Rabu, 11 Oktober 2023

Cerita Bunga Tulip Hitam (2)

"Lalu, Presiden otokrat kita berkata, 'Bagaimana engkau tahu kapan engkau menua? Aku sungguh percaya bahwa usia itu, semata apa yang ada didalam benakmu. Aku mengenal seorang octogenarian, orang yang berbaya delapan puluh tahunan, yang punya antusiasme dan dorongan energi yang lebih besar dibanding orang lain, yang berusia separuh umurnya. Aku juga demikian akrab dengan orang-orang berusia tiga puluhan dan empat puluhan, yang nampak sudah menjejakkan sebelah kakinya di liang kubur.'
'Tapi pak Presiden,' sang jurnalis menyela, 'apa saja tanda-tanda peringatannya, yang merupakan indikator bahwa tahun-tahun tersebut, mungkin akan segera menyusul Bapak?'
Sembari menggaruk-garuk kepala, pak Presiden berkata, 'Yaa ... mungkin anak dan menantumu, berusaha menyalakan lilin kue ulang tahunmu, tapi lilinnya padam oleh hembusan angin. Atau engkau menelepon petugas ambulans dan ia memberitahukan alamatmu. Atau engkau mulai kehilangan harapan menyelesaikan Biografimu. Atau engkau tak mau lagi membeli pisang-ijo. Dan atau ... engkau menganggap, guyonan 'semakin tua' itu, gak lucu.'"

"Let's carry on!" kata Tulip. "Dunia terkadang bukanlah tempat yang menyenangkan atau adil, kata Jeffrey Pfeffer, dan walau engkau telah beroleh kedudukan yang engkau inginkan, engkau harus mengerahkan upaya dan menunjukkan kesabaran, serta ketangguhan antarpribadi guna melakukannya—bertahan dengan orang-orang yang pada awalnya tak terlalu menghargai kemampuanmu. Mengapa tak menjauh saja dari kekuasaan, menundukkan kepala, dan menerima apa yang terjadi dalam hidupmu?
Akan tetapi, hampir semua hal bisa dilakukan guna mencapai posisi kekuasaan. Engkau dapat menempatkan dirimu pada posisi berkuasa, biarpun dalam keadaan yang paling tak terduga, asalkan engkau punya keterampilan atau kompetensi yang diperlukan.

Trus, mengapa engkau hendaknya menginginkan Kekuasaan? Pertama-tama, punya kekuasaan berkaitan dengan hidup lebih lama dan lebih sehat. Kala Michael Marmot meneliti angka kematian akibat penyakit jantung di kalangan pegawai negeri sipil Inggris, ia melihat sebuah fakta menarik: semakin rendah pangkat atau derajat pegawai negeri sipil, semakin tinggi risiko kematian yang disesuaikan dengan usia. Tentu saja, banyak hal yang bergantung pada posisi seseorang dalam hierarki organisasi, termasuk frekuensi merokok, kebiasaan makan, dan lain sebagainya. Namun, Marmot dan rekan-rekannya, menemukan bahwa, hanya sekitar seperempat dari variasi angka kematian yang diamati, dapat dijelaskan oleh perbedaan peringkat dalam merokok, kolesterol, tekanan darah, obesitas, dan aktivitas fisik. Yang penting ialah, kekuasaan dan status—hal-hal yang memberikan orang kendali lebih besar atas lingkungan kerja mereka. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat kendali pekerjaan, semisal otoritas pengambilan keputusan dan keleluasaan dalam menggunakan keterampilan seseorang, memprediksi risiko kejadian dan kematian akibat penyakit arteri koroner selama lima tahun atau lebih ke depan. Faktanya, seberapa besar kendali pekerjaan dan status seseorang, menyebabkan lebih banyak variasi kematian akibat penyakit jantung dibandingkan faktor fisiologis seperti obesitas dan tekanan darah.
Temuan ini semestinya tak mengejutkanmu. Ketidakmampuan mengendalikan lingkungan, menghasilkan perasaan tak berdaya dan stres, dan perasaan stres atau 'di luar kendali' dapat membahayakan kesehatanmu. Maka, bila berada dalam posisi dengan kekuasaan dan status yang rendah, memang berbahaya bagi kesehatanmu, dan sebaliknya, punya kekuasaan dan kendali yang menyertainya, bakalan memperpanjang umurmu.

Kedua, kekuasaan, dan visibilitas serta status yang menyertai kekuasaan, dapat menghasilkan kekayaan. Rudy Giuliani, setelah masa jabatannya sebagai walikota New York City, menjadi mitra di sebuah perusahaan konsultan keamanan, dan melalui perusahaan tersebut dan biaya pidatonya, ia dengan cepat mengubah status ekonominya menjadi lebih baik. Meski tak semua kekuasaan dimonetisasi—baik Martin Luther King Jr. maupun Mahatma Gandhi, tak memperdagangkan keselebritian mereka agar mendapatkan kekayaan besar—namun potensinya selalu ada.

Ketiga, kekuasaan merupakan bagian dari kepemimpinan dan diperlukan untuk menyelesaikan sesuatu—baik hal tersebut memerlukan perubahan sistem layanan kesehatan, transformasi organisasi agar menjadi tempat kerja yang lebih manusiawi, atau mempengaruhi dimensi kebijakan sosial dan kesejahteraan manusia. Para pemimpin selalu sibuk dengan kekuasaan.
Kekuasaan diinginkan oleh banyak orang, walau tak semua orang, sebab kekuasaan dapat memberikan manfaat dan juga sebagai tujuan tersendiri. Psikolog sosial, David McClelland, menulis tentang kebutuhan akan kekuasaan. Walau kekuatan motif kekuasaan tersebut, jelas berbeda-beda antar individu, seiring dengan kebutuhan agar berprestasi, McClelland memandang pencarian kekuasaan sebagai dorongan fundamental manusia, yang ditemukan pada orang-orang dari berbagai budaya. Jika engkau hendak memperoleh kekuasaan, engkau akan lebih bahagia jika melakukannya, dengan syarat efektif dalam pengembaraannya.
Agar efektif dalam menemukan jalan menuju kekuasaan dan benar-benar menggunakan apa yang engkau pelajari, pertama-tama, engkau seyogyanya melewati tiga hambatan utama. Dua hal pertama adalah keyakinan yang keliru bahwa dunia ini, semata sebuah tempat yang adil, dan bahwa formula kepemimpinan itu, diwariskan secara turun-temurun. Kendala ketiganya, dirimu sendiri.

Keyakinan bahwa dunia ini adil, punya dua dampak negatif yang besar terhadap kemampuan memperoleh kekuasaan. Pertama, hal ini menghalangi kemampuan orang agar belajar dari segala situasi dan semua orang, bahkan dari orang yang tak mereka sukai atau hormati. Banyak orang berkomplot dalam penipuan mereka sendiri mengenai dunia organisasi dimana mereka tinggal. Hal ini lantaran masyarakat lebih memilih percaya bahwa dunia merupakan tempat yang adil dan setiap orang mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan. Dan karena orang-orang cenderung berpikir bahwa mereka sendirilah yang berhak, mereka berpikiran bahwa jika mereka melakukan pekerjaan dengan baik dan berperilaku pantas, segala sesuatunya akan beres dengan sendirinya.
Kedua, keyakinan bahwa dunia ini tempat yang adil, menjadikan masyarakat perlu bersikap proaktif dalam membangun basis kekuatan. Disebabkan oleh keyakinan bahwa dunia ini adil, banyak orang tak memperhatikan berbagai ranjau darat di lingkungan yang dapat menghambat karier mereka.

Kendala berikutnya, yang perlu engkau atasi ialah literatur kepemimpinan. Jangan secara otomatis menerima saran dari para pemimpin. Mungkin akurat, tapi kemungkinan besar cuma demi kepentingan diri sendiri. Orang memutarbalikkan fakta. Sebuah studi menemukan bahwa dari 1.000 resume, terdapat lebih dari 40 persen kesalahan penyajian yang substansial. Oleh karenanya, jika ada pejabat publik yang bakal menjadi yuri namun masih cawe-cawe, dan doi bilang, 'He eh, gue bakalan netral!' Akankah engkau seketika percaya padanya begitu saja? O-em-ji, plis dong ah ... 
Yang semestinya engkau percayai adalah kajian-kajian ilmu sosial yang mengulurkan bantuan tentang cara memperoleh kekuasaan, mempertahankannya, dan menggunakannya. Dan engkau seyogyanya meyakini pengalamanmu sendiri: Perhatikan orang-orang di sekelilingmu, yang berhasil, yang gagal, dan yang cuma menyepak air. Cari tahu apa yang berbeda dari mereka dan apa yang mereka lakukan secara berbeda. Itulah cara yang bagus guna membangun kompetensi diagnostikmu—sesuatu yang berguna agar menjadi orang yang mampu bertahan dalam organisasi.

Hambatan besar ketiga agar memperoleh kekuasaan adalah, believe it or not, dikau, dirimu. Masyarakat kerapkali menjadi musuh terbesar bagi dirinya sendiri, dan bukan hanya dalam arena membangun kekuasaan. Hal ini sebagian lantaran orang ingin merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan mempertahankan citra diri yang positif. Dan ironisnya, salah satu cara terbaik bagi orang-orang agar mempertahankan harga-diri mereka adalah dengan menyerah terlebih dahulu atau melakukan hal-hal lain yang malah menghalangi mereka.
Ada banyak literatur penelitian tentang fenomena ini—yang disebut 'self-handicapping'. Logikanya tampak sederhana. Orang ingin merasa nyaman dengan diri-sendiri dan kemampuannya. Tentu saja, pengalaman kegagalan apa pun akan membahayakan harga-diri mereka. Namun, jika seseorang dengan sengaja memilih melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kinerjanya, maka penurunan kinerja berikutnya dapat dianggap tak mencerminkan kemampuan bawaannya.
Terdapat bukti bahwa kecenderungan melakukan self-handicap merupakan perbedaan individu dan memprediksi sejauh mana orang berdalih tentang kinerja mereka. Tak mengherankan, penelitian menunjukkan bahwa perilaku self-handicapping berdampak negatif terhadap kinerja tugas selanjutnya. Oleh karenanya, keinginan kita agar melindungi citra diri kita dengan menempatkan hambatan eksternal dalam diri kita hingga kita dapat mengaitkan kemunduran apa pun dengan hal-hal di luar kendali kita, sebenarnya berkontribusi terhadap kinerja yang kurang baik. Camkanlah gagasan tentang self-handicapping ini—engkau akan lebih berpikiran terbuka dan juga lebih mungkin benar-benar mencoba beberapa hal yang engkau pelajari.

Masyarakat sering mengira bahwa kualitas apa pun yang dibutuhkan agar membangun jalan menuju kekuasaan, baik engkau memilikinya atau tidak, sekurang-kurangnya saat engkau telah dewasa. But change is always possible. You can change, too. Kreativitas terbaik adalah hasil dari kebiasaan dan kerja-keras. Tentu saja, setiap orang mempunyai kepribadian dan atribut individu yang berasal dari kombinasi genetika dan pola asuh. Namun mengubah atribut individu secara strategis menjadi lebih efektif secara pribadi, adalah mungkin dan diinginkan.
Menanyakan tentang kualitas orang-orang yang telah berkuasa dapat membingungkan apakah kualitas tersebut menciptakan pengaruh ataukah konsekuensi dari memegang kekuasaan. Ada dua dimensi pribadi mendasar dan tujuh kualitas yang secara logis dan empiris terkait dengan menghasilkan kekuatan pribadi. Dua dimensi mendasar yang membedakan orang-orang yang mencapai prestasi tinggi dan mencapai hal-hal menakjubkan adalah 'kemauan', dorongan untuk menghadapi tantangan besar, dan kemampuan yang dibutuhkan untuk mengubah ambisi menjadi pencapaian, yang menurut Pfeffer, keterampilan, tapi aku lebih suka memilih kompetensi. Tiga kualitas pribadi yang terkandung dalam kemauan adalah ambisi, energi, dan fokus. Empat keterampilan yang berguna untuk memperoleh kekuasaan adalah pengetahuan diri dan pola pikir reflektif, kepercayaan diri dan kemampuan menunjukkan rasa percaya diri, kemampuan membaca orang lain dan berempati dengan sudut pandang mereka, serta kemampuan menoleransi konflik. Hal-hal inilah faktor penentu mengapa tak semua orang bisa punya Kekuasaan.

'There is no free lunch.' Nothing comes without cost, and that is certainly true of power. Orang-orang yang mencari dan memperoleh kekuasaan seringkali harus membayar mahal atas upaya mereka, mempertahankan posisi mereka, dan menghadapi transisi yang sulit namun tak bisa dihindari agar keluar dari peran mereka yang berkuasa. Maka, ada pelajaran penting: engkau akan menjadi objek perhatian terus-menerus dari rekan kerja, bawahan, atasan, dan media.
Bukan hanya hal-hal besar yang menarik perhatian ketika engkau berkuasa. Memegang posisi berkuasa bermakna lebih dari sekedar kinerja pekerjaanmu yang diawasi dengan cermat—walaupun hal itu juga terjadi. Setiap aspek kehidupanmu, termasuk caramu berpakaian, di mana engkau tinggal, bagaimana engkau menghabiskan waktu, dengan siapa engkau memilih menghabiskan waktu, apa yang dilakukan anak-anakmu, apa yang engkau kendarai, bagaimana engkau bertindak dalam bidang yang sama sekali tak berhubungan dengan pekerjaan, bakalan menarik perhatian.

Orang-orang tertarik dengan reputasi dan citra mereka. Akibatnya, mereka menghabiskan waktu untuk pencitraan. Kebutuhan menghabiskan waktu dan sumber daya lainnya, dalam pemeliharaan citra, meningkat seiring dengan meningkatnya pengawasan publik. Dan waktu yang dihabiskan melakukan pengawasan dan mengatur penampilan adalah waktu yang tak dapat digunakan untuk melakukan aspek lain dari pekerjaan seseorang.
Di bawah tekanan agar 'berpenampilan baik', masyarakat dan perusahaan enggan mengambil risiko atau berinovasi, dan memilih melakukan apa yang aman-aman saja.

Pada awalnya, dalam peran yang kuat, semua tuntutan atas perhatianmu, tampak menyanjung—bagaimanapun juga, sangat menyenangkan jika banyak orang ingin bertemu denganmu. Oleh karenanya, orang-orang yang baru saja dipromosikan, cenderung kewalahan dengan tuntutan waktu dari pekerjaan mereka yang lebih berkuasa. Karena tak ingin menolak permintaan dari kelompok dan individu yang dukungannya mungkin mereka perlukan dan perhatiannya mereka hargai, orang-orang yang berkuasa dapat dengan mudah mendapati diri mereka kelebihan jadwal dan bekerja terlalu lama, sesuatu yang menghabiskan energinya dan membuatnya tak mampu mengatasi tantangan-tantangan tak terduga dalam pekerjaan mereka.

Membangun dan mempertahankan kekuasaan membutuhkan waktu dan usaha, tiada cara ganda untuk melakukannya. Waktu yang dihabiskan bagi pencarian kekuasaan dan status merupakan waktu yang tak dapat engkau habiskan bagi hal lain, seperti hobi atau hubungan pribadi dan keluarga. Perjuangan guna mendapatkan kekuasaan, acapkali menimbulkan dampak buruk pada kehidupan pribadi seseorang, dan meskipun setiap orang harus menanggung akibatnya, dampaknya mungkin sangat berat bagi kaum perempuan.

Ingatlah kebenaran sederhana ini: semakin tinggi jabatanmu dan semakin kuat posisi yang engkau tempati, semakin besar pula jumlah orang yang menginginkan pekerjaanmu. Akibatnya, memegang posisi dengan kekuatan besar menimbulkan masalah: siapakah yang engkau percayai? Beberapa orang akan berusaha menciptakan peluang bagi diri mereka sendiri melalui kejatuhanmu, namun mereka tak akan terbuka mengenai apa yang mereka lakukan. Yang lain akan mencoba menjilatmu dengan memberitahukanmu apa yang menurut mereka ingin engkau dengar sehingga engkau akan menyukai mereka dan mendukung mereka maju. Dan yang lain, akan melakukan keduanya.

Menjadi figur publik dan tampil di level tinggi memerlukan intensitas yang menghasilkan, dalam kata-kata Nick Binkley, 'kafein tinggi'. Saat engkau meninggalkan posisi tersebut dan tingkat aktivitas tersebut berhenti, seperti dikatakan Binkley, 'laksana sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan sembilan puluh mil per jam, lalu berhenti total.'
Kekuasaan itu membuat ketagihan, baik secara psikologis maupun fisik. Ketergesaan dan kegembiraan karena turut dalam diskusi penting dengan tokoh-tokoh senior dan dorongan ego karena memiliki orang-orang yang siap membantumu, adalah hal yang sulit dihilangkan, bahkan jika engkau secara sukarela memilih pensiun atau keluar dan bahkan jika engkau memiliki lebih banyak uang daripada yang engkau bisa belanjakan. Dalam budaya yang terobsesi dengan kekuasaan dan selebriti, 'di luar kekuasaan' bermakna berada di luar pusat perhatian, jauh dari aksi, dan hampir tak terlihat. Inilah transisi yang sulit dilakukan. Oleh karenanya, beberapa eksekutif berusaha menghindari peralihan ke peran yang kurang berkuasa. Engkau tak harus serta merta menghindari kekuasaan, namun penting mengenali potensi kerugiannya. Keseimbangan antara keuntungan dan kerugian merupakan sesuatu yang hendaknya dipertimbangkan oleh setiap individu dalam memutuskan keterhubungannya dengan kekuasaan.

Lantas, bagaimana—dan mengapa—orang kehilangan kekuasaan? Walau seusai mencapai posisi puncak yang kuat, tetap berada di puncak, bukanlah jaminan. Meskipun tak dapat dihindari bahwa setiap orang pada akhirnya akan kehilangan kekuasaan—kita semua menjadi tua dan meninggalkan jabatan kita—namun tak dapat dihindari bahwa orang-orang akan kehilangan kekuasaan sesering atau secepat yang mereka alami.
Pepatah lama yang berbunyi, 'Power corrupts', sebagian besar benar, walau mungkin kata 'corrupt' bukanlah kata yang tepat. Psikolog sosial Berkeley, Dacher Keltner dan rekan-rekannya berbicara tentang kekuasaan yang mengarah pada perilaku 'pendekatan'—yaitu orang-orang secara lebih aktif berusaha mendapatkan apa yang mereka inginkan—dan mengurangi 'hambatan', atau kecenderungan mengikuti aturan dan batasan sosial yang mungkin membatasi apa yang dilakukan orang demi mencapai tujuan mereka. Perilaku seperti ini, merupakan konsekuensi logis dari apa yang menimpa orang-orang yang berkuasa. Mereka yang patuh dan kurang berkuasa menyanjung yang berkuasa agar tetap berada di sisi baik mereka. Mereka yang punya kekuasaan akan mengabulkan keinginan dan permintaannya. Mereka terbiasa mendapatkan apa yang mereka inginkan dan diperlakukan seolah-olah mereka istimewa. Walau pihak yang berkuasa mungkin sadar bahwa perlakuan khusus datang dari posisi yang mereka duduki dan sumber daya yang mereka kendalikan, seiring berjalannya waktu, pemikiran ini memudar.

Studi tentang dampak kekuasaan terhadap pemegang kekuasaan secara konsisten menemukan bahwa kekuasaan menghasilkan rasa percaya-diri dan pengambilan risiko  yang berlebihan, ketidakpekaan terhadap orang lain, stereotip, dan kecenderungan melihat orang lain sebagai sarana kepuasan pemegang kekuasaan.
Salah satu pelajaran dari semakin banyak penelitian mengenai dampak kekuasaan adalah betapa sedikitnya upaya yang diperlukan agar membuat orang mberpola pikir kekuasaan, yang mana mereka terbawa-bawa dalam segala jenis perilaku yang tak pantas dan kasar. Semata membuat mereka berpikir tentang saat mereka berkuasa dan mampu mendapatkan apa yang mereka inginkan (berbeda dengan membuat mereka berpikir tentang saat mereka punya sedikit kekuatan dan tak berdaya) atau memberi mereka kendali sederhana atas imbalan yang tak berarti dalam kelompok orang asing, sepertinya sudah cukup. Rasa percaya-diri dan ketidakpekaan yang berlebihan, menyebabkan hilangnya kekuasaan, sebab orang menjadi terlalu percaya-diri, sehingga tak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang rasa-permusuhannya, dapat menimbulkan masalah bagi mereka.

Di saat engkau amat kuat dan sukses, engkau terlalu percaya diri dan kurang jeli—dan salah satu manifestasi spesifik dari kecenderungan tersebut adalah, mempercayai apa yang orang lain sampaikan padamu dan mengandalkan jaminan mereka. Saat engkau kurang waspada dan paranoid terhadap niat orang lain, mereka berpeluang mengeluarkanmu dari posisi berkuasa.

Dibutuhkan kerja keras guna mengendalikan egomu, terus-menerus memperhatikan tindakan orang lain, dan memperoleh serta mempertahankan kekuasaan membutuhkan waktu berjam-jam dan banyak energi. Setelah beberapa saat, beberapa orang menjadi lelah; mereka menjadi kurang waspada dan lebih mau berkompromi dan menyerah. Kita selalu cenderung melihat apa yang kita inginkan atau harapkan, namun seiring dengan kelelahan, kecenderungan memproyeksikan keinginan ke dalam kenyataan, menjadi lebih kuat.

Masyarakat—dan juga perusahaan—terjerat dalam perangkap kompetensi. Mereka sukses karena mereka melakukan hal-hal tertentu dengan cara tertentu. Perusahaan dan pemimpin bisa saja tak dapat melihat perubahan dalam lingkungan sosial yang membuat cara-cara lama menjadi kurang berhasil dibandingkan sebelumnya. Kecenderungan kekuasaan untuk mengurangi perhatian dan kepekaan pemegang kekuasaan terhadap pihak lain yang memiliki kekuasaan lebih kecil, memperparah masalah ini. Kombinasi dari berkurangnya kewaspadaan dan perubahan keadaan sering kali menyebabkan hilangnya kekuasaan. The world changes, but tactics don't.

Dan terakhir, di penghujungnya, tentulah semua orang bakal kehilangan kekuasaan. Seperti yang diungkapkan oleh profesor perilaku organisasi Jeffrey Sonnenfeld, beberapa individu memberi jalan bagi penerus mereka. Yang lain bertahan melewati waktu ketika efektif. Beberapa pemimpin senior mempersiapkan penerusnya dan keluar melakukan hal lain. Adalah memungkinkan dan diinginkan agar 'leave before the party’s over', serta melakukannya melalui cara yang membuat orang lain, mengenangmu dengan penuh kasih-sayang. Engkau takkan selalu dapat sepenuhnya mengontrol seberapa besar kekuasaan yang engkau pertahankan, namun engkau dapat meninggalkan kedudukanmu dengan bermartabat, dan dengan demikian, mempengaruhi Legacy-mu. Wallahu a'lam."

"Aku rasa, cukup sampai disini Wulan. Lihat, sang fajar telah mendekat!" kata Tulip seraya menunjuk ke arah pertanda datangnya Subuh.
"Oke, kita akhiri sesi kita!" kata Wulandari, lalu mereka pun bersenandung,

Takkan selamanya, raga ini menjagamu
Jiwa yang lama segera pergi
Bersiaplah, para pengganti!
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi **)
Kutipan & Rujukan:
- Dov Roller, The Restless Plant, 2011, Harvard University Press
- Richard Wilford, The Plant Lover's Guide to Tulip, 2015, Timber Press
- Ghillean Prance. (Ed.), Cultural History of Plants, 2005, Routledge
- Dana Sajdi, Ottoman Tulips, Ottoman Coffee: Leisure and Lifestyle in the Eighteenth Century, 2007, Tauris Academic Studies
- John Kenneth Galbraith, The Anatomy of Power, 1983, Houghton-Mifflin Trade and Reference
- Michael Korda, Power! How to Get it, How to Use it, 1975, Random House
- Steven Lukes, Power: A Radical View, 2005, Palgrave
- Jeffrey Pfeffer, Power: Why some People have it—And Others Don't, 2010, International and Pan-American
*) "Bintang di Surga" karya Nazriel Irham
**) "Tak Ada yang Abadi" karya Nazriel Irham

[Sesi 1]