Selasa, 15 Februari 2022

Sang Phoenix

"Ini omongan yang kudengar dari Hans Christian Andersen," Rembulan berkicau setelah mengucapkan Basmalah dan Salam. "Namun maafkan, aku tak mampu mengingat dengan tepat, apa yang ia sebutkan. Aku berusaha mengingat-ingat kalimatnya,
Di Taman Surga, di bawah Pohon Ilmu, tumbuh sekar mawar. Di sini, pada mawar pertama, seekor unggas lahir: cara mengangkasanya, laksana kilatan cahaya, miangnya indah, dan kidungnya, memukau.

Akan tetapi, tatkala Siti Hawa memetik buah ilmu tentang yang baik dan yang buruk, sewaktu ia dan Adam ditampik dari Firdaus, dari pedang sang Kerub—malaikat urutan tertinggi kedua dari hierarki makhluk surgawi, yang direpresentasikan dalam seni Timur Tengah kuno, sebagai singa atau banteng dengan sayap elang dan wajah manusia—yang menyala-nyala, seberkas percikan api, merebak ke dalam sarang unggas tersebut, yang seketika memanggangnya. Sang unggas binasa dalam kobaran sang agni; tetapi dari telur merah di sarangnya, mengirap telur baru, satu-satunya burung Phoenix yang tersendiri. Fabel tersebut menceritakan kepada kita, bahwa ia menetap di Negeri Kadrun—janabijana yang tak disukai para berudu—dan bahwa, setiap tahun, ia membakar dirinya hingga hilang-hayat, di sarangnya; namun acap kali, Phoenix anyar, yang satu-satunya di dunia, bertunas dari ovum merah.

Sang unggas mengepakkan sayap di sekitar kita, secepat sang halilintar, ronanya indah, senandungnya menawan. Dikala seorang Emak duduk di dekat buaian bayinya, ia tegak di atas bantal, dan, dengan sayapnya, membentuk cahaya-kemuliaan di sekitar kepala sang orok. Ia mengangkasa melalui ruang kecukupan, dan memboyong sinar-surya ke dalamnya, dan bunga lembayung di atas meja prasaja, semerbak tercium berlipat-ganda.

Namun belakangan ini, sang Phoenix, rupanya, bukanlah unggas Kadrun belaka. Ia mengepakkan sayapnya di keremangan cahaya belahan Utara, di atas dataran Lapland, dan melompat di antara puspita asfar dalam musim panas yang singkat, di Greenland. Di bawah pegunungan tembaga Fahlun, dan tambang batu-bara England, ia membubung-tinggi, dalam rupa ngengat berdebu, di atas buku himne pujian para penambang yang berlutut. Di atas daun padma, ia mengapung di perairan sakral Sungai Gangga, dan 'ain sang dara Hindi, berbinar bayan, saat ia saksikan sang unggas.

Burung Phoenix, tiadakah engkau mengenalnya? Burung Surgawi, nyanyian angsa kudus ! Di dalam k'reta Thespis—seorang penyair Yunani Kuno, yang pertama kali muncul di atas pentas, sebagai aktor yang memainkan karakter dalam sebuah drama—yang duduk menyaru sebagai burung gagak berceloteh, dan mengepakkan sayap hitamnya, dibalur dengan ampas anggur; di atas harpa nyaring Keltik, mengusap paruh merah angsa; dan di pundak Shakespeare, ia duduk dengan kedok burung dendang Odin, dan berbisik di telinga sang penyair, "Kekekalan!" dan pada pesta para pujangga, ia mengerawang melewati gorong-gorong Wartburg.

Pembaharuan sang Unggas Surgawi, ada di setiap abad, lahir dalam nyala-api, berakhir dengan nyala-api! Citramu, dalam bingkai emas, tergantung di aula Tauke yang tajir beraroma; dan engkau, dirimu, sering terbang berkeliling, dalam kehampaan dan diabaikan, sebuah mitos "Phoenix milik para Kadrun."
"Mungkin, aku tak meriwayatkannya dengan benar," kataku kepada seorang filsuf ulung. Dan, Insya Allah, akan kusampaikan padamu, apa komentarnya. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- H.W. Dulcken, Ph. D, What the Moon Saw and Other Tales by Hans C. Andersen, George Routledge and Sons.