Senin, 10 September 2018

Dua Lelaki didalam Goa

Ya Allah, sampaikan selawat dan salam kami kepada pemimpin kami, Nabi Muhammad (ﷺ);
dan sibukkan para penindas dengan para penindas lain;
dan selamatkan kami dari kejahatan mereka;
dan sampaikan selawat kami kepada keluarga, kerabat dan para pengikut beliau (ﷺ).
Murai berkata, "Selamat Tahun Baru Hijriah, saudara-saudariku. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala, menyiramkan berkahnya kepada umat Islam dan seluruh negara Islam. Segala pujian dan ucapan syukur hanya kepada Allah, Pemilik segala yang ada di langit dan di bumi. Selamat memasuki bulan Muharram yang penuh berkah.
Sekarang, saudara-saudariku, kita akan mendengarkan kisah dari saudari kita, laba-laba. Silahkan, saudariku lelaba, tampil ke depan." Laba-laba melangkah ke depan dan berkata, "Wahai saudara-saudariku, aku akan mengisahkan sebuah kisah yang kudengar dari ibu dari ibuku, dari ibu dari ibunya, hingga dari nenek-buyutku.
Nenek buyutku berkata, "Aku seekor lelaba yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan lelaba lainnya. Dengan segala kerendahan hati, jika seluruh lelaba di dunia ini dikumpulkankan diatas satu telapak tangan dan aku diletakkan diatas telapak tangan yang lain, aku akan lebih besar dibanding mereka. Aku bukanlah salah satu yang membuat pernyataan palsu dan pamer, aku hanya menyatakan fakta. Kupikir bahwa aku perlu memperkenalkan diri kepada hadirin, karena aku yakin, engkau mengerti bahwa akulah lelaba di gua tempat Rasulullah (ﷺ) bersembunyi. Akulah yang bertanggung jawab bagi penyelamatan Rasulullah (ﷺ). Akulah yang Allah kirimkan untuk melindungi dirinya (ﷺ).

Jejaringku sangat tipis dan ringan serta sedikit saja angin yang menerpa akan dapat meluluhkannya. Namun, meskipun jejaringku lemah, aku berhasil menepis pedang besi dari orang-orang kafir yang mengejar Rasulullah
(ﷺ), dan terlebih lagi, aku dapat mengalahkan mereka! Hasil pertentangan antara sutra lemah lelaba dan pedang besi adalah kekalahan sebatang besi. Rumahku dianggap sebagai perumpamaan kelemahan, "Sesungguhnya, rumah yang paling lemah adalah rumah lelaba." Aku duduk di rumahku melindungi rumah Islam yang mulia dan menjaga Nabiyullah, Muhammad ibnu 'Abdillah, (ﷺ).

Tak hanya itu yang terjadi padaku. Sesuatu yang lebih indah terjadi; Aku melihat Rasulullah
(ﷺ). Aku tahu bahwa setelah wafatnya Rasulullah (ﷺ), jutaan orang akan mengunjungi makamnya, menangis dan berdoa. Selain itu, masing-masing dari mereka yang menangis dan berdoa akan membayangkan wajah Rasulullah (ﷺ) dalam pikirannya. Tapi aku melihatnya. Aku tinggal bersamanya selama tiga hari. Ia tinggal sebagai tamu di bawah sarang lelabaku selama tiga hari penuh. Ah! Hatiku terenyuh ketika aku teringat hari-hari itu. Hari-hari yang mengesankan. Sebelum aku melihatnya, aku hanya mencintai lelaba, makanan dan kehidupan, tapi setelah aku melihatnya, aku hanya bisa membawa diri untuk mencintai kebenaran. Aku berubah setelah aku melihatnya. Pernahkah engkau mendengar teriakan lelaba sebelumnya? Aku melakukannya. Aku, lelaba, menangis ketika beliau (ﷺ) hendak meninggalkan gua. Beliau (ﷺ) meninggalkan gua dan pergi ke kota.

Aku berkata kepadanya, "Wahai Rasulullah
(ﷺ), aku akan merindukanmu." Beliau (ﷺ) tak mendengarku. Aku berkata kepadanya lagi, "Wahai Rasulullah (ﷺ)! Berikan tanganmu untuk kucium atau biarkan aku mencium ujung jubahmu." Beliau tak mendengarku dan pergi. Saat beliau (ﷺ) meninggalkan gua, beliau (ﷺ) terpaksa menghancurkan rumahku yang telah kubangun untuknya. Aku tak mengerti mengapa beliau (ﷺ) melakukan itu "Terkadang aku berkata pada diriku bahwa beliau (ﷺ) harus menghancurkan rumahku agar dapat keluar." Rumahku terletak di pintu gua, dan pintu harus dibuka. Maka, Rasulullah (ﷺ) mengulurkan tangannya ke arah rumahku dan dengan lembut menyingkirkan jejaring sutraku. Aku berusaha mendekatinya dan mencium tangannya. Beliau (ﷺ) tak menyadari bahwa aku ingin sekali mencium tangannya karena beliau (ﷺ) menarik kembali tangannya sebelum aku bisa membungkuk dan menciumnya. Beliau (ﷺ) pun pergi.

Aku membungkuk di atas sutra robek yang pernah menjadi rumahku dan berkata, "Sutra ini telah menyentuh tangan Rasulullah
(ﷺ) sebelum aku dapat melakukannya." Lalu aku menangis. Aku terus menangis hingga rumahku luluh dalam air mataku dan gua itu kembali seperti semula. Biarlah aku menceritakan kisahku dari awal. Aku mohon maaf kepada hadirin karena tak menjadi diriku sendiri.

Aku adalah seekor lelaba gunung dan lelaba gunung sangat tak beruntung. Makanan utama kami adalah lalat dan serangga. Aku terlahir di sebuah gua yang sepi di Jabal Tsur. Sebuah gunung di Makkah, sebuah kota kecil yang belum pernah kulihat selama hidupku. Terkadang kami mendengar para merpati memuliakan Allah, Subhanahu wa-ta'Ala, yang kami pahami mereka hidup di bawah naungan rumah suci Allah di Makkah. Aku berusaha membayangkan bagaimana Makkah atau rumah suci Allah itu akan terlihat, tapi aku tak bisa, karena aku terpenjara di gua Tsur. Sebuah gua terpencil di siang hari dan yang menyeramkan pada malam hari. Gua ini terletak ke arah Yaman. Tak ada yang mengunjungi kami. Bahkan binatangpun lari dari tandusnya pegunungan ini dan lebih memilih tempat yang lebih layak huni.

Singkatnya, akulah inang-inang gunung ini dan ratunya. Suatu hari, aku menggelantung dengan tali sutraku, yang telah kubuat dari langit-langit gua. Hari itu, hari yang sangat panas sehingga aku mengayunkan diri ke sana kemari. Lalu aku mendengar suara aneh yang bertanya, "Siapakah makhluk Allah yang mendiami gua ini?" batas-batas spiritual pun terkuak dan aku menyadari bahwa aku mendengar suara malaikat. Aku berhenti berayun, membungkukkan seluruh tubuhku dan bersujud mengucapkan salam. Aku menjawab suara malaikat itu dengan berkata, "Lelaba gua ini Meme putri Muma cucu dari Mamu, merasa sangat terhormat berbicara denganmu." Suara malaikat berkata, "Keluarlah ke pintu gua." Aku menggerakkan benang sutraku ke pintu gua dan keluar. Suara itu berkata, "Nanti, dua orang makhluk Allah akan datang ke gua ini, Muhammad
(ﷺ), dan sahabatnya dalam kehidupan ini dan akhirat, Abu Bakar (radhiyallahu 'anhu)."

Aku bertanya, "Dan siapakah Muhammad
(ﷺ)?" Suara itu menjawab, "Ia adalah yang terakhir dari para nabi Allah di bumi ini, rahmat Allah yang diturunkan-Nya ke dunia. Engkau akan menjadi pelayan dan rekannya selama tiga hari di gua." Aku dipenuhi dengan perasaan heran dan kegembiraan, keterkejutanku pun meningkat setiap menit. Aku berkata, "Apa yang membawanya ke sini di gua yang sepi ini?" Suara itu menjawab lagi, "Ia telah meninggalkan rumahnya demi agama Allah dan orang-orang kafir menginginkan darahnya. Berapa banyak waktu yang engkau butuhkan untuk membangun rumahmu di atas pintu gua?" Seolah-olah mengukur sudut, aku berkata, "Empat jam kerja terus-menerus dengan dua kali istirahat." 
Suara malaikat itu memerintahkan, "Bekerjalah tanpa istirahat, Allah telah membebankanmu tanggung jawab agar menjaga utusan-Nya (ﷺ). Perlindungan Ilahi telah menempatkan segel pada nasib Pesan terakhir ini dan masa depan seluruh peradaban dipercayakan padamu." Aku memperdalam sujudku dan berbisik, "Aku mendengar dan taat!" Komandan malaikat pun pergi, dan dalam suasana hening dan sunyi sepi, aku mulai bekerja. Aku memeriksa ketujuh kelenjarku yang membuat sutra dan ternyata semuanya telah penuh. Dengan seksama aku memeriksa pintu masuk gua. Pintu itu lebar dan aku mulai mengukur sudut dan dengan cepat menghitung dari sudut mana aku harus memulai. "Aku akan membutuhkan enam pilar sutra yang kokoh yang ditopang dengan dua puluh enam benang yang akan bertindak sebagai pilar tambahan. Juga, aku akan membutuhkan sembilan puluh lima senar untuk mendukung dinding," pikirku.

Setelah itu, aku mulai membuat sutra, yang terlihat begitu tipis, tapi yang lebih kuat dari apa yang keras karena menjadi benang halus yang berdiameter seperseribu inci. Itulah diameter benang dalam jejaringku. Manusia banyak yang tak tahu bahwa lelaba dapat mengukur sudut dan membaginya, dan mereka dapat memperkirakan daya tahan materialnya dan tekanan rata-rata. Selain itu, mereka dapat menghitung ribuan masalah arsitektur rumit yang dihadapi dalam proses pembangunan. Manusia tak tahu bahwa lelaba menenun berbagai jenis sutra untuk memenuhi segala kebutuhan mereka. Kami menggunakan jejaring untuk menjebak mangsa, sebagai meja makan, tempat tidur, selimut, sistem alarm, pintu gerbang, sarana transportasi dan sebagai perisai untuk perlindungan. Dengan kata lain, kami, lelaba, menghasilkan bahan yang paling berguna yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Sutra yang dikeluarkan oleh kelenjar lelaba tak diragukan lagi seperti sutra yang dihasilkan oleh ulat tetapi ada beberapa perbedaan. Perbedaan ini yang membuat tenunan lelaba lebih baik, karena lebih halus, lebih lembut dan lebih padat daripada sutra lainnya.

Aku terkejut melihat Rasulullah
(ﷺ) telah memasuki gua dengan Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu. Aku berhenti bekerja sejenak dan menatap wajah yang mulia dan penuh keagungan yang terlihat bagaikan selembar emas dan merasakan perasaan hormat yang mendalam. Setelah itu aku berkata, "Selamat datang wahai Rasulullah (ﷺ)!" Aku hampir saja tak menyelesaikan salamku kepadanya saat aku mulai menenun rumahku di atas pintu gua. Aku turun secara vertikal dari gua hingga ke lantai sambil menenun sutraku. Lalu aku menariknya dan menancapkannya ke tanah dengan zat asam yang mengeluarkan kelenjarku. Setelah itu, aku naik dengan cepat ke pintu masuk gua dan mulai naik dan turun, condong ke kanan dan ke kiri sementara aku menenun rumahku. Tenunan itu memakan waktu tiga jam, enam menit dan dua puluh detik. Orang-orang kafir datang ke pintu masuk gua dengan pedang mengkilap mereka berhadapan dengan jejaring lelabaku yang telah tegak berdiri.

Salah satu orang kafir itu berkata, "Jika ia telah masuk di sini maka jaring lelaba ini tak akan ada di atas pintu." Aku tersenyum lebar di dalam rumahku dan Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu, berkata kepada Rasulullah
(ﷺ) dengan suara berbisik, "Jika salah seorang dari mereka melihat ke bawah kakinya, ia akan menemukan kita." Rasulullah (ﷺ) berkata, "Jangan takut karena Allah beserta kita." Rasulullah(ﷺ) hampir tak berkata-kata ketika tempat itu tiba-tiba penuh dengan malaikat, dan penuh dengan suara yang berkata, "Jika engkau tak menolongnya, tak masalah, karena sesungguhnya Allah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya, lalu, ketika mereka berada di dalam gua, dan beliau (ﷺ) berkata kepada temannya Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu, 'Janganlah bersedih atau takut, sesungguhnya Allah beserta kita.'
Kemudian Allah menurunkan sakinah-Nya kepadanya, dan menguatkannya dengan malaikat yang tak terlihat, dan membuat kata-kata orang-orang kafir itu menjadi yang terendah, sedangkan firman Allah yang paling tinggi, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Setelah suara itu mereda, sekali lagi gua menjadi penuh malaikat. Aku terkejut menemukan malaikat berdiri di depan rumah lelaba dan berdiri di belakangnya. Aku bertanya kepada yang terdekat denganku, "Apa yang terjadi?" Ia menjawab, "Kami datang atas perintah Allah untuk melindungi Rasul-Nya yang mulia." Aku berteriak dan berkata, "Tapi aku telah ditugaskan untuk melindungi dan menjaga beliau! Mengapa kalian menghancurkan hatiku? Tak ada yang boleh menzalimi dirinya! Beliau tamuku dan aku pelayannya."

Aku menangis karena aku begitu emosional dan aku terkejut menemukan bahwa aku bisa menangis. Aku berbalik ke arah Rasulullah
(ﷺ), ingin mengeluh kepadanya. Namun aku melihatnya sibuk dalam shalatnya. Beliau (ﷺ) sedang shalat, dan sahabatnya, Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu, bersamanya, juga sedang shalat, di belakangnya. Ketika mereka bersujud, aku pun bersujud bersama mereka.
"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." - [QS.29:41-42]
Referensi :
- Ahmad Bahjat, Animals in The Glorious Qur'an, Islamic e-Books