Selasa, 30 Oktober 2018

Pelajaran dari Sirah : Penuh Kepastian (2)

Sang politisi melanjutkan, "Rasulullah (ﷺ), seperti nabi-nabi lain sebelum beliau, dididik langsung oleh Allah, dan iman beliau, diperkokoh dalam kekokohan yang belum pernah ada; untuk mengajak orang lain agar beriman. Allah memerintahkan,
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat." - [QS.26:214]
Tantangan pertama datang ketika Allah memerintahkan Baginda Nabi (ﷺ) mengundang kaum-kerabatnya agar beriman dan memperingatkan mereka tentang akibat bila melanjutkan gaya hidup saat itu, yakni politeisme dan kerusakan sosial didalam masyarakat. Telah disebutkan peristwa ketika Baginda Nabi (ﷺ) keluar dan berdiri di Bukit Safa dan menyeru, ‘Wa Subahaa’.
Inilah cara para Nabi, yang diperintahkan Allah dalam menyampaikan pesan, jelas, tanpa ragu-ragu dan tak membingungkan. Jadi, para Nabi itu, tak berbelit-belit, bermanis-manis dalam ucapan atau cara lain. Baginda Nabi (ﷺ), berbicara dengan jelas dan langsung. Kaumnya terkejut. Bagi masyarakat materialis, entitas itu, sangat penting. Mereka yakin pada apa yang dapat mereka lihat dan sentuh, dapat dibeli dan dijual. Namun membicarakan tentang kematian dan akhirat, mata merekapun sayu dan memandang curiga pada sang pembicara, seolah-olah kecewa. Di mata mereka, membicarakan sesuatu yang ghaib, menampakkan bahwa engkau tak cerdas, modern atau ilmiah. Masyarakat materialistis hidup seolah-olah mereka takkan pernah mati dan seakan tiada kebangkitan dan perhitungan. Dan siapapun yang mengingatkan mereka tentang realitas maut dan akhirat, takkan disambut, bahkan ditentang. Aturan yang sama terjadi pada masa sekarang ini, 15 abad kemudian.

Kehidupan Rasulullah (ﷺ) di Mekah adalah rangkaian kesulitan demi kesulitan, yang semakin bertambah, dan perlawanan yang semakin berat. Namun perlawanan akan membangun kekuatanmu, selama engkau tak menyerah padanya. Semakin besar perlawanan itu, akan semakin membangun kekuatanmu selama engkau berdiri-tegak melawannya. Seperti dalam pembentukan tubuh, angkat bebanlah yang membangun kekuatan pada ototmu. Begitu pula dalam Dakwah, menyerukan kebenaran dan bersikap-tegas serta sabar terhadap perlawanan, membangun Imanmu. Inilah praktik yang dilakukan umat Islam di Mekah. Ada banyak kisah tentang segala jenis penganiayaan yang dialami Baginda Nabi (ﷺ). Mereka yang berani mengikutinya, juga mengalami penganiayaan yang kejam, bahkan penyiksaan dan ada diantara mereka yang terbunuh. Semua ini dilakukan dengan blangko-mandat penuh oleh para penguasa Quraisy, yang kaya dan berkuasa. Namun semua yang terjadi ini, malah membuat keyakinan mereka kepada Allah, semakin kokoh.
Kaum Quraisy Mekah, dimana Baginda Nabi (ﷺ) sendiri adalah anggotanya, dan termasuk yang paling unggul di antara mereka - Bani Hasyim - yang paling dominan menganiaya beliau. Mereka mencoba segala cara yang mereka bisa. Mereka mengancam, menyebarkan propaganda, memfitnah nama baik dan karakternya, dan bahkan menyerangnya secara fisik. Ketika tak satupun dari semua itu berfungsi mengancam atau menghentikan beliau dari dakwahnya, mereka memutuskan, menggoda beliau dengan status, raja dan kekayaan.

Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu, berkata, “Para pemimpin Quraisy mengutus seseorang, mengundang Rasulullah (ﷺ), yang kemudian datang dengan penuh semangat, mengira bahwa mereka mungkin telah berubah sikap dan melunak. Utbah berkata, ‘Kami memanggilmu untuk berdamai. Kami belum pernah melihat orang yang telah membawa begitu banyak keburukan pada kaumnya. Engkau telah mencaci leluhur kami, mengkritik agama kami, melaknat tuhan-tuhan kami, dan melakukan segalanya untuk menimbulkan keretakan di antara kami. Jika engkau melakukan ini karena butuh uang, kami akan mengumpulkan uang dan memberinya padamu sampai engkaulah yang terkaya di antara kami. Jika engkau menginginkan kekuasaan, kami akan memilihmu menjadi raja kami. Jika engkau menginginkan wanita, kami akan memilihkan 10 wanita tercantik dan menyerahkannya padamu. Jika engkau kerasukan setan, kami akan menghabiskan seluruh uang kami, sampai engkau sembuh.
Baginda Nabi (ﷺ) berkata, ‘Apa yang engkau katakan, takkan berlaku bagiku. Tiadalah kubawa pesan ini untuk mencari kekayaan atau kehormatan darimu. Aku juga tak tertarik pada kekuasaan atasmu. Allah telah mengutusku sebagai seorang Utusan. Dia telah mewahyukan pesan kepadaku dan telah memerintahkan padaku agar mewartakan berita baik dan memperingatkanmu. Aku telah membawakan untukmu pesan dari Rabb-ku, dan telah menasihatimu. Jika engkau menerima pesanku itu, akan baik untukmu di dunia ini dan akhirat kelak. Jika tidak, aku akan menunggu keputusan Allah saat Dia memutuskan urusan antara engkau dan aku.'
Mereka berkata, ‘Jadi, engkau menolak tawaran kami. Engkau telah tahu, betapa sempitnya tanah kami dan betapa miskinnya kami, serta betapa sulitnya hidup kami. Mengapa engkau tak menyampaikan kepada Rabb-mu agar memindahkan gunung-gunung itu, dan memberi kami sungai-sungai seperti yang ada di Suriah dan Irak. Dan sampaikanlah pada-Nya agar menghidupkan kembali nenek-moyang kami (Kusai bin Kilab) dan jika mereka berkata kepada kami bahwa engkau mengatakan yang sebenarnya, kami akan mengikutimu." Baginda Nabi (ﷺ) berkata," Itu bukanlah alasan mengapa aku diutus. Aku hanya membawa dari Allah apa yang telah diwahyukan dan aku telah menyampaikannya kepadamu. Jika engkau menerimanya, itu baik bagimu di dunia dan akhirat. Jika engkau menolaknya, maka aku akan menunggu dengan sabar, agar Allah menengahi perkara di antara kita. "
Kemudian mereka berkata, "Mengapa engkau tak meminta Rabb-mu agar mengutus malaikat agar bersaksi bahwa engkau mengatakan yang sebenarnya? Dan mengapa engkau tak meminta pada-Nya agar memberikan kami istana, ladang, serta emas dan perak. Dan juga, mengapa engkau tak meminta pada-Nya agar memberimu nafkah tanpa harus bekerja. Kami melihat bahwa engkau juga berdagang seperti kami. Sampaikan pada Rabb-mu, agar menganugerahkanmu kekayaan, sehingga engkau menjadi orang yang terpandang di antara kami. Engkau tampak sama saja seperti kami semua." Beliau menolak.

Kemudian mereka berkata, ‘Baiklah, bermohonlah kepada Rabb-mu agar menjatuhkan adzab yang telah engkau janjikan kepada kami. Sampaikan kepada Rabb-mu agar menjatuhkan langit di atas kepala kami, jika engkau berkata benar. Tidakkah Rabb-mu mengetahui pertanyaan-pertanyaan yang akan kami tanyakan kepadamu? Bagaimana mungkin Dia tak menolongmu menjawabnya? Kami tahu siapa yang mengajarimu semua hal ini. Dialah lelaki dari Yamama bernama ar-Rahman. Kami takkan percaya padanya ataupun padamu. "
Baginda Nabi (ﷺ) pulang dengan perasaan sedih atas penolakan itu. Aqil bin Abi Talib, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa kaum Quraisy mengeluh kepada Abu Talib, bahwa Baginda Nabi (ﷺ) mengacaukan pertemuan mereka. Abu Talib dengan lembut meminta Rasulullah (ﷺ) agar menghentikan Dakwahnya. Baginda Nabi (ﷺ) berkata, ‘Paman, lihatkah engkau matahari itu? Aku tidaklah mampu menghentikan matahari itu dan engkau tidaklah mampu mendapatkan nyalanya dibandingkan aku menghentikan pesan ini." Abu Thalib berkata,"Aku mempercayaimu. Teruskan dan lakukanlah apa yang harus engkau lakukan.'
Insiden terakhir inilah segel yang menunjukkan dengan baik dalam kepastian penuh beliau pada pesan yang telah dituntutnya, dan komitmen terhadap tanggungjawab beliau. Tak ada yang bisa mencegahnya atau memperlambatnya, atau membujuknya untuk melemahkan pesannya. Tak ada yang bisa membenarkannya secara politis atau menakutinya atau memaksanya berhenti berdakwah atau mengkompromikan pesan dengan cara apapun, agar menyenangkan siapapun. Beliau hanya peduli dengan ridha Sang Pencipta dan hanya berupaya mencapainya, berapapun biaya yang harus dibayar.


Karakter Baginda Nabi (ﷺ), qadarullah, sehingga bahkan musuh-musuhnya harus mengakui kebenaran dan ketulusannya. Salah satu kisah yang paling dikenal, yang menggambarkan hal ini, adalah tentang pertemuan Abu Sufyan dengan Heraclius, Kaisar Bizantium. Ini terjadi sebelum Abu Sufyan memeluk Islam dan merupakan pemimpin oposisi terhadap Baginda Nabi (ﷺ) dan musuhnya yang paling kuat di Mekah.
Pada periode setelah Perjanjian Hudaibiyah, antara Quraisy Mekah dan Baginda Nabi (ﷺ), beliau berkirim surat kepada raja-raja negeri seberang untuk mengundang mereka masuk Islam. Baginda Nabi (ﷺ) bersabda kepada para Sahabat, ‘Aku hendak mengutus beberapa dari kalian kepada raja-raja negeri seberang. Janganlah berbantah di antara kalian tentangku, seperti Bani Israil berbantah tentang Isa putra Maryam." Mereka berkata, "Wahai Rasulullah! Kami takkan pernah menentangmu mengenai apapun juga. Perintahkanlah kami untuk bergerak.' Pergi menemui raja di negeri asing, yang sebagian besar menunjukkan sikap permusuhan, bukanlah tugas yang mudah. Perjalanan yang penuh marabahaya, namun, semangat para Sahabat, qadarullah, sehingga masing-masing bersaing dengan yang lain untuk kehormatan terpilih sebagai Duta Besar Rasulullah (ﷺ).
Baginda Nabi (ﷺ) menunjuk Dihyah Wahi al-Kalbi, radhiyallahu 'anhu, untuk menyampaikan surat beliau kepada Heraclius, Kaisar Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium. Inilah nama yang mereka pergunakan untuk menyebut diri mereka, dan kaum Muslimin biasa menyebut mereka sebagai bangsa Rum. Bizantium adalah kata yang dibuat kurang dari seabad yang lalu dan tak digunakan pada zaman Baginda Nabi (ﷺ). Ibukota Kekaisarannya adalah Konstantinopel, sekarang dikenal sebagai Istanbul. Kekaisaran Romawi terpecah menjadi bagian Barat dengan ibukotanya di Roma, dan bagian Timur dengan ibukotanya di Kontantinopel. Heraclius adalah seorang komandan militer asal Qart Hadast, atau Kartago, dekat kota Tunis, di Tunisia, yang naik pangkat menjadi Kaisar Romawi Timur pada tahun 610 Masehi.

Kekaisaran Romawi, saat itu, sedang mengalami masa krisis dan dihajar oleh Persia, dan mereka kalah dalam perang demi perang. Pada tahun 613 M, Damaskus jatuh, dan kemudian pada tahun 614 M, Yerusalem jatuh, dan orang-orang Persia membawa apa yang disebut 'Salib Sejati'. Inilah kayu salib yang dipercaya oleh orang Nasrani tempat Yesus disalibkan. Namun karena Nabi Isa, alaihissalam, tak disalibkan sama sekali, itu bukanlah hal yang shahih, namun orang-orang Nasrani yakin bahwa itulah peninggalan yang paling penting dari kaum Nasrani. Heraclius adalah pemimpin yang kuat dan komandan militer yang baik, tetapi pasukannya kalah dari Persia. Pada tahun 621 M, Heraclius sendiri memimpin pasukan melawan Persia dan mengambil-alih kota demi kota dan mengambil apa yang diambil dari mereka termasuk Salib Sejati. Ia akhirnya memasuki Persia dan mengalahkan bangsa Persia di negara mereka sendiri. Allah mewahyukan peristiwa ini dalam Sura ar-Rum (1-4). Pada tahun 630 M, Heraclius berarak menuju Yerusalem tanpa alas kaki sebagai seorang peziarah Nasrani, untuk memenuhi sumpahnya dan ia mengembalikan Salib Besar ke tempatnya di Gereja Makam Suci. Ia disambut dengan luar biasa, dengan karpet dan bunga, serta diterima dengan sangat hormat. Pada saat itulah, ketika ia berada di puncak kekuasaan dan kemuliaan, ia menerima surat dari Baginda Nabi (ﷺ).
Heraclius memperhatikan Dakwah Baginda Nabi (ﷺ), namun pada akhirnya ia menolak. Allah memutarbalik kemenangan Romawi, dan iapun kehilangan kota demi kota, Mesir, Suriah, Palestina, Yordania, dan Libanon, dan pada akhirnya, pada masa Muhammad al-Fatih, tak ada lagi Kekaisaran Romawi Timur, di saat Konstantinopel jatuh kepada kaum Muslimin.

Dihyah al-Kalbi, adalah lelaki yang sangat tampan. Ketika Jibril menemui Baginda Nabi (ﷺ) dalam bentuk manusia, ia tampak mirip dalam rupa Dihyah al-Kalbi. Heraclius membaca surat itu dan berkata, "Geledah Asy-Syam dan bawakan aku beberapa orang dari kaum ini." Prajuritnya menemukan Abu Sufyan dan kawan-kawannya di Gaza dan membawanya menjumpai Heraclius. Heraclius memerintahkan para prajurit yang mengawal Abu Sufyan berdiri di belakangnya, dan berkata kepada mereka, "Jika ia berbohong, berilah isyarat padaku." Abu Sufyan berkata, "Aku belum pernah bertemu orang yang lebih lihai dan cerdas dari orang ini. Aku tahu orang-orangku takkan mengkhianatiku di hadapannya, namun aku, orang yang terhormat dan bermartabat, serta tak ingin berdusta di hadapan mereka. Aku juga khawatir mereka akan menyampaikan kepada orang lain dan aku akan dikenal sebagai pembohong."
Heraclius bertanya, 'Siapa Muhammad (ﷺ)?' Abu Sufyan berkata, 'Huwa Saahirul Kazzab' - Ia seorang penyihir yang pembohong.' Heraclius berkata, 'Aku tak tertarik mendengar umpatan. Yang kuinginkan agar engkau menceritakan tentang dirinya.' Heraclius, ' Silsilah keluarga seperti apa yang ia miliki di antara kalian? ' Abu Sufyan, 'Leluhurnya, orang terhormat.' Heraclius, 'Adakah leluhur-leluhurnya yang menjadi raja?' Abu Sufyan, 'Tidak.' Heraclius, 'Adakah di antara kalian yang keluar dengan pernyataan yang sama sebelumnya?' Abu Sufyan, 'Tidak.' Heraclius, 'Apakah mayoritas pengikutnya termasuk bangsawan atau orang miskin?' Abu Sufyan, 'Orang miskin.' Heraclius, ‘Bertambah atau berkurangkah mereka? ' Abu Sufyan, 'Mereka mulai bertambah.' Heraclius, 'Adakah di antara mereka yang murtad dari agamanya setelah menerimanya?' Abu Sufyan, 'Tidak.' Heraclius, 'Pernahkah engkau tahu, ia berbohong sebelum ia mulai membuat pernyataan itu? 'Abu Sufyan,' Tidak. 'Heraclius,' Adakah alasan ia dianggap pengkhianat? 'Abu Sufyan, 'Tidak. Namun kami memiliki perjanjian gencatan senjata dengannya, namun kami tak tahu, apa yang akan ia lakukan pada periode itu. "(Abu Sufyan berkata," Inilah satu-satunya hal negatif yang dapat kuselipkan.') Heraclius, 'Pernahkah kalian berperang melawannya? "Abu Sufyan," Ya. "Heraclius," Bagaimana pertempurannya? "Abu Sufyan," Kadang-kadang ia menang dan kadang-kadang kami menang. "
Heraclius, ‘Seruan apa yang ia sampaikan kepada kalian? 'Abu Sufyan, "Ia menyampaikan agar kami menyembah hanya Allah tanpa ada tuhan yang lain. Ia menyampaikan agar kami tak mengikuti ajaran leluhur kami. Ia memerintahkan agar kami menegakkan shalat, berlaku jujur ​​dan bersih, bersikap baik kepada sesama manusia.'

Kemudian Heraclius berkata, 'Engkau telah berkata bahwa ia berasal dari keturunan orang yang terhormat. Inilah perkara yang sama dengan semua nabi dan rasul. Engkau telah menyampaikan bahwa tak ada yang membuat pernyataan seperti itu di antara kalian sebelumnya. Jadi, aku tak dapat mengatakan bahwa ia meniru siapapun. Engkau juga menafikan bahwa leluhurnya adalah raja, jadi ia tak menuntut hak waris kerajaan. Engkau juga mengatakan bahwa ia tak pernah berbohong sebelum menyampaikan pesan ini. Karenanya, aku tahu bahwa ia takkan memulai kebohongannya tentang Allah. Engkau menyatakan bahwa orang-orang miskinlah pengikutnya. Ini semua sama dengan para utusan Allah. Fakta bahwa pengikutnya terus bertambah, selalu dikaitkan dengan iman yang benar hingga mencapai kesempurnaan. Engkau juga telah menyebutkan bahwa tak ada seorangpun yang murtad dari agamanya setelah memeluknya. Inilah karakteristik dari iman sejati, ketika cahayanya menyinari qalbu manusia. Engkau juga menafikan bahwa ia pengkhianat dan tiada Utusan Allah yang khianat. Engkau juga mengatakan kepadaku bahwa ia mengajakmu agar beriman pada Keesaan Allah, menegakkan shalat, berlaku jujur ​​dan bersih. Jika apa yang engkau katakan padaku benar, maka ia akan memiliki kekuasaan tertinggi di sini, di tempatku berdiri. Aku tahu, waktunya telah tiba, namun tak mengira bahwa ia akan berasal dari kaum kalian. Andai itu dibawah kekuasaanku, aku pasti akan menempuh kesulitan, bertemu dengannya dan membasuh kakinya."

Surat kepada Heraclius, yang disampaikan oleh Dihyah al-Kalbi, berisi
Bismillahirrahmanirrahiim
Dari Muhammad, hamba Allah dan utusan-Nya
Kepada Heraclius, raja Romawi
Salaamun ‘ala manit-taba’al huda, amma ba’du
(keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk, selanjutnya)
Aku mengajakmu dengan seruan Islam. Masuklah Islam, kelak engkau akan selamat. Allah akan menggandakan pahala kepadamu. Jika engkau berpaling (tidak menerima), maka engkau menanggung semua dosa kaum Arisiyin (para pengikut dari kalangan keluarga kerajaan).
Katakanlah, “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tak menyembah selain Allah dan kita tak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan bahwa kita tak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”
Setelah surat itu dibacakan, Abu Sufyan berkata, ‘Ketika ia mengatakan apa yang ia katakan, dan ia telah selesai membacakan surat itu, terdengar suara riuh di sekeliling, sehingga kami tergiring keluar. Aku berkata kepada kaumku, ‘Perkara (Ibnu Abu Kabsya) ini, telah mencapai titik dimana ia bahkan menakuti sang raja berkulit kuning. Setelah itu, aku yakin bahwa ia akan menang, dan setelahnya, Allah menarikku ke dalam Islam.'
Heraclius berusaha menyampaikan kepada para tetuanya, bahwa mereka seyogyanya menerima Islam, namun mereka sangat marah sehingga berkata kepada mereka bahwa ia hanya menguji keyakinan mereka. Ia takut akan kehilangan kekuasaannya. Abu Sufyan mengatakan bahwa keringat turun dari dahi Heraclius ketika surat itu dibacakan kepadanya. Ia tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun tak berani menerimanya. Ia menyampaikan kepada seseorang, jika ia dapat menghubungi Muhammad (ﷺ), ia akan melakukannya, akan tetapi, ia takut kehilangan kerajaannya dan tak menerima Islam.

Ada pelajaran besar dalam masalah Heraclius ini, dimana jelas nampak kecintaanya akan kerajaannya, mengalahkan penerimaan imannya, dan ia menolak Islam serta memilih kerajaan di dunia ini. Berapa kali kita jatuh ke dalam perangkap yang sama, bukan yang berhubungan dengan memeluk Islam, melainkan yang terkait dengan menaati aturannya? Aturan bagi keuntungan kita sendiri, di dunia fana ini dan di dunia selanjutnya, namun kita terjatuh ke dalam perangkap Setan atau tunduk pada tekanan dari teman dan sahabat kita yang sesat, seperti yang dilakukan Heraclius dan melanggar aturan Allah. Kita lupa bahwa hidup ini adalah ujian, dan hasil dari ujian itu, adalah apa yang akan kita lihat ketika kita bertemu Allah.
Pelajaran kedua, yang kita pelajari, bahwa jika karakter pemimpin itu, bersih, dan ia tulus dalam misinya, maka bahkan musuh-musuhnya akan dipaksa berbicara sesuai keinginannya. Ini sangat jelas terlihat dalam kehidupan Baginda Nabi (ﷺ). Bahkan mereka yang berusaha memfitnahnya, tereduksi menjadi tuduhan palsu dan fitnah, karena mereka tak dapat menemukan apapun dalam karakternya yang dapat dikritik. Fitnah mereka jelas terlihat apa adanya; fristasi kemarahan yang takkan memungkinkan mereka menerima kebenaran.
Di sisi lain, dalam keadaan apapun, terutama yang berada dalam posisi netral, melihat dan mendengarkan, serta perlahan-lahan qalbu mereka tertarik pada orang yang mulia dan jujur. Dan lambat-laun, menjadi pengikut. Namun dalam dakwah Islam, kita tak boleh melupakan fakta bahwa pada akhirnya, hanya ridha Allah-lah yang penting; bukan jumlah pengikut atau tingkat popularitas. Inilah yang terjadi dalam situasi Baginda Nabi (ﷺ) dimana dalam kurun waktu 23 tahun, beliau berubah dari yang paling dibenci menjadi orang yang paling dicintai. Namun semua itu, butuh 23 tahun. Kesabaran itu tak mudah. Namun kesabaran, selalu membuahkan hasil."

Sang politisi kemudian berkata, "Wahai anak muda, bagi pemimpin manapun, penuh kepastian inilah satu-satunya syarat paling kritis, menjadi sendi kredibilitasnya. Seseorang hanya dapat memberikan apa yang dimilikinya. Jadi, jika sang pemimpin ingin menularkan semangatnya ke dalam qalbu pengikut-pengikutnya, keyakinannya tak boleh goyah. Sang pemimpin akan diuji keyakinannya, dan harus tetap berdiri-teguh dan menunjukkan komitmen totalnya sampai jelas bagi semua yang memperhatikan. Kemudian, ia akan melihat gelombang pasang dan orang-orang akan beralih ke sisinya, seperti juga yang terjadi pada Baginda Nabi (ﷺ). Orang mendengarkan dengan kedua-mata mereka. Mereka tak peduli apa yang engkau ucapkan, sampai mereka melihat apa yang engkau lakukan. Ketika mereka melihat sang pemimpin menunaikan apa yang pernah diucapkannya, maka mereka sadar bahwa ia bersungguh-sungguh dan mulai mempertimbangkan pesannya dengan serius. Kemudian ketika mereka melihat manfaat yang semakin bertambah, semakin banyak yang akan mengikutinya. Wallahu a'lam."
"Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan, dengan karunia Rabb-mu, engkau (Muhammad) bukanlah orang gila. Dan sesungguhnya engkau pasti mendapat pahala yang besar yang tiada putus-putusnya. Dan sesungguhnya, engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur. Maka kelak engkau akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kamu yang gila?" - [QS.68:1-6]
[Bagian 1]
Rujukan :
- Muhammad Al-Ghazali, Fiqh-us-Seerah, IIFSO
- Mirza Yawar Baig, Leadership Lesson from the Life of Rasoolullah (ﷺ), Standard Bearer Academy.