Jumat, 18 Februari 2022

Sang Satir (1)

"Mendengar tentang sang Phoenix, seorang kawan sejawat, Filsuf ulung yang kukagumi, tergelak, 'Plis dong ah, jangan samakan antara Satir dan Satire!'" kata Rembulan saat ia tiba, usai, seperti biasa, mengucapkan Basmalah dan Salam. "Dua kata ini," kata sang Filsuf, "erat dalam pengucapan, namun sering membingungkan. Seperti yang telah engkau ketahui bahwa, Satire itu, corak artistik, terutama dalam sastra dan drama, dimana kebiasaan-buruk, kekonyolan, penyelewengan, atau kedaifan manusia, diangkat sebagai kritikan berupa gurauan, suara-miring, bahan-candaan, ironi, parodi, karikatur, atau metode lain, terkadang dengan maksud menggagas pembenahan dalam masyarakat. Satire dirancang guna menunjuk orang atau lembaga, yang mengorup kekuasaan, atau melakukan sesuatu yang bukan demi kepentingan umum, biasanya, dengan harapan agar ada perbaikan keadaan. Kata sifatnya, Satiris. Kata Satire berasal dari bahasa Latin, Satira, mengacu pada sejenis puisi. Ide Satire, dipelopori oleh penulis drama Yunani, Aristophanes, dalam drama-drama komikalnya, yang disebut-sebut sebagai 'Old Comedy,' dan telah dikumpulkan menjadi 'The Comedies of Aristophanes.' Sebuah satire, dapat berupa film, drama, novel, esai, lagu, meme atau bentuk ekspresi lainnya. Satire itu, tradisi lama yang memiliki kesesuaian estetika, paling tidak, etimologis, dan tetap kuat.

Perlu engkau perhatikan, oleh sebab ia corak artistik, maka seyogyanya, di dalam Satire, takkan engkau temukan, secara langsung, ucapan tak senonoh, makian, penistaan, atau apapun yang sejenisnya. Kata 'satire' berasal dari kata Latin 'satur' dan frasa berikutnya 'lanx satura.' Satur bermakna 'penuh' tetapi penjajaran dengan 'lanx' menggeser maknanya menjadi 'keragaman atau campuran,' hingga ungkapan 'lanx satura' secara harfiah bermakna "hidangan lengkap beragam jenis buah-buahan." 
Muasal kata 'satire,' tak dipengaruhi oleh sosok 'Satir' dalam mitologi Yunani. Para Satir, dicirikan oleh perkataan tak laiknya—dan inilah salah satu yang membedakannya dengan Satire—dan dikenal sebagai pecinta anggur, musik, tarian, dan wanita. Mereka ini, para kolega dewa Dionysus dan diyakini mendiami tempat-tempat terpencil, semisal hutan, gunung, dan padang rumput. Mereka sering berupaya merayu atau memperkosa nimfa dan wanita fana, biasanya, hampir tak pernah berhasil. Adakalanya, mereka ditampilkan—mohon maaf—beronani, atau bertingkah dalam perilaku-kebinatangan. Kata 'satir' atau 'satyr,' yang digunakan kias, bermakna seorang lelaki dengan nafsu-berahi yang sangat besar, berasal dari kata Yunani, 'satyros.'
Satir atau Satyr, juga dikenal sebagai Silenus atau Silenos, dalam mitologi Yunani, dewa alam roh lelaki dengan telinga dan ekor yang menyerupai kuda. Representasi artistik awal. sesekali menampilkan kakinya mirip kuda, akan tetapi, pada abad VI SM, lebih sering direpresentasikan berwujud kaki manusia. Ngeri-ngeri sedep, mereka bersurai mirip tengkuk-kuda, berwajah dabat, dan berhidung pesek, serta sering dihadirkan tak berbusana. Maka, dalam Satire, diperlukan kecermatan," katanya, "agar tak tergelincir ke dalam sosok para Satir," lalu ia diam sejenak.

Lantas, ia meneruskan, "Dengar! Kesan yang membawa perbantahan, akan terlupakan, maka, pastikan bahwa kesan pertamamu, kesan yang baik.
Pernah, seorang Filsuf bijak, berada dalam sebuah Gentleman's Library—koleksi pribadi yang terdiri dari setidaknya 10.000 buku—melihat, tergeletak di atas meja, selembar kertas, yang dulunya putih, namun sekarang, terdapat banyak coretan dimana-mana, dengan gambar-gambar isapan-jempol dan tak jelas. 'Duh!' kata sang bijak, 'andai, kertas yang terkadang tiada borok ini, dipercayakan dan dirawat oleh tangan-tangan yang tepat, mungkin, pada saat ini, telah berisi syair yang sangat indah atau goresan yang tertata, pelajaran moral atau doktrin sains, bukannya ternoda, dan diperlakukan lebih buruk dari keterbengkalaian, oleh tampilan noda dan goresan, kotoran dan kehampaan, yang saat ini, cuma berguna memanggang anak-ayam atau menyalakan perapian, dan semakin cepat dimusnahkan, semakin baik.'"
Kemudian, sang filsuf menerangkan, "Otak anak bayi itu, suci tak ternoda, ibarat kertas putih terindah, tanpa bercak, dan kesan pertama yang diterimanya, kita semua belajar dari pengalaman, yang terdalam dan teramat sulit dihapuskan; oleh karenanya, menjadi kewajiban utama dalam tugas kita, sebab kita menghargai kebahagiaan masa depan sang anak, agar berhati-hati terhadap ajaran pertama dan gagasan yang diberikan kepadanya. Pujilah anak-anak lantaran ia berkelakuan-manis, dan mereka akan berusaha mengatur diri mereka sendiri. Pujilah mereka oleh berperilaku-baik, dan mereka bakal berusaha menjadi orang yang paling bermanfaat."

"Apa yang coba kuutarakan," katanya, "bahwa, segala kenangan akan sebuah kebajikan, 'kan tetap bernyawa. Ingatan masa kecil saja, sulit dihapuskan, apalagi, hendak membelokkan sejarah. Phaedrus, telah menua tatkala ia menulis fabelnya,
Seorang wanita tua, melihat Drum Anggur, yang telah dikosongkan, namun endapannya, yang masih mengharumkan udara dengan aroma nikmat yang mendalam, menempelkan hidungnya ke lubang drum, dan mengendus dalam-dalam selama beberapa saat, akhirnya berseru, 'Duhai, aroma yang nikmat! Bukan main menyenangkannya! Alangkah menawannya dirimu dahulu, walau sepahmu pun, sangat menyenangkan dan menyegarkan!'
Yang ini, ia terapkan pada dirinya sendiri; agar kita mengenali dengan baik, penilaian di masa mudanya, saat usia rentanya, masih mampu menghasilkan fabel tersebut. Inilah ide yang menyenangkan dan sekaligus melankolis, yang dihadirkan kepada kita, melalui interaksi dengan orang yang lebih tua, yang percakapannya mudah dinikmati dan disepakati, dan kita tak bisa tidak, menyimpulkan bahwa mereka pasti telah berperan-serta dalam puncak kehidupan, tatkala dalam kelanjutan-usianya, mereka masih mampu menghasilkan banyak kebahagiaan bagi kita.

Demikian pula, kita tak dapat menahan rasa penyesalan, bahwa sumber kebahagiaan ini, sekarang hampir mengering, dan akan meninggalkan kita selama-lamanya. Sebaliknya, dikala seseorang, yang di masa mudanya, lalai melapangkan pikirannya, seluruh perilaku sepanjang hidupnya, yang berdampak dari hasratnya yang sangat besar, dan usia rentanya, membebani dirinya sendiri, dan percakapannya, hambar bagi orang lain; dan laksana khamar yang bertubuh ramping dan berkualitas buruk, seketika menjadi gersang, hampa, atau tak berguna.

Punya lisan yang bebas itu, lebih mungkin sebagai penghalang, dibanding sebagai penuntun.
Seorang pemikir yang jujur dan naif, namun dalam benaknya tersimpan falsafah yang bajik, suatu ketika, berjalan-jalan, lalu ia melihat seekor Burung Beo yang mempesona, di toko tempat menjual burung; dan karena terpikat oleh celotehnya, menanyakan harganya: dan mereka menjawab, seratus lima puluh crown.
Sang Filsuf yang fakir ini, merasa sangat malu, mendapati kantongnya, takkan mampu membayar sejumlah uang tersebut; 'Namun,' katanya, 'karena aku menyukai burung ini, aku tak peduli jika aku harus mengirimkan sebuah truk kepadamu guna menebusnya; yakni, aku akan menyerahkan tempat tidur, kursi, dan semua barang bergerak lainnya, yang ada di penginapanku, senilai harga yang engkau tawarkan padaku.'
Sang penjaga toko setuju, dan tawar-menawar selesai, akan tetapi, ia masih tertegun, dan tak bisa menahan diri, menyayangkan dan bertanya kepada sang filsuf, tidakkah ia telah kehilangan akal sehatnya, bahwa ia, yang semestinya masih butuh membeli pakaian baru, bersikap boros dengan membereskan seluruh perabotan rumahnya, bahkan sampai bawah kolong ranjangnya, yang merupakan satu-satunya tempat istirahatkan tubuhnya yang lelah dan pikirannya yang terlalu banyak bekerja, dan semuanya, semata demi membeli burung beo norak ini?
Duh" sahut sang sang Filsuf, “Bagiku, ia akan menjadi harta yang tak ternilai, dan aku bakal menelanjangi diriku, ketimbang pergi tanpanya, karena aku merasa sial punya lisan yang bebas, dan batin yang naif dan terbuka;—kebajikan agung ini, adanya di zaman dahulu; sekarang, telah menjadi kedaifan yang tak terampunkan, sesuai dengan harga yang harus kubayarkan: namun kuberharap, dapat mengakhiri semua ini, dengan memelihara burung yang indah ini, yang akan “mengajariku, apa yang tak kuketahui, meskipun dalam dalam banyak gaya: yaitu, seni menyembunyikan pikiran sejati dari dalam batin kita sendiri, dan menggelitik telinga orang dengan kata-kata yang semata keluar dari lidah, dan orasi yang berulangkali dihafalkan.”
Tiada yang lebih menyenggol perasaan seseorang, yang tulus dan ikhlas, dibanding ia yang menghembuskan nafas berbeda, dari mulut yang sama. Lebih baik mempertahankan satu posisi, seperti yang diungkapkan dalam kisah sang Pengelana dan sang Satir berikut ini.
[Bagian 2]