Selasa, 22 Februari 2022

Sang Satir (2)

Tak pakai lama, sang Filsul bertutur,
"Seorang Satir, saat ia menjelajahi hutan di musim salju yang sangat dingin, bersua dengan seorang Pengelana, yang tengah kelaparan oleh cuaca ekstrem. Ia merasa kasihan pada sang Pengelana, dan dengan santun mengundangnya singgah ke rumahnya, sebuah gua nyaman, di liang bebatuan, yang suam menyenangkan.
Seketika setelah masuk dan duduk, walau terdapat perapian yang memadai di tempat tersebut, sang Pengelana, yang kedinginan, tak dapat menahan-diri, meniup-niup ujung-jemarinya. Kala sang Satir bertanya padanya, mengapa ia melakukannya; ia menjawab, bahwa ia melakukannya, demi menghangatkan tangannya.
Makhluk dengan tengkuk bermisai kuda ini, sang Satir, yang sedang dipersaksikan oleh secuil jagat para menungso, mengagumi insan yang, menguasai bobot yang sangat bernilai itu, semisal menghembus-hembuskan panas, dan oleh sebab itu, memutuskan, menjamunya dengan cara terbaik, yang ia bisa. Ia menghidangkan di atas meja, di hadapannya, dengan aneka buah kering [ingat lanx satura yang kusampaikan sebelumnya]; dan mengeluarkan sisa-sisa anggur hangat yang manis, yang, karena musim beku yang menjadikannya sangat layak, ia menghangatkannya dengan rempah-rempah, dituangkan di atas api, dan disajikan kepada sang petandang, yang sedang menggigil.
Namun, sang Pengelana, menghembus-hembuskan, dengan cara yang sama; dan setelah sang Satir meminta penjelasan mengapa ia meniup-niup lagi, ia menjawab, demi mendinginkan pinggannya. Jawaban kedua ini, memicu amarah sang Satir, sama seperti jawaban pertama, yang telah menembak keterkejutannya: lantas, seraya memegang pundak sang lelaki, ia mendorongnya keluar pintu, sambil mengatakan, ia tak mau bertanggungjawab atas seseorang yang punya bobot seorang bedebah, yang mnghembus-hembuskan panas dan dingin, dari mulut yang sama."
"Meski sang Pengelana yang malang dalam Fabel tersebut, tak salah atas apapun kekeliruan yang telah dilakukannya," kata sang Filsuf, "namun, seseorang tak dapat tidak, menyepakati, keberterusterangan sang Satir, yang tak dapat berdamai dengan skenario-skenario jamak semacam itu, yang lebih buruk dibanding sang Satir itu sendiri.
Seperti yang kuutarakan sebelumnya, tiada yang lebih menyenggol hati orang yang tulus, melainkan ia yang menghembuskan nafas berbeda, dari mulut yang sama. Akhir-akhir ini, banyak sekali pembeberan yang dihembuskan, yang satu belum selesai, dimunculkan pula pemerian berikutnya, yang mengakibatkan hiruk-pikuk dan tak menyisakan waktu kita, sebagaimana ucapan seorang kawan sejawat, 'Membuang waktu kita, hingga tak bisa mengurus diri dan keluarga kita. Mereka minta tambah dan menyabet segalanya!"

Jangan mau disesatkan, dan engkau 'kan bersinar lebih dari sehari. Dengarkan kisah Pertapa aneh yang sedang berkemah di sebuah padang-ilalang,
Saat-saat hari melelahkan, telah melesap, dan dunia tampak tersalut kebercukupan, ketika resah dan gelisah telah menanggalkan dada. Saat mata terlelap lembut, membuang letih, Dewi Cynthia mengalungkan pendarnya, dan hamparan langit pun, tertabur.
Seorang Pertapa aneh, oleh perenungannya, kebat-kebit, meninggalkan tendanya, menyusuri padang-ilalang. Dalam perenungan yang dalam, ia tergiring; menilik pesona alam; seraya dengan kalem, ia, menapaki jalan sepi; dimana banyak tergeletak, jejeran kendil-air dan tumpukan tanah dari keberagaman teraan, dan, salah satunya, ia perhatikan, di utus dari negeri Akuarium.
Tak sengaja, seekor cacing kunang-kunang, ditapakinya, yang memancarkan kilauan cahaya mungilnya; dengan bangga, menyibak setiap anugerah; menyinari dataran berlumut; berkitar berkeliling dari setiap tempat; dan ia tampak mengabaikan cacing lain yang telihat.
Sang Pertapa, entah dengan mata fisosofisnya, lalu membungkuk rendah dengan tangan-galaunya, mengangkatnya dari tanah yang penuh embun. Sang Lundi, walau tak cemas oleh kepanikan; menyadari tak berada dalam lingkupnya, menarik pancaran sinarnya, dan dengarkan apa yang seorang insan, manusia sia-sia! 'kan ucapkan.
Sang pertapa terpelajar, takjub, terjeda barang sesaat dan cemas menatap; tertegun saksikan sang cacing mati begitu cepatnya, lalu mencampakkannya. Tapi kemudian, kesimpulan ditetapkan, 'Reptil ngesot ini, lihat! telah mati; dan dengan hidupnya, kemuliaannya sirna. Begitu pula dengan segala pacuan ambisi, yang memenuhi setiap persemayaman mulia; cemerlang bersinar dengan cahaya sanggam, dan jalang di saat terang-hari, sampai roda keberuntungan berikutnya, berputar, dan meninggalkannya, dimana saat pertama ditemukan.'
Sang cacing-kunang, penuh-perhatian mendengar dan menimbang cermat setiap kata, berhias lagi dengan lampu kecilnya, lalu bersinar lebih indah di pelantaran. Dan olehnya mengundang keterpesonaan sang Pertapa, pendongeng masyhur di zamannya: 'Tahukah engkau, kekuatan bahagia agar bersinar? Sungguhkah milik para insan sebagaimana milikku? Kukenali jagatku: adakah ia setara, ia telah menapaki jalan yang mengarah pada ketenaran. Adakah ia di masa-masa rawan, undur-diri, dan memantau dengan telisik api ambisi; Seperti diriku, ia mungkin menyebarkan kegemerlapannya, dan terbasung dengan daun-salam segar di kepalanya: namun, ibarat pesolek, ia tersalah-jalan, bersinar dan berbinar, semata dalam sehari.'
"Bagiku," kata sang Filsuf ulung, "lebih cenderung memilih Nama-baik, daripada banyak harta, dan lebih disukai ketimbang dinar dan dirham. Ia yang mengikuti kebenaran, menemukan hakikat dan kemuliaan.
Ada seorang Filsuf bijak, yang sangat berpengalaman dalam segala pengetahuan, baik laduni maupun budi-pekerti, suatu hari, menemukan sebuah taman pusara, ia tenggelam dalam perenungan dua kerangka manusia, yang terbujur di hadapannya–yang satu, kerangka seorang Adipati, yang lain, seorang Gembel biasa. Sesaat kemudian, ia berseru, “Jika ahli anatomi yang terampil telah menunjukkan bahwa tulang-belulang, saraf, otot, dan isi perut semua manusia, dicipta menurut cara dan bentuk yang sama, niscaya, inilah bukti yang sangat meyakinkan, bahwa Keningratan sejati itu, terletak di dalam nalar dan qalbu yang sehat, bukan dalam bawaan. Semuanya menuju ke sebuah tempat, semuanya dari debu, dan semuanya kembali jadi debu. Yang ghani dan yang fakir, bertemu bersama: Yang Maha Pencipta, Dialah Pencipta mereka semua."
Sang Filsuf ulung melongok beker-sakunya, lalu berkata, "Sekarang waktuku!" Dan beberapa saat kemudian, ia melangkah ke dalam sebuah ruangan penuh khalayak, yang menyambutnya dengan sebuah iktikad,
And for every song, there's a song we're not singing
[Dan di antara setiap lagu, ada lagu yang tak hendak kita nyanyikan]
For every step, there's a step we're not taking
[Di antara setiap langkah, ada langkah yang tak hendak kita pijak]
So let me know if there's something I'm missing
[Maka ingatkan aku jika ada sesuatu yang kulewatkan]
'Cause this is all I need
[Karena semua ini kubutuhkan]
So say 'We'll be always, always!'
[Maka ucapkan, 'Kita 'kan s'lalu, s'lalu!]
Say it will be you and me 'til the old days
[Katakan itu 'kan terjadi padamu dan padaku hingga hari-tua]
Let us be always, always
[Mari kita s'lalu, s'lalu]
Through the highs and the lows, we'll be always *)
[Lalui pasang-surut, kita 'kan s'lalu]
Rembulan menyimpulkan dengan kalimat, "Kebersamaan, dalam 'konteks' ini, awalnya dipandang Haram, namun setelah ditelusuri paragraf demi paragraf ayat, dengan menilik kata per kata, ternyata Halal, walau ada upaya menyamarkan label Halal tampak seperti Haram. Gelindingan Bola-salju telah mematahkan ranting-ranting kecil tak berdaya, dan seyogyanya segera diluluhkan, agar timbunan salju, tak menerpa rumah-rumah rakyat di kaki bukit. Lalu, mengapa masih ragu? Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
*) "Always" karya Isak Ocke Danielson, Kristofer Ulf Oestergren & Olle Lars Anders Blomstroem