Senin, 24 September 2018

Hidup Kembali


Gelatik berkata, "Wahai saudaraku gajah, sampaikan kepada kami tentang kisah Uzair!" Sang gajah berkata, "Aku tak begitu mengetahui kisahnya, tetapi, maukah kalian mendengar kisahnya dari ia yang kuanggap sesuai untuk menyampaikannya kepada kalian?" Gelatik menjawab, "Tentu saja, persilahkan ia tampil ke depan!" Sang gajah berkata, “Wahai saudaraku, silahkan tampil ke depan!” Dan lihat! Itu sang keledai! Ia berkata, "Ya, aku hanyalah keledai!" Gelatik berkata, "Wahai saudaraku, mohon, sampaikanlah salam!" Keledai berkata, "Maaf! Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh!" Para unggas menjawab, "Wa 'alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh!" Sang keledai berkata, "Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Akhirat untuk orang yang shalih, dan tiada permusuhan kecuali terhadap orang yang zhalim. Aku bersaksi bahwa tiada yang patut diibadahi dengan benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa baginda Nabi (ﷺ) adalah hamba dan Utusan-Nya. Semoga Allah merahmati beliau (ﷺ), keluarga beliau yang suci, para sahabat beliau yang mulia, radhiyallahu 'anhum, dan semua orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan hingga Hari Kiamat.
Wahai saudara-saudariku, bangsa keledai adalah spesies yang sabar dan aku bangga menjadi bagian darinya. Jenis kami, jelas berbeda dari kerabat liar kami. Kerendahan hati mengubah penampilan luar sesosok makhluk serta realitas internalnya. Telinga kami lebih panjang, kepala kami lebih besar, gigi-gigi kami telah kehilangan ketajamannya, punggung kami, lebih kuat, dan perut kami, lebih besar. Untuk mengisi perut yang besar ini, kami harus menanggung cambukan yang menyakitkan di atas kepala dan punggung kami. Transformasi berbahaya yang terjadi dalam kehidupan keledai ini, terjadi sekitar dua belas ribu tahun yang lalu, dan bagiku, tampaknya Allah berkehendak menghormati manusia dan memberi mereka pelayanan sehingga Dia mempercayakan jenis kesabaran kami dengan misi yang sulit, melayani manusia.

Tiada sesuatupun di alam semesta ini, yang menggunakan keledai seperti manusia. Terlepas dari semua itu, tak ada ucapan terima kasih, tak ada pujian dan tak ada pengakuan terima kasih. Masalah utama manusia, dari sudut pandangan objektif kami, adalah, ia mengukur segala sesuatu di dunia ini sesuai dengan kepentingannya sendiri. Ia menganggap dirinya pusat alam semesta ini dan sesuatu yang terpenting di dalamnya. Selain itu, ia menjalankan kedaulatan ini secara spontan sejak ia dilahirkan. Ini bukan yang kami sepakati.
Kepalaku pusing setiap kali aku ingat apa yang terjadi. Lebih baik kita memulai kisahnya saja? Ide bagus, kan? Jadi, dengarkanlah kisah dari leluhur bangsa keledai. Aku akan memulai dengan apa yang dituturkan leluhurku,

"Aku adalah keledai putih kemerahan. Aku tinggal di kawasan pedesaan di Palestina. Kebanyakan orang mengatakan bahwa keledai lambat dan bodoh! Aku takkan diam berdebat tentang hal ini! Aku hanya terus mengibas-ngibaskan ekorku. Majikanku, seorang lelaki berambut putih yang baik, bernama Uzair. Tetapi sebelum kita melanjutkan, aku ingin meyakinkan para hadirin, baik ia itu keledai atau manusia, bahwa aku tak menuturkan kisah ini untuk pamer atau mencari kemuliaan dan kebanggaan. Aku tak ingin membuktikan bahwa aku lebih baik daripada semua keledai lainnya. Hanya saja, aku mengalami hal yang aneh; yang menarik dan mencengangkan. Pengalaman yang kualami ini, qadarullah, sehingga jika ada orang yang mengalami dan memberitahuku tentang hal semacam ini, aku mungkin takkan mempercayainya. Masalahnya, pengalaman ini terjadi padaku secara pribadi dan aku akan mengisahkannya persis seperti yang terjadi. Dapatkah engkau bayangkan, aku mati? Ringkikanku berhenti! Bahwa tulang-belulangku berubah menjadi debu! Dan kemudian, dengan rahmat Allah, aku hidup kembali dan mulai meringkik.

Majikanku Uzair, orang baik yang tak pernah memukulku dengan tongkat atau tangannya. Ia memberiku yang terbaik dari apa yang dimilikinya dan memakan sisanya untuk dirinya. Ia memperlakukanku dengan kasih-sayang dan menghiburku walau ia lebih bersikap keras pada dirinya sendiri. Aku telah tinggal bersamanya selama dua tahun. Dan setelah tinggal bersamanya selama satu setengah tahun, aku menemukan bahwa orang ini, orang yang sangat shalih, pendapat mayoritas ulama, ia adalah seorang nabi Allah. Ia punya ladang di luar desa. Ia bekerja dengan tangannya sendiri seperti para nabi melakukannya. Ia bekerja di lahan pertaniannya, membajak tanahnya, menyirami tanamannya, mengumpulkan buahnya, menjaga pohon-pohonnya dan memangkas ranting-rantingnya. Majikanku Uzair punya keledai, itulah aku. Ia pergi ke kebun dan kembali ke rumah bersamaku. Ia memberi makan hewan peliharaannya dan menyayangi mereka; ia tidak pernah memukul mereka dengan cambuk atau tongkat. Ia menyayangi sesamanya dan bersikap ramah terhadap mereka. Ia selalu memberi nasehat, berdakwah kepada mereka, dan mengajar mereka hukum agama, Taurat, dan bagaimana menjalani hidup mereka.

Pada hari itu sangatlah panas ketika majikanku Uzair mengendaraiku menuju ke ladangnya. Lahan pertaniannya jauh. Ketika majikanku Uzair dalam perjalan ke ladangnya, ia melewati reruntuhan kota yang telah terlupakan dan pekuburan tua yang telah teracak-acak. Kami berjalan melalui ladang hijau, dan kemudian melewati reruntuhan kota yang terlupakan dan pekuburan tua itu. Matahari terbit tinggi di langit dan mengirim cahaya panasnya ke bumi. Reruntuhan kota itu mulai merupa.
Kami mendekat ke pekuburan itu dan aku melihat bayangan dari reruntuhan berbentuk taman yang indah. Aku berlari menuju tempat teduh dan memasuki kota mati itu. Majikanku tersenyum dan membiarkanku pergi ke mana pun aku suka. Aku merasa amat sangat panas. Uzair turun, mengambil keranjang ara dan buah anggur dari punggungku dan duduk di tanah. Semuanya kelelahan karena panas; aku, majikanku, reruntuhan itu dan semut-semut yang ada disekitaran. Uzair duduk dan meremas beberapa anggur ke dalam mangkuk dan kemudian ia mematahkan beberapa potong roti kering dan mencampurkannya ke dalam buah anggur sehingga giginya bisa mengunyahnya.Aku memperhatikan ia menyiapkan makanan itu dalam ketakjuban. Manusia, hanya makan proporsi kecil makanan, dan tampaknya bahwa tuanku Uzair juga terserap dalam meditasinya. Aku merasakan kehidupan... Melihat bagaimana debu mencari debu dan menjadi belulang serta melihat bagaimana mereka tertutup oleh darah dan pembuluh darah, mengamati bagaimana kulit tumbuh diatasnya dan bagaimana rambut menutupi kulit. Keledaimu masih mati, lihatlah bagaimana ia terbangun diantara orang yang mati.

"Bangunlah! Wahai keledai yang telah mati selama seratus tahun." Perintah terakhir diarahkan padaku. Aku mendengarkan Cahaya ini tanpa melihat Dia atau Uzair. Begitu aku mendengar perintah itu, tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Aku mengangkat kepalaku dan menemukan bahwa udara sangat baik dan rasa panas telah hilang. Aku tidak melihat siapa pun kecuali majikanku Uzair. Ia berdiri di depanku, terkagum seolah-olah aku hidup kembali dari kematian. Aku bangkit gemetar dan mencoba untuk meringkik... Aku menemukan bahwa irama suaraku masih bersemangat. Dengan gemetar Uzair berkata saat mengamatiku, "Aku tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Makanan majikanku masih utuh. Bagaimana mungkin kami telah mati selama seratus tahun dan tubuhku telah membusuk jadi debu dan jus anggur itu masih tetap segar! Biasanya jus ini membusuk setelah beberapa jam dalam udara panas! Aku melihat Uzair tenggelam dalam doa yang mendalam. Ia mengulurkan tangan untuk meraih makanan, tapi keadaan emosinya tak memungkinkannya meraih tak lebih dari sepotong belaka. Setelah itu, ia naik ke punggungku dan mengarahkanku menuju desa. Kejutan pertama ini kutemui pada hari yang pelik itu, tak satupun desa yang ada disana! Maksudku desa yang telah kami tinggalkan sebelum kami tertidur di pekuburan itu.

Rumah-rumah telah berubah, pakaian orang telah berubah dan kekang keledai telah berubah... semuanya telah berubah saat ia merenungkan reruntuhan, belulang dan keheningan yang mengelilinginya. Kemudian, aku mendengar ia berkata dalam takjub seolah telah meyakinkan dirinya akan Kemahakuasaan Allah... Aku mendengar ia berkata, "Oh! Bagaimana Allah membawanya kedalam kehidupan, setelah tubuhnya hancur?" Uzair hampir tak dapat mengucapkan kata-kata ini saat ia terserang, sama seperti aku, oleh tidur yang sangat melelapkan; rasa kantuk disertai menggigil dan membuatmu merasa lelah hingga akhirnya engkau terurai menjadi debu.
Aku telah tertidur dalam lelap. Tidur yang berbeda dari yang lain. Semua ini terjadi sebelum aku sadar bahwa aku telah tertidur. Aku mencoba meringkik dan memperingatkan majikanku bahwa jika ia tidur, anggur yang diperasnya akan membusuk karena panas dan kemudian ketika ia terbangun ia tidak akan menemukan makanan lagi untuk dimakan. Tapi aku tak bisa... aku tertidur. Lelapku sangat dalam dan aneh. Benar-benar sangat aneh. Biasanya, dalam tidur normalku, aku bermimpi berjalan di antara ladang kacang atau aku bermimpi bertemu kakekku zebra atau aku bermimpi saat aku masih keledai kecil, tanpa beban atau tanggung jawab. Tapi tidur ini, aku terkejut, berbeda. Tidur ini benar-benar tanpa mimpi.
Lalu, tiba-tiba aku merasakan kehadiran-Nya. Aku tidak membicarakan tentang majikanku karena aku tidak melihat majikanku Uzair atau merasakan kehadirannya. Tapi, aku merasakan kehadiran Cahaya Ilahi. Cahaya ini bertanya pada majikanku, "Berapa lama engkau telah mati?" Aku tidak mendengar tanggapan majikanku atau melihatnya. Aku mendengar Cahaya ini setelah hening sejenak berkata, "Tidak, engkau telah mati selama seratus tahun. Lihatlah keledaimu yang mati Uzair... Lihatlah bagaimana tubuhnya telah membusuk menjadi debu... Lihatlah apa yang tersisa dari belulangnya... Kemudian lihat bagaimana Allah memerintahkan yang mati itu utuh kembali."

Aku mengendus tanah berusaha mencari aroma rumah Uzair tapi aku tak bisa menemukan aromanya. Aku berdiri di tempatku, ketakutan. Aku mulai menyadari apa yang telah terjadi. Aku menyadari setelah kami telah mencapai pusat desa, aku telah mati dan hidup kembali. Ini yang membuatku sangat takut. Kalau bukan karena Uzair, aku pasti sudah gila. Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Karena aku melihat bahwa tidur yang telah kami alami, telah memisahkan antara aku dan ras keledai. Ketika para keledai melihatku, mereka tidak mendekatiku dengan cara yang ramah seperti biasa. Sebaliknya, mereka meringkik ketakutan dan berbalik. Uzair mengumumkan bahwa ia telah kembali dan orang banyak mengolok-olok dirinya. Mereka mengatakan bahwa Uzair telah pergi selama seratus tahun dan tak pernah kembali. Uzair telah mati. Ia berkata, "Akulah Uzair dan Allah telah membawaku kembali dari kematian setelah seratus tahun... mana cucu-cucuku?"
Mereka memberitahukan di mana cucunya berada dan ia menemukan bungsu dari cucunya itu telah berusia enam puluh tahun. Cucunya itu tidak percaya bahwa orang tua ini adalah kakeknya. Hanya ada satu wanita yang hidup dari zaman ketika Uzair meninggalkan desa itu... Hanim, pelayan kami. Ia berumur dua puluh tahun saat kami pergi dan sekarang ia telah berusia seratus dua puluh tahun. Pelayan itu datang ketika ia mendengar tentang Uzair. Ia berjalan sambil meraba-raba dengan tongkat karena ia telah kehilangan penglihatannya karena usia tua. Aku bergegas ke arahnya ketika aku merasakan aromanya, meringkik gembira dan mengibaskan ekorku.

Itulah satu-satunya aroma yang kukenali di desa itu, dan wanita itu berkata kepada Uzair, "Siapakah orang ini yang berbicara tentang Uzair dan ingat padanya saat orang-orang telah melupakannya?" Lalu, ia mulai menangis. Dalam tangisnya ia berkata, "Doa Uzair selalu diterima... Jika engkau Uzair, berdoalah kepada Allah agar mengembalikan penglihatanku." Dan demikianlah, Uzair berdoa untuknya agar dapat melihat lagi, dan kebutaan itu pergi dan ia dapat melihatnya. Ia mengenalinya dan meneriakkan salam kemudian menghempaskan dirinya ke tanah dan mencium kakinya selagi masih dalam tangisnya. Uzair diwafatkan pada usia empat-puluh tahun, dan Allah menghidupkannya kembali di usia yang sama pada saat wafatnya.
Aku menangis bersamanya dan cucu Uzair berkata, "Uzair memiliki salinan Taurat di rumahnya dan kami telah mencarinya setelah ia pergi, namun kami tidak pernah menemukannya. Jika lidahmu milik Uzair, lalu dimanakah Taurat itu? Halaman-halamannya telah hilang dan tercabik-cabik dalam perang dan kami telah benar-benar lupa." Uzair menunjuk kepala dan dadanya dan berkata, "Aku masih menyimpan Taurat itu aman didalam qalbuku, dan aku telah menyembunyikan salinannya di sebatang pohon tua, mari kita mencarinya."

Kami pergi ke sebuah pohon tua yang telah lama ditinggalkan hingga gulma telah tumbuh di sekitarnya dan Uzair memasukkan tangannya kedalam, lalu menarik keluar halaman Taurat. Orang di sekitar berteriak kaget. Di tengah kegembiraan khalayak ramai dengan Uzair, aku benar-benar terlupakan. Semuanya telah selesai dan aku meninggalkan tempat kejadian. Semua orang berkumpul di sekitar Nabi mereka yang telah dihidupkan kembali oleh Allah dari kematian, tapi mereka telah melupakanku. Aku berdiri sendirian, menjauh dari kerumunan untuk sementara waktu. Aku mendengar salah seorang dari mereka berbisik kepada temannya, "Uzair putra Tuhan." Tulang-belulangku tergetar karena kaget.
Sesungguhnya, Allah telah menjadikan Uzair sebagai bukti bagi manusia. Ini memaksaku menulis sebuah memoar dan bersaksi di hadapan Pengadilan Sejarah.
"Tak peduli seberapa banyak kemajuan spiritual yang dikerjakan seseorang dan tak peduli seberapa dekat ia kepada Allah, orang itu masih tetap seorang hamba Allah. Ia takkan pernah menjadi anak Allah, naudzubillah. Inilah penyimpangan terbesar akibat orang-orang melihat suatu perbuatan yang dilakukan seseorang, yang biasanya tampak mustahil atau ajib, lalu mereka menganggap orang itu sebagai orang sakti dan kemudian membangun keyakinan yang keliru terkait dengan diri orang itu. Dan inilah informasi untukmu!"

"Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?" - [QS.9:30]
Referensi :
- Ahmad Bahjat, Animals in The Glorious Qur'an, Islamic e-Books
- Maulana Hifzur Rahman Soeharwy, Qasasul Ambiyaa, Idara Impex