Peace lily melanjutkan, '"Dalam sebuah sel penjara, dua orang narapidana sedang ngobrol. Yang senior—yang lebih duluan masuk penjara—berpetuah kepada yang yunior—yang baru saja masuk penjara, 'Petuah pertama gua,' kata sang senior, 'cuma ada dua aturan di penjara ini, cuy. Dengerin baik-baik! Satu: Loe kagak boleh nulis di dinding. Dua : Loe mesti taatin semua aturan di sini.''Dan petuah gua yang kedua, 'Loe gak bisa ngejadiin manusia seperti seekor domba yang berdiri di atas kaki belakangnya. Taapiii ... dengan membuat sekawanan domba dalam posisi seperti itu, loe bisa ngumpulin banyak orang.'"Kemudian Peace Lily meneruskan, 'Investor kita bertanya kepada Pak Menteri, 'Negara ... sampaikan padaku Pak Menteri, mengapa ada Negara?''Pada awalnya, secara historis, ada koloni, ketika koloni-koloni ini memutuskan bersatu, maka muncullah negara,' jawab pak menteri. 'Dalam beberapa tahun terakhir, makin banyak tulisan yang mencuat tentang teori dan struktur negara. Namun, pandangan-pandangan tersebut, sangat beragam dan saling bertentangan mengenai ciri-ciri utama peran dan fungsi negara. Memang sih, gak ada definisi yang disepakati secara universal mengenai makna konsep tersebut.Menurut James McAuley, salah satu ciri yang telah disepakati ialah, pentingnya negara, yang pada abad kesembilan belas, telah menjadi aktor politik utama di sebagian besar negara maju. Puncaknya di Inggris, negara berjanji bakalan langsung turun tangan merawat dan memberikan dukungan bagi warganya, sejak lahir hingga masuk ke liang lahat. Namun, selama 30 tahun terakhir, ideologi, sifat dan bentuk intervensi negara, telah berubah secara dramatis.Pengembangan-pengembangan sentral telah menunjukkan adanya ‘penggerogotan’ kekuasaan negara, yang merupakan serangkaian upaya menuju peran negara yang lebih bersifat mengatur dan mengurangi cawe-cawe. Hal ini terjadi oleh latarbelakang meningkatnya privatisasi dan liberalisasi pasar.Kita dapat memahami negara melalui dua cara utama. Pertama, sebagai aparatur pemerintahan dalam suatu wilayah geografis tertentu; dan kedua, sebagai sistem sosial yang tunduk pada seperangkat aturan atau dominasi tertentu. Kendati Hall dan Ilkenberry menegaskan bahwa terdapat banyak perbedaan pendapat, mereka berpendapat bahwa definisi majemuk negara, mencakup tiga ciri utama. Seperangkat institusi yang dikelola oleh personel negara, di pusat wilayah yang dibatasi secara geografis, dimana negara mempunyai penguasaan atas pembuatan aturan.Walau terdapat kesulitan dalam mencapai kesepakatan mengenai definisi negara, ada satu hal yang jelas, bahwa negara, berpengaruh langsung terhadap seluruh kehidupan kita. Yang terpenting, melalui lembaga-lembaga utamanya, kita sebagai individu acapkali merasakan bahwa kita mengalami negara modern dengan cara yang sangat berbeda dengan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat kita. Berlainan dengan konsep negara yang samar-samar dan terkadang gak jelas, keluarga, misalnya, seringkali dipandang sebagai bagian yang lebih langsung kita alami. Kita merasa, kita mengetahuinya secara langsung. Kita semua bisa memberikan definisi yang ‘masuk akal’ tentang apa itu keluarga, atau setidaknya, apa yang seharusnya. Sebagian besar merasa bahwa mereka berada dalam posisi mengomentari hubungan dalam keluarga, serta fungsi dan peran yang hendaknya dijalankan. Hal ini tak berlaku bagi negara. Kerapkali, negara dicelik sebagai hal yang amat abstrak, atau pada tingkat yang masuk akal, sebagai sesuatu yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, yang mulai memaksakan kehendaknya dari atas, melalui birokrasi yang terpisah dan tak dapat diakses.Namun, negara belum tentu mengambil peran intervensionis secara terang-terangan guna menegakkan kehendaknya. Sebaliknya, negara memainkan peran penting dalam menentukan perilaku apa yang dapat diterima, dan yang terpenting, apa yang tak dapat diterima secara sosial. Akan tetapi, sebagian besar negara masih ‘tak menyukai’ bentuk-bentuk kehidupan alternatif lain. Negara terkadang juga dapat secara langsung menggunakan kekuatan hukum guna menyokong pandangannya. Secara lebih luas, sistem jaminan sosial, sistem perpajakan, tunjangan finansial, dan lembaga intervensi sosial, masih disusun berdasarkan pandangan yang dominan. Negara juga berupaya mengidentifikasi secara ideologis apa yang bersifat politis dan apa yang tak bersifat politis. Hal ini setidaknya dapat dilakukan dengan menetapkan apa yang dianggap sah dan apa yang tidak sah, apa yang legal dan apa yang ilegal, siapa saja yang ‘pantas’ dan ‘tak pantas’. Yang paling esensial, ia terjadi dengan menentukan apa yang dianggap sebagai ranah publik dan ranah privat.Negara merupakan objek sosial yang bersifat immaterial dan nonfisik, negara dapat eksis tanpa adanya masyarakat, lantaran negara hanyalah sebuah konstruksi belaka. Akan tetapi, ada juga masyarakat yang negaranya tak terlalu maju. Bahkan ada beberapa masyarakat yang mungkin masuk akal disebut sebagai masyarakat ‘stateless’. Suku Nuer di Sudan Selatan dan suku Jale di dataran tinggi New Guinea, merupakan dua contoh masyarakat semacam itu. Hal ini sering kali didasarkan pada perekonomian pemburu-pengumpul dan tak memerlukan koordinasi sejumlah besar orang, atau mengendalikan penggunaan sumber daya yang tersimpan, dalam suatu wilayah tertentu. Oleh karenanya, mereka cenderung tak bergantung pada organisasi pusat atau mempunyai organisasi negara yang dapat dikenali. Demikian pula, masyarakat agraris berskala kecil, meski sering beroperasi di lokasi geografis yang tetap, jarang mempunyai batas-batas atau organisasi politik yang jelas.Namun, itu bukan berarti bahwa masyarakat seperti itu, tak mempunyai mekanisme regulasi politik. Sesungguhnya jauh dari itu. Jika kita mempertimbangkan struktur sosial lain dalam masyarakat non-industri, misalnya, kita dapat menemukan kelompok yang lebih besar, yang seringkali berbahasa dan berbudaya yang sama, dan biasanya, beroleh makanan dari cocok-tanam dan ternak hewan. Masyarakat seperti ini, terorganisir secara politik dalam beragam cara. Struktur keluarga dan kekerabatan, adat dan tradisi, atau otoritas pemimpin agama, boleh jadi berperan penting dalam pengaturan perselisihan dan struktur politik. Dewan desa atau kelompok tetua, seringkali mengambil keputusan mengenai masalah-masalah publik, dan mungkin pula, memantau hubungan kekerabatan dan keturunan.Di tempat lain, kesultanan melibatkan pemeringkatan masyarakat dan otoritas terpusat. Kepala suku adalah pewaris jabatan, dan menjalankan serangkaian peran administratif: seperti penyalur sumber daya, penentu sistem hukum, dan bahkan mungkin pejabat keagamaan. Kita juga dapat menemukan contoh-contoh masyarakat non-industrialisasi yang konsep negaranya agak lebih maju. Dalam hal ini, masyarakat diakui sebagai warga negara dari unit politik yang ditentukan secara teritorial, dan status yang diperoleh berdasarkan garis keturunan menjadi kurang bermakna. Organisasi negara, sebagaimana adanya, mengelilingi wewenang kendali pusat, koordinasi dan penataan berbagai kelompok sosial, misalnya budak, birokrat, pendeta, dan politisi.Negara itu sendiri, tentu saja, mengalami perubahan bentuk seiring berjalannya waktu. Di Eropa, embrio nation-state muncul sekitar abad ke-15, dan mencapai bentuk utuhnya pada abad ke-19. Nation-state yang terbentuk sejak saat itu, sebagian besar terdiri dari ‘banyak orang’ atau ‘rakyat’, yang menyatakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, dan berada dalam wilayah ‘kedaulatan’. Lebih lanjut, mereka mengklaim hak untuk mempertahankan batas-batas geografis tertentu dari penyerang, baik yang nyata maupun yang dibayangkan, terlepas dari siapa yang sebenarnya memerintah wilayah tersebut. Selain itu, dalam nation-state modern, pemerintah dipandang punya wewenang atas suatu wilayah dan merupakan kekuasaan tertinggi di dalamnya. Nation-state modern menandai penggantian penguasa absolut dengan seperangkat aturan yang dikelola oleh birokrasi yang diorganisir oleh negara. Di sinilah negara dipandang memperoleh legitimasi.Negara relatif baru dalam istilah umat manusia, dan terlebih lagi nation-state. Bentuk aslinya terutama merupakan kekaisaran kuno, Asyur, Mesir, Minoa, Mycenean, Makedonia, yang merupakan contoh nyata, atau city-state seperti yang ditunjukkan oleh rezim di Babilonia, Athena, Sparta, dan Roma.Perkembangan negara bertepatan dengan perkembangan fenomena sosial krusial lainnya. Hal ini termasuk bahasa tertulis, pertumbuhan manajemen terpusat atas surplus produksi ekonomi, dalam bentuk perpajakan dan penggunaan kekuatan negara yang ‘sah’ dan terorganisir untuk melindungi diri dari ancaman internal dan musuh eksternal. Yang juga penting dalam perkembangan negara-negara tersebut adalah bahwa mereka memiliki sistem kepercayaan atau ideologi yang terpusat, biasanya dalam bentuk agama negara. Para pemimpin mereka diberi status seperti dewa, atau kekuatan para dewa sebagai agen mereka. Seringkali, pengelola negara paling awal merupakan pendeta di negara yang berdasarkan teodisi.Dalam setiap masyarakat, individu mengenal sistem politik dengan cara yang kerap menyusun reaksi mereka terhadap peristiwa politik dan persepsi mereka tentang politik. Dalam hal ini, masyarakat, pada tingkat tertentu, diharuskan ‘mempelajari’ apa itu isu politik dan politik. Kebanyakan orang menjalani hidup mereka dengan berpegang pada ideologi politik mereka sendiri, nilai-nilai, pemahaman dan keyakinan mereka sendiri. Hal ini, tentu saja, biasanya tak konsisten dari waktu ke waktu, terdiri dari campuran kepentingan pribadi, 'kebenaran' yang terbukti dengan sendirinya, ideologi yang tak konsisten atau semata dipahami sebagian, titik referensi yang dipersonalisasi, pengalaman sejarah hidup dan interaksi dengan individu lain, organisasi dan kelompok, yang bermotivasi 'politik'.Salah satu titik awal yang penting adalah pertimbangan tentang bagaimana individu dalam suatu masyarakat mempelajari apa yang bersifat politis dan apa yang tidak. Demikian pula, masyarakat juga harus memahami apa yang relevan dan tak relevan secara politik pada saat tertentu.Dalam masyarakat kita, kekuasaan ada dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Karenanya, Anthony Giddens berpendapat bahwa kekuasaan, dapat dilihat sebagai kapasitas transformasi pada seluruh manusia. Hal ini memungkinkan orang turut campur tangan dalam berbagai peristiwa di seluruh dunia, guna mengubahnya. Namun, dalam upaya mengembangkan konsep sosiologis tentang kekuasaan, kita juga hendaknya menyadari bahwa tindakan agen manusia terwujud dalam gambaran hubungan sosial yang sangat berbeda. Hal ini mengarahkan kita secara langsung mempertimbangkan pentingnya konsep kekuasaan.Michael Mann berpendapat bahwa kekuasaan muncul terus-menerus dalam masyarakat manusia. Lebih lanjut ia mengidentifikasi empat sumber kekuasaan organisasi sebagai berikut: Kekuatan Ideologis, yang muncul dari kenyataan bahwa manusia berupaya beroperasi berdasarkan makna, norma, dan ritual. Ideologilah yang memenuhi kebutuhan ini. Dengan demikian, kekuatan ideologis bisa bersifat ‘transenden’, berdiri terpisah dari masyarakat dengan cara yang sakral, seperti agama, atau ‘imanen’, disebarkan ke seluruh masyarakat melalui kohesi kelompok dan rasa keanggotaan bersama;Kekuatan Ekonomi, yang berasal dari produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi. Hal ini paling baik diungkapkan melalui struktur kelas;Kekuatan Militer dari persaingan demi kelangsungan hidup fisik. Hal ini menghasilkan kontrol langsung dalam pusat yang terkonsentrasi dan efek pemaksaan tak langsung terhadap wilayah sekitarnya;Kekuatan Politik, yang berasal dari penguasaan suatu wilayah fisik dan penduduknya melalui peraturan yang dikelola secara terpusat, terkonsentrasi didalam sebuah negara.Jadi, dapat dikatakan secara argumentatif bahwa seluruh negara modern merupakan nation-states, dengan aparatus politik yang berbeda, memegang yurisdiksi tertinggi atas wilayah teritorial yang dibatasi, didukung oleh klaim monopoli kekuasaan yang bersifat memaksa, dan menikmati tingkat loyalitas minimum dari warga negaranya.Karakteristik yang lebih menentukan dari sebuah nation-state ialah bahwa sebagian besar dari mereka yang hidup dalam batas-batasnya dan terstruktur oleh sistem politiknya, merupakan warga negara dari negara itu, dengan hak dan kewajiban yang secara langsung berkaitan dengan negara tersebut. Nation-state modern sering disamakan dengan konsep ‘nasionalisme’ yang lebih luas. Namun keduanya, sesungguhnya sama sekali tak sama.Jelasnya, masyarakat tak semata mengakui negara, mereka ‘meyakini’ pula negara dan memandangnya punya peran yang ‘sah’ dalam kehidupan sehari-hari. Kebanyakan dari mereka, menerima haknya, walau terkadang dengan enggan, mengatur dan mengendalikan kehidupan mereka sehari-hari. Mayoritas menghormati setidaknya beberapa lembaganya: Pemerintah; Parlemen; Pengadilan; Polisi; serta Tentara. Sebagian besar sadar bahwa mereka tak lagi hidup di bawah kekuasaan penguasa yang amat berkuasa, namun mereka menetap dalam sebuah nation-state, yang hukum, ketertiban, dan politiknya, telah menjadi upaya yang sangat terspesialisasi. Politisi, contohnya, secara berkala menawarkan diri guna mendapatkan dukungan rakyat atas hak mengendalikan kebijakan publik serta strategi dan sumber daya negara. Polisi dan Tentara diberi wewenang oleh negara untuk menggunakan kekuatan guna menjaga ketertiban internal dan melindungi batas-batas negara dari ancaman eksternal.""Boleh jadi," Peace lily hendak mengakhiri perbincangan, 'obrolan investor kita dan pak menteri, masih panjang, baik secara terang-terangan maupun diam-diam. Tapi, mari kita cukupkan ceritanya dan perkenankan aku menyampaikan apa kata Robert Nozick, bahwa, tanpa negara, kita bakal menyaksikan para mafia laksana geng yang berusaha memeras uang 'perlindungan' dari semua orang. Pada akhirnya, satu geng akan menjadi geng yang dominan dan menekan semua geng yang bersaing. Keadaan ini bakal memunculkan monopoli atas penggunaan kekerasan, demi memaksa ketaatan. Gak bahaya ta? Wallahu a'lam.'"Sang fajar telah tiba, ia membawa tiga bingkai lukisan, yang pertama, lukisan seekor kuda putih dengan segala bebannya; kedua, sepeda balap klasik dengan segala aturannya yang kaku; dan terakhir, sketsa lukisan yang unik, sebuah skuter Vespa dengan senyum dan kejenakaannya. Waktunya berangkat, Peace lily dan Wulandari saling dadah, keduanya pun mengalunkan tembangnya Enya,One by one, my leaves fall[Satu per satu, daun-daunku berguguran]One by one, my tales are told[Satu per satu, dongengan-dongenganku tersampaikan]My oh my! She was aiming too high ****)[Ya ampyun! Bidikannya ketinggian]
Kutipan & Rujukan:
- Shankar IAS Academy, Environment, 2018, Shankar IAS Academy Book Publications.
- Richard P.F. Holt, Steven Pressman, and Clive L. Spash (Ed.), Post Keynesian and Ecological Economics: Confronting Environmental Issues, 2009, Edward Elgar Publishing Limited
- Ian L. Pepper, Charles P. Gerba, Mark L. Brusseau (Ed.), Environmental Pollution Science, 2006, Elsevier
- Daniel J. Phaneuf & Till Requate, A Course in Environmental Economics: Theory, Policy and Practice, 2016, Cambridge University Press.
- S.A. Smith, The Oxford Handbook of the History of Communism, 2014, Oxford University Press
- Robert Service, Comrades! A History of World Communism, 2007, Harvard University Press
- David Levinson (Ed.), Encyclopedia of Homelessness Vol. 1 & 2, 2004, Sage Publications
- Katherine Brickel, Melissa Fernández Arrigoitia and Alexander Vasudevan (Ed.), Geographies of Forced Eviction: Dispossession, Violence, Resistance, 2017, Palgrave
- Megan Ravenhill, The Culture of Homelessness, 2008, Ashgate
- James W. McAuley, An Introduction to Politics, State and Society, 2003, Sage Publications
- Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia, 2013, Basic Books
*) "Lestari Alamku" karya Gombloh
**) "Willy" karya Iwan Fals
***) "Spectre" karya Jesper Borgen, Anders Froen, Tommy Laverdi, Gunnar Greve, Alan Olav Walker, Lars Kristian Rosness & Marcus Arnbekk
****) "One By One" karya Roma Ryan, Eithne Ni Bhraonain & Nicky Ryan
[Sesi 4]
[Sesi 1]