ini, jika engkau membiarkan orang lain menggunakanmu demi tujuanmu sendiri, mereka akan mempergunakanmu, demi tujuan mereka.
Terjadi persaingan antara Kuda dan Rusa, sehingga sang Kuda menemui seorang Pemburu, meminta bantuannya, agar membalaskan dendam pada sang Rusa. Sang Pemburu sepakat, namun berkata, 'Bila engkau ingin menaklukkan sang Rusa, engkau harus mengabulkanku, memasang potongan besi ini, di rahangmu, sehingga aku dapat menuntunmu dengan tali-kekang, dan membolehkan pelana ini, diletakkan di punggungmu. agar aku dapat tetap dalam kendali, saat kita mengikuti musuh.'
Sang Kuda menyetujui S&K tersebut, dan sang Pemburu segera meletakkan pelana dan memasang tali kekangnya. Setelah itu, dengan bantuan sang Pemburu, sang Kuda seketika menaklukkan sang Rusa, dan berkata kepada sang Pemburu, 'Sekarang, turunlah, dan singkirkan benda-benda itu dari mulut dan punggungku.'
'Tunggu dulu, kawan,' kata sang Pemburu. 'Sekarang, engkau telah berada dibawah kekangan dan kendaliku, dan aku lebih memilih, agar engkau tetap dalam keadaan seperti ini.'
Sang Rusa yang kalah dalam perlombaan, memperhatikan, dan berkata pada dirinya sendiri, 'Aman!' dan dengan berlenggang, ia berbalik ke arah gunung, bersenandung,
Someday, I'll wish upon a star
[Kelak, kukan bermohon pada bintang]
And wake up where the clouds are far behind me
[Dan terbangun dimana mendung jauh dibelakangku]
Where troubles melt like lemon drops
[Dimana kesukaran luluh bagai tetesan limau]
Away above the chimney tops
[Jauh di atas puncak cerobong asap]
That's where you'll find me *)
[Di situlah engkau 'kan temukanku]
Di TKP yang ketiga, dengarkan ini, kadang-kadang, terjadi bahwa seseorang harus menaggung kerja-berat, sementara orang lain, menenggak segala keuntungannya.
Sang Rubah menemukan bangkai seekor anak-rusa yang baru saja ditembak. Namun langkahnya terhenti oleh Singa dan Beruang, di kanan dan kirinya. Kedua adikuasa rimba ini, menginginkannya pula. Sang Rubah, yang bukan otak udang, berusaha menggondol bangkai sang rusa, dengan caranya sendiri, bahkan tak peduli, kehilangan harga diri. Lalu ia berkata, 'Aku tak melihat, bahwa kalian berdua, yang terkuat.' Sang Singa geram dan mengaum, 'Aku yang terkuat!' Tak mau kalah, sang Beruang menyanggah, 'Aku yang terkuat!'
Pergumulan sengit pun terjadi, dan karena setiap satwa tersebut, berada dalam puncak usia dan kekuatannya, pergelutan berlangsung lama dan sengit. Alhasil, mereka berbaring di tanah dengan terengah-engah, berdarah, dan kelelahan, masing-masing tak mampu mengangkat satu kaki ke tangan yang lain.
Pada saat itu, sang Rubah yang lancang, melangkah masuk dan membawa-pergi sang mangsa, di depan mata mereka, yang sedang mengalami penderitaan.
Sang Singa dan sang Beruang melongo, namun tak sanggup bangkit, berkata, 'Celakalah kita, bahwa kita harus berjuang dan bekerja keras, cuma untuk memberi giliran kepada sang Rubah.'
Saling-membopong, duet adidaya rimba yang lemah ini, menatih tanah, dan melagukan penyesalan,
Somewhere over the rainbow, bluebirds fly
[Entah di atas bianglala, burung-biru mengangkasa]
Birds fly over the rainbow
[Burung terbang di atas sang bianglala]
Why then, oh why can't I?
[Lalu mengapa, duhai mengapa, kutak bisa?]
If happy little bluebirds fly
[Jika burung-biru mungil nan riang mengudara]
Beyond the rainbow
[Melampaui sang bianglala]
Why, oh why can't I? *)
[Mengapa, duhai mengapa, kutak bisa?]
Sebelum berangkat, Rembulan berkata, 'Maka, waspadalah selagi engkau merasa tergerak secara emosional oleh sebuah narasi, dan lebih berhati-hatilah tatkala engkau setuju dengan narasi tersebut, atau saat ia membuatmu bahagia, sebab, itulah saat dimana engkau, perlu lebih mawas-diri. Wallahu a'lam.”
Citations & References:
- Alexis Conran, The Superpower of the Conman, Tedx Berlin
- James Northcote, RA, One Hundred Fables, Originals and Selected, J. Johnson
- Josep Jacobs, The Fables of Aesop, Macmillan & Co
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
*) "Over the Rainbow" karya Edgar Yipsel Harburg & Harold Arlen

Jumat, 04 Februari 2022

Simfoni Kekonyolan (2)

Rembulan melantas, "Hanya satu tikus yang lolos, yang gagah perkasa laksana Julius Caesar, berenang menyeberang dan selamat, demi membawa pulang ke Negeri Tikus, komentarnya tentang kisah Peniup seruling, selama sisa hidupnya, 'Dimana, saat nada melengking pertama seruling itu, aku mendengar suara seperti gesekan aneh, yang mengubah apel yang telah matang, jadi perasan jus. Dan membuka lembaran penutup botol asinan, dan lemari-penyimpanannya, berburai, menarik gabus penutup botol minyak, dan memecahkan lingkaran segel drum mentega; dan sepertinya, terdengar suara, yang mengalun, lebih nikmat dibanding harpa atau gambus, memanggil-manggil, 'Wahai para tikus, bersukacitalah! Dunia telah tumbuh menjadi tebaran garam kering yang luas! Maka, kunyahlah, kernyaulah, ambillah jajanan-pagimu. Sarapan, jajan-sore, makan-malam, makan-siang! Dan bagai sebuah gundukan besar gula, yang siap dibarelkan, laksana matahari yang terik, bersinar dengan keagungannya, berjarak satu inci di hadapanku. Sama seperti yang kupikirkan, ia berkata, 'Ayo, berseruaklah!'—Lalu kutemukan, air sungai Weser, berguling di atasku.'

Adapun warga Hamelin, membunyikan lonceng yang mengguncang pagoda. 'Pergilah,' seru Pak Walikota, 'dan ambillah tongkat panjang! Gali sarangnya dan tutup lubangnya! Mintalah nasihat pada tukang-kayu dan tukang-batu, dan jangan biarkan kota, terdapat satupun jejak tikus!—ketika tiba-tiba di pasar, di hadapan mereka, sang Peniup seruling berdiri, berkata, 'Jika engkau s'kalian berkenan, bayar dulu seribu guldenku!'
'Seribu gulden!' Pak Walkot tampak galau, begitu pula para rekan. Soalnya, makan malam dewan dengan Claret, Moselle, Vin-de-Grave, Hock; dan setengah dari uang perbendaharaan, akan mengisi gudang besar bawah tanah mereka dengan anggur Rhenish, agak mengacaukan bila membayar sejumlah uang kepada seorang pengembara, dengan mantel gipsi merah dan kuning!
'Selain itu,' imbuh Pak Wali sambil mengedipkan mata, 'Urusan kita telah selesai di tepi sungai; kami melihat dengan mata kami, hama tikus tersebut, dan kurasa, apa yang mati, tak bisa hidup. Jadi, Bro, kami bukan orang yang mengabaikan kewajiban memberi minum, dan masalah uang guna dimasukkan ke dalam kantongmu. Tetapi, tentang gulden, apa yang telah kita bicarakan, seperti yang engkau pahami dengan baik, cuma lelucon. Selain itu, kerugian yang telah kami derita, mengharuskan kami berhemat. Seribu gulden! Bagaimana kalau, lima puluh!' Sang Peniup seruling agak bingung, 'Lima puluh ribu atau cuma lima puluh?' tanyanya. 'Lima puluh ... sa-ja!' suara Pak Walkot terdengar parau. Sang Peniup seruling menghela nafas, dan berkata, 'Perhatikan cerita berikut ini,
Di negeri Lintas Benua, yang disebut Misr, setiap Satwa, menjadi tuhan, dan sebaliknya, Manusia, menjadi satwa. Para satwa misqueen [baca : miskin] ini, yang olehnya, tak punya rumah, tapi punya Kuil dan Hari Perayaannya.
Pada hari tertentu, di Kuil Kucing, mereka memberikan persembahan yang megah, seekor tikus seputih susu, tanpa noda atau bintik.

Hari berikutnya, ada perayaan yang disakralkan demi menghormati tuhan Tikus, sebab tampaknya, setiap tuhan punya Hari Pemujaannya; dan agar menguntungkan, tiada yang tersisa selain seekor kucing tergeletak berdarah di Altarnya.
Nah, sewaktu Hari Persembahan buat tuhan Tikus tersebut, sang Puss berjalan dengan sungguh-sungguh, dimahkotai dengan bunga dan pita, prosesi dihadiri oleh pendeta yang khusyuk, yang memuja Langit, menaikkan puja-puji kepada tuhan Tikus yang agung. Ada nyanyian, puji-pujian, himne dan lagu-lagu rohani, penyanyi sopran dan tenor, dan yang semacamnya, yang belum pernah pernah engkau dengar.
Semuanya memohon Tikus agar mengurus ternak-ternaknya. 'Jangan menghukum kami, tuhan tikus, dengan penghinaan dari kucing jahat ini, dan semoga darah ini, membalas kesumat dari haribaanmu.'
'Hah, ia, tuuhaan!' teriak sang Kucing; 'Kalian tak boleh berpikiran seperti itu, lalu, kalian anggap apa aku, yang melahapnya? Baru kemarin kalian memberi persembahan padaku, engkau mengarahkan asapnya kepadaku; mengapa engkau berpindah dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya? Kemarin aku tuhan, dan sekarang, jadi korban.'
Celaan ini bukanlah persoalan kecil, melainkan, sekali hantaman kapak, memecahkan masalah.
Mendengar ini, para hadirin, paham maksud sang Peniup seruling, dan berkata, 'Pak Wali, bayarkan saja!' Yang lain ikut pula mendesak. Dan mulailah terjadi kegaduhan. Melihat keadaan, Walikota berkata, 'Hal ini perlu kami pikirkan, pulanglah, dan berikan kami waktu!'

Keesokan harinya, di sebuah sudut kota, sekelompok orang membawa spanduk, dan berteriak, 'Kami tak setuju membayar Peniup seruling!' Di sudut lain, kelompok lain berseru, 'Jangan bayar!' Kelompok lainnya, mengibarkan spanduk, 'Usir dia!' Dan masih ada beberapa kelompok yang meneriakkan seruan seirama. Para warga, yang sebenarnya tak mengenal mereka, ikut-ikutan. Dan mulailah disana-sini meneriakkan, sang Peniup seruling kudu diusir.

Wajah sang Peniup seruling nampak memerah, dan ia berseru, 'Baik! Pergilah dengan simfoni kekonyolanmu! Jangan remehkan ini! Aku tak sabar, selain itu, aku telah berjanji mengunjungi Bagdat saat jam makan malam, dan menerima hidangan utama dari kepala juru masak, semuanya, karena sepeninggalnya, di dapur sang Khalifah, tiada yang selamat dari sarang kalajengking—dengannya, kan kubuktikan tak ada tawar-menawar, dan denganmu, jangan berpikir aku akan mengalah! Dan orang-orang yang membangunkan amarahku, akan menemukan serulingku, dalam gaya yang lain.
'Memang k'napa!' sahut Pak Wali, 'Engkau pikir 'kan kubiarkan, diperlakukan lebih buruk dari seorang juru masak? Dihina oleh seorang carut malas dengan pipa kelompang dan baju belang-belang? Engkau mengancam kami, Bro? Lakukan yang terburuk, tiup serulingmu di sana, sampai engkau membaham-tanah!'

Sekali lagi, sang Peniup seruling melangkah ke jalan, dan lagi, ke atas bibirnya, ia letakkan tongkat pipa panjang lurus yang berkilap. Dan di sekitar ia meniupkan tiga nada—nada lembut yang manis namun dari kelihaian musisi yang takkan pernah mempersembahkan nada-nada mempesona, terdengar suara gemerisik, yang tampak seolah hiruk pikuk kerumunan orang yang sedang bersukaria, saling melempar dan bersegera. 
Tungkai kecil berderak, sepatu kayu berdenting, lengan belia bertepuk-tangan, dan lidah mungil berceloteh. Dan, bagai unggas di halaman rumah pak tani, saat jelai dihamburkan, memencar nak-kannak, berlarian. Segenap bocah dan upik, dengan pipi kemerahan dan surai-ikal kuning-muda, serta mata berbinar dan gigi bak mutiara, tersandung dan melompat-lompat, berlari riang mengikuti alunan yang indah, dengan pekik dan tawa, berdendang,
You're no good, can't you see
Brother Louie, Louie, Louie
I'm in love - set you free
Oh, she's only looking to me
Only love breaks her heart
Brother Louie, Louie, Louie
Only love's paradise
Oh, she's only looking to me
Brother Louie, Louie, Louie
Oh, she's only looking to me
Oh, let it Louie
She is undercover
Brother Louie, Louie, Louie
Oh, doing what he's doing
So, leave it Louie
'Cause I'm her lover *)
Pak Walkot membisu, dan para Kroni berdiri seolah-olah mereka bersalin jadi balok-kayu, tak mampu bergerak sejengkalpun, atau memanggil para cah-bagus dan cah-ayu, yang berlalu dengan riang. Dan semata memindai dengan mata-kepala, kerumunan yang dengan girang-hati, berjalan di belakang sang Peniup seruling. Dan yang membuat Pak Wali merasakan siksaan batin, dan jantung para Konco yang malang, berdegup kencang, saat melihat sang Peniup seruling, menikung dari jalan raya ke tempat Weser mengalirkan airnya, tepat searah dengan barisan putra-putri mereka!
Namun, ia berbelok dari Selatan ke Barat, dan pijakan-kakinya mengarah ke Bukit Koppelberg, dan anak-anak mengikutinya, sukacita tampak di dalam dada mereka.
'Ia takkan pernah bisa melewati puncak yang tinggi itu! Ia akan dipaksa menjatuhkan serulingnya, dan kita 'kan saksikan, anak-anak berhenti!' Pak Wali dan rekan, sedang mencari pembenaran. Namun lihat, tatkala mereka mencapai sisi bukit, sebuah gerbang menakjubkan terbuka lebar, laksana sebuah gua yang mendadak tersibak, dan sang Peniup seruling melangkah maju, disusul para bocil, dan setelah semuanya masuk hingga yang terakhir, gerbang di sisi bukit, tertutup rapat."

Cahaya Rembulan mulai memudar, fajar menyingsing, saatnya beranjak, "Jadi Bro, marilah kita menjadi bagian di antara mereka yang menghapus torehan-kata dengan semua orang—terutama kepada sang Peniup seruling: dikala mereka telah membebaskan kita dari para tikus, bila telah berjanji, mari, tepati janji kita.
Merujuk cerita sang Peniup seruling, kita semua, bagai penduduk Misr itu, dan berkelakuan seperti mereka, menyembah berhala yang konyol. Kita mempertuhankan nafsu dan ambisi kita, yang tiada lain selain taghut, dan sebagai persembahan, kita mengorbankan yang satu, ke yang lain. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Robert Browning, The Pied Piper of Hamelin, George Routledge and Sons
- Sieur De La Motte, One Hundred New Court Fables, Peter-Nofter-Row
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
*) "Brother Louie 98" karya Eric Singleton

Selasa, 01 Februari 2022

Simfoni Kekonyolan (1)

"Kurasa, engkau pernah mendengar cerita ini,” Rembulan membuka pembicaraan setelah mengucapkan Basmalah dan Salam. "Ingat cerita tentang 'The Pied Piper,' film animasi pendek yang diproduksi oleh Walt Disney? Jadi, aku akan menyampaikan padamu, sebuah re-make dari legenda Jerman ini.

Konon, lebih dari lima ratus tahun yang lalu, tersebutlah Kota Hamelin di Brunswick, kota pelabuhan yang makmur. Aliran sungai Weser yang dalam dan lebar di sisi Selatan, menyapu dindingnya, menjadikannya tempat yang paling menyenangkan, yang belum pernah engkau saksikan. Tongkang penuh jagung, melintasi Sungai Weser dan bongkar-muat di Hemelin. Dengan gudang yang penuh jagung dan gandum, muncullah pabrik penggilingan jagung dan gandum, toko roti, yang memanggang roti dan kue, toko yang menjaja roti dan kue, dan, tentu saja, menjadi penganan warganya.
Saking makmurnya warga kota tersebut, dan sibuk bongkar-muat, menggiling, memanggang dan makan, mereka tak mengacuhkan segala buangan dan sampah, menumpuk di jalan. Dan tentu saja, adanya sampah, datanglah para Tikus, yang bertandang dan menetap..
Para tuan dan nyonya Tikus ini, membawa petaka besar. Mereka melawan anjing dan mematikan peran para kucing, menggigit bayi dalam buaian, memakan keju dalam drum, dan bahkan menjilat sup langsung dari sendok para juru-masak. Mereka membuka botol-botol yang berisi asinan, membuat sarang di dalam topi, dan mengganggu pula obrolan emak-emak, menenggelamkan cettingan mereka, dengan ciutan dan cicitan, dalam beragam cara yang menjengkelkan.

Ada sesuatu yang harus diselesaikan. Para warga berduyun-duyun ke Balai Kota, dan mengetuk gerbang kuningan Balai Kota, menggelar demo, buat ngepoin, apa sih yang dapat dilakukan Pak Walikota terhadap tikus-tikus tersebut. 'Ini jelas,' teriak mereka, 'Pak Wali, doo-ngok, dan para Konco-konconya, ter-laa-luu! Tak bisa mikir, padahal mereka telah membeli mantel berlapis bulu cerpelai, pakai duit kita, namun tetap dungu, lantaran tak bisa atau tak mau memutuskan, cara terbaik mengeluarkan kita dari malapetaka ini! Jangan kira, karena sudah tua dan gendut, mudah menemukannya dalam mantel berbulu? Bangunlah, tuan-tuan! Peraslah otakmu, demi menemukan penawar yang tak kami punyai, atau, sesuai takdir, kami akan membantumu berkemas-kemas!'

Mendengar ini, Pak Walkot dan para Kroninya, bagai bebek di timpuk batu, 'Kwek!'—tersentak, kaget. Selama satu jam mereka duduk rapat. Akhirnya, Pak Wali memecah keheningan, 'Sebagai jalan pintas, aku akan menjual mantel-buluku seharga satu Gulden! Sangat mudah menebak tekanan yang terjadi pada kepala seseorang, sebab aku merasa, kepalaku yang malang ini, menuai sakit. Aku telah membuat sketsa, dan semuanya sia-sia, cuma karena mencari jebakan, jebakan, dan jebakan!'
Saat ia mengatakan ini, terjadi secara kebetulan, ketukan lembut, terdengar dari pintu ruang-rapat. 'E copot,' latah Pak Wali, 'Apa itu?' Semuanya, tampak boncel, walaupun gemuknya minta ampun, matanya, tak cerah pula, atau lebih lembab dari tiram yang terlalu lama terbuka, kecuali pada siang hari, perutnya memberontak, minta sajen sepiring kura-kura hijau yang lekap, 'Walau semata gesekan sepatu di karpet, atau apapun yang mirip suara tikus, membuat jantungku deg-degan!'
'Maaasuuuwk!'—teriak Pak Walkot, ia tampak agak bergaduk. Dan masuklah sosok yang teramat eksentrik, dengan mantel panjang fenomenal, mulai tumit hingga kepala, separuh kuning dan separuh merah, dan bertubuh tinggi-kurus, dengan mata biru tajam, masing-masing bak peniti, rambut lurus nan tipis, namun kulit kehitaman. Tiada jambang di pipi ataupun janggut di dagu, namun di bibir, senyumnya bagai terminal keluar-masuk mikrolet. Tak ada yang dapat menebak keluarga dan kerabatnya, tak ada yang bisa diam mengagumi sang lelaki jangkung dan pakaiannya yang baheula. 'Mirip kakek buyutku, setelah mendengarkan suara Sangkakala, berjalan dengan liar dari batu nisannya, yang diwarnai!' kata salah seorang dari mereka.

Ia bergerak maju ke meja rapat dan berkata, 'Yang Mulia. Aku bisa, dengan pesona gaibku, menarik segala macam makhluk, yang hidup di bawah matahari, yang merayap atau berenang atau terbang atau berlari, agar mengikutiku, dengan cara yang belum pernah engkau saksikan! Dan aku menggunakan pencitraanku, pada makhluk yang menyengsarakan manusia, tikus mondok, cebong dan kodok, bunglon dan tokek, serta ular beludak. Orang-orang menyebutku, Peniup Seruling Anekawarna. Syarat dan ketentuan berlaku, aji-aji pemukauku ini, takkan mempan terhadap segala jenis KADRUN.'

Dan setelah itu, mereka melihat di lehernya, syal bergaris merah dan kuning, senada dengan mantelnya. Dan di penghabisan syalnya, tergantung seruling, mereka melihat jemarinya selalu bergerak-gelisah, seolah tak sabar memainkan suling. Di atas seruling ini, ada taring tua, menjuntai, di atas mantelnya.
'Ya,' katanya, 'Aku peniup seruling yang miskin. Juni lalu di Tartar, aku membebaskan orang Campa, dari kawanan besar agas. Di Asia, aku mengejar Nizam dari sekumpulan kelelawar vampir yang menyeramkan. Adapun Tikus, perhatikan cerita berikut ini,
Para Tikus, sebenarnya tak suka keju, mereka makan keju lantaran nyaman, bukan karena mereka menyukainya. Tikus cenderung lebih menyukai makanan yang berkadar-gula. Keju terdiri dari protein, yang biasanya, tak manis. Itulah sebabnya, para Tikus akan lebih mudah tertangkap-tangan dalam perangkap, yang diberi umpan secuil cokelat, dibanding sebongkah keju.

Cerita ini, bermula dengan dengan sebuah pertanyaan lain, 'Jika para Lebah mampu mengurus pemerintahan, mengapa tidak para Tikus, yang berotak hebat namun tak berisi, dan yang berkekuatan lebih dahsyat, dengan ajaran Aksioma-aksioma Machiavelli, sanggup pula mengurus pemerintahan?

Dan demikianlah, akhir-akhir ini terjadi, di Negara Demokrasi Republik Tikus. Sang raja telah menemukan bongkahan Keju Cheshire yang menakjubkan, dimana para menteri negaranya, dapat hidup dalam keberlimpahan dan tumbuh membesar.
Sebuah partai kuat, langsung bergabung, dan mereka bersatu dalam sebuah kekuatan, agar gagasan-gagasan mereka, dapat diterapkan, karena katanya, tiada yang lebih setia dan sepatriot mereka, yang mendukung Negara, dan juga Istana.
Tak lama setelah para Bangsawan ini, diterima, segala kebajikan hebat itu, sirna. Mereka, dengan cara tercepat, merancang, agar dapat membesarkan diri-sendiri dan keluarga mereka. Para politisi, cenderung mencari terlebih dahulu, keuntungan demi diri-sendiri.

Partai lain, mengamati dengan baik, bahwa mereka itu, dimanjakan, padahal mereka sendiri, kelaparan. Merekapun menjebak para menteri dengan kehinaan, mengusir mereka dan mengambil-alih posisinya. Inilah prinsip-prinsip yang adil, yang dikenal sebagai para pendukung sejati Istana.
Adapun bila menyinggung persoalan Demokrasi, mereka akan mati-matian mempertahankannya; namun tetap berada dalam posisi mereka, tak pedulikan negara dan bangsa. Sama seperti yang lain, semua keterampilan mereka itu, semata agar bagaimana dapat mengisi penuh perut mereka. Mencermati perkembangan ini, seekor Tikus yang tak buta-buta amat dalam intrik negara seperti manusia, tetapi lebih terhormat, menjawab, 'Dari setiap sisi, kalian ini, membingungkan. Segala perdebatanmu cuma berkisar di seputaran ini: para politisi, siap mencari cara, agar terlebih dahulu, memperoleh Keju.'

Saat ini, lebih banyak makanan yang mudah diakses. Itu berarti, para tikus lebih cenderung mengejar hal-hal yang mereka sukai, seperti gula dan biji-bijian. Dan engkau tahu kaan apa maksudnya?
'Jika aku bisa membersihkan Kotamu dari para Tikus,' lanjut sang Peniup seruling, 'Maukah engkau membayarku seribu gulden?'
'Satu ribu? Nehi, lima puluh ribuh!' sahut Pak Walkot dan rekan, dalam ketertakjuban.

Sang Peniup seruling melangkah ke jalanan, dengan senyum mungil, seolah-olah ia tahu, sihir apa yang terlelap senyampang di dalam pipanya yang keren. Lalu, ia memonyongkan bibirnya, bagai pedangdut kondang, meniup sulingnya. Matanya yang tajam berkelap-kelip, berwarna hijau dan biru, laksana nyala lilin bertabur garam. Dan sebelum tiga nada lengking sang pipa siulkan, engkau 'kan mendengarnya kayak gerutuan seorang serdadu. Dari gerutuan membesar jadi omelan, dari omelan jadi gemuruh yang dahsyat, dari rumah-rumah, para Tikus datang bergaduh. Tikus besar, tikus kecil, tikus kurus, dan tikus berotot. Tikus coklat, tikus hitam, tikus abu-abu, dan tikus kuning. Tikus yang sudah bau tanah, berjalan tertatih, dengan langkah berat perlahan, tikus yang masih bau-kencur dan muda-belia nan galaw, berjalan seraya menari-nari, endut-endutan.
Bapak, ibu, pakde, poro sederek sedulur, melambaikan ekor dan sungutkan misai. Puluhan dan lusinan keluarga tikus, kang-mas, mbak-yu, bojo, bini—mengikuti sang Peniup suling demi hidup mereka. Melangkah maju dari jalan ke jalan, ia memainkan seruling, dan langkah demi langkah, para tikus mengikutinya sambil goyang ngebor, goyang ngecor, goyang patah-patah, goyang gergaji, goyang itik, goyang pinguin, dan apapun yang dibilang goyangan cetar-badai, hingga sampailah mereka ke sungai Weser, dimana semuanya, ditenggelamkan dan binasa!
[Bagian 2]