Jumat, 14 September 2018

Sang Penyihir Muda

Musim berlalu, para unggas berkumpul lagi. Tetapi, kali ini, mereka berkumpul dalam sebuah lingkaran belajar. Seperti biasa, Nuri bertindak sebagai moderator, dan kali ini, Murai batu bertindak sebagai relawan yang berbagi cerita. Murai memulai dengan berkata, "Wahai saudara-saudariku, sesungguhnya, pemerintahan manapun bertanggung-jawab atas hasil akhir dari segala lapisan masyarakat; ia membentuk dasar kebiasaan dan kerangka peradaban dan etikanya. Akan menjadi apakah akhir dari masyarakat ini, dasar kebiasaan dan kerangka peradabannya, bila segalanya bersumber dari penindasan dan sihir?
Pemerintahan yang seperti inilah yang melambangkan tirani, karena semua jenis pemerintahan merupakan bentuk kontrol atas keadaan manusia. Jika pemerintahan itu sehat, maka ia akan berusaha membangun dan membentuk struktur manusiawi, dan penguasa itu sendiri akan diuntungkan jika rakyatnya sehat, cerdas dan kuat. Namun jika pemerintahan itu lalai, ia akan berusaha merubuhkan struktur manusiawi dan membubarkan masyarakat, karena pemerintah yang lalai hanya mengejar tak lain selain kendali-kekuasaan yang terus-menerus, bahkanpun jika hal itu menyebabkan kehancuran masyarakatnya. Dalam keadaan seperti ini, penguasa itu berharap mendapatkan keuntungan jika orang-orang yang mengikutinya itu lalai, bebal dan lemah.
Lebih lanjut, sihir adalah bentuk penipuan dan kebatilan, maka bisa membantu mencapai tujuan penguasa tiran. Setiap metodologi yang bukan dari Allah dan bilamana manusia tak berserah-diri kepada-Nya, juga akan mencapai hasil yang sama dengan sihir; perbedaannya hanyalah dalam hal nama dan bentuk, namun keduanya memiliki kesamaan, bahwa mereka menginginkan agar tak ada kekuatan rasional atau pikiran yang kuat dalam masyarakat. Akhir ini dapat dicapai melalui sihir atau melalui sistem pemerintahan buatan manusia. Sihir hadir dengan sendirinya, dengan memberangsang ketakutan dan mengeksploitasi ketidaktahuan. Setiap sistem buatan manusia yang mengarahkan seseorang agar yakin bahwa ia aman, dengan memberangsang rasa takut yang memaksakan metodologi yang diinginkan kepadanya melalui ketidaktahuan dan kelemahannya, mencapai hasil yang sama dengan sihir.

Demikian pula kisahku ini. Tersebutlah, di sebuah negeri, di zaman terdahulu, pernah ada seorang raja yang mempekerjakan seorang penyihir. Ketika sang penyihir telah tua, ia menyampaikan kepada sang raja, "Aku sudah tua, utuslah padaku seorang anak lelaki yang dapat kuajari ilmu sihir," maka sang raja mengirim seorang bocah untuk digembleng.
Setiap hari, dalam perjalanan menuju tempat sang penyihir, sang bocah melewati seorang rahib. Sekali waktu, ia memutuskan duduk dengan rahib tersebut dan mendengarkan apa yang ia ucapkan. Setelah beberapa lama duduk dengan sang rahib, ia sangat terkesan dengan ucapan-ucapannya. Sejak saat itu, menjadi kebiasaannya duduk bersama sang rahib dalam perjalanan menuju sang penyihir. Namun, setiap kali ia datang terlambat, sang penyihir memukulnya. Ketika sang bocah mengeluh kepada sang rahib tentang pemukulan itu, sang rahib berkata kepadanya, "Bila engkau merasa takut pada penyihir itu, katakanlah, 'Keluargaku yang menghalangiku.' Dan bila engkau merasa takut terhadap keluargamu, katakanlah, 'Penyihir itulah yang menghalangiku.' "
Saat berada dalam rutinitas itu, seekor binatang besar menghalangi lalu-lalang orang banyak, dan sang bocah berkata, "Hari ini, aku akan tahu, sang penyihir atau sang rahibkah yang lebih unggul." Ia mengambil sebuah batu kecil dan berkata, "Ya Allah, jika cara sang rahib lebih Engkau ridhai daripada cara sang penyihir, matikanlah binatang ini agar orang-orang bisa lewat." Ia melemparkan batu itu, dan membunuhnya, sehingga orang-orang pun bisa lewat. Sang bocah lalu mendatangi sang rahib dan menceritakan kejadiannya, dan sang rahib berkata, "Nak, hari ini engkau telah melampauiku, aku melihat bahwa urusanmu telah sampai pada tahap dimana engkau akan segera menjalani cobaan. Jika engkau menjalani cobaan itu, jangan beritahu mereka tentangku."

Sang bocah kemudian mulai bisa mengobati orang buta dan penderita kusta, dan atas kehendak Allah, ia dapat menyembuhkan penderita dari segala jenis penyakit. Salah seorang dari laskar istana yang buta, mendengar tentang dirinya. Ia lalu mendatangi sang bocah dengan membawa banyak hadiah, dan berkata, "Jika engkau menyembuhkanku, semua ini jadi milikmu." Sang bocah berkata, "Bukan aku yang menyembuhkan, Allah-lah Yang menyembuhkan, dan jika engkau beriman kepada Allah, aku akan berdoa kepada-Nya, semoga Dia menyembuhkanmu." Laskar istana itu menegaskan keimanannya kepada Allah, dan Allah menyembuhkannya. Ia mendatangi sang raja dan duduk di sampingnya seperti yang biasa ia lakukan sebelumnya. Sang raja bertanya, "Siapa yang mengembalikan penglihatanmu?" Ia menjawab, "Rabb-ku." Sang raja berkata, "Punyakah engkau tuhan selain aku?" Ia menjawab, "Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah." Sang raja menangkapnya dan memerintahkan ia disiksa agar ia menceritakan tentang sang bocah.
Sang bocah ditangkap, dan sang raja berkata, "Wahai bocah, engkau telah mahir dalam ilmu sihir sehingga engkau menyembuhkan orang buta dan orang kusta, dan engkau telah melakukan beragam hal." Ia berkata, "Bukan aku yang menyembuhkan, Allah-lah Yang menyembuhkan." Raja menangkapnya dan membiarkannya disiksa sampai ia menceritakan tentang sang rahib. Sang rahib ditangkap dan diancam, "Tanggalkan keyakinanmu!" Namun ia menolak melakukannya. Raja memerintahkan agar sebuah gergaji dibawa kehadapannya, diletakkan di tengah kepalanya, dan sang rahib dibelah dua. Kemudian, laskar istana itu dihadirkan dan diancam, "Tanggalkan keyakinanmu!" namun ia menolak, maka gergaji pun diletakkan di tengah kepalanya, dan iapun dibelah dua.

Kemudian, sang bocah dihadirkan dan diperintahkan agar menanggalkan keyakinannya, namun ia menolak melakukannya. Sang raja menyerahkannya kepada sekelompok laskar istana dan berkata kepada mereka, "Bawa ia ke gunung itu dan naiklah sampai ke puncak, bersamanya. Bila kalian telah mencapai puncak, dan jika bocah itu tak mau menanggalkan keyakinannya, lemparkan ia dari atas puncak itu!" Maka mereka pun membawanya ke puncak gunung yang ditunjuk sang raja, dan sang bocah berkata, "Wahai Allah, selamatkan aku dari mereka dengan cara apapun yang Engkau ridha." Gunung itu kemudian mulai bergetar, dan mereka semua jatuh dari atas gunung kecuali sang bocah, yang berjalan pulang menemui sang raja. Sang raja bertanya, "Apa yang terjadi dengan laskarku?" Ia menjawab, "Allah telah menyelamatkanku dari mereka."
Sang raja kembali menyerahkannya kepada beberapa laskarnya dan berkata, "Bawa ia naik sebuah kapal ke tengah lautan, jika ia tak mau menanggalkan keyakinannya, tenggelamkan saja ke laut." Maka mereka pun membawanya, dan sang bocah berdoa, "Wahai Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara apapun yang Engkau ridhai." Kapal itu terbalik; mereka tenggelam, dan sang bocah melangkah gontai pulang menemui sang raja, yang bertanya padanya, "Apa yang terjadi dengan para laskar itu?" Ia menjawab, "Allah telah menyelamatkanku dari mereka."
Lalu ia berkata kepada sang raja, "Engkau takkan bisa membunuhku kecuali jika engkau melakukan apa yang kuajarkan kepadamu." Sang raja bertanya, "Apa itu?" Ia berkata, "Kumpulkanlah masyarakat di lapangan terbuka dan gantunglah aku di atas sebatang pohon, dan ambillah setangkai anak panah dari tempat anak panahku, tariklah anak panah itu dari busurnya dan ucapkanlah, 'Atas nama Allah, Rabb bocah ini,' lalu panahlah aku. Jika engkau melakukannya, engkau akan dapat membunuhku.'

Maka sang raja pun mengumpulkan masyarakat di lapangan terbuka dan menggantung sang bocah di sebuah batang pohon. Ia mengambil setangkai anak panah milik sang bocah, menariknya dari busurnya, dan mengucapkan, "Atas nama Allah, Rabb bocah ini." Ia lepaskan anak panah itu, yang menabrak pelipis sang bocah. Sang bocah meletakkan tangannya di pelipis yang tertembus anak panah, dan menemui ajalnya. Kerumunan orang berkata, "Kami beriman kepada Rabb bocah ini! Kami beriman kepada Rabb bocah ini! Kami beriman kepada Rabb bocah ini!" Para pengawal bergegas mendatangi sang raja dan berkata, "Tahukah baginda tentang apa yang baginda khawatirkan? Demi Allah, apa yang baginda takutkan telah terjadi! Khalayak ramai beriman kepada Allah!"
Sang raja memerintahkan agar dibuat parit di sepanjang jalan. Saat parit digali, api dinyalakan ke dalamnya. Diumumkan kepada masyarakat, "Siapapun yang tak meninggalkan agama barunya, akan dilemparkan ke dalam api atau disuruh terjun ke dalamnya." Banyak orang yang segera terjun kedalam parit berapi yang panas itu, hingga sampailah pada seorang wanita yang membawa bayinya, dan ia merasa ragu melompat ke dalam api. Sang orok tiba-tiba berkata kepadanya, "Wahai ibu, istiqamahlah, karena engkau sebenarnya berada dalam Kebenaran yang nyata."

Dan sesungguhnya, Allah-lah Yang menyembuhkan. Allah-lah Yang menyelamatkan. Allah-lah Yang menghidupkan dan mematikan, Al-Haq, tersingkap oleh sang bocah bukan demi dialektika dan kata-kata belaka. Namun ia mengungkapkannya sebagai Kebenaran Abadi yang didirikan dalam realita, sedemikian rupa sehingga tiada yang sanggup menolak atau memperdebatkannya.
Sang raja berusaha menghapuskan rasa-hormat masyarakat kepada sang bocah, dengan mencoba mengaitkan kemampuannya menyembuhkan dengan ilmu sihir yang telah ia pelajari dari sang penyihir. Inilah reaksi yang selalu terjadi pada mereka yang menolak mengakui kebenaran - mereka berusaha menafsirkannya dengan cara yang lain." 

Nuri berkata, "Kisah yang menarik!" Lalu ia berkata, "Wahai saudaraku, adakah di antara kalian yang dapat mengambil ibrah dari kisah ini?" Pipit bertanya, "Rasanya seperti kisah Nabi Musa, alaihissalam, dan Firaun dengan para ahli sihirnya. Wahai Murai, nyatakah kisahmu ini?" Murai menjawab, "Ya, sebenarnya, kisah ini dari Nabi kita tercinta (ﷺ), yang diriwayatkan atas otoritas Suhaib, disampaikan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim dan An-Nasa'i, rahimakumullah, dari Hadis Hammad Ibnu Salamah, rahimahullah. Menurut Ibnu Katsir, beberapa ulama berpendapat bahwa kejadian parit ini berulang, atau terjadi di masa lalu lebih dari sekali. Ibnu Abu Hatim berkata: Ayahku menyampaikan kepadaku dari Abul Yaman, dari Safwan Ibnu 'Abdur Rahman Ibnu Jubair, yang mengatakan: 'kejadian parit tersebut terjadi di Yaman selama masa Tubba'. Dan, juga terjadi di Konstantinopel selama masa Konstantinopel, yang menyalakan api dimana ia melemparkan orang-orang Nasrani yang berpegang pada agama Nabi Isa, alaihissalam, dalam tauhid Islam. Juga terjadi di Irak, di tanah Babilon selama masa hidup Nebukad nesar yang mendirikan sebuah patung, dan memerintahkan penduduknya agar sujud di hadapannya. Hananya, Azarya dan Misael menolak, dan kemudian, menyalakan api besar dan mereka dilemparkan ke dalamnya. Namun, Allah menyelamatkan mereka dari api dan menyebabkan sembilan orang yang menzhalimi mereka, jatuh ke dalam api yang dibuatnya sendiri.'
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa sehubungan dengan firman Allah: "Binasalah orang-orang yang membuat parit" dalam Surah Al-Buruj [85]: 4, as-Sadii berkata: Ada tiga parit: satu di Syam (Siria), yang lain di Irak, dan yang ketiga di Yaman."

Elang berkata, "Ini menunjukkan bahwa sang raja telah mempekerjakan seorang penyihir untuk menggunakan ilmu sihir sebagai sarana mempertahankan pemerintahannya. Sihir bukanlah sekedar fenomena yang hadir di masyarakat, namun justru kekuatan yang mendikte dan mengarahkan masyarakat. Faktor ini dapat membawa kita untuk memahami realitas di zamannya - inilah realita kerusakan, yang didasarkan pada penindasan dan diperintah oleh hasrat, yang pada gilirannya adalah seorang raja yang percaya pada sihir dan kekuatannya yang ada, dalam menundukkan masyakatnya.
Ada dimensi baru yang bersinar disini: setelah penyihir itu menjadi tua dan telah menjalani hidupnya bekerja untuk membuat keadaan agar menguntungkan sang raja, ia tak lagi tertarik pada keuntungan pribadi. Sebaliknya, ia sendiri menginginkan pekerjaannya itu berlanjut melalui sang bocah - ia telah menjadi penyihir selama hidupnya, dan harus terus menjalani hidupnya melalui kehidupan baru, maka ia meminta murid baru. Tapi analisis kita tak boleh berhenti sampai di sini - kita juga dapat melihat bahwa apa yang mendorongnya agar membuat permintaan ini adalah, setanlah yang menguasai segala zaman kelalaian; setan telah mengalami semua tahap eksistensi manusia sejak zaman awal, sehingga memungkinkan ia menghubungkan semua generasi kebodohan satu per satu, agar ia dapat memanfaatkannya dalam propaganda kebatilan dan kerusakan."

Pelatuk berkata, "Dalam kisah ini, Allah memilih sang bocah agar menjadi latar-belakang mengapa kaumnya menemukan iman yang benar. Pesan ilahi telah terpinggirkan dalam masyarakat itu, dan hanya diajarkan secara diam-diam oleh sang rahib. Melalui usaha sang bocah yang syahid, agama sejati, Islam, dikenal orang dan banyak dari mereka menerimanya.
Rencana kebatilan takkan bisa lebih besar dari rencana Allah. Sang raja yang lalim memilih sang bocah agar menjadi juru sihirnya, yang selanjutnya akan memperkuat pondasi kerajaannya, namun Allah menginginkannya menjadi hamba yang shaleh, yang akan menghancurkan kerajaan brutal dan membimbing penduduknya kembali ke Islam.
Pelajaran moralnya adalah, bahwa Allah mempersiapkan seseorang untuk membela agama-Nya, yang bahkan mungkin tumbuh di kediaman para tiran. Nabi Musa, alaihissalam, adalah contoh klasik dari prinsip ini. Firaun sadar bahwa bani Israel ditakdirkan menghancurkan kerajaannya, maka ia membunuh semua bani Israel yang baru lahir. Ibu Nabi Musa diilhami Allah agar menaruh bayi lelakinya yang baru lahir ke dalam keranjang di sungai Nil, dan Firaun dan istrinya menemukannya, mengangkatnya sebagai anak, serta membesarkannya di istana mereka sendiri."

Burung layang-layang berkata, "Tak mungkin mudah bagi sang bocah belajar sihir dari sang penyihir sekaligus belajar agama dari sang rahib, dan ada kontradiksi yang jelas diantara keduanya: agama adalah tentang kenyataan yang jelas dan cara berfikir yang tertata, sementara sihir adalah tentang penyimpangan yang mendalam dan kebohongan yang terukir; agama mengembangkan pikiran, sementara sihir membunuhnya; agama adalah obat bagi penyakit pada masa itu, sementara sihir menyebabkan seseorang menderita penyakit; dan agama membangun kehidupan, sementara sihir meruntuhkannya. Karenanya, sangat sulit bagi sang bocah untuk terus belajar agama dan sihir dalam pikiran yang tenang, dan kita harus mencatat bahwa ia mau duduk bersama sang rahib sebagai suatu pilihan, namun dengan sang penyihir, sebagai suatu paksaan."
Gagak berkata, "Sang bocah menjelaskan kepada sang raja cara bagaimana ia bisa dibunuh agar menolak sang raja yang mengaku sabagai tuhan; membangun keyakinan pada Tuhan sejati, Allah, yang menjadi dakwaan sang raja; dan untuk memberi bukti hidup tentang realitasnya. Dalam kisah tersebut, ada orang beriman dari penduduk kota dilemparkan ke dalam api, sementara yang lain segera masuk ke sana sendirian. Namun, masuknya mereka dengan segera ke dalam api bukanlah bunuh-diri, melainkan merupakan penegasan terbuka terhadap keimanan mereka kepada Allah, yang membuat gusar sang raja dan para pendukungnya, dan yang ini, di ridhai Allah, Rabb semesta alam. Meskipun peristiwa sang bocah dan pengikutnya, telah digunakan oleh beberapa gerakan modern untuk membenarkan bom bunuh-diri di beberapa bagian dunia Islam, keadaannya sama sekali tak ada kaitannya. Pertimbangannya berbeda, dan kepentingan masyarakat sipil yang tak bersalah, tak terusik dalam proses itu."

Serak-Jawa berkata, "Keyakinan yang kuat tak perlu waktu lama untuk berkembang. Keyakinan teguh dapat dengan cepat berkembang dalam qalbu orang-orang yang menerima Islam atau membangunkan Islam dan menghidupkan kembali jiwa mereka.
Kesabaran sejati itu sendiri merupakan hasil dari keyakinan total pada Allah pada saat bencana. Keyakinan pada Rabb seseorang adalah konsekuensi alami dari iman yang nyata. Karena kepercayaan pada Allah berarti menerima bahwa tak ada yang dapat terjadi di alam semesta tanpa seizin-Nya, maka hanya Allah Yang patut diimani sepenuhnya oleh manusia. Sebab, hanya janji Allah-lah yang tak pernah diingkari."
Bangau berkata, "Orang beriman hendaknya tak boleh dengan sengaja membiarkan dirinya terjatuh dalam kesulitan dan kesusahan. Mungkin sebuah keluarbiasaan bahwa sang rahib meminta sang bocah agar tak mengungkapkan jati dirinya saat ia disiksa. Rupanya, ia melakukannya karena ia takut bila ia juga dihadapkan pada cobaan yang sama. Namun, ketika gilirannya tiba, meskipun ia dibelah dua, ia tak menanggalkan keyakinannya. Lalu, mengapa ia meminta sang bocah agar tak membuka jati dirinya pada kesempatan pertama? Jawabannya ada dua hal: pertama, seseorang seyogyanya berusaha menjauhkan diri dari cobaan, karena ia tak dapat memastikan hasilnya, dan kedua, ia semestinya tak berharap agar diuji, karena, dengan berharap ia diuji, ada unsur kesombongan yang dapat membatalkan amal-shalihnya itu. Dan itulah sebabnya mengapa Rasulullah (ﷺ) tak manganjurkan agar manusia mengharapkan bertemu dengan musuhnya, seperti yang diriwayatkan dalam hadis berikut ini, "Wahai manusia! Janganlah ingin bertemu musuhmu. Sebagai gantinya, mintalah perlundungan Allah dari segala cobaan. Dan jika engkau bertemu mereka, maka bersabarlah, dan ketahuilah bahwa Firdaus itu ada di bawah bayang-bayang pedang."

Murai kemudian berkata, "Wahai saudara-saudariku, sihir itu nyata, dan inilah sebuah sains yang memiliki prinsip dan aturan mendasar. Setiap hari, sang bocah pergi ke sang penyihir untuk mempelajari prinsip-prinsip sihir. Namun, sihir adalah salah satu ilmu yang dilarang. Imam adz-Dzahabi berkata, "Di antara ilmu yang dilarang adalah sihir, alkimia protosains, perdukunan, jampi-jampi, ilusionis, astrologi, geomansi. Ada di antaranya tindakan kekufuran.
Kesimpulannya, kisah ini mencakup sebuah hasil yang sebenarnya bertentangan dengan cara yang diinginkan manusia: Allah menginginkan bocah yang sama, yang masyarakat inginkan menyeru kepada kebatilan, menjadi penyeru Kebenaran. Dan di jalan yang sama, yang ditempuh sang bocah menuju sang penyihir, ia bertemu dengan sang rahib, duduk bersamanya, mendengarkannya, dan terkesan dengan ucapan-ucapannya.
Kisah ini mencakup sebuah hasil yang baik, karena penyebabnya yang sederhana: sang bocah membunuh binatang yang menghalangi jalan dengan menggunakan batu kecil. Ini juga pelajaran yang bisa kita pelajari dari sang raja yang dikalahkan, dan bahwa apa yang dikhawatirkan terjadi, terjadi karena bocah ini.
Kisah ini juga mencakup berbagai hasil yang terjadi berdasarkan sebab tunggal: ketika sang bocah dan laskar sang raja berada di gunung dan gunung bergetar menyebabkan semuanya runtuh, sang bocah berjalan pulang ke sang raja. Demikian pula, ketika sang bocah dan laskar sang raja berada di atas kapal dan kapal itu menenggelamkan semua laskar itu, dan sekali lagi, sang bocah melangkah pulang menemui sang raja.
Dari sejumlah kebenaran ini, kita dapat memahami firman Allah Subhanahu wa-ta'Ala, "Mahakuasa berbuat apa yang Dia kehendaki.," karena ayat inilah yang menunjukkan Al-Haq dari segala yang hak. Wallahu a'lam."
"Binasalah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (yang mempunyai) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang mukmin. Dan mereka menyiksa orang-orang mukmin itu hanya karena (orang-orang mukmin itu) beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu." - [QS.85:4-9]
Referensi :
- Shaykh Rifa'i Surur, People of the Ditch, at-Tibyan Publications
- Dr. Abu Ameenah Bilal Philips, A Commentary of Surah Al-Buruj, Al-Hidaayah Publishing