Ia, Zur'ah Dzu Nuwas, raja terakhir orang-orang Himyar. Ia menjalankan kekuasaan kerajaan di Yaman pada waktu itu, dan ia penganut Yudaisme. Ketika ia memeluk Yudaisme, ia mengganti namanya, Yusuf," berkata sang Gajah. "Lalu, ketika ia mendengar, di Najran, ada orang-orang yang penuh karunia dan kejujuran, yang berpegang teguh pada hukum yang dibawa Nabi Isa, putra Maryam, alaihissalam, Dzu Nuwas membawa pasukannya, yang terdiri dari suku-suku Himyar dan Yaman, untuk menaklukkan mereka. Ia mengumpulkan penduduk Najran, dan menawarkan agar mereka memeluk agama Yahudi, atau dibunuh. Mereka memilih dibunuh, maka ia memerintahkan menggali parit al-Ukhdud bagi mereka. Ia membakar sebagian dari mereka, menebas mereka dengan pedang, dan memuntungkan tubuh mereka dengan kejam, hingga ia membunuh sekitar dua puluh ribu orang.
Hanya ada satu orang, yang bernama Daus Dzu Tsa'laban, melarikan-diri dengan kudanya, menerobos padang pasir, sampai ia dapat menjauh dari pengejarnya. Ia mencapai Kaisar Romawi dimana ia memohon bantuan melawan Dzu Nuwas dan prajuritnya, dan menyampaikan apa yang telah mereka lakukan. Kaisar Romawi mengatakan bahwa negaranya sangat jauh. maka ia akan menulis surat kepada raja Abyssinia yang juga pemeluk Nasrani dan lokasinya lebih dekat dengan Yaman. Daus menemui raja Negus, raja Abyssinia, membawa surat Kaisar untuk membantunya memperoleh kemenangan dan membalas dendam. Kerajaan Abyssinia ini, sekarang dikenal sebagai Etiopia. Nama Abyssinia, berasal dari bahasa Arab, Al-Habash.
Jadi, raja Negus mengirim 70.000 pasukan Abyssinia di bawah pimpinan salah seorang perwira yang bernama Aryat, turut serta pula lelaki yang bernama Abrahah. Aryat menyeberangi laut dan mencapai pantai Yaman, disertai Daus. Dzu Nuwas dan pasukannya, yang terdiri dari suku Himyar dan suku Yaman, yang berada di bawah kendalinya, menyongsong mereka, Saat mereka bertempur, Dzu Nuwas dan pasukannnya, kalah. Ketika menyadari bahwa kekalahan telah menimpanya dan pasukannya, Dzu Nuwas mengarahkan kudanya ke laut, memacunya hingga masuk ke laut, membawanya dari pantai yang dangkal sampai di laut yang dalam, dan akhinya ia tenggelam. Aryat memasuki Yaman dan merebut kendali kekuasaan.
Aryat tetap mengendalikan Yaman selama beberapa tahun, namun akhirnya Abrahah menantangnya dan pasukan Abyssinia terpecah menjadi dua kelompok. Kemudian salah satu kelompok bergerak menyerang yang lain. Ketika kedua pasukan saling mendekat, Abrahah mengirim pesan kepada Aryat, "Engkau takkan menginnginkan pasukan Abyssinia saling bertempur dan menjadikan engkau sebagai penyebab kehancuran mereka, karenanya, lebih baik, keluarlah melawanku bertarung, satu lawan satu, dan siapapun dari kita yang kalah, maka pasukannya harus ikut bergabung dengan yang menang." Aryat mengirim balasan, "Engkau telah mengusulkan jalan keluar yang cukup adil, baik, majulah melawanku." Abrahah tampil ke medan laga; ia pendek, gemuk, dengan tubuh yang kuat, dan berpegang teguh pada iman Nasraninya. Aryat berjalan ke arahnya; ia seorang yang kuat, tinggi, dan tampan, dan membawa tombak di tangannya. Di belakang Abraha, ada bukit kecil yang berada di bagian belakangnya, dan bersembunyi di balik bukit kecil itu, seorang budaknya, `Atwadah. Ketika keduanya saling mendekat, Aryat mengangkat tombaknya dan melontarkannya ke arah kepala Abrahah, ia membidik tengkorak kepalanya. Namun tombaknya mengenai dahi Abrahah dan membelah alis, mata, hidung, dan bibirnya; karena alasan inilah, Abrahah disebut al-Asyram. Budak Abrahah, 'Atwadah. melompat ke arah Aryat dari belakang Abrahah dan membunuhnya. Akhirnya pasukan Aryat pun, bergabung dengan Abrahah, sehingga semua pasukan Abyssinia yang di Yaman, berada di bawah kendali Abrahah. Namun kelak, Atwadah dibunuh oleh seseorang yang menyerangnya.
Segala sesuatu yang Abrahah lakukan, tanpa sepengetahuan Negus, raja Abyssinia. Ketika berita tentang semua itu sampai padanya, ia menjadi murka dan berkata, "Ia telah menyerang komandan pasukanku dan membunuhnya tanpa perintahku!" Raja bersumpah bahwa ia takkan membiarkan Abrahah berkuasa sampai ia menguasai negeri itu dan memotong rambutnya. Ketika Abrahah mendengarnya, ia lalu menggunduli kepalanya dan mengisi karung kulit dengan tanah Yaman, kemudian mengirimkannya ke raja Negus disertai pesan. "Wahai baginda raja, Aryat hanyalah budakmu, dan aku pun budakmu. Kami berselisih faham tentang perintahmu; kami berdua berutang padamu, tetapi, aku lebih kuat dalam mungurus pasukan Abyssinia, lebih kuat dan lebih terampil dalam mengurus negara. Saat aku mendengar sumpah baginda, aku menggunduli kepalaku, dan aku mengirimkan sebuah karung dari tanah Yaman, agar baginda dapat meletakkannya di bawah kaki baginda, dan dengan demikian, menunaikan sumpah baginda." Ketika pesan ini sampai ke Negus, sekali lagi, ia memafkan Abrahah dan membalas pesannya. "Aku menetapkan engkau bertugas di negeri Yaman sampai ada perintah selanjutnya."
Setelah Negus memaafkan Abrahah dan telah mengukuhkannya sebagai wakil raja atas pasukan Abyssinia dan negeri Yaman, ia akhirnya membangun sebuah gereja di San'a', yang disebut al-Qullyas. Ia membuat bangunan yang luar biasa, yang tak pernah terlihat sebelumnya, menggunakan emas dan zat pewarna yang luar biasa. Ia bersurat kepada Kaisar Romawi, mengabarkan kepadanya bahwa ia bermaksud membangun sebuah gereja di San`a' yang jejak dan ketenarannya akan bertahan selamanya, dan ia meminta bantuan kaisar. Kaisar Romawi mengirimkan tukang-tukang terampil, kubus mosaik, dan marmer. Ketika gedung itu selesai, Abrahah menyurat kepada Negus, "Wahai baginda, aku telah membangun untukmu sebuah kathedral yang tak pernah dibangun untuk raja manapun sebelummu. Aku takkan menyerah sampai aku mengalihkan para hujjaj Arab ke kathedral itu."
Abrahah berusaha mempermalukan orang-orang Yaman dengan membangun gereja yang jelek ini, merendahkan mereka dalam berbagai cara. Ia selalu memotong tangan setiap buruh yang datang bekerja setelah fajar. Ia mulai memindahkan dari istana Balqis, marmer, batu, dan perabotan indah. Di dalamnya, ia mendirikan salib emas dan perak serta mimbar yang terbuat dari gading dan kayu hitam. Al-Qullyas dibangun sangat tinggi dan luar biasa lapang. Ketika akhirnya Abrahah mati, dan pasukan Abyssinia bubar, roh-roh jahat akan membisik kepada siapapun, sehingga berani mengambil bahan bangunan atau perabotannya. Ini karena bangunan itu diberlakukan atas nama dua berhala, Ku'aib dan istrinya. Tingginya 60 hasta. Akibatnya, orang-orang Yaman membiarkan gereja itu tetap ada sampai zaman al-Saffah, khalifah Abbasiyah yang pertama. Ia mengirim sekelompok orang-orang yang nekad, menghancurkannya batu demi batu; dan hari ini, jejak-jekaknya hilang sama sekali.
Ketika isi surat Abrahah kepada Negus terdengar oleh salah seorang yang bertugas sebagai interkalator, an-nasa'ah, ia sangat marah. Ia, salah seorang Banu Fuqaim, bagian kelompok suku yang lebih besar dari Banu Malik. Ia berangkat mendatangi gereja katedral itu, dan kemudian buang air besar di dalamnya, lalu pulang kembali ke negerinya. Ketika Abrahah mendengar kejadian itu, ia gusar, "Siapa yang melakukan ini?" Mereka berkata, "Seorang lelaki, dari Bait di Mekah, tempat orang-orang Arab berhaji, yang melakukannya, karena ia telah mendengar kata-kata tuanku, 'Aku akan mengalihkan para hujjaj Arab ke katedral baru.' Ia marah, datang ke sini, dan buang air besar di dalamnya, untuk menunjukkan bahwa tujuan seperti itu, tidaklah pantas." Abrahah sendiri penuh amarah dan bersumpah, ia akan membawa pasukan ke Baitullah dan menghancurkannya. Ia menyurat kepada Negus untuk menyampaikan kejadian itu, dan meminta Negus agar mengirimkan Mahmud, sang gajah - inilah gajah yang tak tertandingi di seluruh bumi dalam hal ukuran, kekuatan dan tubuh yang besar.
Negus akhirnya mengirimkan sang gajah kepadanya. Begitu sang gajah telah tiba, Abrahah berangkat dengan pasukannya, ditemani oleh raja Himyar dan Nufail bin Habib al-Khath'ami. Ia memerintahkan pasukan Abyssinia bersiap dan membawa perlengkapan, dan kemudian ia berangkat dengan gajahnya."
Beo menyela, "Wahai saudaraku gajah, ada yang mengatakan bahwa, terlepas dari ukurannya, gajah itu, takut pada kucing. Ada komandan tentara membawa kucing ke medan peperangan ketika bertempur melawan orang India, dan karenanya gajah lari," seraya tertawa. Namun, tak ada unggas yang ikut tertawa. Beo menoleh ke sekeliling, lalu duduk, diam. Gajah berkata, "Tidak juga, tetapi, tahukah kalian? Disebutkan, menurut Imam Tabari, bahwa orang pertama yang menjinakkan gajah adalah Ifridun bin Atsfiyan. Ia juga yang pertama kali memasang pelana kuda. Namun, orang pertama yang menjinakkan dan mengendarai kuda, adalah Fathamurath, raja ketiga dunia, juga dikatakan bahwa Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim, alaihimussalam, adalah orang pertama yang menunggang kuda, dan kemungkinan, ia adalah orang Arab pertama yang mengendarai kuda. Wallahu a'lam.
Orang-orang Arab sangat cemas dan khawatir saat mendengar tentang pasukan Abrahah dan menganggap sebagai tugas merekalah untuk menghadapinya, ketika mereka mengetahui bahwa Abrahah hendak menghancurkan Baitullah. Seorang anggota bangsawan Yaman bernama Dzu Nafr mengajak kaumnya dan orang-orang Arab yang mau mendukungnya, memerangi Abrahah dan mencegah kehancuran Baitullah. Ada yang turut-serta dan ikut dalam pertempuran. Dzu Nafr dan para pendukungnya kalah, dan ia sendiri ditawan dan dibawa ke hadapan Abraha. Ketika hendak dibunuh, Dzu Nafr menyarankan kepada Abrahah bahwa ia akan lebih berguna dalam keadaan hidup daripada mati. Maka Abrahahpun menawannya, dirantai. Abrahah terus maju dan di daerah Khatz'am datang melawan Nufail bin Habib al-Khatz'ami dengan dua suku sekutunya, Syahran dan Nahis, bersama dengan suku-suku pendukung Arab lainnya. Mereka terlibat dalam pertempuran, Abrahah menang, dan menawan Nufail. Ketika Abrahah akan membunuhnya, Nufail memohon diampuni dan menawarkan diri menjadi petunjuk jalan di wilayah Arab, menjamin bahwa suku-sukunya akan patuh kepada Abrahah. Maka Abrahah membebaskannya dan melanjutkan perjalanan, dengan Nufail bertindak sebagai penunjuk jalan.
Mencapai Ta'if, Abrahah disambut oleh Mas'ud bin Mu'anib bin Malik bin Ka'b bin 'Amr bin Sa'd bin 'Auf bin Tsaqif bersama dengan para pejuang Tsaqif. Mereka berkata kepada Abrahah, 'Wahai raja, kami ini budakmu, sepenuhnya patuh kepadamu; kami tak menentangmu dan kuil kami ini bukan yang engkau inginkan.' Yang mereka maksudkan adalah kuil yang dipersembahkan untuk dewi al-Lat. Kuil al-Lat adalah kuil yang mereka miliki di Ta'if, yang mereka hormati sama seperti Ka'bah. 'Yang engkau inginkan adalah Ka'bah di Mekah; kami akan mengirimkan pemandu untuk membawamu ke sana.' Maka Abrahah membiarkan mereka tanpa diganggu."
Maka Banu Tsaqif mengutus Abu Righal kepada Abrahah sebagai pemandu ke Mekah. Mereka melakukan perjalanan sampai al-Mughammis dimana mereka berhenti. Abrahah mengutus salah seorang Abyssinia bernama al-Aswad bin Maqsud dengan beberapa kavaleri ke Mekah. Ia membawa barang-barang milik Banu Tihama, Quraisy dan lainnya; termasuk 200 unta milik 'Abdul Muththalib bin Hasyim yang pada waktu itu, pemimpin dan yang dituakan oleh Banu Quraisy. Akibatnya, kaum Quraisy, Kinana, dan Hudzail, dan semua orang yang menghormati Ka'bah memutuskan memerangi Abrahah, namun mengabaikan gagasan ini ketika mereka menyadari bahwa mereka tak punya kekuatan yang cukup utuk mengimbanginya. Abrahah kemudian mengutus Hunata, seorang Himyar, ke Mekah, membawa perintah sebagai berikut, "Temukan pemimpin dan yang paling dihormati orang-orang ini. Kemudian katakan kepadanya bahwa raja berkata, 'Aku tak datang untuk berperang melawan kalian, tetapi hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika kalian tak memerangi kami untuk menutup jalan masuk kami ke sana, maka kami takkan menumpahkan darah kalian. ' Jika ia tak ingin perang, bawalah ia menghadapku."
Ketika Hunata memasuki Mekah, ia bertanya kepada para pemimpin Quraisy. Ia diarahkan kepada 'Abdul Muththalib bin Hasyim dan karenanya, menyampaikan pesan Abrahah kepadanya. Abdul Muththalib menjawab, "Demi Allah, kami tak menginginkan berperang dengannya dan tak punya kekuatan untuk melawannya; rumah ini adalah rumah suci Allah dan milik pengikut sejati-Nya, Nabi Ibrahim, alaihissalam." Ia berkata dengan tegas, "Jika Allah melindunginya dari Abrahah, maka itulah tempat suci-Nya dan rumah-Nya. Jika Dia menyerahkannya kepadanya, maka, demi Allah, tiada daya bagi kami mempertahankannya." Hunata kemudian menyampaikan kepada 'Abdul Muththalib bahwa sesuai perintah Abrahah, ia harus ikut menemui Abrahah.
Maka Abdul Muththalib berangkat bersama beberapa putranya. Sesampainya di perkemahan Abrahah, ia meminta bertemu dengan temannya, Dzu Nafr. Saat ia bertemu Dzu Nafr, yang masih berada dalam tahanan, ia bertanya punyakah ia jalan keluar untuk kesulitan mereka. Dzu Nafr menjawab, "Bagaimana mungkin seseorang memberi jalan keluar saat ia menjadi seorang tahanan raja dan mengkin akan dibunuh kapan saja? Aku tak punya masehat untukmu, kecuali mengatakan bahwa Unais, penjaga gajah, adalah temanku. Aku akan berpesan padanya agar memberikan izin kepadamu untuk berbicara dengan raja. Bicaralah kepadanya sesuai keinginanmu, dan Unais akan membantumu sebaik mungkin." Abdul Muththalib setuju dan Dzu Nafr mengirim kepada Unais pesan berikut, "Abdul Muththalib adalah penguasa kaum Quraisy dan penjaga sumur zamzam di Mekah; ia memberi makan manusia di dataran dan hewan liar di pegunungan. Raja merebut 200 untanya. Mintalah izin agar dapat menemui raja dan membantunya sebaik mungkin." Unais menjawab bahwa ia akan melakukannya. Unais kemudian berkata kepada Abrahah, "Wahai raja, disini, di depan pintumu, penguasa Quraisy dan penjaga sumur zamzam Mekah; pemberi makan manusia di dataran dan binatang buas di pegunungan, meminta bertemu. Perkenankanlah ia masuk menemuimu dan membicarakan sesuatu denganmu." Abrahah memperkenankannya masuk.
Abdul Muththalib adalah lelaki yang bermartabat, tampan, dan mengesankan. Ketika Abrahah melihatnya, ia ingin menghormatinya dengan tak membuatnya duduk lebih rendah dari dirinya. Namun, ia juga tak ingin orang-orang Abyssinia melihat Abdul Muththalib duduk di sejajar dirinya di singgasananya. Maka Abrahah beranjak, duduk di atas karpet, dan meminta Abdul Muththalib duduk di sampingnya. Ia kemudian berkata kepada penerjemahnya agar bertanya apa maksud kedatangannya. 'Abdul Muththalib menjawab, "Yang kuinginkan, agar raja mengembalikan 200 unta yang diambilnya dariku." Mendengar hal ini, Abrahah mengatakan kepada penerjemahnya agar menjawab, "Engkau telah membuatku terkesan ketika melihatmu, namun engkau membuatku kecewa ketika engkau berbicara. Engkau hanya membicarakan tentang 200 unta yang aku ambil darimu, namun tak membicarakan tentang rumah, yang agamamu dan agama leluhurmu, akan kuhancurkan? "
Abdul Muththalib menjawab, "Aku pemilik unta-unta itu; Rumah itu milik Majikannya sendiri Yang akan melindunginya." Abrahah berkata, "Dia takkan bisa mempertahankannya terhadapku!" Namun `Abdul Muththalib menjawab, "Itu urusanmu sendiri; kembalikan unta-untaku!" Abdul Muththalib bukanlah seorang pengecut, seperti sangkaan Abrahah. Melainkan ia tahu, yang mana wilayah miliknya dan yang mana wilayah milik Allah. Dan ia sadar, barangsiapa yang melanggar batas-batas milik Allah, bakal berurusan dengan-Nya.
Ketika Abdul Muththalib masuk menemui Abrahah, ia ditemani oleh Ya'mur bin Nafatza bin 'Adi bin al-Dil bin Bakr bin' Abdul Manat bin Kinana, pemimpin suku Banu Bakr, dan Khuwailid bin Wa'ila, pemimpin dari Banu Hudzail. Mereka menawarkan Abrahah sepertiga dari hasil Tihama jika ia mau mundur dan tak menghancurkan Baitullah. Akan tetapi, Abrahah menolak tawaran mereka. Dan hanyalah Allah Yang tahu apakah itu benar terjadi atau tidak. Namun sementara itu, Abrahah mengembalikan unta-unta milik Abdul Muththalib yang telah dirampasnya.
Abdul Muththalib kembali ke Banu Quraisy dan menyampaikan berita itu. Ia memerintahkan agar mereka keluar dari Mekah dan mencari perlindungan di puncak gunung dan ngarai, ia khawatir akan perlakuan kejam tentara Abyssinia. 'Abdul Muththalib kemudian bangkit dan mengambil cincin pintu Ka'bah, dan sekelompok orang Quraisy berdiri bersamanya, berdoa kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya terhadap Abrahah dan pasukannya. `Abdul Muththalib berdoa pada saat ia memegang cincin pintu Ka'bah,
Wahai Rabb-ku, aku tak mengharapkan sesuatu selain Engkau yang menghadapi mereka!Lebih lanjut ia berdoa,
Wahai Rabb-ku, lindungilah hima-Mu dari mereka!
Sesungguhnya musuh Rumah-Mu itulah, yang menyerang-Mu!
Halaulah mereka agar mereka tak mengotori pemukiman milik-Mu!
Ya Allah, hamba-Mu mempertahankan rumahnya, maka lindungilah Rumah-Mu dan rakyatnyaKemudian `Abdul Muththalib melepaskan cincin pintu Ka'bah, dan berangkat bersama kaum Quraisy ke puncak gunung dan mencari perlindungan di sana, menunggu apa yang akan dilakukan Abrahah di Mekah saat ia memasukinya.
Jangan biarkan salib dan siksaan mereka menang atas siksaan-Mu di hari esok!
Tetapi jika Engkau membiarkannya, maka itulah sesuatu yang terbaik, yang Engkau kehendaki, dan urusan terbaik yang Engkau kehendaki.
Dan jika Engkau membiarkannya, itulah urusan yang akan menetapkan suratan-Mu.
Ketika ada orang yang datang kepada-Mu mencari kedamaian, kami berharap Engkau memperlakukan kami dengan cara yang sama.
Jika mereka berpaling, mereka takkan memperoleh apa-apa selain penghinaan; kebinasaan akan menimpa mereka disana.
Aku tak pernah mendengar tentang orang-orang yang paling hina, yang menginginkan kemuliaan, dan yang kemudian melanggar kesucian tanah haram-Mu
Mereka membawa pasukan dan gajah dari negeri mereka, untuk menangkap dan memperbudak anggota keluarga-Mu
Mereka menyerang hima-Mu dengan kelicikan mereka, semata karena kebiadaban, dan tak memperdulikan keagungan-Mu.
Pagi berikutnya, Abrahah bersiap memasuki Mekah, menyiapkan gajahnya, Mahmud, dan mengumpulkan pasukannya. Abrahah bertekad menghancurkan Baitullah dan kemudian kembali ke Yaman. Ketika mereka mendorong sang gajah ke depan, Nufail bin Habib al-Khats'ami datang dan berdiri di sampingnya. Ia kemudian memegang telinganya dan berkata, "Berlututlah, hai Mahmud, dan pergilah langsung ke arah mana engkau datang, karena engkau berada di wilayah suci Allah!" Lalu ia melepaskan telinganya; sang gajah berlutut, sementara Nufail bin Habib segera melarikan diri secepat-cepatnya dan naik ke gunung. Para prajurit memukuli sang gajah agar mau bangkit, namun sang gajah menolak. Mereka memukul kepalanya dengan kapak perang agar ia bangkit, tetapi masih juga menolak. Mereka memasukkan pengait ke bagian bawah perutnya dan memerintahkan agar sang gajah bangkit, dan sekali lagi, sang gajah menolak. Kemudian mereka membalikkannya menghadap kembali ke Yaman, sang gajah bangkit dan menderap. Kemudian mereka mengarahkannya ke arah Suriah, dan sang gajah berperilaku persis sama. Mereka mengarahkannya ke arah Timur, dan sekali lagi, sang gajah melakukan hal yang sama, namun ketika mereka memperhadapkannya ke arah Mekah, sang gajah berlutut.Referensi :
Saatnya, Allah mengirimkan al-ababil, sekawanan burung yang saling mengikuti dan berkelompok, bagai burung layang-layang, masing-masing burung membawa tiga bebatuan, yang tampak seperti kacang polong dan miju-miju, sebuah batu di paruhnya dan dua buah di cakarnya. Burung-burung itu, muncul dari laut secara beruntun. Setiap orang, yang burung-burung itu lemparkan batu, binasa, meskipun tak semuanya benar-benar terkena. Dan setiap orang yang tertabrak batu itu, menderita luka parah atau tempat yang terkena, berbintil dan melepuh, lalu pecah. Kemudian batu-batu itu menghabisi mereka semua, dan Allah mengirimkan aliran air yang deras, yang menyapu dan melemparkan mereka ke laut. Itulah pertama kalinya di tahun itu, campak dan cacar terlihat di negeri orang-orang Arab, dan juga, pertama kalinya, tumbuh semak belukar pahit seperti inggu-tumbuhan yang aroma daunnya tak sedap, colocynth-labu hias yang beracun, dan biduri-sejenis perdu besar.
Mereka segera mundur di sepanjang jalan yang mereka lalui, meminta Nufail bin Habib menuntun mereka pulang ke Yaman. Ketika Nufail bin Habib melihat apa yang telah diturunkan Allah kepada mereka sebagai hukuman, ia berkata,
Kemanakah seseorang dapat bersembunyi, ketika Allah mengejar? Al-Asyram, yang ditaklukkan, bukanlah sang penakluk!Ketika mereka mundur, para pasukan Abyssinia jatuh beruntun di pinggir jalan dan binasa di setiap tempat pemberhentian. Abrahah tersiksa oleh luka di tubuhnya; mereka membawanya pulang, dengan jari-jemarinya lepas satu demi satu. Ketika setiap jari terjatuh, diikuti oleh borok di tempatnya, yang mengeluarkan nanah dan darah, sampai mereka membawanya ke San'a ', ia tampak seperti anak ayam yang baru lahir, tak berbulu dan ceking. Mereka bersumpah bahwa, ketika ia binasa, dadanya memuntahkan jantungnya.
Duhai Rudainah, salam besertamu! Ketika kami berangkat pagi ini, mata kami bersukacita padamu!
Seorang pencari dikejar api dari kaummu, datang kepada kami kemarin malam, namun ia tak memperoleh apapun dari kami.
Jika engkau dapat melihat, duhai Rudainah - tetapi engkau tak dapat melihatnya - apa yang kami lihat di sekitar al-Muhassab
Engkau takkan menuduhku dan akan membenarkan keputusanku, dan tak berduka atas apa yang telah berlalu dan terjadi di antara kita.
Aku memuliakan Allah saat melihat dengan mata kepalaku sendiri, burung-burung itu, tetapi takut batu-batu itu akan menghujani kami.
Semua orang meminta Nufail, seolah-olah aku berutang budi pada orang-orang Abyssinia.
Adapun nasib Mahmud, sang gajah Negus, ia berbaring dan tak mau menyerang Tanah Haram, dan dengan demikian terlindungi dengan aman; namun mengenai gajah lainnya, ada tiga belas gajah, mereka bergerak melanggar batas Tanah Haram dan menderita hujan batu.
Ada yang mengatakan bahwa peristiwa gajah ini, terjadi pada hari pertama bulan Muharram. Ada juga yang mengatakan bahwa enam puluh ribu orang tak pulang ke negeri mereka, walaupun bisa pulang, mereka akan sakit dan takkan hidup lama. 'Abdul Muththalib turun dari Gunung Hira' dan dua orang Abyssinia menghampirinya, mencium tangannya dan berkata, "Engkau lebih berilmu daripada kami." Setelah Allah menghalau orang-orang Abyssinia dari Mekah, orang-orang Arab memperlakukan kaum Quraisy dengan sangat hormat."
Sang gajah lalu berkata, "Wahai saudara-saudariku, kisah ini, tanda yang indah atas kelahiran Nabi kita tercinta (ﷺ). Ini terjadi karena sejarah dunia, telah menunjukkan kepada kita bahwa setiap saat dan peristiwa, baik yang terjadi di dunia ini atau ketika wahyu yang penting terjadi, maka beberapa tanda alam yang penting dari alam langit ditunjukkan, yang jika manusia melihatnya, menganggapnya sebagai peringatan.
Peristiwa ini terjadi beberapa hari sebelum kelahiran Rasulullah (ﷺ). Itulah saat ketika hampir setiap bagian dunia ini hilang dari ibadah Allah. Pada saat itu, yang mengaku penganut agama sejati Allah hadir dimana-mana, tetapi ajaran yang benar telah hilang. Ciri-ciri sejati Dien ini telah dicampur-baurkan dan diubah sehingga sangat sedikit dari asalnya yang tersisa. Syirik dan Kufur hadir dimana-mana. Di satu tempat ada penyembahan berhala, di tempat lain ada penyembahan benda-benda langit dan di tempat lain ada penyembahan api. Di suatu tempat ada tujuan pemujaan, lalu di tempat lain ada pemujaan terhadap unsur-unsur sebagai tujuan utama agama. Beberapa tempat terlihat doktrin trinitas dimana nabi 'Isa, alaihissalam, disembah sebagai Anak Allah. Di tempat lain, orang menyebut Uzair sebagai putra Tuhan. Seluruh dunia menolak Allah atau menyembah berhala, benda-benda langit atau unsur-unsur alam atau hewan. Pada waktu itu, disamping penyembahan Allah, sesuatu yang lain juga disembah.
Dalam keadaan seperti itu, ketetapan Allah adalah bahwa seseorang harus diutus menjadi pembawa petunjuk dan hak bagi umat manusia di dunia ini, guna menunjukkan kepada mereka jalan yang benar dan untuk memutar haluan mereka, dari penyembahan berhala ke penyembahan Sang Pencipta, serta menghubungkan umat manusia dengan Majikan Sejati-nya. Kedatangannya adalah untuk memutus rantai kebodohan. Rasulullah (ﷺ) adalah buah dari do'a Nabi Ibrahim, alaihissalam, dan janji Nabi 'Isa, alaihissalam. Sekarang menjadi penting bahwa Ka'bah, yang merupakan lambang penyembahan Allah dalam Keesaan-Nya, dan yang semula ditegakkan oleh nabi Ibrahim dan Ismail, alaihimussalam, sudah saatnya dihormati dan dimuliakan sebagaimana layaknya. Amanah yang telah dipercayakan kepada Bani Israil dan dimana mereka telah melakukan pengkhianatan, saatnya diambil dari tangan mereka dan diserahkan kepada sepupu mereka, keturunan Nabi Ismail, alaihissalam. Ini berlaku karena Bani Israil ini telah melupakan janji para pendahulu mereka.
Ka'bah disebut Baitullah - Rumah Allah. Ini bukan berarti bahwa Allah tinggal di sebuah Rumah atau Dia membutuhkan sebuah rumah, naudzubillah. Yang terpenting, bahwa bagi umat manusia, dari berbagai penjuru dunia, dan bagi para penyembah-Nya yang sejati, Dia menjadikan Ka'bah sebagai kiblat mereka, dimana mereka harus menegakkan shalat dan berdoa. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, bebas dari arahan khusus manapun, sementara manusia, selalu membutuhkan arah itu, sehingga ditetapkan bagi umat manusia untuk mempersatukan dan menyeragamkan ibadah mereka. Namun, tak diperbolehkan bagi seorang Muslim, memuliakan Ka'bah karena menganggap Ka'bah itu layak disembah. Ka'bah itu, sebenarnya dimuliakan karena merupakan salah satu tanda khusus Allah dan merupakan titik sentrifugal Tauhid. Wallahu a'lam."
"Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat)." - [QS.105:1-5]
- Ibn Kathir, The Life of the Prophet Muhammad (ﷺ), Volume I, Garnet Publishing
- The History of Al-Tabari, The Sasanids, the Byzantines, the Lakhmids, and Yemen, Volume V, translated by C.E. Bosworth, SUNY Pres.
- Maulana Hifzur Rahman Soeharwy, Qasasul Ambiyaa, Idara Impex