Sabtu, 30 September 2023

Kebijakan para "Stupid Pricks" (4)

“Usai makan siang Chinese kuliner di sebuah restoran Chinese Food ternama,” Peace lily melanjutkan, “pak menteri kepo, ”'Betewe, kalau proyek ini berjalan, siapa yang akan mengerjakannya?'

'Oh, don't worry,' kata investor kita, 'tenaga kerja kami berlimpah, jadi, kami akan mendatangkan pekerja dari negeri China untuk mengerjakannya,' jawab sang investor.

'Tapi, bagaimana dengan tenaga kerja lokal?' pak menteri bertanya-tanya.
'Oh, mereka boleh ikutan, tapi dengan syarat bahwa mereka harus menguasai 'Chinese languges,' antara lain Beijingese, Hanyu, Putonghua, Mandarin, Cantonese, bahkan Tibetan.
'Tapi kan, ini proyek lokal, kenapa mesti pake bahasa Chinese?' tanya pak menteri.
'Ini persyaratan kami, dan itu, derita loe!' tukas sang investor.
Pak menteri mikir-mikir, kalau nolak, jangan-jangan, bahkan 'lima kali kiamat pun, gak akan jalan kalau gak ada investasi,' lagian, 'Cuan bakalan lepas nih!', ia membatin laiknya seorang 'bisnismen' mengelola sebuah negara.
Melihat pak menteri rada tegang, maka investor kita mengantarkan sebuah guyonan, ''Seorang petani menyambut Josef Stalin di perkebunan kentangnya.
'Kamerad Stalin, kita punya banyak sekali kentang, sehingga jika ditumpuk satu per satu, kentang-kentang itu, akan sampai kepada Tuhan,' kata sang petani dengan penuh semangat kepada pemimpinnya.
'Tapi, Tuhan kan kaga ada,' sanggah Stalin.
'Tepat sekali, Kamerad,' jawab sang petani, 'begitu juga Kentangnya.'

'Sampaikan padaku, apa yang pak Investor ketahui tentang Komunisme,' pinta sang menteri. Sembari menggeser piring berisi fu yung hai yang telah ia habiskan, investor kita berkata, 'Masyarakat pada tahun 1989-91, harus mencubit diri mereka, guna memastikan, mereka tak berhalusinasi. Sesuatu yang dahsyat telah terjadi dalam politik dunia. Mendadak, Komunisme lengser. Hingga saat itu, negara berikut ini, merupakan salah satu negara modern yang paling kuat dan tersebar luas. Mulai berkuasa pada Revolusi Oktober 1917 di Rusia, Lenin dan rekan-rekannya mendirikan tatanan yang direproduksi di Eropa Timur, China, Asia Timur, Kuba, dan negara lain, usai Perang Dunia Kedua. Pada tahun 1989 tatanan komunis ini, disingkirkan dari muka Eropa. Pada tahun 1991, hal yang sama terjadi di Uni Soviet. Kendati China masih mengaku sebagai komunis, reformasi ekonomi mendasar yang dilakukan China, membuat gambaran tersebut, tak lagi akurat sebagai gambaran komprehensif. Partai-partai komunis tetap berkuasa di beberapa negara seperti Korea Utara, Vietnam dan Kuba; kepentingan geopolitiknya masih jauh dari kekuatan dan prestise ‘gerakan komunis dunia’ pada masa kejayaannya. Komunisme dengan cepat menjadi peninggalan sejarah.
Jika komunisme telah menjadi sejarah seratus tahun setelah Revolusi Oktober 1917, maka komunisme tak bisa semata dibatasi pada masa lalu saja. Proyek dan pengalaman revolusi dunia, ekonomi non-kapitalis, dan masyarakat kolektivisasi pada abad kedua puluh, merupakan bahan refleksi dalam hal historiografi, ingatan, dan warisan yang mereka tinggalkan. Ketahanan rezim komunis di beberapa negara Asia dan integrasi perekonomian mereka ke dalam kapitalisme global (kecuali Korea Utara) telah merangsang minat, analisis, dan pertanyaan. Hal ini terutama terjadi, mengingat pengaruh China pasca-sosialis terhadap perekonomian dan politik dunia.

Benih-benih komunisme modern telah berkecambah jauh sebelum abad ke-20. Kata itu sendiri—Komunisme—lambat ditemukan, dan baru tersebar luas di Prancis, Jerman, dan Inggris pada tahun 1840-an. Hal ini secara konsisten menunjukkan, keinginan menggali fondasi masyarakat dan membangun kembali. Komunis tak pernah setengah hati dalam mencapai tujuannya. Mereka terus menerus memusatkan kebencian terhadap tatanan yang ada pada negara dan perekonomian. Mereka menyatakan bahwa cuma mereka—dan bukan saingan mereka dari kelompok kiri politik—yang punya potensi doktrinal dan praktis untuk mengubah urusan umat manusia. Ada beberapa jenis egalitarianisme yang bertahan dalam tujuan mereka pada tekad dan ketidaksabaran guna mencapai perubahan, telah menjadi ciri permanen. Komitmen terhadap organisasi militan telah bertahan. Namun komunisme sendiri, tak berhenti menentang upaya penetapan. Kemungkinan besar takkan ada pertemuan akhir. Komunisme yang dimiliki oleh seorang komunis, merupakan anti-komunisme oleh komunis lainnya, dan keadaan ini, kata Robert Service, kemungkinan takkan berubah.
Apa yang dikenal sebagai komunisme pada abad ke-20 merupakan hasil dari banyak pengaruh. Ekspresi utamanya adalah ideologi resmi Uni Soviet dan negara-negara komunis lainnya. Marx dan Engels sendiri—pencetus doktrin yang kemudian dikenal dengan nama Marxisme—mengakui tiga sumber inspirasi utama. Secara politis, mereka sangat terpengaruh oleh apa yang mereka pelajari tentang Maximilien Robespierre dan politisi radikal lainnya dalam Revolusi Perancis, pada akhir abad kedelapan belas. Di bidang ekonomi, mereka mengaku sangat memanfaatkan gagasan David Ricardo dan ahli teori lain yang mengkaji energi pengungkit hebat dalam produksi dan perdagangan yang dihasilkan oleh kapitalisme di Inggris. Secara filosofis, mereka terpesona dengan tulisan-tulisan Hegel. Rekan mereka dari Jerman, bersikeras bahwa sejarah berlangsung melalui tahap-tahap yang mengkondisikan cara umat manusia berpikir dan bertindak, dan bahwa, perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial, tak hanya bersifat dangkal atau bersiklus: Hegel memandang catatan sejarah sebagai rangkaian kemajuan menuju keadaan masa depan manusia dan benda, yang lebih baik.
Para pendiri Marxisme adalah pengagum tak krtitis Robespierre, Ricardo, dan Hegel. Memang sih, Marx mengklaim telah menjungkirbalikkan Hegel; dan, tentu saja, ia tak menerima analisis politik spesifik Robespierre atau membenarkan dukungan Ricardo terhadap 'private enterprise.'
Marx dan Engels menganggap diri mereka sedang berupaya mensintesis penemuan-penemuan penting dari orang-orang yang mempengaruhinya; dan terus mengembangkan sintesis ini, melalui karir menengah dan akhir mereka. Keduanya ingin dianggap serius sebagai penyebar komunisme ‘modern’, ‘ilmiah’, dan ‘kontemporer’. Ide-ide mereka tak boleh dinodai oleh asosiasi dengan sebagian besar pemikir masa lalu dan masa kini. Mereka itu, orang yang terburu-buru; mengira mereka hidup di akhir era kapitalis dan era komunis telah dekat. Keduanya tak punya kepribadian introspektif—dan, selain komentar singkat Marx tentang Robespierre, Ricardo, dan Hegel, mereka jarang bertanya tentang pengaruh-pengaruh yang telah membentuk pandangan dunia mereka.
Yang krusial bagi Marxisme adalah impian kiamat yang diikuti oleh surga. Pemikiran seperti ini, ada dalam Yudaisme, Kristen dan Islam. Marx dibesarkan dalam keluarga Yahudi yang berpindah agama menjadi Kristen; keluarga Engels, Protestan. Marx dan Engels, di kemudian hari, jadi ateis, menyangkal bahwa orang yang beriman sejati akan diberi pahala berupa kekekalan di surga; sebaliknya, mereka berpendapat bahwa mereka dan para pendukungnyalah, yang bakal menciptakan masyarakat yang sempurna di bumi ini. Doktrin Kristen meramalkan bahwa orang-orang yang tak beriman akan menemui akhir yang menyedihkan saat datangnya sang Mesiah. Mirip-mirip pula, menurut para pendiri Marxisme, mereka yang menghalangi kemajuan komunisme menuju supremasi, akan diinjak-injak. Kelas penguasa pada masa itu, bakal menyesali kekuasaan mereka atas umat manusia.

Politik dan ekonomi bukanlah satu-satunya hal yang melatih pikiran kaum ekstrem. Pada awal abad kesembilan belas, tren yang kuat telah muncul di kalangan banyak pemikir. Fisika, biologi, dan kimia, mengalami kemajuan yang lebih besar dibanding kemajuan apa pun dalam dua milenium sebelumnya. Bagi sebagian besar orang yang berpikir—setidaknya mereka yang tak menetak batu bara, bekerja dengan mesin tenun, atau menggali kanal—kegembiraan positif sedang terasa. Mereka meneguknya. Kemudian datanglah Darwin. Origin of the Species memberi oksigen pada kehidupan intelektual di seluruh planet ini. Prestasi Darwin ialah, menghubungkan ilmu pengetahuan alam dan manusia. Teori evolusinya menyatakan bahwa berbagai spesies hewan selama jutaan tahun, berasal dari bentuk kehidupan sederhana dan kasar, yang menyesuaikan diri dengan lingkungan fisiknya melalui perjuangan yang berakhir pada 'survival of the fittest'. Bentuk kehidupan yang lebih tinggi menggantikan bentuk kehidupan yang lebih rendah. Cara berpikir seperti ini, punya daya tarik yang sangat kuat bagi para militan ekstrem yang bermadah, perlunya pertarungan politik dan menyatakan bahwa satu kelompok tertentu—kelas pekerja—akan memenangkannya.
Marx dan Engels berpikir dalam kerangka tahapan transformasi yang melibatkan perpecahan, yang bersifat makroskopis. Walau mereka mengagumi Darwin, mereka tertarik pada gagasan tentang kesenjangan tajam antara satu jenis ‘tatanan’ politik dan sosial dengan ‘tatanan’ lainnya. Keasyikan dengan tahapan-tahapan sejarah dari awal waktu yang tercatat hingga saat ini bukanlah hal baru. Orang-orang Yunani sejak penyair Hesiod, atau bahkan sebelumnya, percaya bahwa zaman keemasan telah tergantikan oleh perak dan kemudian perunggu. Hesiod adalah seorang yang pesimis: setiap zaman lebih buruk dari zaman sebelumnya. Para pemikir kemudian berpendapat bahwa perubahan besar tak dapat dihindari, namun kemerosotan tak dapat dihindari pula. Hingga Giambattista Vico pada abad kedelapan belas, berpendapat bahwa transformasi bersifat siklus. Segala sesuatunya mengalami perubahan, tapi lama kelamaan kembali ke kondisi aslinya—dan kemudian, tentu saja, bergerak lebih jauh lagi dalam lingkaran lama. Tak semua orang menerima cara berpikir seperti itu.
Para pendiri Marxisme menempatkan perjuangan kelas di garis depan analisisnya; mereka mengatakan kelas pekerja (atau proletariat) akan mengubah politik, ekonomi dan budaya seluruh dunia. Mesianisme kembali menyusup ke sini. Yudaisme dan Kristen memproyeksikan kedatangan Juruselamat di bumi yang akan menghancurkan musuh-musuh Tuhan dan membangkitkan komunitas kesempurnaan. Keselamatan menurut Marx dan Engels, takkan datang melalui seorang individu, namun melalui seluruh kelas. Pengalaman kaum proletar yang terdegradasi di bawah kapitalisme, akan memberikan mereka motif agar mengubah sifat masyarakat; dan pelatihan serta organisasi industrinya akan memungkinkannya melaksanakan tugasnya hingga selesai. Upaya kolektif pekerja sosialis akan mengubah kehidupan orang-orang yang bermaksud baik—dan mereka yang menolak, akan ditindas.
Politik, menurut mereka, takkan ada lagi. Ini bukanlah ide baru. Jean-Jacques Rousseau pada akhir abad kedelapan belas, telah menyatakan bahwa urusan publik harus dipandu oleh apa yang disebutnya 'General Will'. Marx dan Engels mengikuti Machiavelli menolak prinsip moralitas dalam tindakan. Mereka ingin memusatkan perhatian pada keadaannya. Mereka menganut prinsip-prinsip ilmiah tentang analisis dan rekomendasi. Inilah warisan Pencerahan Eropa. Para pemikir Skotlandia, Perancis, dan Inggris memberikan pengaruh yang besar terhadap mereka. David Hume dan Voltaire telah mengambil pisau bedah guna mengatasi takhayul dan prasangka.

Karl Marx dan Friedrich Engels memberi inspirasi bagi komunisme abad kedua puluh. Tiada orang lain yang begitu efektif memikat pemikiran kelompok politik paling kiri atau menarik pemikiran lain ke sudut pandang tersebut. Semangat tulisan dan politik mereka sungguh hebat. Hanya sedikit varian ideologi komunis yang lagi dipertimbangkan di luar lingkungan kelompok ilmiah atau sektarian. Bagi kebanyakan orang, Marxisme dan komunisme bersifat sama-sama luas. Jenis Marxisme yang mereka ketahui, sedikit banyak terkait dengan penafsiran yang ditawarkan oleh Lenin dan para pencipta Revolusi Oktober 1917 di Rusia.
Keduanya meninggal di pengasingan di Inggris. Marx meninggal pada 14 Maret 1883 di rumah keluarganya di London Utara. Engels hidup belasan tahun lebih; ia meninggal pada tanggal 5 Agustus 1895. Keduanya orang Jerman. Keduanya pelajar yang cerdas. Mereka bersekolah dengan baik; keduanya dengan lahap membaca literatur Eropa dan debat publik kontemporer—Marx sangat ahli dalam filsafat Yunani kuno. Keduanya dengan cepat menolak kehidupan borjuis yang diharapkan bagi mereka.
Keduanya menyatakan dalam Manifesto Komunis: ‘A spectre is haunting Europe—the spectre of communism. Seluruh kekuatan di Eropa kuno telah membentuk aliansi suci untuk mengusir hantu ini: Paus dan Tsar, Metternich dan Guizot, Radikal Perancis dan mata-mata polisi Jerman. Mereka menyatakan, dengan agak bombastis, ‘Komunisme telah diakui oleh seluruh kekuatan Eropa sebagai sebuah kekuatan.’
Masa depan telah mereka tentukan duluan. Marx dan Engels meramalkan perjuangan terakhir antara kaum ‘borjuis’ dan ‘proletariat’ di bawah kapitalisme. Hasilnya, kata mereka, tak bisa dihindari: supremasi proletariat. Proletariat adalah nama yang semakin sering digunakan oleh para intelektual sosialis untuk menyebut kelas pekerja. Marx dan Engels memandang pekerja sebagai penyelamat umat manusia di masa depan. Mereka tak terlalu peduli pada para pengangguran. Mereka, seperti kebanyakan kaum borjuis pada masa itu, tak punya waktu bagi orang-orang yang berada di lapisan paling bawah masyarakat yang tak punya pekerjaan tetap; mereka memandang rendah apa yang disebut lumpenproletariat sebagai sekelompok maling dan orang-orang yang tak berguna. Mereka percaya bahwa revolusi besar memerlukan kekuatan aktif dari para pekerja industri, yang terorganisir, terampil dan terpelajar.
Tujuan akhir Marx dan Engels adalah membentuk masyarakat komunis sedunia. Mereka percaya bahwa komunisme telah ada, berabad-abad yang lalu sebelum ‘masyarakat kelas’ muncul. Spesies manusia seharusnya tak mengenal hierarki, keterasingan, eksploitasi atau penindasan. Marx dan Engels meramalkan bahwa kesempurnaan seperti itu, dapat dan pasti akan terulang kembali setelah kapitalisme digulingkan. Akan tetapi, ‘komunisme modern’ akan mendapatkan keuntungan dari teknologi terkini dibandingkan dengan batu api. Hal ini akan dihasilkan oleh solidaritas proletar global dan bukan oleh kelompok manusia gua yang buta huruf dan jumlahnya tak terhitung. Dan hal ini akan mengakhiri segala bentuk hierarki.
Politik akan berakhir. Negara takkan ada lagi. Takkan ada perbedaan pangkat dan kekuasaan pribadi. Semua akan turut-serta dalam pemerintahan mandiri atas dasar kesejajaran. Marx dan Engels mengecam kaum komunis dan sosialis yang mau menerima apa pun yang kurang dari itu. Merekalah orang-orang yang maksimalis. Tak ada kompromi dengan kapitalisme atau parlementerisme yang dapat diterima olehnya. Mereka tak menganggap dirinya menawarkan semboyan ‘semua atau tidak sama sekali’ dalam politiknya. Mereka memandang komunisme sebagai tahap terakhir yang tak terhindarkan dalam sejarah umat manusia; mereka menolak para pendahulu dan saingannya sebagai pemikir ‘utopis’ yang kurang punya pemahaman ilmiah.'"

"Sangat mungkin, engkau akan bilang, 'Buat apa ngomongin Komunisme, toh mereka udah bubar!'" kata Peace lily. "Namun mari kita amati, empat puluh lima tahun setelah Demokrasi tampak menang atas Komunisme tanpa perjuangan habis-habisan, hampir tiga puluh tahun kemudian, kemenangan anti-komunis pada tahun 1989, sepertinya, lebih problematis. Otoritarianisme tanpa partai massa, telah pulih di Rusia dan di negara-negara yang sebelumnya disebut sebagai 'the West'. Rezim komunis di China, tentu saja, tak menyerah: demonstrasi tahun 1989 di Beijing, berhasil ditumpas. Namun komunisme China, sedang mengembangkan struktur otoriter hibrida baru, yang memungkinkan Kapitalisme tanpa Demokrasi.
Cerita sang investor, kita lanjutkan pada sesi berikutnya yaq, bi 'idznillah."

Kemudian, Peace lily bersenandung,

Deep in the dark, I don't need the light
There's a ghost inside me
It all belongs to the other side
We live, we love, we lie ***)
[Sesi 5]
[Sesi 3]

Senin, 25 September 2023

Kebijakan para "Stupid Pricks" (3)

"Menikmati suguhan sup asparagus hangat dan lezat traktiran pak menteri, di restoran hotel berkelas, yang, menurut pengakuan sang investor, belum pernah ia rasakan di negerinya sendiri—dan memang demikian, ada yang menarik di negeri Kepulauan tersebut, terkadang sebuah khabar diketik terburu-buru, soalnya kejar tayang, sehingga 'wong kere' bisa saltik jadi 'wong keren'—lalu, investor China kita, bercerita, 'Di zaman antah berantah, yang tentu saja berbeda dengan hari ini, dimana sekarang manusia cuma dibolehkan 'ngomong sama tembok', sedangkan di jaman itu, manusia boleh bicara dengan pepohonan.

Nah, ada seorang lelaki, berjalan kuyu di antara pepohonan. Ia telah berjalan ke sana kemari, memohon bantuan kepada para pohon, namun ia selalu di tolak. Ngomong dengan pohon Tebu, ditolak; ngomong dengan bunga kertas, Bugenvil, ditolak, ngomong dengan daun Nilam, ditolak, bahkan ngomong dengan Kaktus pun, malah dicuekin. Akhirnya, ia terduduk di bawah sebuah pohon Apel. Ia lelah, ia tidur di bawah naungannya
Saat ia terbangun, sang pohon menyapanya, 'Duhai, anak manusia. Kemari dan panjatlah batang tubuhku, berayunlah di dahanku dan makanlah apelku, serta bermain petak-umpetlah di bawah bayanganku, dan karenanya, berbahagialah!'
'Aku terlalu tua memanjat pohon dan bermain,' kata sang lelaki. 'Aku ingin membeli sesuatu dan bersenang-senang. Aku pingin punya cuan. Bisakah engkau memberiku uang?'
'Sorry,' kata sang pohon, 'aku lagi bokek!'
Sang pohon merasa iba pada sang lelaki. Coba bayangkan, siapa sih yang gak trenyuh pada sang lelaki, yang mukanya 'mellas' alias njalari rasa welas atau minta dikasihani gitu—padahal sebenernya, dan belum disadari oleh sang pohon, sang lelaki, kata orang bule, tak lebih dari 'Stupid Prick', bila kita terjemahkan, dengan meminjam dan memadukan ungkapan seorang tokoh reformasi dan seorang filsuf, sebagai 'Begundal Tolol.' Orang bijak bilang, 'Only fools rush in, so, jangan menilai sebuah buku dari aksi teatrikalnya doang!'
'Aku hanya punya daun dan buah apel,' kata sang pohon. 'Ambillah apelku, dan juallah ke kota. Maka engkau bakal punya cuan dan bakalan bahagia.'
Maka, sang lelaki mengumpulkan apel dan daunnya, lalu membawanya pergi. Pohon apelnya, ekstra ordineri, buahnya banyak warnanya, dari yang dominan merah, kuning, hijau, dan belakangan ada juga yang biru. Ada gak sih, apel yang warnanya biru? Kebiru-biruan qali yaq, seperti pohon Cemara Biru.
Sang lelaki lalu membuat daun-daun apelnya menjadi mahkota dan menaruhnya di kepala. Ia tampak seperti drama teater Raja Hutan. Seraya melangkah pergi, ia berkata kepada sang pohon, 'Jangan khawatir, I'll be back!', menirukan omongan Arnold Schwarzenegger, 'dan ketika aku datang menemuimu, seluruh lahan ini, bakalan punya sertifikat.'
Pohon apel terbukti dahsyat, dengan buah apel dan daunnya saja, sang lelaki, yang sebelumnya jualan mebel, jadi Sultan alias 'wong sugih' dan terpilih menjadi Lurah. Pesta meriah berlangsung tujuh hari tujuh malam. Makanan disajikan dan sesi joget-joget digelar, dihadiri para artis lokal. Pestanya amat megah, sehingga seorang tamu dari luar negeri, berkomentar tentang jamuan makannya, '...almost beyond anything Hollywood could've pulled together...' yang membuat Pak Lurah, nampak tersipu-sipu.
Sementara Lurah kita sibuk dengan, 'The way of Ninja!', demikian slogan anaknya, sang pohon apel, menunggu dan menanti, sang lelaki 'gaak teko-teko.' Entah itu 'lali,' atawa 'ngapusi,' yang pasti, sang pohon 'mrebes mili.' Betapa menyedihkan, badai topan datang menghantamnya, daun-daunnya berguguran, dalam sekejap, dahan dan rantingnya pun jadi gundul. Esok, hari-hari bakalan bertambah panjang, namun badai, baru saja dimulai. Mungkinkah sang pohon apel bakal mengalami 'Homelessness'?''

"Mari kita berhenti barang sejenak dari cerita Investor kita," sela Peace lily. “Perkenankan aku menyampaikan padamu topik tentang 'Homelessness.'
Tak ada hal baru mengenai Homelessness, kata David Levinson. Telah ada para 'Homeless' [tunawisma; gelandangan] selama sekitar 10.000 tahun—sejak manusia membangun rumah permanen pertama mereka di kota-kota pertama di 'Fertile Crescent' [wilayah berbentuk bulan sabit di Asia Barat. Dibentuk oleh sungai Tigris dan Efrat serta Laut Mediterania, wilayah ini memunculkan peradaban-peradaban paling awal di dunia]. Catatan sejarah, novel dan puisi, serta teks-teks suci, menuturkan kepada kita, kisah-kisah tentang pengemis, petapa pengembara, biarawan yang tak punya uang, petani yang terlantar, tentara yang hilang, pemuda jalanan, gelandangan, pendatang baru di kota, dan pekerja yang terlantar.
Homelessness [keadaan tak punya rumah atau tempat tinggal permanen. Sedangkan 'Homeless' adalah orang yang tak punya rumah atau tempat tinggal permanen, dan oleh sebab itu, biasanya hidup di jalanan; tunawisma, gelandangan] jika dilihat secara lintas-budaya, merupakan permasalahan yang kompleks. Di banyak negara maju, 'homeless family', yang sebagian besar adalah imigran, merupakan masalah utama. Di negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, para 'Homeless' atau Tunawisma, seringkali adalah kaum perempuan dan anak-anak mereka, remaja, dan migran dari daerah pedesaan, yang datang ke kota mencari kerja dan peluang. Munculnya banyak kota di negara-negara berkembang sebagai pusat komersial regional atau global, telah memperburuk masalah ini, dengan meningkatkan daya-tarik kota sebagai pusat lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin pedesaan, dan pada saat yang sama, menyediakan perumahan dan layanan pendukung yang semakin tak terjangkau bagi para imigran.

Homelessnes merupakan masalah sosial yang kurang dipahami. Citra publik mengenai Homelessness dan persepsi masyarakat mengenai sifat dan penyebab Homelessness, tak banyak berhubungan dengan realitas yang ada. Para ahli belum menyepakati satu definisi atau kriteria tunggal guna menakar Homelessness. Para tunawisma, mengalami masalah sosial, emosional, dan fisik tingkat tinggi.
Tidaklah mudah memahami apa penyebab Homelessness, lantaran faktor-faktor yang menjelaskan terjadinya Homelessness saat ini, begitu kompleks dan saling terkait. Beberapa penelitian kuantitatif telah berupaya menentukan faktor-faktor apa yang paling terkait dengan peningkatan jumlah tunawisma. Martha Burt menemukan bahwa tunawismadapat terkait dengan meningkatnya pengangguran, menjadi orang tua tunggal, berkurangnya tunjangan publik, dan tingginya biaya perumahan dan hidup.

Salah satu penyebab Homelessness di India, Indonesia dan Puerto Rico, adalah 'Forced Eviction.' Katherine Brickell, Melissa Fernández Arrigoitia, dan Alex Vasudevan (2017) menulis bahwa 'Forced Eviction' (Penggusuran Paksa), menurut UN-Habitat, adalah 'fenomena global' dan 'krisis global'. Angka-angka yang diterbitkan oleh badan tersebut, menunjukkan bahwa pada tahun 2000an, setidaknya, 15 juta orang di seluruh dunia, tergusur-paksa. Menurut Amnesty International (2012), antara tahun 2007–2009 saja, lebih dari 4,5 juta orang terkena dampaknya. Penggusuran Paksa adalah ketika masyarakat diusir keluar dari rumahnya dan meninggalkan lahannya, di luar keinginan mereka, dengan sedikit atau tanpa pemberitahuan sama sekali, acapkali dengan ancaman atau penggunaan kekerasan'. Pada tahun 2017, penggusuran paksa atas nama 'Progress' menarik perhatian lantaran semakin banyak orang di negara-negara Selatan, yang diusir dan dirampas tanahnya, seringkali melalui intimidasi, pemaksaan dan penggunaan kekerasan. Pada saat yang sama, kita juga menyaksikan semakin intensifnya 'krisis' urbanisme di Dunia Utara yang ditandai dengan bentuk-bentuk baru kesenjangan sosial, meningkatnya ketidakamanan perumahan dan perpindahan dengan kekerasan. Perkembangan ini, telah menyebabkan ledakan penggusuran paksa yang didukung oleh mekanisme ekonomi, politik dan hukum yang baru, dan semakin banyak dibentuk oleh semakin intensifnya perubahan lingkungan. Seperti yang belakangan disimpulkan oleh UN-Habitat & UNHRP, ‘percepatan urbanisasi, perubahan iklim dan globalisasi, krisis keuangan dan krisis global lainnya, telah menyebabkan penggusuran paksa menjadi semakin akut dan kompleks'.

Penggusuran paksa, menurut Brickle dkk, bukanlah sesuatu yang baru, dan bahwa kebrutalan elementer yang terkait dengan pemindahan dan perampasan, seyogyanya ditempatkan dalam narasi sejarah yang lebih luas. Seperti yang diingatkan oleh Stuart Elden kepada kita, ‘konflik pertanahan, dalam berbagai skala, merupakan faktor utama dalam urusan manusia dan […] dampaknya, hampir seluruhnya negatif’. Menurut Elden, dampak-dampak tersebut, seringkali erat kaitannya dengan upaya perebutan lahan dan kepemilikan, serta bergantung pada bentuk-bentuk alokasi dan distribusi, yang secara historis spesifik, serta sama-sama merupakan bentuk ekspresi dari kontrol, kekuasaan, dan kekerasan. Kecenderungan-kecenderungan ini, berperan penting dalam sejarah kapitalisme, dan banyak pihak, dalam konteks ini, yang menekankan ketergantungan hakikinya pada logika akumulasi primitif, kekerasan dan pemusnahan. Dengan demikian, hubungan antara penggusuran dan pengusiran dengan perampasan tanah, dan bentuk-bentuk perampasan tanah yang lebih baru, telah terbangun. Sejumlah pakar juga menyoroti munculnya 'settler colonialism' [jenis kolonialisme dimana masyarakat adat di wilayah jajahan, digantikan oleh pemukim yang secara permanen membentuk sebuah masyarakat di wilayah tersebut] sebagai bentuk dominasi dan perampasan yang sangat keji.

Penggusuran paksa, tak semata akibat keputusan atau tindakan individu atau suatu lembaga, melainkan pula bagian dari kumpulan elemen, kondisi, material dan pengetahuan yang lebih luas. Penggusuran paksa seringkali merupakan pengalaman yang sangat traumatis, sehingga perlu perhatian lebih terhadap dampak emosional dan dampak berbeda yang diakibatkan oleh penggusuran paksa. Kini dibutuhkan pandangan kritis yang mengenali dan memperhatikan berbagai aspek afektif dan emosional dari pemusnahan dan perampasan, serta perusakan rumah. Seperti yang diidentifikasi oleh Richardson, ‘Meskipun kerugian fisik dan ekonomi merupakan dampak yang paling nyata dari penggusuran lahan secara paksa, terdapat konsekuensi kesehatan mental yang serius bagi mereka yang mengalami atau berisiko kehilangan lahannya.'
Logika kekerasan yang ada didalamnya, dan diberlakukan melalui penggusuran paksa, juga selalu merupakan kinerja kekuasaan yang rapuh, yang harus berhadapan dengan rakyat dan tempat-tempat yang dilanggar, sebelum, selama dan setelah intervensi. Oleh karenanya, dislokasi emosional dan material yang mendalam, yang diakibatkan oleh hilangnya tempat tinggal, bukanlah gambaran awal sebagai akhir atau penaklukan total, melainkan sebagai lingkungan generatif bagi berbagai bentuk perlawanan dan pembantahan, serta protes terhadap organisasi formal. Baik secara individu atau kolektif, terorganisir atau spontan, penolakan terhadap penggusuran paksa, akan terus menerus mengalami kriminalisasi, dan biasanya dibingkai dengan dalih adanya ancaman keamanan, baik yang potensial ataupun yang nyata, yang katanya, harus diberantas.

Menurut UN-Human Rights, 'Penggusuran paksa merupakan pelanggaran berat terhadap sejumlah hak asasi manusia yang diakui secara internasional, termasuk hak asasi manusia atas perumahan yang layak, makanan, air, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, keamanan pribadi, kebebasan dari tindakan yang kejam dan tak manusiawi, perlakuan yang merendahkan martabat, serta kebebasan bergerak.
Penggusuran paksa seringkali dikaitkan dengan tiadanya jaminan kepemilikan secara hukum, yang merupakan elemen penting dari hak atas perumahan yang layak. Penggusuran paksa mempunyai banyak konsekuensi yang serupa dengan dampak yang diakibatkan oleh perpindahan secara sewenang-wenang, termasuk perpindahan penduduk, pengusiran massal, eksodus massal, pembersihan etnis dan praktik-praktik lain yang melibatkan pemindahan penduduk secara paksa dan tidak sukarela dari tanah dan komunitas mereka.
Akibat penggusuran paksa, masyarakat seringkali kehilangan tempat tinggal dan melarat, tanpa sarana penghidupan dan seringkali tanpa akses yang efektif terhadap upaya hukum atau pemulihan lainnya. Penggusuran paksa memperparah kesenjangan, konflik sosial, segregasi dan selalu berdampak pada kelompok masyarakat termiskin, paling rentan secara sosial dan ekonomi serta terpinggirkan, terutama perempuan, anak-anak, kelompok minoritas dan masyarakat adat.
Dampak penggusuran paksa tak hanya menimbulkan kerugian materi, namun pula, menyebabkan kesenjangan, marginalisasi, dan konflik sosial yang semakin membesar.'

Kita lanjutkan cerita Investor kita, pada sesi berikutnya, bi 'idznillah."

Kemudian, Peace lily pun bersenandung,

Masih sukakah kau mendengar
dengus nafas saudara kita yang terkapar?
Masih sukakah kau melihat
butir keringat kaum kecil yang terjerat
oleh slogan-slogan manis sang hati laknat?
Oleh janji-janji muluk tanpa bukti? **)

Jumat, 22 September 2023

Kebijakan para "Stupid Pricks" (2)

"Keesokan harinya, investor China kita, terserang flu, pilek, demam dan sakit kepala. Bayangin coba, udah ngelepas pakaian dan make sempak doang, eh acara renangnya 'mboten estu.' Terpaan deru angin pantai yang lantam, membuat perutnya berdentam.
Di restoran hotel, sembari mencicipi semangkuk sup asparagus kepiting yang hangat, sang investor mengeluh kepada sang menteri, 'Persatuan Bangsa Bangsa sangat 'concern' dengan pencemaran lingkungan, dan negeri kami sedang memikirkan bagaimana cara menyingkirkan polutan.'
Berusaha berempati, pak menteri merespon, 'Oh kalau begitu, pindahkan aja ke tempat kami, pak. Kami sudah terbiasa kok hidup dengan polutan, friends with benefit dan saling berbagi cuan, ' Peace lily melanjutkan percakapannya dengan Wulandari.

Ia lalu berkata, "Kontaminasi udara, air, atau makanan, sedemikian rupa sehingga menyebabkan kerugian nyata atau potensial terhadap kesehatan atau kesejahteraan manusia, atau merusak, atau merugikan alam bukan-manusia tanpa alasan yang dapat dibenarkan, disebut Pencemaran Lingkungan.
Polusi, menurut I.L. Lada, CP Gerba, dan M.L. Brusseau, adalah akumulasi dan dampak buruk kontaminan atau polutan terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia, dan/atau lingkungan. Kontaminan atau Pencemar dapat dihasilkan dari bahan limbah yang dihasilkan dari aktivitas makhluk hidup, terutama manusia. Namun kontaminasi dapat pula terjadi dari proses alami seperti pelarutan arsenik dari batuan dasar ke dalam air tanah, atau polusi udara dari asap yang dihasilkan dari kebakaran alam. Polutan juga ada dimana-mana karena bisa berbentuk padat, cair, atau gas. Polusi juga dihasilkan sebagai akibat tak langsung dari aktivitas manusia. Misalnya, pembakaran bahan bakar fosil meningkatkan kadar karbon dioksida di atmosfer dan meningkatkan pemanasan global. Golongan polutan lainnya dapat terjadi oleh pengelolaan atau pembuangan limbah yang buruk, sehingga dapat menyebabkan adanya mikroorganisme patogen di dalam air. Contoh lain pencemaran akibat aktivitas manusia adalah tumpahan bahan organik yang dapat menjadi racun secara tak disengaja, seperti pelarut terklorinasi atau hidrokarbon minyak bumi, yang mencemari air tanah. Beberapa kontaminan umum yang masuk ke lingkungan, berpotensi memberikan dampak buruk terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia.

Lingkungan memainkan peran penting dalam menentukan nasib akhir polutan. Lingkungan terdiri atas tanah, air, dan atmosfer. Semua sumber pencemaran, pada awalnya dilepaskan atau dibuang ke salah satu fase lingkungan tersebut. Ketika polutan berinteraksi dengan lingkungan, ia mengalami perubahan fisik dan kimia, dan akhirnya menyatu ke dalam lingkungan. Oleh sebab itu, lingkungan bertindak sebagai sebuah kontinum dimana seluruh bahan limbah ditempatkan. Polutan, pada gilirannya, mematuhi hukum kedua termodinamika: materi tak dapat dimusnahkan; ia hanya diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Jadi, secara keseluruhan, cara zat-zat tersebut ditambahkan ke lingkungan, kecepatan penambahan limbah tersebut, dan perubahan selanjutnya yang terjadi, menentukan dampak limbah terhadap lingkungan. Penting mengenali konsep lingkungan sebagai sebuah kontinum, karena banyak proses fisik, kimia, dan biologi, terjadi tidak dalam salah satu fase tersebut, misalnya di udara saja, melainkan pada antarmuka antara dua fase seperti tanah atau antarmuka air.
Beberapa polutan, seperti mikroba patogen, sepenuhnya alami dan mungkin terdapat di lingkungan dalam konsentrasi yang sangat rendah. Meski begitu, ia tetap mampu menimbulkan penyakit patogen pada manusia atau hewan. Mikroorganisme alami tersebut juga diklasifikasikan sebagai polutan, dan keberadaannya di lingkungan perlu dikontrol secara hati-hati.

Pertanyaan mengenai kapan terjadinya kerugian terhadap alam, masih amat erat kaitannya dengan, sekali lagi, Etika.
Seperti yang engkau ketahui, Etika itu, analisis sistematis tentang Moralitas. Pada gilirannya, Moralitas merupakan persepsi yang kita punyai mengenai apa yang benar dan salah, baik dan buruk, atau, adil dan zalim. Kita semua hidup dengan beragam nilai moral seperti kebenaran dan kejujuran. Ada orang, misalnya, amat mudah berbohong, sementara yang lain, hampir selalu mengatakan yang sebenarnya. Andaikan segala situasi kehidupan semata memerlukan keputusan kapan hendaknya berkata jujur atau kapan harus berbohong, maka Etika tak diperlukan lagi. Namun seringkali, kita mendapati diri kita berada dalam situasi dimana nilai-nilai moral kita bertentangan. Mengatakan yang sebenarnyakah kita kepada rekan kita, dan berisiko menyakiti perasaannya, atau berbohongkah kita dan tidak setia? Bagaimana kita memutuskan apa yang harus dilakukan? Etika memungkinkan kita menganalisis konflik moral tersebut, dan orang yang tindakannya diatur oleh penalaran etis yang reflektif, dengan mempertimbangkan nilai-nilai moral, disebut sebagai 'orang yang beretika.'
Umumnya, kita sepakat di antara kita, agar bersikap 'etis' (yakni, menggunakan analisis reflektif dan rasional tentang bagaimana kita seyogyanya saling memperlakukan), karena dengan melakukan hal tersebut, kita bakal memperoleh dunia yang lebih baik. Jika kita tak peduli dengan moralitas dan etika, dunia bakalan jadi tempat yang memasygulkan. Bayangkan, hidup di lingkungan dimana tiada orang yang bisa dipercaya, dimana segala sesuatu boleh ditilep, dan dimana saling-menyakiti secara fisik di setiap kesempatan merupakan hal yang normal. Kendati, boleh jadi, ada masyarakat di dunia, memang begitu, kita seyogyanya sepakat bahwa kita tak ingin hidup dalam kondisi kayak gitu. Maka, kita sepakat agar hidup rukun dan saling memperlakukan dengan wajar, adil, dan peduli, serta membuat undang-undang yang mengatur isu-isu penting dan bermakna.
Hal yang terpenting bahwa, Etika, hanya masuk-akal bila kita mengasumsikan adanya timbal-balik, reciprocity—kemampuan orang lain mengambil keputusan etis yang rasional. Contohnya, engkau tak mau berbohong kepada rekanmu sebab engkau tak mau ia berbohong kepadamu. Memulai saling-berbohong, akan merobohkan kepedulian dan kepercayaan yang kalian berdua hargai. Oleh karenanya, mengungkapkan kebenaran itu, masuk-akal, karena adanya kontrak sosial yang kita miliki dengan orang lain, dan kita berharap, orang lain ikut berpartisipasi. Jika tidak, kita takkan bergaul dengan mereka, atau bilamana pelanggaran kontrak cukup besar, kita bakal memasukkan mereka ke penjara dan mengeluarkannya dari khalayak.

Sebagian besar sejarah Peradaban kita, ditandai dengan eksploitasi, perusakan, dan ketidakpedulian terhadap lingkungan. Mengapa kita termasuk spesies yang merusak? Beragam argumen telah dikemukakan guna menjelaskan akar dari kecenderungan kita yang merusak lingkungan, termasuk struktur sosial dan ekonomi, dan penerimaan kita terhadap teknologi, bahkan agama.
Menurut J. Jeffrey Peirce, Ruth F. Weiner, dan P. Aarne Vesilind, nampaknya, tak masuk di akal jika kita menyalahkan agama kita atas permasalahan lingkungan hidup, sebab agama menyediakan Etika Lingkungan.
Lalu bagaimana dengan Sains dan Teknologi? Telah menjadi hal yang lazim, menyalahkan penyakit lingkungan pada peningkatan ilmu tentang alam (sains) dan kemampuan menerapkan ilmu tersebut (rekayasa). Selama revolusi industri, gerakan Luddite di Inggris dengan keras menolak perubahan dari industri rumahan menjadi pabrik yang terpusat; pada tahun 1970-an, gerakan 'kembali ke alam' pseudo-Luddite dimaksudkan untuk menolak teknologi sama sekali. Namun, penganut gerakan ini, banyak memanfaatkan hasil teknologi yang mereka hindari, seperti van dan bus bekas, kain sintetis, dan, dalam hal ini, pekerjaan dan uang.
Peirce, Weiner, dan Vesilind menyatakan bahwa orang-orang yang menyalahkan ilmu pengetahuan dan teknologi atas permasalahan lingkungan, lupa bahwa mereka yang memperingatkan kita sejak dini mengenai krisis lingkungan hidup seperti Rachel Carson, Aldo Leopold, dan Barry Commoner, adalah para ilmuwan, yang membunyikan alarm lingkungan hidup sebagai hasil dari observasi ilmiah. Andai kita tak mengamati dan mampu mengukur fenomena seperti kepunahan dan perusakan spesies, dampak herbisida dan pestisida terhadap satwa liar, rusaknya lapisan ozon stratosfer, dan kematian ikan akibat pencemaran air, kita bahkan takkan menyadari apa yang sedang terjadi pada dunia. Pengetahuan kita tentang alamlah, yang mengingatkan kita akan ancaman yang ditimbulkan oleh degradasi lingkungan.
Jika ilmu merupakan pengaburan-nilai, patutkah teknologi disalahkan? Bila demikian, masyarakat yang kurang maju secara teknologi, tentu menghadapi lebih sedikit masalah lingkungan. Ternyata, tidak. Suku Maori di Selandia Baru memusnahkan moa, burung besar yang tak bisa terbang; terdapat banyak penggembalaan berlebihan di Afrika dan di wilayah suku di wilayah Barat Daya Amerika; orang-orang Yunani dan Fenisia kuno, meluluh-lantakkan hutan dan memunculkan gurun dengan mengalihkan air. Namun, teknologi modern, tak semata menyediakan sistem pengolahan air dan udara, melainkan terus mengembangkan cara-cara untuk menggunakan sumber daya alam yang semakin berkurang, secara lebih konservatif. Contohnya, efisiensi pembangkit listrik termal meningkat dua kali lipat sejak Perang Dunia II, teknik pengawetan makanan memperluas pasokan makanan dunia, dan komunikasi modern seringkali menghilangkan kebutuhan akan perjalanan yang memakan banyak energi, dan penggunaan komputer, kenyataannya telah mengurangi penggunaan kertas.

Jika bukan teknologi yang patut disalahkan, mungkinkah ia punya nilai-nilai yang 'keliru', ataukah ia, value-free? Benar atau salahkah, etis atau tidakkah, ilmu itu tanpa penerapannya? J. Robert Oppenheimer menghadapi dilema ini lantaran kurangnya antusiasme dalam mengembangkan bom fusi nuklir. Oppenheimer menganggap senjata semacam itu, bengis. Edward Teller, yang dihargai dengan pengembangannya, menganggap bom hidrogen itu sendiri, buruk atau jahat, namun hendak menjauhkannya dari tangan orang-orang yang berniat jahat (atau apa yang dipandangnya sebagai 'evil intent'). Para pengembang bom atom, walau mempertahankan posisi bahwa bom itu sendiri value-free, namun dengan antusias menggalakkan penggunaan energi atom secara damai sebagai penyeimbang pengembangan senjata pemusnah mereka. Etika teknologi amat erat kaitannya dengan etika penggunaan teknologi, sehingga pertanyaan mengenai nilai etika yang melekat, masih diperdebatkan. Secara berimbang, teknologi dapat digunakan, baik itu tujuan yang bajik maupun yang zalim, bergantung pada etika penggunanya.
Penilaian terhadap etika penggunaan teknologi apapun, bergantung pada pengetahuan dan pemahaman kita terhadap teknologi tersebut. Misalnya, para ilmuwan menyelidiki apakah kedekatan dengan medan listrik dan magnet yang terkait dengan transmisi tenaga listrik, meningkatkan risiko kanker. Jelasnya, etika yang terkait dengan lokasi saluran transmisi bergantung pada hasil penyelidikan ini. Penerimaan atau penolakan teknologi apa pun atas dasar etika, hendaknya bergantung pada pemahaman tentang teknologi tersebut.
Itu bermakna bahwa jika kita ingin membalikkan tren degradasi lingkungan, kita perlu mengubah cara hidup kita, cara kita saling memperlakukan manusia dan lingkungan bukan-manusia. Ide-ide tersebut, dapat dihubungkan dengan apa yang dikenal sebagai Etika Lingkungan.

Etika lingkungan merupakan subkategori Etika. Penetapannya dapat didekati dari tiga perspektif sejarah: etika lingkungan sebagai kesehatan masyarakat, etika lingkungan sebagai konservasi dan pelestarian, dan etika lingkungan sebagai kepedulian terhadap makhluk bukan manusia. Kesehatan masyarakat secara historis dikaitkan dengan pasokan air bagi komunitas manusia. Pemukiman permanen dan pengembangan keterampilan pertanian merupakan salah satu aktivitas manusia pertama yang menciptakan tatanan sosial kooperatif. Kala efisiensi pertanian meningkat, pembagian kerja menjadi mungkin dan masyarakat mulai membangun struktur publik dan swasta. Pasokan air dan drainase air limbah merupakan salah satu fasilitas umum yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia dalam masyarakat, dan ketersediaan air selalu menjadi komponen penting dalam peradaban. Ringkasnya, bentuk etika lingkungan yang pertama ini, menjadikan perusakan sumber daya dan perampasan lingkungan hidup kita, sebagai perbuatan yang tak beretika, lantaran hal tersebut dapat menyebabkan manusia lain menderita penyakit. Keengganan kita membersihkan diri sendiri adalah perbuatan yang tidak etis, sebab tindakan tersebut dapat membuat orang lain sakit atau menghalangi mereka agar sembuh dari penyakit. Oleh karena etika menyangkut kontrak sosial, maka dasar pemikiran etika lingkungan dalam hal ini, ialah, kita tak ingin merugikan orang lain dengan mencemari lingkungan.
Etika lingkungan dalam hal konservasi dan pelestarian menghargai alam, karena kita ingin alam dilestarikan (agar alam dapat terus memberi kita sumber daya) dan dilestarikan (agar alam dapat terus kita nikmati). Pencemaran lingkungan merupakan hal yang buruk, sebab pencemaran tersebut dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat atau karena pencemaran tersebut dapat mengganggu masyarakat, merugikan kita, atau menghalangi kita menikmati alam. Pertama, kita ingin air, udara, makanan, dan tempat tinggal kita, tak tercemar, karena kita tak ingin sakit. Permasalahan kedua, kita tak ingin mengalami polusi, sebab menurunkan kualitas hidup kita. Kita juga tak ingin memusnahkan spesies karena, pertama, spesies ini mungkin berguna bagi kita yang dapat membuat kita tetap hidup lebih lama, atau dalam makna berikutnya, kita menikmati keberadaan spesies ini, sebagai co-inihibitors.
Etika Lingkungan Hidup sebagai kepedulian terhadap alam bukan manusia, cenderung berkaitan dengan Etika Lingkungan Spiritual. Berdasarkan rasionalisasi etika, tak ada argumen yang kuat bagi perluasan komunitas moral. Sebab tiadanya timbal-balik (begitulah argumennya), maka takkan ada etika. Oleh karenanya, kepedulian kita terhadap sifat non-manusia takkan pernah dapat diperdebatkan dan dipertahankan secara rasional. Salah satu kemungkinannya adalah sikap kita terhadap spesies lain dan sifat non-manusia secara umum bersifat spiritual. Etika lingkungan spiritual adalah paradigma baru bagi moralitas lingkungan kita. Tentu saja, perasaan spiritual terhadap alam bukanlah hal baru, dan kita mungkin hendaknya banyak belajar dari agama nenek moyang kita. Banyak agama kuno bersifat animisme, mengakui keberadaan roh di alam. Roh-roh ini tak berwujud manusia, seperti dalam agama Yunani, Romawi, atau Yudaisme.
Sepanjang kita menggunakan etika lingkungan antroposentris dalam mengambil keputusan mengenai lingkungan, konflik antar manusia dapat diselesaikan dengan cara yang tepat waktu dengan kompromi, pemahaman, dan kepentingan bersama.

Boleh jadi, struktur sosial kitalah yang bertanggungjawab atas degradasi lingkungan. Menurut Peirce, Weiner, dan Vesilind, 'The Tragedy of the Commons' karya Garrett Hardin, mengilustrasikan proposisi ini dengan cerita berikut, 'Sebuah desa dengan lahan hijau bagi penggembalaan ternak, dan lahan hijau tersebut dikelilingi oleh rumah-rumah pertanian. Awalnya, setiap petani punya seekor sapi, dan lahan hijau dapat dengan mudah menghidupi kawanannya. Namun setiap petani menyadari bahwa jika ia mendapatkan sapi lagi, maka biaya tambahan sapi yang harus ditanggung oleh peternak, tak berarti apa-apa karena biaya pemeliharaan lahan hijau ditanggung bersama, namun keuntungannya cuma menjadi milik petani. Maka, seorang petani mendapat lebih banyak sapi dan meraup lebih banyak keuntungan, hingga lahan hijau tak dapat lagi menghidupi sapi milik siapa pun, dan sistem tersebut, rontok.'
Hardin menggambarkan hal ini sebagai perumpamaan tentang kelebihan populasi bumi dan akibatnya adalah penipisan sumber daya. Struktur sosial dalam perumpamaan ini adalah Kapitalisme—kepemilikan kekayaan secara individu—dan penggunaan kekayaan tersebut, demi kepentingan Ego. Apakah ini bermakna bahwa perekonomian non-kapitalis (perekonomian yang direncanakan secara keseluruhan dan sebagian) berkinerja lebih baik dalam perlindungan lingkungan, pelestarian sumber daya alam, dan kontrol populasi?
Ambruknya Uni Soviet pada tahun 1991 memberikan sketsa kepada dunia tentang hampir tiadanya perlindungan lingkungan di negara sosialis paling terkemuka di negara maju ini. Kerusakan lingkungan hidup di negara-negara Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (bekas Uni Soviet) jauh lebih serius dibandingkan di negara-negara Barat. Dalam sistem komunis yang sangat terstruktur dan dikontrol secara terpusat, produksi merupakan satu-satunya tujuan dan degradasi lingkungan menjadi tak penting. Selain itu, tentu saja, tiada yang namanya 'opini publik', dan karenanya, tak ada yang angkat bicara mengenai lingkungan. Tatkala produksi dalam perekonomian, yang dikendalikan secara terpusat, menjadi tujuannya, seluruh kehidupan, termasuk kehidupan manusia, diobral dan dapat dicampakkan.
Kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah Rezim Komunis terjadi selama abad ke-20, termasuk deportasi paksa, pembantaian, penyiksaan, penghilangan paksa, pembunuhan di luar proses hukum, teror, pembersihan etnis, dan perbudakan, serta kelaparan yang disengaja. Peristiwa tambahan termasuk penggunaan genosida, konspirasi dalam melakukan genosida, dan keterlibatan dalam genosida.
Masyarakat demokratis di negara-negara maju, sebenarnya telah bergerak secara sadar menuju perlindungan lingkungan dan sumber daya, lebih cepat dibanding negara-negara yang perekonomiannya, terencana sepenuhnya, atau negara-negara yang kurang berkembang. Benjamin A. Valentino menemukan bahwa kebencian atau diskriminasi etnis, sistem pemerintahan yang tak demokratis, dan disfungsi dalam masyarakat, memainkan peran yang jauh lebih kecil dalam pembunuhan massal dan genosida dibandingkan yang diperkirakan secara umum. Ia menunjukkan bahwa dorongan pembunuhan massal biasanya berasal dari segelintir pemimpin yang berkuasa dan seringkali dilakukan tanpa dukungan aktif dari masyarakat luas. Pembunuhan massal, dalam pandangannya, merupakan strategi politik atau militer brutal yang dirancang demi mencapai tujuan terpenting para pemimpin tersebut, melawan ancaman terhadap kekuasaan mereka, dan menyelesaikan masalah-masalah tersulit mereka.
Kita akan lanjutkan perbincangan kita pada sesi selanjutnya, bi 'idznillah."

Setelah itu, Peace Lily pun menembangkan 'Lestari Alamku' karya Gombloh,

Kuingat Ibuku dongengkan cerita
Kisah tentang Jaya Nusantara lama
Tentram Kartaraharja di sana

Mengapa tanahku rawan kini?
Bukit-bukit telanjang berdiri
Pohon dan rumput enggan bersemi kembali
Burung-burung pun malu bernyanyi *)
[Sesi 3]
[Sesi 1]

Kamis, 21 September 2023

Kebijakan para "Stupid Pricks" (1)

“Di Negeri Kepulauan, seorang investor China, didampingi seorang menteri, sedang berjalan-jalan menyusuri pantai di pulau yang akan menjadi Eco City, yang disebut-sebut bagian dari Proyek Strategis Nasional. Sang investor dengan senang-hati hendak berenang di pantai dan bertanya kepada sang Menteri, 'Apa pak Menteri yakin, gak ada hiu di sepanjang pantai ini?'
Berusaha kalem, sang menteri menjawab, 'Oh iyaa, yakin pak. Soalnya, hiu-hiu itu, gak begitu akur dengan para buaya,'" berkata Peace lily kepada Wulandari saat mereka jumpa.

Kembang Peace lily, Spathiphyllum, termasuk famili Araceae, tumbuhan berbunga indah. Banyak orang memelihara kembang Peace lily sebagai tanaman hias indoor karena dikenal mampu menghalau polutan udara yang berbahaya. Sekar ini, menambahkan tetumbuhan hijau yang apik ke ruanganmu, dengan bunga mekar putih nan elegan. Kuncup rekahnya, tampak seperti mengibarkan bendera putih, sehingga tetumbuhan ini acapkali berafiliasi dengan perdamaian dan penyerahan-diri. Ketenangan, kejernihan, dan penyembuhan, beberapa tema umum lain yang terkait dengan sekar Peace lily. Secara spiritual, tanaman ini melambangkan harapan dan tema positif lainnya. Oleh karena menjanjikan bunga baru setiap musim semi, banyak juga yang memandang tanaman ini sebagai simbol pembaruan, sebab terus tumbuh subur sepanjang musim, memunculkan daun dan bunga baru seiring pertumbuhannya. Tanaman penjernih udara ini, karena membersihkan udara dari kontaminan beracun, maka dalam Feng Shui, sekar Peace lily sebenarnya digunakan untuk membawa kebeningan ruangan atau rumah.
Kendati namanya menyertakan 'Lily', namun sebenarnya, ia bukan bunga Lily sejati. Ia berbeda dengan sekar Lili atau bunga Bakung, genus Lilium, namun punya kesan yang sama, keindahan dan kejernihan.

Mari kita simak apa yang disampaikan Peace lily. “Mungkinkah sang investor dan pak menteri sedang membicarakan bumi kita? Dan seburuk inikah keadaannya? Sudah saatnyakah kita mulai menitikkan air mata getir bagi mereka yang terenggut tanah airnya dan sekaligus menimbulkan pencemaran lingkungan? Perkenankan aku menyampaikannya dari awal.
Seluruh komponen makhluk hidup, tidak-hidup, pengaruh dan peristiwa, yang mengelilingi suatu organisme, disebut Lingkungan. Segala sesuatu yang mengelilingi atau mempengaruhi suatu organisme selama masa hidupnya secara kolektif, dikenal sebagai Lingkungannya. Seluruh organisme—mulai dari virus hingga manusia—amat bergantung pada organisme dan lingkungan guna memperoleh makanan, energi, air, oksigen, tempat-tinggal, dan kebutuhan lainnya. Lingkungan tidaklah statis. Baik komponen hidup (biotik) maupun benda mati (abiotik) merupakan faktor yang terus berubah dan silih-berganti.
Komponen biotik adalah tumbuhan hijau, tumbuhan non-hijau, pengurai, parasit, simbion, hewan, dan manusia. Komponen abiotik adalah energi, radiasi, suhu dan aliran panas, air, gas atmosfer dan angin, api, gravitasi, topografi, tanah, dan substrat geologi.
Sekarang, mari kita ambil sebagai contoh, lingkungan ikan di kolam. Lingkungan luar ikan terdiri dari komponen abiotik seperti cahaya, suhu, termasuk air tempat nutrisi, oksigen, gas lain, dan bahan organik terlarut. Lingkungan biotik terdiri dari organisme mikroskopis yang disebut plankton yang juga dipandang sebagai tetumbuhan air, hewan, dan pengurai.
Lingkungan internal ikan tertutup oleh permukaan bagian luar. Lingkungan internal relatif stabil dibandingkan dengan lingkungan eksternal. Namun, hal ini tak sepenuhnya konstan. Cedera, penyakit atau stres yang berlebihan, mengganggu lingkungan internal, semisal ikan laut jika dipindahkan ke lingkungan air tawar, takkan mampu bertahan hidup.

Organisme adalah makhluk hidup individu yang punya kemampuan bertindak atau berfungsi secara mandiri. Ia dapat berupa tumbuhan, hewan, bakteri, jamur, dll. Jasad inilah yang terdiri dari organ, organel, atau bagian lain yang bekerjasama menjalankan beragam proses kehidupan.
Sekelompok organisme yang biasanya berasal dari spesies yang sama, menempati suatu wilayah tertentu selama waktu tertentu, dikenal sebagai Populasi. Laju pertumbuhan penduduk merupakan persentase variasi antara jumlah individu dalam suatu populasi pada dua waktu yang berbeda. Oleh karenanya, laju pertumbuhan penduduk bisa positif atau negatif. Faktor utama yang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk adalah kelahiran dan imigrasi. Faktor utama yang menyebabkan penurunan populasi adalah kematian dan emigrasi. Faktor pembatas utama pertumbuhan suatu populasi adalah komponen abiotik dan biotik. Kepadatan penduduk merupakan hubungan antara jumlah individu suatu populasi dengan luas wilayah yang ditempatinya.

Bila kita memperhatikan sekeliling kita, kita akan melihat bahwa populasi flora dan fauna, jarang terjadi dengan sendirinya. Alasannya cukup jelas. Agar bertahan hidup, individu-individu dari suatu spesies bergantung pada individu-individu dari spesies berbeda, yang berinteraksi secara aktif dalam beberapa cara. Para satwa membutuhkan tumbuhan sebagai makanan dan pohon sebagai tempat berlindung. Para flora membutuhkan hewan untuk penyerbukan, penyebaran benih, dan mikroorganisme tanah guna memperlancar penyediaan unsur hara. Umumnya, Komunitas diberi nama berdasarkan bentuk (spesies) tumbuhan yang dominan. Misalnya: Komunitas padang rumput didominasi oleh rerumputan, meskipun mungkin terdapat tumbuhan, semak, dan pepohonan, serta hewan terkait dari spesies berbeda. Sebuah Komunitas tak bersifat tetap atau kaku; Komunitas, mungkin saja besar atau kecil.
Komunitas yang berukuran besar, terorganisir dengan baik, dan relatif mandiri, disebut Komunitas Utama. Mereka hanya bergantung pada energi matahari dari luar dan tak bergantung pada input dan output dari komunitas-komunitas sekitar, misalnya: hutan tropis yang selalu menghijau di Ekosistem Montane.
Agregasi sekunder dalam komunitas utama, dan oleh karenanya, bukan merupakan unit yang sepenuhnya independen dalam hal dinamika energi dan nutrisi dan bergantung pada komunitas tetangga dan sering disebut Kumpulan atau Komunitas Kecil, misalnya: sekumpulan kerak lumut di atas alas kotoran sapi.

Dalam suatu komunitas, jumlah spesies dan ukuran populasinya sangat bervariasi. Suatu komunitas mungkin mempunyai sebuah atau beberapa spesies. Faktor lingkungan menentukan karakteristik komunitas serta pola pengorganisasian anggota komunitas. Pola karakteristik komunitas disebut sebagai struktur yang tercermin dalam peran yang dimainkan oleh berbagai populasi, wilayah jelajahnya, jenis wilayah yang dihuninya, keanekaragaman spesies dalam komunitas, dan spektrum interaksi di antara mereka.

Ada perbedaan antara ekologi, lingkungan dan ekosistem. Lingkungan dimaknai sebagai hubungan komponen-komponen yang ada di sekitarnya, sedangkan ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara organisme dan lingkungannya. Lingkungan menyediakan tempat bagi unsur-unsur, sedangkan ekosistem menyediakan interaksi antar unsur.
Akar ekologi terletak pada Sejarah Alam, yang usianya, sama tuanya dengan peradaban manusia. Sejak awal sejarah, manusia telah ikut-serta dalam ekologi dengan cara yang praktis, secara sadar dan tidak sadar. Dalam masyarakat primitif, setiap individu dituntut memiliki pengetahuan yang mendalam tentang lingkungannya bagi kelangsungan hidupnya, yaitu tentang kekuatan alam dan tumbuhan serta hewan di sekitarnya.

Satu kesatuan struktural dan fungsional biosfer yang terdiri dari komunitas makhluk hidup dan lingkungan fisik, baik yang berinteraksi maupun bertukar materi di antara keduanya, disebut Ekosistem. Ini mencakup tumbuhan, pohon, hewan, ikan, burung, mikroorganisme, air, tanah, dan manusia.
Ekosistem sangat bervariasi dalam ukuran dan elemennya, namun masing-masing ekosistem merupakan unit alam yang berfungsi. Segala sesuatu yang hidup dalam suatu ekosistem bergantung pada spesies dan elemen lain yang juga merupakan bagian dari komunitas ekologi tersebut. Jika salah satu bagian ekosistem rusak atau hilang, maka akan berdampak pada bagian lainnya. Manakala suatu ekosistem sehat (berkelanjutan) berarti semua elemen hidup dalam keseimbangan dan mampu bereproduksi. Ekosistem bisa sekecil satu pohon atau seluas seluruh hutan.
Setiap ekosistem mampu mempertahankan keadaan keseimbangannya. Mereka dapat mengatur struktur spesies dan proses fungsionalnya sendiri. Kapasitas ekosistem untuk mengatur dirinya sendiri dikenal sebagai homeostatis. Barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem meliputi: penyediaan pangan, bahan bakar dan serat; penyediaan tempat berlindung dan bahan bangunan; pemurnian udara dan air; detoksifikasi dan penguraian limbah; stabilisasi dan moderasi iklim bumi; moderasi banjir, kekeringan, suhu ekstrim dan kekuatan angin; pembentukan dan pembaharuan kesuburan tanah, termasuk siklus unsur hara; penyerbukan tanaman, termasuk banyak tanaman; pengendalian hama dan penyakit; pemeliharaan sumber daya genetik sebagai masukan utama untuk varietas tanaman dan bibit ternak, obat-obatan, dan produk lainnya; serta manfaat budaya dan estetika.

Keterkaitan antara organisme dan lingkungan di darat membentuk 'Ekologi Terestrial', termasuk Tundra—'lahan tandus' lantaran terdapat di tempat yang kondisi lingkungannya sangat buruk—dan ekosistem hutan, termasuk kumpulan kompleks berbagai jenis komunitas biotik. Kondisi optimal seperti suhu dan kelembaban tanah, bertanggungjawab atas terbentuknya komunitas hutan. Penebangan pohon secara sembarangan sebagai akibat dari urbanisasi, industrialisasi, operasi penambangan, dan penggunaan kayu bagi keperluan rumahtangga dan keperluan lainnya, telah menyebabkan penggundulan hutan secara besar-besaran, Deforestasi.
Salah satu penyebab Deforestasi adalah perladangan berpindah. Dalam praktik ini, sebidang lahan dibuka, tetumbuhan dibakar, dan abunya dicampur dengan tanah sehingga menambah unsur hara pada tanah. Sebidang tanah ini digunakan bercocok-tanam selama dua hingga tiga tahun, tapi hasilnya tak seberapa. Setelah itu, kawasan ini ditinggalkan dan dibiarkan memulihkan kesuburannya, dan praktik yang sama terulang di tempat lain di bidang lahan baru. Yang diperlukan dalam metode budidaya ini hanyalah seperangkat peralatan sederhana, bukan mekanisasi tingkat tinggi. Proyek pembangunan seperti proyek pembangkit listrik tenaga air, bendungan dan waduk besar, pembangunan jalur kereta api dan jalan, memang sangat bermanfaat, namun juga terkait dengan beberapa masalah lingkungan. Banyak dari proyek-proyek ini, memerlukan deforestasi besar-besaran.
Deforestasi juga diakibatkan oleh penggembalaan berlebihan, pertanian, pertambangan, urbanisasi, banjir, kebakaran, hama, penyakit, aktivitas pertahanan dan komunikasi. Deforestasi mengakibatkan penurunan permukaan air tanah secara langsung dan penurunan curah hujan dalam jangka panjang. Karena Deforestasi, siklus penggunaan kembali secara alami terputus dan air sirna melalui limpasan yang cepat.
Aktivitas penambangan di kawasan hutan menyebabkan deforestasi dan erosi tanah. Penambangan bawah tanah, telah pula menyebabkan penggundulan hutan dengan sangat berarti, karena kayu digunakan menopang atap galeri tambang. Sejumlah besar tambang yang terbengkalai berada dalam kondisi yang buruk dan mengalami erosi parit yang parah, sehingga menyebabkan degradasi habitat.

Ekosistem yang terdiri dari air sebagai habitat utama disebut Ekosistem Perairan. Organisme akuatik termasuk Neuston—organisme tak terikat yang hidup di antarmuka air dan udara seperti tumbuhan terapung, dll; Plankton mencakup tumbuhan mikroskopis seperti alga (fitoplankton) dan hewan seperti krustasea dan protozoa (zooplankton) yang ditemukan di semua ekosistem perairan, kecuali perairan tertentu yang bergerak cepat; Nekton mencakup hewan dengan berbagai ukuran mulai dari serangga perenang (panjang sekitar 2 mm) hingga hewan terbesar, paus biru; Benthos, organisme bentik adalah organisme yang ditemukan hidup di dasar perairan.
Eutrofikasi merupakan suatu sindrom ekosistem, respon terhadap penambahan unsur hara buatan atau alami seperti nitrat dan fosfat melalui pupuk, limbah, dan lain-lain, yang menyuburkan ekosistem perairan. Hal ini terutama disebabkan oleh pencucian pupuk yang mengandung fosfat dan atau nitrat dari lahan pertanian ke danau atau sungai. Eutrofikasi pada akhirnya menciptakan lapisan detritus di kolam dan danau, serta menghasilkan kedalaman air permukaan yang semakin dangkal. Puncaknya, badan air direduksi menjadi rawa yang komunitas tumbuhannya diubah dari lingkungan akuatik menjadi ekosistem darat yang dapat dikenali.

Dari Individu, meningkat menjadi populasi, kemudian menjadi Komunitas, dan lalu menjadi Ekosistem, lantas menjadi Ekoton. Ekoton merupakan zona pertemuan antara dua atau lebih ekosistem yang beragam. Semisal hutan bakau mewakili ekoton antara ekosistem laut dan darat. Contoh lain adalah—faktor fisik dan kimia padang rumput, muara, dan tepi sungai, yang dibutuhkan suatu spesies agar bertahan hidup, tetap sehat, dan bereproduksi.
Dua spesies yang mempunyai habitat yang sama namun berfungsi ekologi tersendiri, nisia atau niche, bersifat unik bagi suatu spesies, maknanya, tiada dua spesies yang memiliki nisia yang persis sama. Nisia memainkan peran penting dalam konservasi organisme. Jika kita hendak melestarikan spesies di habitat aslinya, kita seyogyanya punya pengetahuan tentang persyaratan nisia spesies tersebut dan hendaknya memastikan bahwa semua persyaratan nisia tersebut, dipenuhi.
Nah, dari Ecoton ini, kemudian berkembang menjadi Biosfer, bagian bumi dimana ada kehidupan. Inilah lapisan sempit di sekitar permukaan bumi. Andai kita membayangkan bumi seukuran apel, maka biosfernya akan setebal kulitnya.
Kehidupan di biosfer berlimpah, antara 200 meter (660 kaki) di bawah permukaan laut dan sekitar 6.000 meter (20.000 kaki) di atas permukaan laut. Biosfer mewakili zona yang sangat terintegrasi dan berinteraksi, yang terdiri dari atmosfer (udara), hidrosfer (air) dan litosfer (darat). Biosfer tak ada di ujung kutub Utara dan Selatan, gunung tertinggi dan lautan terdalam, lantaran kondisi tak bersahabat yang ada di sana, tak mendukung kehidupan. Terkadang spora jamur dan bakteri, terdapat pada ketinggian melebihi 8.000 meter, namun spora tersebut tak aktif secara metabolik, sehingga cuma mewakili kehidupan yang tak aktif.
Energi yang dibutuhkan bagi kehidupan di biosfer berasal dari matahari. Nutrisi yang diperlukan untuk organisme hidup berasal dari udara, air dan tanah. Bahan kimia yang sama didaur-ulang berulangkali agar kehidupan dapat berlanjut.
Organisme hidup tak tersebar merata di seluruh biosfer. Hanya sedikit organisme yang hidup di wilayah kutub, sedangkan hutan hujan tropis punya keanekaragaman flora dan fauna yang sangat kaya (50% dari Keanekaragaman Hayati Global (Global Biodiversity)).

Tingkatan-tingkatan ini, yaitu dari individu hingga biosfer, merupakan tingkatan utama organisasi dalam ekologi. Pertambahan atau penambahan secara berlebihan suatu bahan tertentu terhadap lingkungan fisik (air, udara, dan tanah) sehingga menjadi kurang memadai atau tak layak ditinggali, disebut dengan Pencemaran. Polutan adalah bahan atau faktor yang menimbulkan dampak buruk terhadap kualitas alam suatu komponen lingkungan. Misalnya, asap dari industri dan mobil, bahan kimia dari pabrik, zat radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir, limbah rumah tangga, dan barang-barang rumah tangga yang dibuang, merupakan polutan yang umum. Dan bagaimana polusi mempengaruhi biosfer? Polusi udara dapat merusak tanaman dan pepohonan dengan berbagai cara. Ozon di permukaan tanah dapat menyebabkan berkurangnya hasil panen pertanian dan hutan komersial, berkurangnya pertumbuhan dan kelangsungan hidup bibit pohon, dan peningkatan kerentanan tanaman terhadap penyakit, hama, dan tekanan lingkungan lainnya (seperti cuaca buruk).
Kita akan lanjutkan perbincangan kita pada sesi selanjutnya, bi 'idznillah."

[Sesi 2]

Sabtu, 02 September 2023

Cerita Bonsai Kimeng

"Tiga bonsai sedang duduk di kedai kopi. Cemara Hinoki—spesies pohon cemara yang berasal dari Jepang tengah di Asia Timur, dan dibudidayakan secara luas di belahan bumi Utara yang beriklim sedang karena kayunya yang berkualitas tinggi dan kualitas hiasnya, pohon yang tumbuh lambat dengan banyak kultivar yang tersedia secara komersial; Trident Maple—spesies maple asli Tiongkok bagian Timur, merupakan pohon gugur berukuran kecil hingga sedang; dan pohon Beech Amerika—fagus grandifolia, pohon besar yang berganti daun, spesies pohon beech yang berasal dari Amerika Serikat bagian Timur.
Fagus mengeluh, 'Gua pengen banget keluar dari pot. Gua merasa sesak dan pebonsaiku teruus aja ngecilin dan ngedeketin daun-daun gua. Gua gak tahan hidup seperti ini.'
Maple berkomentar, 'Menurut gua, itu ide yang hebat, Fagus. Menetap di ruang terbuka luas, bakal bikin loe berkembang. Kalo loe perlu bantuan, ngomong ajah.'
Hinoki berkata, 'Menurut gua, itu ide busuk, Fagus. Loe diberi makan dan minum secara teratur. Loe dibawa masuk saat cuaca dingin. Kok bisa-bisanya, loe ngedukung Fagus, Maple. Loe gugurin daun loe dan terlalu cepat jadi gemuk.'
Maple menjawab, 'Setidaknya, gua gak bakalan nangis lagi karena kurang sinar matahari dan ngegugurin daun gua. Lagian, sekarang gua ada dibelakang Fagus,' berkata Kimeng, sebuah bonsai beringin, memulai percakapannya dengan Wulandari.
Beringin Kimeng atau Kinmen, ficus microcarpa, yang dikenal dengan nama Chinese Banyan atau Gajumari, merupakan salah satu tanaman yang banyak digandrungi para kolektor bonsai, lantaran bentuknya yang sangat indah, dan semakin tua, harganya makin mahal. Umumnya, bonsai kimeng ditanam pada pot yang cukup ceper. Oleh sebab itu, media tanamnya perlu dilakukan penggantian secara berkala. Ada yang menarik di negeri Konoha, agar mendapatkan bonsai kimeng yang besar, tidaklah mudah, membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga membuat bonsai kimeng yang besar, dilakukan dengan cara menggabungkan beberapa pohon menjadi satu. Cara ini cukup efektif, ukuran pohon yang diinginkan dapat diperoleh dalam jangka waktu yang tak terlalu lama. Yaa, samalah seperti partai-partai di negeri Konoha yang berkoalisi guna melewati ambang batas 20% pencalonan presiden.

“Bonsai sebenarnya terjemahan bahasa Jepang, 'pohon dalam pot',” lanjut Kimeng. “Namun, seni bonsai berasal dari Tiongkok. Pada abad ke-12 Tiongkok, pohon dan batu diletakkan di atas tembikar seperti piring dan disebut bonsan atau bonkariyama. Konon, beberapa lelaki tua sedang duduk di sebuah restoran Chinese Food yang mereka percayai, makan bebek asam-manis yang enak, lalu memikirkan apa yang harus dilakukan setelah makan nanti. Internet belum ada, jadi mereka harus mencari hobi lain. Dari situlah muncul ide menanam pohon dalam pot. Setelah sadar bahwa ada beberapa masalah saat memasukkan pohon ke dalam pot seukuran aslinya, mereka mulai mencobanya sebagai versi miniatur. Yang ini, berjalan cukup baik dan pohon-pohon tersebut bertambah banyak penggemarnya. Namun, seringkali, pohon-pohon ini bukan pohonnya sendiri, melainkan versi miniatur lanskap yang dikreasi-ulang dan diupayakan tampak seperti aslinya.
Selanjutnya, tatkala seni 'pohon di atas piring atau nampan' ini diperkenalkan ke Jepang, seni ini berkembang menjadi bentuk yang kita sebut 'bonsai', dan menjadi praktik hortikultura yang umum sepanjang zaman Edo atau Tokugawa, periode terakhir Jepang tradisional, masa perdamaian internal, stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonomi di bawah keshogunan (kediktatoran militer) yang didirikan oleh Tokugawa Ieyasu. Apa yang umumnya dilakukan orang Jepang, berbeda dengan orang Tiongkok, yaitu kesempurnaan itu sendiri. Orang Jepang lebih memperhalus pepohonannya dan mengembangkan bentuk gaya khusus.

Seni berkebun dalam wadah, dinikmati di seluruh dunia, namun bonsai membawa tanaman dan wadah menjadi 'satu-kesatuan' yang memungkinkan kita mengapresiasi keindahan lanskap yang lengkap, namun tetap berisi. Tak mungkin menghadirkan kemegahan alam dalam skala besar ke dalam sebuah ruang, namun dapat menghiasi rumah kita dengan rasa kekhidmatan, keanggunan, dan keheningan, yang merupakan pesona penting pohon bonsai. Meniru pohon-pohon yang telah bertahan selama bertahun-tahun terhadap angin, hujan, dan salju, bonsai—dengan cabang-cabangnya yang berkelok-kelok, akar yang tebal, kulit kayu yang kasar, dan 'batang' putih yang muncul dari kematian dan kelahiran kembali musim demi musim—merupakan sebuah karya dunia alam yang unik dan mandiri. Ia mewujudkan filosofi dan keahlian yang telah lama dihargai oleh orang Jepang. Ia merupakan tindakan 'pemujaan alam' yang secara harmonis sesuai dengan seluruh karakteristik empat musim.
Cara tradisional Jepang memajang bonsai, dengan menciptakan penataan yang harmonis di ruang terbatas, yang dalam arsitektur disebut Alcove, semacam ruang kecil. Dekorasi alcove disebut tokokazari. Sekikazari, yang secara harafiah bermakna 'menghias tempat duduk', mengacu pada penataan bonsai di suatu area khusus sebagai pajangan bonsai.
Hiasan alcove terdiri dari tiga elemen: pohon induk, bonsai pengiring (sebagai aksen), dan gulungan gantung. Jika pohon utamanya tumbuhan runjung, bunga dan rerumputan yang menyertainya harus mewakili musim. Pohon induk diletakkan sedemikian rupa sehingga mengalir ke arah gulungan gantung, dan meja tinggi serta pelat tanah diletakkan di bawah bonsai. Pilih gulungan gantung (atau hiasan dinding lain di ruang yang tak terlalu tradisional) yang melengkapi pohon utama dengan baik. Sekikazari merupakan susunan dua bagian yang terdiri dari pohon utama dan aksennya.
Sebagai latarbelakangnya, ada prinsip keharmonisan yang telah digunakan selama beberapa generasi. Di sisi lain, terdapat beragam penataan yang disesuaikan dengan ruang hidup modern, seperti apartemen. Engkau mendapatkan hasil yang indah bila engkau mengingat prinsip-prinsip dasarnya, namun bagaimana engkau menerapkan ide-ide tersebut, terserah padamu.

Sekarang, mengapa engkau ingin punya satu atau lebih bonsai? Jawabannya, hasrat. Namun pertama-tama, engkau seyogyanya menyadari bahwa pohon itu, bahkan bonsai, makhluk hidup. Punya perasaankah pohon itu atau tidak, belakangan ini memang belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Emang sih, aku belum pernah melihat pohon menangis saat mendengarkan seorang artis yang menembangkan lagu sendu. Tapi, pohon kan makhluk hidup juga. Kalau kita tak menjaganya, ia bakalan mati. Kalau tak mendapat air dari kita, bonsainya bakalan mati. Bila kita tak memberikan pupuk, pastinya tak bakalan berkembang jadi bonsai yang kita anggap dahsyat.

Sebelum kita membahas pohon-pohon kecil, mari kita mulai dengan kakak-kakaknya. Kita tak boleh lupa bahwa bonsai sebenarnya tak lain adalah abang dan empoknya atau mas dan mbakyune. Dalam bonsai, semuanya lebih kecil proporsinya, tetapi idealnya tak kalah dengan pohon besar dalam hal apa pun. Kita sekarang sampai pada aspek penting dari berkebun bonsai. Karunia mengamati detail dan, jika perlu, menerapkannya di pohon milikmu sendiri. Engkau akan tahu dari pengalaman bahwa engkau pasti takkan menjadi pembunuh massal pohon jika engkau punya tip yang satu ini: Perhatikan baik-baik pepohonan di alam dan kemudian lakukan semuanya dengan cara yang sama dalam skala kecil pada bonsai.
Sebagai seorang menungso, engkau memulai dengan lebih seperti seorang penggali. Engkau membeli tanaman dengan harga murah lalu memotongnya dengan tekun. Sampai engkau memahami bahwa pertama-tama, engkau seyogyanya memperhatikan pohon-pohon besar dan baru mulai dari pohon-pohon kecil. Sebelum kita memotong sesuatu sampai mati, pertama-tama kita harus pergi ke alam terbuka dan melihat bagaimana keadaan di sana.
Saat engkau berjalan ke dalam hutan melihat beberapa pohon, engkau akan mengira bahwa semua pohon, baik jenis tumbuhan konifera atau runjung maupun tumbuhan peluruh, yang daunnya sering gugur, tumbuh hampir sama dan hanya ukurannya yang berbeda. Namun jika engkau melihat lebih dekat, engkau akan melihat bahwa pepohonan mempunyai sebuah rencana. Bentuk pertumbuhannya tak jauh berbeda, tapi selalu berusaha menangkap cahaya sebanyak mungkin. Dalam seni bonsai, bentuk pertumbuhan ini disebut 'style' dan hanya menggambarkan apa yang engkau perhatikan saat ini.

Alam itu sendiri sangat cerdik dan engkau cuma perlu mengamatinya dengan cermat agar memahami apa yang terbaik bagi pohon tersebut. Sekarang engkau telah mengetahui bahwa pohon mengikuti 'style' untuk mendapatkan manfaat maksimal bagi dirinya dalam bentuk nutrisi dan cahaya. Dan ya, akan ada pohon dalam kehidupan desain bonsaimu, yang tak ingin tumbuh sesuai keinginanmu. Namun, ketidaksempurnaan juga bisa menjadi sangat indah, tergantung pada mata pengamatnya. Nah, apa lagi yang engkau dengar saat melihat pohon? Mungkin tak ada apa-apa, bukan? Tepatnya, aspek ini penting bagi seni menyuntingmu pada pohon-pohon kecil. Engkau akan memindahkan kenikmatan 'yang tiada,' ke dalam pot dan pohon. Semakin baik keberhasilanmu, semakin sempurna pohonnya. Hobi ini bukan tentang ego yang besar, mesin bersuara nyaring, atau pertandingan tinju yang dipicu oleh testosteron, tetapi orang yang berhasil mengkreasikan bonsai, membawamu sangat dekat dengan tempat yang engkau dambakan: hutan dan kedamaian yang menyertainya. Sekarang mari kita lakukan latihan yang baik guna memahami perspektif bonsai. Duduklah di depan pohon pilihannu, rasakan perspektif dalam bonsai. Sekarang, dapatkah engkau melihat batang, daun, akar, dan dahan di depanmu? Bagus, dan sekarang engkau harus memikirkan pot seperti apa yang sesuai bagi penghuni hutan besar ini. Latihan ini bukan tentang pohon dan bagaimana engkau menebangnya, melainkan, yang pertama, adalah tentang mengenali jenis pot yang mungkin engkau identifikasi.

Sekarang, biarkan otakmu mempelajari hal yang berkaitan dengan bonsai. Pohon mini seharusnya memicu perasaan yang sama dalam dirimu seperti saat engkau duduk di bawah kakak besarnya. Artinya, pada dasarnya seperti model miniatur kereta api. Engkau berusaha mereproduksi apa yang ada dalam skala berbeda dan lebih kecil, sedetail dan seakurat mungkin. Namun, kontras dengan model miniatur kereta api, model masa depanmu adalah makhluk hidup dan terus berkembang. engkau tak boleh bilang, 'Oh, pohon bonsaiku sudah selesai, aku akan membiarkannya seperti ini'. Pohon itu, terus tumbuh dan berkembang di bawah perawatanmu, dan jika engkau tak melakukan apa pun atau melakukan intervensi, alam mengambilnya kembali dan membiarkan pohon itu tumbuh liar dan melintang dengan sangat cepat. Engkau tak perlu memupuk model kereta api atau menyiramnya setiap hari. Cepat dan sederhana, dengan hobi yang akan engkau temukan, banyak hal akan berbeda. Engkau akan mengetahui perasaan baru terhadap alam dan prosesnya, dan engkau akan menyadari bahwa engkau menjadi pecandu pohon.

Pohon-pohon kecil itu, dan kawat, biasanya amat dekat, terutama dalam hal pembentukan cabang atau batang. Tapi mari kita mulai dari awal dengan penjelasannya. Mengapa pohon bonsai dikawatkan? Sebab pohon bonsai itu, makhluk hidup yang menyukai matahari, acapkali, cabang-cabangnya tumbuh pada sudut yang tak menguntungkan atau berubah bentuk. Bila engkau tak dapat mengembalikan pohonnya ke kondisi semula, dengan berbagai teknik pemangkasan khusus, engkau tak punya banyak pilihan selain menggunakan kawat. Kawat bonsai yang bisa dibeli di toko khusus biasanya terbuat dari bahan alumunium atau tembaga. Keuntungan yang jelas dari jenis kawat ini tentu saja kemudahannya dalam membengkokkan dan berjalan dengan baik. Ada, atau kadang-kadang juga, kawat yang terbuat dari baja, tapi ini praktis tak pernah digunakan. Baja punya kelemahan, yaitu sulit ditekuk, dan kerugian yang jauh lebih besar, yakni karat. Butuh waktu yang cukup lama hingga karat hilang dari dahan atau batangnya, lagipula, terlihat bodoh jika bonsaimu terlihat berkarat. Ada banyak literatur di pasaran tentang cara memasang kawat pada pohon yang akan di bonsai dengan benar. Namun teori, berada di satu sisi, dan di sisi lain, bagaimana berlatih cara memasang kawat dengan presisi bersama instruktur bonsai di daerah sekitarmu. Tak terlalu sulit, tapi memerlukan latihan dan instruktur yang dapat menunjukkan cara memasang kawat dengan benar. Misalnya, jika kawatnya terlalu kencang, engkau akan mendapat masalah setelah beberapa saat.

Tujuan akhir menumbuhkan Bonsai ialah membuat representasi alam yang mini namun realistis, dalam bentuk pohon. Tujuan akhir Bonsai adalah mengkreasikan gambaran alam yang realistis. Saat Bonsai semakin kecil (bahkan hingga beberapa inci/sentimeter), ia semakin abstrak, dan tak menyerupai persis seperi alam. Bonsai bukanlah tanaman yang kerdil secara genetik, faktanya, spesies pohon apa pun dapat digunakan untuk menanamnya. Bonsai terbaik—baik komposisi pohon tunggal maupun multi-tanaman atau lanskap batuan—menyentuh kita, bikin kita memperhatikan, menghentikan kita saat mereka menangkap pengalaman dan imajinasi kita, guna menunjukkan sesuatu yang baru.
Batang yang tebal, kulit kayu yang bertekstur, perpaduan antara kayu hidup dan kayu mati yang saling berpilin, akar di permukaan, percabangan dahan dan ranting yang halus, bantalan dedaunan, daun atau jarum yang relatif kecil, wadah yang saling melengkapi dan relatif dangkal, buah atau kerucut atau bunga yang kecil—semata beberapa fitur yang dapat digunakan guna membantu melukiskan lanskap miniatur.
Tak semuanya diperlukan atau dimungkinkan dalam satu komposisi tertentu, dan tak dapat dimasukkan begitu saja "hanya karena". Seorang perajin ulung sejati tahu, merasakan apa yang dibutuhkan. Dan ciptaannya juga menyentuh kita. Mahakarya sejati itu mahakarya yang, saat kali pertama engkau melihatnya, dapat membuatmu takjub dan tersenyum sejenak."

“Aku rasa, aku takkan membahas bonsai terlalu dalam,” kata Kimeng, “yang hendak kusampaikan adalah filosofi Pohon Bonsai menyoroti pentingnya mempertahankan karakter uniknya. Karakter yang muncul kendati menjalani proses arahan dari pebonsainya. Keberhasilan Pohon Bonsai terletak pada kealamiannya. Keterlibatan manusia dalam bonsai dapat dilihat sebagai upaya menangkap kekuatan alam dari pohon-pohon raksasa dan merangkumnya menjadi tanaman-tanaman kecil, dengan tetap mempertahankan keindahan alaminya.
Maka, saat melihat bonsai, berdirilah di depannya dan lihat dulu keseluruhan suasananya, termasuk pot dan mejanya, sebelum beralih ke detailnya. Kemudian perhatikan bagian tengah tinggi pohon, mulai dari akar, pucuk, batang, hingga dahan, daun, dan bunganya.
Ilustrasi yang kusebutkan, menunjukkan sebuah pohon tua yang besar. Tanjakan dari pangkal ke cabang pertama merupakan lengkungan lembut yang tampaknya telah melewati banyak badai berangin, kulit kayu yang kasar memberi kesan usia lanjut dan dedaunan memberikan kesan vitalitas. Bentuknya dari akar hingga menanjak seperti punggung gunung.
Bonsai dibudidayakan dan dikelola dengan hati-hati oleh tangan manusia, dan ada yang telah dilatih selama ratusan tahun. Rasa keantikan, vitalitas dan keterampilan yang digunakan menciptakan benda-benda ini, terlihat jelas. Jika engkau mempunyai pohon muda, engkau dapat memvisualisasikan bagaimana, dengan hati-hati, ciri-cirinya akan berkembang. Bonsai sangat ideal saat pohon masih dalam bentuk sempurna (full season), karenanya musim gugur dan musim dingin merupakan waktu yang penting. Jadi, bonsai yang dimuliakan itu, ibarat seorang lanjut usia, yang telah lama merasa terbiasa dengan ritme kehidupan. Wallahu a'lam.”

Sang fajar memberi isyarat, ia membawa paket bonsai lengkap, pot bonsai, kerikil dan lumut moss, serta bunga Sakura mini. Wulandari beranjak pergi seraya melantunkan tembang Sukiyaki-nya Kyu Sakamoto,

上を向いて歩こう
ue o muit arukou
[Kulihat ke atas saat berjalan]
にじんだ星をかぞえて
nijinda hosi o kazoete
[Menghitung bintang yang kabur]
思い出だす 夏の日
omoidasu natsunohi
[Kuteringat saat-saat musim panas itu]
一人ひとりぽっちの
hitoribochi no yoru
[Tapi malam ini aku sendirian saja]

幸せは 雲くもの上に
shiawase wa kumo no uweni
[Bahagia ada di atas awan]
幸せは 空の上に
shiawase wa sora no uweni
[Bahagia ada di langit] *)
Kutipan & Rujukan:
- Gilles Kroeger, The Ultimate Bonsai Book for Men, 2021, Amazon Europe
- Bonsai Sekai Magazine, Introduction to Bonsai: The Complete Illustrated Guide for Beginners, 2015, Tuttle Publishing
- Michael Tran, Happy Bonsai: Chose It, Shape It, Love It, 2020, Penguin
*) 上を向いて歩こう, Ue o Muite Arukō (Aku akan Berjalan sambil Melihat ke Atas, judul alternatifnya "Sukiyaki") karya Rokusuke Ei untuk liriknya, dan komposer Hachidai Nakamura.