Jumat, 04 Februari 2022

Simfoni Kekonyolan (2)

Rembulan melantas, "Hanya satu tikus yang lolos, yang gagah perkasa laksana Julius Caesar, berenang menyeberang dan selamat, demi membawa pulang ke Negeri Tikus, komentarnya tentang kisah Peniup seruling, selama sisa hidupnya, 'Dimana, saat nada melengking pertama seruling itu, aku mendengar suara seperti gesekan aneh, yang mengubah apel yang telah matang, jadi perasan jus. Dan membuka lembaran penutup botol asinan, dan lemari-penyimpanannya, berburai, menarik gabus penutup botol minyak, dan memecahkan lingkaran segel drum mentega; dan sepertinya, terdengar suara, yang mengalun, lebih nikmat dibanding harpa atau gambus, memanggil-manggil, 'Wahai para tikus, bersukacitalah! Dunia telah tumbuh menjadi tebaran garam kering yang luas! Maka, kunyahlah, kernyaulah, ambillah jajanan-pagimu. Sarapan, jajan-sore, makan-malam, makan-siang! Dan bagai sebuah gundukan besar gula, yang siap dibarelkan, laksana matahari yang terik, bersinar dengan keagungannya, berjarak satu inci di hadapanku. Sama seperti yang kupikirkan, ia berkata, 'Ayo, berseruaklah!'—Lalu kutemukan, air sungai Weser, berguling di atasku.'

Adapun warga Hamelin, membunyikan lonceng yang mengguncang pagoda. 'Pergilah,' seru Pak Walikota, 'dan ambillah tongkat panjang! Gali sarangnya dan tutup lubangnya! Mintalah nasihat pada tukang-kayu dan tukang-batu, dan jangan biarkan kota, terdapat satupun jejak tikus!—ketika tiba-tiba di pasar, di hadapan mereka, sang Peniup seruling berdiri, berkata, 'Jika engkau s'kalian berkenan, bayar dulu seribu guldenku!'
'Seribu gulden!' Pak Walkot tampak galau, begitu pula para rekan. Soalnya, makan malam dewan dengan Claret, Moselle, Vin-de-Grave, Hock; dan setengah dari uang perbendaharaan, akan mengisi gudang besar bawah tanah mereka dengan anggur Rhenish, agak mengacaukan bila membayar sejumlah uang kepada seorang pengembara, dengan mantel gipsi merah dan kuning!
'Selain itu,' imbuh Pak Wali sambil mengedipkan mata, 'Urusan kita telah selesai di tepi sungai; kami melihat dengan mata kami, hama tikus tersebut, dan kurasa, apa yang mati, tak bisa hidup. Jadi, Bro, kami bukan orang yang mengabaikan kewajiban memberi minum, dan masalah uang guna dimasukkan ke dalam kantongmu. Tetapi, tentang gulden, apa yang telah kita bicarakan, seperti yang engkau pahami dengan baik, cuma lelucon. Selain itu, kerugian yang telah kami derita, mengharuskan kami berhemat. Seribu gulden! Bagaimana kalau, lima puluh!' Sang Peniup seruling agak bingung, 'Lima puluh ribu atau cuma lima puluh?' tanyanya. 'Lima puluh ... sa-ja!' suara Pak Walkot terdengar parau. Sang Peniup seruling menghela nafas, dan berkata, 'Perhatikan cerita berikut ini,
Di negeri Lintas Benua, yang disebut Misr, setiap Satwa, menjadi tuhan, dan sebaliknya, Manusia, menjadi satwa. Para satwa misqueen [baca : miskin] ini, yang olehnya, tak punya rumah, tapi punya Kuil dan Hari Perayaannya.
Pada hari tertentu, di Kuil Kucing, mereka memberikan persembahan yang megah, seekor tikus seputih susu, tanpa noda atau bintik.

Hari berikutnya, ada perayaan yang disakralkan demi menghormati tuhan Tikus, sebab tampaknya, setiap tuhan punya Hari Pemujaannya; dan agar menguntungkan, tiada yang tersisa selain seekor kucing tergeletak berdarah di Altarnya.
Nah, sewaktu Hari Persembahan buat tuhan Tikus tersebut, sang Puss berjalan dengan sungguh-sungguh, dimahkotai dengan bunga dan pita, prosesi dihadiri oleh pendeta yang khusyuk, yang memuja Langit, menaikkan puja-puji kepada tuhan Tikus yang agung. Ada nyanyian, puji-pujian, himne dan lagu-lagu rohani, penyanyi sopran dan tenor, dan yang semacamnya, yang belum pernah pernah engkau dengar.
Semuanya memohon Tikus agar mengurus ternak-ternaknya. 'Jangan menghukum kami, tuhan tikus, dengan penghinaan dari kucing jahat ini, dan semoga darah ini, membalas kesumat dari haribaanmu.'
'Hah, ia, tuuhaan!' teriak sang Kucing; 'Kalian tak boleh berpikiran seperti itu, lalu, kalian anggap apa aku, yang melahapnya? Baru kemarin kalian memberi persembahan padaku, engkau mengarahkan asapnya kepadaku; mengapa engkau berpindah dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya? Kemarin aku tuhan, dan sekarang, jadi korban.'
Celaan ini bukanlah persoalan kecil, melainkan, sekali hantaman kapak, memecahkan masalah.
Mendengar ini, para hadirin, paham maksud sang Peniup seruling, dan berkata, 'Pak Wali, bayarkan saja!' Yang lain ikut pula mendesak. Dan mulailah terjadi kegaduhan. Melihat keadaan, Walikota berkata, 'Hal ini perlu kami pikirkan, pulanglah, dan berikan kami waktu!'

Keesokan harinya, di sebuah sudut kota, sekelompok orang membawa spanduk, dan berteriak, 'Kami tak setuju membayar Peniup seruling!' Di sudut lain, kelompok lain berseru, 'Jangan bayar!' Kelompok lainnya, mengibarkan spanduk, 'Usir dia!' Dan masih ada beberapa kelompok yang meneriakkan seruan seirama. Para warga, yang sebenarnya tak mengenal mereka, ikut-ikutan. Dan mulailah disana-sini meneriakkan, sang Peniup seruling kudu diusir.

Wajah sang Peniup seruling nampak memerah, dan ia berseru, 'Baik! Pergilah dengan simfoni kekonyolanmu! Jangan remehkan ini! Aku tak sabar, selain itu, aku telah berjanji mengunjungi Bagdat saat jam makan malam, dan menerima hidangan utama dari kepala juru masak, semuanya, karena sepeninggalnya, di dapur sang Khalifah, tiada yang selamat dari sarang kalajengking—dengannya, kan kubuktikan tak ada tawar-menawar, dan denganmu, jangan berpikir aku akan mengalah! Dan orang-orang yang membangunkan amarahku, akan menemukan serulingku, dalam gaya yang lain.
'Memang k'napa!' sahut Pak Wali, 'Engkau pikir 'kan kubiarkan, diperlakukan lebih buruk dari seorang juru masak? Dihina oleh seorang carut malas dengan pipa kelompang dan baju belang-belang? Engkau mengancam kami, Bro? Lakukan yang terburuk, tiup serulingmu di sana, sampai engkau membaham-tanah!'

Sekali lagi, sang Peniup seruling melangkah ke jalan, dan lagi, ke atas bibirnya, ia letakkan tongkat pipa panjang lurus yang berkilap. Dan di sekitar ia meniupkan tiga nada—nada lembut yang manis namun dari kelihaian musisi yang takkan pernah mempersembahkan nada-nada mempesona, terdengar suara gemerisik, yang tampak seolah hiruk pikuk kerumunan orang yang sedang bersukaria, saling melempar dan bersegera. 
Tungkai kecil berderak, sepatu kayu berdenting, lengan belia bertepuk-tangan, dan lidah mungil berceloteh. Dan, bagai unggas di halaman rumah pak tani, saat jelai dihamburkan, memencar nak-kannak, berlarian. Segenap bocah dan upik, dengan pipi kemerahan dan surai-ikal kuning-muda, serta mata berbinar dan gigi bak mutiara, tersandung dan melompat-lompat, berlari riang mengikuti alunan yang indah, dengan pekik dan tawa, berdendang,
You're no good, can't you see
Brother Louie, Louie, Louie
I'm in love - set you free
Oh, she's only looking to me
Only love breaks her heart
Brother Louie, Louie, Louie
Only love's paradise
Oh, she's only looking to me
Brother Louie, Louie, Louie
Oh, she's only looking to me
Oh, let it Louie
She is undercover
Brother Louie, Louie, Louie
Oh, doing what he's doing
So, leave it Louie
'Cause I'm her lover *)
Pak Walkot membisu, dan para Kroni berdiri seolah-olah mereka bersalin jadi balok-kayu, tak mampu bergerak sejengkalpun, atau memanggil para cah-bagus dan cah-ayu, yang berlalu dengan riang. Dan semata memindai dengan mata-kepala, kerumunan yang dengan girang-hati, berjalan di belakang sang Peniup seruling. Dan yang membuat Pak Wali merasakan siksaan batin, dan jantung para Konco yang malang, berdegup kencang, saat melihat sang Peniup seruling, menikung dari jalan raya ke tempat Weser mengalirkan airnya, tepat searah dengan barisan putra-putri mereka!
Namun, ia berbelok dari Selatan ke Barat, dan pijakan-kakinya mengarah ke Bukit Koppelberg, dan anak-anak mengikutinya, sukacita tampak di dalam dada mereka.
'Ia takkan pernah bisa melewati puncak yang tinggi itu! Ia akan dipaksa menjatuhkan serulingnya, dan kita 'kan saksikan, anak-anak berhenti!' Pak Wali dan rekan, sedang mencari pembenaran. Namun lihat, tatkala mereka mencapai sisi bukit, sebuah gerbang menakjubkan terbuka lebar, laksana sebuah gua yang mendadak tersibak, dan sang Peniup seruling melangkah maju, disusul para bocil, dan setelah semuanya masuk hingga yang terakhir, gerbang di sisi bukit, tertutup rapat."

Cahaya Rembulan mulai memudar, fajar menyingsing, saatnya beranjak, "Jadi Bro, marilah kita menjadi bagian di antara mereka yang menghapus torehan-kata dengan semua orang—terutama kepada sang Peniup seruling: dikala mereka telah membebaskan kita dari para tikus, bila telah berjanji, mari, tepati janji kita.
Merujuk cerita sang Peniup seruling, kita semua, bagai penduduk Misr itu, dan berkelakuan seperti mereka, menyembah berhala yang konyol. Kita mempertuhankan nafsu dan ambisi kita, yang tiada lain selain taghut, dan sebagai persembahan, kita mengorbankan yang satu, ke yang lain. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Robert Browning, The Pied Piper of Hamelin, George Routledge and Sons
- Sieur De La Motte, One Hundred New Court Fables, Peter-Nofter-Row
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
*) "Brother Louie 98" karya Eric Singleton