Kamis, 06 April 2023

Sang Badut dan sang Udik

"Tersebutlah seorang warga negara terkemuka, yang kaya, yang hendak mensponsori acara hiburan rakyat," Rembulan mulai bercerita di saat kemunculannya, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam.
"Ia mengundang siapa saja yang punya sesuatu yang baru, guna ditampilkan, dan berjanji membayarnya. Para penampil profesional datang bersaing untuk mendapatkan pengakuan publik, dan di antara mereka, ada seorang badut yang terkenal karena selera humornya yang canggih. Iapun koar-koar bahwa ia punya sejenis tontonan yang belum pernah ditampilkan di panggung manapun. Desas-desus menyebar ke seluruh kota, memicu minat publik. Kursi panggung yang akhir-akhir ini kosong, sekarang tak cukup menampung kerumunan para penonton. Setelah sang badut tampil di panggung, tanpa peralatan dan tanpa asisten, membungkam para penonton dengan keheningan. Lalu sang badut menundukkan kepala ke arah dadanya dan meniru suara babi kecil. Saking persisnya suara itu dengan suara babi, para penonton menyangka bahwa pastilah ada babi kecil sungguhan yang disembunyikan di balik jubahnya, dan mereka mendesak agar sang badut menyibakkan jubahnya.
Akan tetapi, ketika jubahnya disibakkan, ternyata jubah itu kosong, maka merekapun mengelu-elukan sang badut dan bertepuk-tangan riuh hingga sang badut meninggalkan panggung. Seorang udik, melihat apa yang terjadi, lalu berkata, 'Ooaalaaah, yang kek gitu sih, gue juga bisa!' Iapun berkata bahwa ia bakalan melakukan hal yang sama, tapi jauh lebih baik. Keesokan harinya, kerumunan penonton semakin bertambah dan favoritisme telah mempengaruhi persepsi mereka; boleh dikata bahwa mereka datang bukan untuk menonton pertunjukan, melainkan hanya untuk mengolok-oloknya. Kedua lelaki naik ke atas panggung. Sang badut menguik seperti yang ia lakukan sehari sebelumnya, memancing tepuk-tangan penonton dan siutan riuh tanda dukungan. Sekarang giliran sang udik, yang berpura seolah menyembunyikan babi kecil di balik pakaiannya—dan kali ini, benar-benar ada babi yang tersembunyi, meski tentu saja, para penonton tak menemukan apapun di balik jubah sang badut pada pertunjukan sebelumnya. Sang udik lalu menarik telinga babi yang asli, yang tersembunyi di balik pakaiannya, menghasilkan kuikan babi yang bener-bener asli. Tapi sayang, para penonton berteriak bahwa sang badut-lah, yang telah berpenampilan jauh lebih realistis dan mereka mulai mengusir sang udik dari panggung. Tapi kemudian, sang udit menarik babi yang sebenarnya dari dalam jubahnya dan menunjukkannya kepada para penonton, lalu balik mencela kekeliruan mereka dengan bukti yang tak terbantahkan. 'Lihat nih!' katanya. 'Babi kecil enni, ngebuktiin, wasit macam apa, loe pada!' Cerita ini, sangat dikenal sebagai 'Parmeno’s pig’.
Phaedrus, yang menuturkan cerita ini, berkomentar, 'Di setiap zaman, di setiap profesi, manusia sering melakukan kekeliruan oleh purbasangka, namun ketika hal itu ditunjukkan dengan jelas, terasa cukup menyesakkan dan disadari sepenuhnya, kita seketika memuja apa yang kita cemooh, dan rasa-sesal jadi kebanggaan.'

Dalam favoritisme mereka yang tak berdasar, para manusia acapkali berbuat keliru; mereka mendukung keputusan yang salah, dan bila fakta sebenarnya dari masalah tersebut muncul, akan memaksa mereka, menyesali pilihannya.
Sosiolog William Sumner dalam karyanya 'Folkways' (1906) mengemukakan bahwa manusia merupakan spesies yang bergabung bersama dalam kelompok berdasarkan sifatnya (in-group favoritism). Etnosentrisme adalah nama teknis terhadap pandangan tentang hal-hal dimana kelompoknya sendiri dipandang sebagai pusat dari segalanya, dan semua yang lain, diskalakan dan diberi peringkat dengan mengacu padanya. Cerita rakyat yang sesuai dengannya, mencakup baik hubungan dalam dan luar. Setiap kelompok memupuk kebanggaan dan kesombongannya sendiri, menyombongkan dirinya lebih unggul, mengagungkan keilahiannya sendiri, dan memandang rendah orang luar.
Setiap kelompok menganggap tradisinya sendiri sebagai satu-satunya yang benar, dan jika mengamati bahwa kelompok lain punya tradisi lain, bakalan menimbulkan cemoohan. Julukan yang tak menyenangkan, berasal dari pembedaan-pembedaan ini.
Sumner mengajukan beberapa ilustrasi. Orang Yahudi membagi seluruh umat manusia menjadi Yahudi dan gentiles (bukan Yahudi). Merekalah 'orang-orang pilihan.' Orang Yunani dan Romawi menyebut semua orang luar sebagai 'barbar'. Dalam tragedi Euripides tentang Iphigenza di Aulis Iphigenia berbunyi, bahwa sudah sepantasnya orang Yunani memerintah orang barbar, bukan sebaliknya, karena orang Yunani bebas, dan orang barbar itu, budak.
Pada tahun 1896, menteri pendidikan China dan para penasihatnya, mengedit sebuah manual dimana pernyataan ini muncul, 'Betapa agung dan mulianya Kekaisaran Tiongkok, kekaisaran tengah! Ia yang terbesar dan terkaya di dunia. Orang-orang terhebat di dunia semuanya berasal dari kekaisaran tengah.'
Dalam seluruh literatur dari semua negara, pernyataan yang setara terjadi, meskipun tak diungkapkan secara lugas. Dalam buku-buku dan surat-kabar Rusia, misi peradaban Rusia diperbincangkan, seperti halnya, dalam buku-buku dan jurnal-jurnal Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat, misi peradaban negara-negara tersebut diasumsikan dan disebut-sebut, dipahami dengan baik. Setiap negara, sekarang menganggap dirinya sebagai pemimpin peradaban, yang terbaik, paling bebas, dan paling bijak, dan yang lain, lebih rendah. Dalam beberapa tahun, kaum kita sendiri di tepi jalan, telah belajar menggolongkan semua orang asing dari bangsa Latin sebagai 'dagos', dan 'dago' telah menjadi julukan penghinaan. Semua inilah, kasus etnosentrisme.
Patriotisme, kata Sumner, merupakan sentimen yang dimiliki oleh negara-negara modern. Ia bertentangan dengan gagasan abad pertengahan tentang sifat universal. Patriotisme itu, kesetiaan kepada kelompok sipil yang menjadi miliknya karena kelahiran atau ikatan kelompok lain. Perasaan persekutuan dan kerja sama dalam segala bentuk harapan, pekerjaan, dan penderitaan kelompok. Katolik abad pertengahan, menjadikan semua orang Kristen, berkelompok dan membuat mereka memusuhi semua orang Mohammedan [maksudnya Umat Islam, diksi ini terbukti kurang tepat dalam banyak literatur ulama Islam] dan non-Kristen lainnya.
Bagi manusia modern, menurut Sumner, patriotisme telah menjadi salah satu tugas utama dan salah satu sentimen yang paling mulia. Itulah apa yang ia berutang kepada negara, terhadap apa yang negara lakukan untuknya, dan negara itu, bagi manusia modern, sekelompok institusi sipil tempat ia mendapatkan keamanan dan kondisi kesejahteraan. Masyarakat selalu patriotik. Bagi mereka, kecemburuan etnosentris lama, kesombongan, kekerasan, dan ambisi merupakan elemen terkuat dalam patriotisme. Sentimen seperti ini, mudah terbangun di tengah hiruk-pikuk. Pastilah akan populer. Ilmu yang lebih luas, selalu membuktikan bahwa pandangan-pandangan seperti itu, tak didasarkan pada fakta. Bahwa hanya kita sendirilah yang baik dan orang lain buruk, tidaklah benar.
Patriotisme itu, kata Sumner, dapat merosot menjadi sifat buruk, yang ditunjukkan dengan penemuan nama bagi sifat buruknya: chauvinisme. Nama ini, diperuntukkan bagi pernyataan diri kelompok yang pongah dan garang. Ia mengesampingkan penilaian dan karakter pribadi, dan menempatkan belas-kasihan seluruh kelompok yang berkuasa saat ini terhadap kelompok kecil. Ia menghasilkan dominasi, semboyan dan frasa, yang menggantikan akal-sehat dan hati-nurani dalam menentukan perilaku. Bias patriotik merupakan penyimpangan pemikiran dan penilaian yang diakui, yang hendaknya dijaga oleh pendidikan kita,

Favoritisme yang lebih luas disebutkan oleh Judy Nadler dan Miriam Schulman, bahwa bisa jadi, dilema terbesar yang dihadirkan oleh favoritisme ialah, dengan berbagai nama lain, hanya sedikit orang yang melihatnya sebagai masalah. Koneksi, jaringan, keluarga—hampir semua orang memanfaatkan sumber-sumber dukungan ini, dalam mencari pekerjaan di ranah pribadi. Pada dasarnya, favoritisme itu, tampak seperti yang terdengar; menguntungkan seseorang bukan karena ia melakukan pekerjaan terbaik, melainkan oleh beberapa fitur-keanggotaan yang tak ada hubungnnya dalam grup yang disukai, personal likes and dislikes, dll. Favoritisme dapat ditunjukkan dalam mempekerjakan, menghormati, atau memberikan kontrak. Ide yang terkait ialah patronase, pemberian pekerjaan pelayanan publik kepada mereka yang, boleh jadi, telah membantu seseorang dalam pemilihan menjadi orang yang punya kewenangan menunjuk.
Favoritisme selalu menjadi keluhan dalam pelayanan pemerintah. Nadler dan Schulman memberi contoh, pada tahun 2002, survei dari Kantor Manajemen Personalia pemerintah federal menemukan bahwa hanya 36,1 persen pekerja federal menganggap promosi di unit kerja mereka didasarkan pada merit atau prestasi. (Majalah Eksekutif Pemerintah, 'Playing Favorites,' oleh Brian Friel, Oktober 2004). Mereka percaya bahwa koneksi, keberpihakan, dan faktor lain, berperan.

Lebih lanjut, Nadler dan Schulman menyampaikan bahwa Kronisme, merupakan bentuk favoritisme yang lebih spesifik, mengacu pada keberpihakan terhadap kawan dan rekan. Seperti kata pepatah lama, 'Bukan apa yang engkau kenali,, tetapi siapa yang engkau kenal,' Kronisme terjadi dalam jaringan orang dalam—the 'good old boys,' yang saling memberi bantuan.

Sarah Smierciak dalam studinya Cronyism and Elite Capture in Egypt (2022), mengatakan bahwa menurut Amr Adly (2011), kronisme adalah penyalahgunaan kekuasaan negara dalam mengeluarkan undang-undang, keputusan, dan peraturan yang akan mengalokasikan aset publik atau memastikan posisi pasar yang disukai, kepada segelintir orang yang dipilih secara politik. Adly berpendapat bahwa jaringan kronisme dan korupsi, yang erat berkembang di sekitar akuisisi aset publik, secara khusus merujuk ke lahan, sumber daya alam, dan perusahaan milik negara agar diprivatisasi.

Patrick Newman, kala memaparkan tentang Kronisme (2021), berkata bahwa Kronisme itu, terjadi tatkala pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menguntungkan politisi, birokrat, bisnis, dan kelompok lain, dengan mengorbankan masyarakat umum. Contohnya termasuk ekspansi kredit selektif bank sentral, pajak dan peraturan diskriminatif, subsidi bisnis, akuisisi teritorial dan manuver kebijakan luar negeri lainnya, dan konstitusi baru. Imbalan kronisme mengambil bentuk keuntungan moneter, khususnya peningkatan pendapatan dan keuntungan bagi individu dan bisnis, atau keuntungan psikis dari kekuasaan dan otoritas yang lebih besar. Klaim pemerintah bahwa mereka mengesahkan undang-undang untuk meningkatkan kesejahteraan publik hanyalah lapisan tipis terhadap hak istimewa dan redistribusi.
Perundang-undangan minat khusus melekat pada sifat dasar pemerintahan. Di pasar bebas, jaringan pertukaran sukarela, semua aktivitas didasarkan pada kebebasan individu dan menghasilkan hasil yang saling menguntungkan. Mekanisme untung dan rugi yang kompetitif, memberi insentif kepada individu guna menghasilkan barang dan jasa yang diinginkan konsumen. Namun, pemerintah, memonopoli kekuasaan yang sah, tak punya mekanisme ini dan menghasilkan hasil yang merugikan masyarakat. Struktur insentifnya berbeda: tak seperti Invisible Hand di pasar, individu yang mengendalikan Invisible Hand yang koersif didorong mengesahkan undang-undang yang menguntungkan mereka dengan mengorbankan orang lain. Semakin kuat pemerintah, semakin menguntungkan hadiahnya. Mengendalikan mesin pemerintah, berarti mengendalikan pengungkit Kronisme.

Peter Schweizer dalam 'Throw Them All Out' (2011) bilang begini, 'Dalam 'Audacity of Hope' Barack Obama bercerita tentang saat-saat mengunjungi Los Angeles pada tahun 2000: Kartu kreditnya ditolak oleh perusahaan persewaan mobil. Itulah "masa yang sangat kering" bagi firma hukumnya, dan ia mencurahkan sebagian besar energinya bagi pekerjaannya sebagai senator negara bagian. Lalu tiba-tiba seorang donor politik yang kaya bernama Robert Blackwell, setuju membayarnya $112.000 sebagai punggawa resmi selama periode empat belas bulan.
Tapi inilah yang tak pernah dicatat Obama dalam bukunya, dan yang baru terungkap kemudian, berkat laporan investigasi: Senator Negara Bagian Obama kemudian membantu perusahaan tenis meja Blackwell menerima $320.000 dalam bentuk hibah pariwisata Illinois untuk mensubsidi turnamen Ping-Pong negara bagian.
Memberikan akses dan manfaat khusus kepada mereka yang membantumu terpilih (atau menjadi kaya melalui investasi) merupakan tradisi Amerika yang telah teruji oleh waktu. Engkau dapat membuat bisnis layanan pemerintah dengan menolong rekan yang pernah membantumu. Politisi selalu berusaha memberikan bantuan dalam bentuk keringanan pajak, pembebasan peraturan, dan layanan konstituen kepada sekelompok rekan keuangan terpilih. Politisi secara teratur mendapatkan ketentuan khusus yang dimasukkan ke dalam kode pajak agar membantu kawan-kawannya, di industri tertentu. Atau mereka berusaha memberinya akses ke birokrat yang sangat kuat. Tapi apa bentuk pembayaran dan perlindungan terbaik terhadap teman dan pendukungmu yang sudah kaya? Beri mereka miliaran dolar uang tunai pembayaran pajak.
Ketika William 'Boss' Tweed menjalankan mesin politik Tammany Hall di New York City pada abad ke-19, ia memaksa kandidat potensial agar memberikan uang tunai guna memenangkan nominasi (dan kemudian pemilihan tertentu) untuk memperoleh jabatan. Begitu para terpilih menang, mereka akan memperkaya diri mereka sendiri, tetapi mereka juga menyalurkan uang kembali ke Tammany Hall. Itu lebih dari sekedar kapitalisme kroni; itu juga merupakan sistem pemilihan yang curang. Namun, yang menjatuhkan Tweed adalah kronisme klasik. Ia mulai membangun gedung pengadilan di Manhattan bagian bawah pada tahun 1861, menyedot beberapa kali nilainya dalam kontrak pemerintah. Akhirnya, sebuah seri investigasi New York Times menunjukkan sangat banyak korupsi yang mencolok—satu kroni Tweed dibayar sangat tinggi hanya untuk dua hari kerja sehingga ia dikenal sebagai 'the Prince of Plasterers'—sehingga tuduhan diajukan, dan Tweed dipenjara usai memerah gedung pengadilan selama satu dekade (pembangunan tak selesai sampai tahun 1880).
Dibutuhkan tim besar reporter investigasi, kata Schweizer, guna mengurai setiap sampel kronisme. Kapitalisme kroni ini, baik bagi mereka yang ada di dalam. Tapi itu buruk bagi orang lain. Memang haul tersebut menyediakan kendaraan bertenaga hibrida bagi penopang basis besar kontributor kampanye orang kaya dengan uang pembayaran pajak. 
Bayangkan sejenak bahwa engkau seorang eksekutif perusahaan dan mulai menggunakan aset perusahaanmu 'berinvestasi' dalam proyek-proyek yang, pada gilirannya, menguntungkanmu secara langsung. Apa yang akan terjadi? Engkau bakal mempertaruhkan kemungkinan tuntutan pidana atas penyalahgunaan aset tersebut. Tapi bagaimana jika itu uang pembayaran pajak? Tiba-tiba menjadi sah. Bahkan dapat diterima. Dan bagi miliarder yang ingin mendapatkan keuntungan besar atas investasinya, ada beberapa keuntungan yang bisa lebih tinggi daripada yang dihasilkan dari kontribusi kampanye. Lagi pula, bagaimana lagi engkau bisa mengubah setengah juta dolar dari dirimu dan rekanmu, menjadi ratusan juta dolar usai sekali pemilihan? Tak mengherankan, banyak dari mereka, kembali mengumpulkan uang. Sebagai program pekerjaan—tujuan yang telah dicanangkan—miliaran hibah dan pinjaman ini menjadi sebuah kegagalan. Akan tetapi, sebagai metode mentransfer dana pembayaran pajak miliaran kepada kawan dan teman, kroni, dan pendukung, mereka bekerja dengan sempurna.
Para politisi terus memperkaya diri sendiri, keluarga, teman, dan pendukungnya melalui praktik kronisme. Montesquieu menulis dalam The Spirit of the Laws, 'Perdagangan itu, profesi yang setara.' Tetapi tidak di era kapitalisme kroni, dimana para politisi semakin sering mengambil keputusan dan dimana akses yang lebih baik, seringkali lebih penting ketimbang gagasan atau rencana bisnis yang lebih baik. Bisnis sering menyerupai meritokrasi: pengusaha dengan ide terbaik, produk terbaik, strategi bisnis terbaik, menang. Orang memilih dengan pembelian mereka guna memilih pemenang dan pecundang. Dan investor yang hendak membantu perusahaan pemula, akan melakukan evaluasi berdasarkan manfaatnya. Kronisme itu, antitesis dari meritokrasi.'
Seperti yang telah kita lihat, imbuh Schweizer, persyaratan pengungkapan tak cukup untuk menghentikan Kronisme. Bagaimana dengan lembaga Trust? Banyak anggota Kongres menempatkan aset mereka dalam apa yang disebut Blind Trust, dan dengan demikian, tampaknya tak dicurigai. Namun lembaga Trust seperti itu, juga tak berhasil. Terlepas dari namanya, Blind Trust, seringkali Not Blind. Dan mereka juga tidak bodoh. Mereka menetapkan pula kebijakan yang melindungi dari kasus Kronisme.

Kembali ke Nadler dan Schulman, mereka mengatakan bahwa bentuk favoritisme kronis adalah nepotisme. Nepotisme merupakan bentuk favoritisme yang bahkan lebih sempit. Berasal dari kata Italia yang bermakna keponakan, mencakup favoritisme kepada anggota keluarga. Baik nepotisme maupun kronisme, sering terjadi ketika partai politik merekrut kandidat untuk jabatan publik.
Editor Robert G. Jones dalam Nepotism in Organizations (2012), mendefinisikan nepotisme (beragam) sebagai serangkaian proses psikologis dan sosial yang terkait dengan fenomena yang diamati sehubungan dengan keanggotaan keluarga (didefinisikan secara luas) di dalam dan di sekitar organisasi. Nepotisme dapat didefinisikan dari segi fenomena yang diamati dan potensi yang mendasari proses sosial dan psikologis. The Oxford English Dictionary (2011) mencantumkan empat definisi untuk istilah tersebut, yang semuanya berasal dari kata nepos dan praktik pemberian status oleh para uskup Kristen awal kepada keponakan mereka. Definisi pertama adalah: 'a. Menunjukkan bantuan khusus atau preferensi yang tak adil kepada kerabat dalam memberikan posisi, pekerjaan, hak istimewa, dll.; spek. bantuan atau preferensi seperti itu, ditunjukkan kepada anak haram oleh seorang paus atau gerejawi berpangkat tinggi lainnya.' Definisi 'usang' di bawah judul ini adalah 'b. Dalam penggunaan yang lebih lama: preferensi yang tak wajar atau pilih kasih yang diperlihatkan kepada teman, anak didik, atau orang lain dalam lingkup pengaruh seseorang. Pula (kadang-kadang), eksploitasi demi keuntungan pribadi dari status seseorang yang berpengaruh.' Ironisnya, definisi yang terakhir ini, yang dianggap sudah usang, nampak menjadi penggunaan umum istilah tersebut, setidaknya dengan mengacu pada kebijakan anti-nepotisme yang menangani lebih dari sekadar hubungan antara manajer dan keponakan mereka.
Ada beberapa definisi umum nepotisme lainnya. Definisi yang dianggap tradisional adalah 'pemberian patronase dengan alasan hubungan terlepas dari jasa'. Definisi awal nepotisme Bellow (2003) adalah 'favoritisme berdasarkan kekerabatan'. Tapi ia juga mendefinisikan 'nepotisme baru', yang melibatkan pilihan pekerjaan yang disengaja oleh keturunannya. Jones dan rekan melangkah lebih jauh, menyarankan bahwa nepotisme didefinisikan dengan membedakan 'nepotisme sebagai keputusan perekrutan hanya berdasarkan ikatan keluarga (kekerabatan)' versus pilihan karier 'yang mengarah pada perekrutan berdasarkan prestasi.' Stout, Levesque, dan Jones (2007) mencakup baik pilihan karir yang disengaja ini, maupun perekrutan anggota keluarga yang berjasa, tetapi selanjutnya memperluas definisi dalam hal paksaan keluarga. Kesimpulan yang jelas di sini adalah bahwa definisi umum nepotisme berdasarkan persepsi pengamat tentang favoritisme sebenarnya memungkiri beberapa proses yang mendasarinya.
Arthur Gutman menyebutkan bahwa kebijakan Anti-nepotisme di Amerika, Code of Federal Regulations mendefinisikan kerabat sebagai berikut, 'Kerabat berarti ayah, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, saudara laki-laki, saudara perempuan, paman, bibi, sepupu pertama, keponakan laki-laki, keponakan perempuan, suami, istri , ayah mertua, ibu mertua, menantu laki-laki, menantu perempuan, ipar laki-laki, ipar perempuan, ayah tiri, ibu tiri, anak tiri, putri tiri, saudara tiri laki-laki, saudara tiri perempuan, saudara angkat laki-laki, atau saudara angkat perempuan.' Selain itu, beberapa pemberi kerja memperluas definisi ini ke orang lain yang tak terkait dari karyawan yang ada.

Thomas J. Gradel dan dan Dick Simpson dalam 'Corrupt Illionis: Patronage, Cronyism, and Criminality (2015), menyebutkan tentang beberapa aspek mesin politik di Chicago dan Illinois. Semuanya dibangun di atas kesetiaan dan di seputar patronase [yakni bagian dari favoritisme] para pekerja, memberikan suara yang diperlukan agar kandidat partai terpilih. Kandidat yang menang, kemudian mengontrol pemerintahan dan mendistribusikan rampasan pekerjaan patronase dan kontrak kota, serta membagikan layanan kota sebagai bantuan politik kepada pemilih yang memilih daftar kandidat partai.
Mesin politik, menurut Gradel dan Simpson, dengan patronase, favoritisme, nepotisme, kronisme, dan kontrak yang digelembungkan, memicu budaya korupsi yang terus berlanjut.
Gradel dan Simpson menyajikan tiga klasifikasi korupsi dari karya Rasma Karklins (2005) tentang korupsi di negara-negara bekas Soviet, yang memunculkan tipologi umum korupsi: pertama, interaksi sehari-hari antara pejabat dan warga negara (seperti suap penerbitan lisensi, perizinan, perubahan zonasi, dan kelulusan inspeksi). Kedua, interaksi dalam institusi publik (seperti patronase, nepotisme, dan favoritisme). Ketiga, pengaruh atas institusi politik (seperti kepemilikan pribadi, pengaruh, jaringan kekuasaan rahasia, dan penyalahgunaan kekuasaan).
Mesin politik telah berkembang selama satu setengah abad terakhir. Patronase, nepotisme, kronisme, penyalahgunaan kekuasaan, dan aktivitas kriminal berkembang, terkadang selama beberapa dekade, di banyak balai kota, kantor polisi, dan lembaga pemerintah dengan tujuan khusus, di sub-urban.

Lantas, apa hubungannya antara Favoritisme, Kronisme, dan Nepotisme? Yaa, hubungan di antara mereka sih, fine-fine aja, cuman, seperti kata Nadler dan Schulman, favoritisme, kronisme, dan nepotisme, semuanya mengusik rasa-keadilan kita, lantaran memberikan keuntungan yang tak layak kepada seseorang, yang tak pantas memperoleh perlakuan itu. Salah satu tema yang paling mendasar dalam etika adalah keadilan, dinyatakan dengan cara ini oleh Artistoteles, 'Kesetaraan seyogyanya diperlakukan sama dan ketidaksetaraan hendaknya diperlakukan tidak-sama.'
Di ruang publik, favoritisme, kronisme, dan nepotisme juga merusak kebaikan bersama. Tatkala seseorang diberi posisi karena koneksi ketimbang karena ia punya mandat dan pengalaman terbaik, layanan yang diberikan orang tersebut kepada publik, besar kemungkinan, sangatlah cetek.
Phaedrus menganalogikannya dalam sebuah puisi,

Mons parturibat, gemitus immanes ciens,
[Gunung sedang melahirkan, mengeluarkan erangan yang sangat kuat,]
eratque in terris maxima expectatio.
[dan di bumi, ada harapan yang sangat besar.]
At ille murem peperit. Hoc scriptum est tibi,
[Dan yang terlahir cuma seekor cindhil. Inilah yang tertulis untukmu,]
qui, magna cum minaris, extricas nihil.
[yang, kendati engkau tantang dengan hal-hal besar, takkan hasilkan apa-apa.]

Juga, lantaran favoritisme, seringkali terselubung (beberapa pejabat terpilih cukup bodoh bila menunjukkan keberpihakan secara terbuka kepada kawan dan kerabatnya), praktik ini mengurangi transparansi yang seharusnya menjadi bagian dari proses perekrutan dan kontrak pemerintah.

Trus, apa persoalannya? Isu pertama, menurut Nadler dan Schulman, adalah kompetensi. Bagi posisi tingkat kabinet, seorang eksekutif mungkin akan tertarik pada kandidat yang berpengalaman dan berkualitas, tetapi secara historis, semakin rendah tangganya, semakin besar kemungkinan saudara ipar seseorang diselipkan ke pekerjaan yang tak memenuhi syarat. Selain itu, munculnya favoritisme, melemahkan moral dalam pelayanan pemerintah, belum lagi kepercayaan publik terhadap integritas pemerintah.
Orang yang berakal sehat akan berbeda pendapat tentang pengangkatan kawan dan kerabat dalam jabatan tingkat tinggi, tetapi pejabat publik hendaknya menyadari bahwa pilihan seperti itu, dapat menimbulkan kesan tidak adil.
Pejabat publik seyogyanya mencatat pula, bahwa dilema yang melibatkan favoritisme melampaui praktik perekrutan dan kontrak ke masalah pengaruh yang lebih umum. Rekan golf, orang-orang yang datang makan malam di malam Minggu, anggota jemaat yang sama, semuanya cenderung memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap seorang pejabat daripada orang asing. Anggota dewan, walikota, dan legislator, hendaklah melakukan upaya khusus, guna memastikan bahwa mereka mendengar semua sisi dari suatu isu, daripada semata mengandalkan pandangan orang yang mereka kenal. Selain itu, banyak pembuat undang-undang yang berhati-hati telah menemukan bahwa mereka mesti mengubah pola sosialisasi mereka, ketika pekerjaan mereka melibatkan banyak keputusan yang mempengaruhi kawan dan rekan. Paling tidak, mereka dapat memilih mengundurkan diri dari pemungutan suara dimana hubungan sosial dapat memberikan pengaruh yang tak semestinya.'"
"Wallahu a'lam."

Saatnya berangkat, Rembulan pamit seraya bersenandung,

So close, no matter how far
[Sangat dekat, entah seberapapun jauhnya]
Couldn't be much more from the heart
[Takkan mungkin lebih banyak dari hati]
Forever, trusting who we are
[Selamanya, percayailah siapa kita]
And nothing else matters
[Maka yang lain, gak penting]

Never opened myself this way
[Tak pernah membuka diriku seperti ini]
Life is ours, we live it our way
[Hidup milik kita, kita jalani dengan cara kita]
All these words, I don't just say
[Seluruh kata-kata ini, tak semata kuucapkan]
And nothing else matters *)
[Maka yang lain, gak penting]
Kutipan & Rujukan:
- Gaius Julius Phaedrus, The Fables, fl. 1st century AD, Delphi Classics
- William Graham Sumner, Folkways, 1906, Ginn and Company
- Thomas J. Gradel and and Dick Simpson, Corrupt Illionis: Patronage, Cronyism, and Criminality, 2015, University of Illionis Press
- Sarah Smierciak, Cronyism and Elite Capture in Egypt, 2022, Routledge
- Peter Schweizer, Throw Them All Out, 2011, Houghton Mifflin Harcourt
- Patrick Newman, Cronyism, 2021, Mises Institute
- Robert G. Jones [ed.], Nepotism in Organizations, 2012, Routledge
- Judy Nadler and Miriam Schulman, Favoritism, Cronyism, and Nepotism, 2015, Markkula Center
*) "Nothing Else Matters" karya James Alan Hetfield & Lars Ulrich