Kutipan & Rujukan:'Guk,' tulisnya. 'Guk. Guk.Guk. Guk. Guk. Guk. Guk. Guk.'Sang petugas memeriksa pesannya dan berkata, 'Cuma ada sembilan kata di sini. Loe boleh nambahin sekali 'Guk' lagi, dengan harga yang sama.''Tapi,' kata sang gukguk, 'ntar artinya, bakalan gak masuk akal sama sekali.'Sebelum sang petugas menjawab dalam tawar-menawar itu, pintu kantor telegram dibuka, dan seorang bocah masuk. Ia melihat sang gukguk, dan mengenalnya, lalu bertanya, 'Ngapain loe di sini guk, kan mestinya loe ngerjain tugas ellu?'Panik, sang gukguk menjawab, 'Gak ngapa-ngapain kok, cuman ngirim pesan ke klien gue, soalnya, ponsel gue lagi di hacked.'"“Dalam banyak fabel Aesop,” Rembulan memulai pembicaraannya, kala ia datang usai menyapa dengan Basmalah dan Salam, “umumnya, ada hal-hal yang berkaitan dengan perjuangan meraih kesuksesan dan kelangsungan hidup, yang menunjukkan adanya batasan-batasan tertentu pada medan aksi sang protagonis [tokoh utama dalam cerita]. Tema bahwa tindakan, terutama oleh yang lemah, dibatasi oleh kapasitas alami sang tokoh utama atau sang pelakon dan oleh kemampuan lawannya yang pantas. Batasan tersebut, menurut Christos A. Zafiropoulos, dapat dikelompokkan dalam tiga kategori: kualitas dan kemampuan pembeda pribadi, keadaan di bawah tindakan mana yang terjadi, dan bidang tindakan alami sang protagonis. Semua ini, terangkum dalam tiga kata 'Hormati Batas-batas Anda.'Berkenaan dengan kualitas dan kemampuan kodrati sang pelakon, pesan umumnya bahwa ia tak semestinya mencoba tindakan yang tak diperkenankan oleh kodratnya. Terkadang, seekor satwa membayar harga mahal bila menuntut lebih dari yang diperbolehkan alam kodratinya sendiri. Tema batas alam terkait dengan konflik dan bertahan hidup, sebab dengan menghormati batasan-batasannya, merupakan cara lain agar dapat bertahan hidup. Zafiropoulos memberi kita sebuah contoh,Seekor elang terbang dari sebuah tebing yang tinggi, menukik dan menangkap seekor domba. Seekor gagak melihatnya dan, didorong oleh rasa iri, hendak menirunya. Maka, seketika ia terbang ke bawah dan mencoba mengangkat seekor domba jantan. Namun, cakarnya terjerat oleh bulu sang domba, dan ia terus-menrus mengepakkan sayapnya lantaran gak kunjung terbang, hingga sang penggembala, yang memperhatikan apa yang terjadi, datang dan menangkapnya. Dan usai sang penggembala memotong sayap sang gagak yang kuat, saat malam tiba, ia membawanya pulang [sebagai hadiah] bagi anak-anaknya. Tatkala mereka bertanya jenis burung apa itu, ia menjawab, 'Pastilah itu burung gagak, cuumaan, doi pingin baangeeet jadi burung elang!'Dalam fabel istimewa ini, sang gagak memberikan contoh peringatan tentang konsekuensi yang mengikuti tatkala seseorang melampaui bidang tindakan dan kemampuan kodratinya. Latarbelakang penangkapan dan keterhinaan sang gagak, terletak pada hasratnya, didorong oleh rasa iri, hendak meniru keterampilan berburu sang elang, dengan kata lain, masuk dan memainkan peran (pemburu) yang tak wajar baginya. Usahanya pasti gagal, sebab sang gagak tak punya kemampuan alami dan pengetahuan tentang teknik burung pemangsa. Sang penggembala, menekankan penipuan diri sang gagak dan penolakan peran alaminya: ia tahu bahwa sang unggas itu, burung gagak, kendati sang unggas berpura-pura jadi burung elang. Ada pula aspek tragis-komik dalam penggambaran usaha berburu sang gagak: unggas berukuran kecil yang berputar-putar dengan suara mendesis dan berusaha mengangkat satwa yang lebih besar secara tak proporsional dengan cakar mungilnya. Ia bahkan berusaha mengalahkan modelnya dengan mimikri: sang elang mengangkat seekor domba, gagak hendak mengangkat seekor domba jantan. Fabel tersebut cukup realistis dalam penggambarannya tentang keterampilan berburu sang elang, yang dicerminkan melalui peniruannya oleh sang gagak. Sang elang menyerang dengan suara mendesis dari tebing yang tinggi, mencengkam kulit korbannya dengan cakarnya, lalu mengangkatnya.Sang pelakon perlu menghormati kualitas dan kemampuannya yang khas dan efek bencana dari setiap upaya untuk meniru atau mengadaptasi kualitas yang lain. Samuel Croxall dan Thomas Bewick, secara terpisah menceritakan fabel yang, lebih-kurang sama,Seekor Tikus, berambisi menikah dengan keluarga bangsawan, memberikan alamatnya kepada seorang Singa betina muda, dan akhirnya, berhasil membuat perjanjian nikah dengannya. Dikala hari yang ditentukan tiba, sang mempelai pria, berangkat dengan gembira guna bertemu dengan sang mempelai wanita tercinta; dan saat mendatangi Nona Singa, dengan penuh semangat, Tuan Tikus menjatuhkan dirinya ke kaki sang nona; namun Nona Singa, tampaknya berjalan agak sembrono, tak memperhatikan bagaimana ia berjalan, secara tak sengaja menginjak pasangan kecilnya, maka, remuklah tubuh sang Tuan Tikus.Croxall mengomentari fabel ini, bahwa fabel ini, tampaknya dimaksudkan guna menunjukkan kepada kita, betapa menyedihkannya, ada orang yang memilihkan buat dirinya sendiri, pilihan yang keliru, tatkala segala hal baik di dunia ini, terpampang di hadapannya untuk dipilih. Singkatnya, jika salah satu dari banyak pertimbangan dibutuhkan, itu bukanlah kekuatan raja teragung di muka bumi ini, atau senyum keberuntungan yang berulang agar membuat kita bahagia. Semata tuntutan penilaian yang baiklah, yang seringkali menjadikan sang pangeran menjadi orang celaka, dan sebaliknya, sang pemikir yang miskin, sungguh dimudahkan. Sekarang, tingkat penilaian pertama dan utama ialah mengenali diri-sendiri; agar dapat membuat perkiraan kapasitas-diri, yang dapat ditoleransi.Bewick mengomentari fabel ini: Namun, Alam-semesta dengan tangan kuatnya, menunjukkan jalan yang harus ditempuh, dan hanya beberapa aturan kehati-hatian, yang diperlukan agar menjaga kita, tetap di dalamnya.Beberapa fabel, kata Zafiropoulos, menunjukkan betapa sia-sianya melawan seteru yang lebih kuat atau lebih terampil. Keduanya mewakili kategori kedua dari batasan, yang merujuk pada kondisi dimana tindakan terjadi. Kategori ketiga dari batasan alam kodrati ialah batasan yang ditentukan oleh kerabat protagonis atau oleh lingkungan alami tempat ia hendaknya berdaya-guna.Pesan bahwa setiap orang hendaknya menghormati batasannya sendiri, sering diartikulasikan melalui fabel yang mengakibatkan hukuman bagi mereka yang tak menaati aturan ini dalam ketiga versinya. Sering ditekankan bahwa hasrat sang protagonis sendirilah, pilihan pribadinya, agar meninggalkan kodratnya. Atau tindakannya digambarkan sebagai hasil dari keangkaraannya, yang memaksanya berusaha mencapai kualitas atau kemampuan alami tertentu yang dipunyai orang lain. Secara umum, keliru dan berbahaya bila iri pada seseorang atas kemampuan atau kualitas yang tak diberikan oleh semesta dan mencoba mencapainya melalui peniruan. Hukuman terhadap pelanggaran batas bagi tindakan seseorang tersebut, boleh jadi, bakalan menimpa fisik atau secara verbal (berupa teguran terhadap sang pelakon). Maka, 'Respect Your Limits.' Wallahu a'lam."Saatnya pergi, Rembulan pamit seraya berdendang,I thought that I heard you laughing[Kurasa bahwa kudengar engkau tertawa]I thought that I heard you sing[Kurasa bahwa kudengar engkau bernyanyi]I think I thought I saw you try[Kukira kurasa kusaksikan engkau berupaya]But that was just a dream[Tapi itu hanya sebuah impian]That was just a dream *)[Yang itu cuma sebuah impian]
- Christos A. Zafiropoulos, Ethics in Aesop's fables : the Augustana Collection, Brill
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
*) "Loosing My Religion" karya Peter Lawrence Buck, Michael E. Mills, William Berry & Michael J. Stipe