Jumat, 13 September 2019

Kelegaan Hati

Sesaat, kucica terdiam. Lalu berkata, "Wahai saudara-saudariku! Seorang hamba takkan tersiksa oleh siksaan yang berat terkecuali saat hati menjadi keras dan jauh dari Allah. Kekerasan hati muncul karena empat hal, yakni berlebih-lebihan dalam kebutuhan makan, tidur, berceloteh dan bersosialisasi. Hati yang melekat pada nafsu duniawi, terhalang dari Allah sejauh keterikatan itu.


Maka, bukalah hatimu! Cara terbaik untuk membuka hati, adalah tauhid. Hal ini berdasarkan keparipurnaannya. Kekuatan dan kelapangannya, melegakan hati pemiliknya. Petunjuk dan tauhid itu, cara terbaik untuk membuka hati, sedangkan syirik dan kesesatan itu, cara terbaik untuk mengekang hati. Allah berfirman,
فَمَنۡ یُّرِدِ اللّٰہُ اَنۡ یَّہۡدِیَہٗ یَشۡرَحۡ صَدۡرَہٗ لِلۡاِسۡلَامِ ۚ وَ مَنۡ یُّرِدۡ اَنۡ یُّضِلَّہٗ یَجۡعَلۡ صَدۡرَہٗ ضَیِّقًا حَرَجًا کَاَنَّمَا یَصَّعَّدُ فِی السَّمَآءِ ؕ کَذٰلِکَ یَجۡعَلُ اللّٰہُ الرِّجۡسَ عَلَی الَّذِیۡنَ لَا یُؤۡمِنُوۡن
"Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan ia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tak beriman." (QS. Al-An'aam [6]:125)
Dari cara membuka hati itulah, cahaya yang Allah letakkan di dalam hati hamba-hamba-Nya; sesungguhnya, berkembang dan membawa sukacita didalam hati. Jika hati hampa dari cahaya itu, ia akan menyempit sehingga menjadi lebih rapat dari sel penjara.

Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Ketika cahaya (kebenaran) memasuki hati, ia melapang dan terbuka." Para sahabat bertanya, "Adakah bukti tentang hal ini (dalam kehidupan seorang Muslim)?" Beliau menjawab, "Pikirkanlah selalu kehidupan kekal di akhirat, dan tetaplah berjaga-jaga dalam kehidupan fana' ini, dan persiapkan diri terhadap kematian sebelum ia datang." [HR Al-Hakim]
Hati sang hamba akan terasa lapang sebanding dengan porsi cahayanya.


Ilmu, juga dapat membuka hati dan melapangkannya hingga menjadi lebih luas dari dunia, sedangkan kebodohan, menyempitkan hati dan menutupnya. Setiap kali ilmu seseorang itu meluas, hatinya bertambah lega. Namun hal ini tak terjadi terhadap seluruh ilmu; melainkan hanya terjadi pada ilmu yang merupakan warisan Rasulullah (ﷺ). Inilah ilmu yang bermanfaat. Orang-orang berilmu, memiliki dada yang paling lapang, hati yang paling lega, dan perilaku yang paling baik.

Hati juga terbuka oleh pengabdian kepada Allah, mencintai-Nya dengan segenap hati, kembali kepada-Nya, dan menikmati ibadah kepada-Nya. Tiada yang dapat melegakan hati lebih dari itu, sehingga terkadang disebutkan, “Jika aku berada didalam surga dalam keadaan ini, maka akan menjadi kehidupan yang baik.”


Cinta, juga punya pengaruh luar biasa dalam melegakan hati dan menyembuhkan jiwa; tak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang mengalaminya. Semakin meningkat cinta dan semakin kuat ia, semakin lega hatimu. Sebaliknya, hal terbesar yang menyempitkan hati itu, berpaling dari Allah dan melekatkan hati selain kepada-Nya, melalaikan-Nya, dan mencintai selain Dia. Siapapun yang mencintai selain Allah, akan tersiksa oleh hal-hal itu, dan akan memenjarakan hatinya.

Terus-menerus mengingat Allah dalam setiap keadaan, juga akan membuka hati. Dan sama seperti mengingat Allah, yang memiliki efek yang luar biasa dalam mengembangkan hati, maka bila melalaikan Allah, memiliki efek yang luar biasa dalam menyempitkan dan menyiksa hati.

Hati, juga akan terbuka dengan berbuat baik terhadap sesama ciptaan dan memberi manfaat kepada mereka dengan berbagai perbuatan baik, semisal sedekah uang maupun tenaga. Kemurahan hati memperluas hati dan menyembuhkan jiwa, sementara kekikiran menyempitkan hati. Rasulullah (ﷺ) memberi perumpamaan tentang orang kikir. Beliau (ﷺ) bersabda,
مَثَلُ الْبَخِيلِ وَالْمُتَصَدِّقِ مَثَلُ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُبَّتَانِ مِنْ حَدِيدٍ، قَدِ اضْطَرَّتْ أَيْدِيَهُمَا إِلَى تَرَاقِيهِمَا، فَكُلَّمَا هَمَّ الْمُتَصَدِّقُ بِصَدَقَتِهِ اتَّسَعَتْ عَلَيْهِ حَتَّى تُعَفِّيَ أَثَرَهُ، وَكُلَّمَا هَمَّ الْبَخِيلُ بِالصَّدَقَةِ انْقَبَضَتْ كُلُّ حَلْقَةٍ إِلَى صَاحِبَتِهَا وَتَقَلَّصَتْ عَلَيْهِ وَانْضَمَّتْ يَدَاهُ إِلَى تَرَاقِيهِ ‏"‏‏.‏ فَسَمِعَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ ‏"‏ فَيَجْتَهِدُ أَنْ يُوَسِّعَهَا فَلاَ تَتَّسِع
“Perumpamaan orang yang bakhil (kikir) dengan mutashoddiq (orang yang gemar bersedekah) ibarat dua orang yang masing-masing mengenakan baju besi yang terpotong bagian lengannya hingga tulang selangka keduanya. Setiap kali sang mutashoddiq hendak bersedekah, maka bajunya akan melonggar dan akhirnya menutupi ujung kakinya dan bekas jalannya. Jika orang yang bakhil (pelit) ingin berinfak, baju besinya mengerut, dan setiap baju besi tetap di tempatnya (tak melebar).
Abu Hurairah رضى الله عنه berkata, “Aku mendengar Rasulullah (ﷺ) sambil meletakkan jari-jari di saku, beliau (ﷺ) berkata, "Kalau engkau melihatnya (orang yang bakhil), melonggarkannya, niscaya sakunya tetap tak menjadi longgar“ [Sahih Al-Bukhari]
Keberanian, juga membuka hati; dengan demikian, seorang pemberani, memiliki hati yang terlapang, sedang para pengecut, memiliki hati yang paling sempit. Mereka tak punya kegembiraan, tak ada kebahagiaan, dan tak ada kesenangan kecuali seperti binatang. Adapun kesenangan jiwa, maka para pengecut tak memilikinya. Keadaan dimana orang tersebut akan dikuburkan, akan mencerminkan keadaan hatinya. Ia akan menjadi kenikmatan atau siksaan.


Hati juga dapat terbuka dengan menghilangkan sifat-sifat hina dari hati. Jika seseorang mengimplementasikan sarana untuk melegakan hatinya, namun tak menghilangkan sarana yang menyempitkan hatinya, maka ia takkan bisa memperoleh kelegaan hati.

Membuka hati, dapat juga dengan menjauhkan pandangan, berbicara, mendengarkan, bergaul dengan orang, makan, dan tidur yang berlebihan. Hal-hal yang berlebih-lebihan ini, mengaburkan dan membatasi hati; dan juga, sebagian besar siksaan dalam kehidupan di dunia ini, dan juga di akhirat, berasal darinya. Betapa terkekangnya hati orang-orang yang memanjakan itu semua!?

Wahai saudara-saudariku! Carilah hatimu di tiga tempat ini, yakni tempat dimana Al-Qur'an dibacakan; dalam pertemuan dzikir; dan di saat-saat i'tikaf. Jika engkau tak menemukannya di tempat-tempat ini, mohonlah semoga Allah merahmatimu dengan hati. Karena engkau tak punya hati! Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan. Wallahu a'lam.
Rujukan :
- Rasheed Barbee, One Hundred Pieces of Advice by Ibn Al-Qayyim, Authentic Statements Publishing

Rabu, 11 September 2019

Keutamaan Qalbu (3)

Kucica melanjutkan, "Qalbu itu, dibandingkan dengan ilmu, ibarat cangkir dengan air, atau kendi dengan madu, atau sebuah lembah dengan limpahan hujan. Qalbu memuat ilmu Allah, dan tingkat keyakinannya sesuai dengan berapa banyak keraguan yang ada. Adapun keragu-raguan, perbuatan baik takkan bermanfaat selama keraguan itu masih ada. Di sisi lain, Allah menganugerahkan manfaat kepada orang-orang yang yakin."
Beberapa salaf berkata, "Qalbu itu, wadah-wadah Allah di bumi-Nya. Yang paling dicintai Allah, yang paling peka dan suci." Wadah Allah berarti "wadah yang diciptakan Allah", dan bukan "wadah yang berisi Allah."
Jadi, jika qalbu itu, peka dan lembut, ia dengan mudah menerima ilmu, dan kemudian ilmu itu berakar kuat di dalamnya dan qalbu merasakannya. Di sisi lain, jika qalbu itu, keras dan kasar, akan sulit menerima ilmu.

Bersamaan dengan itu, qalbu hendaknya suci dan sehat, agar ilmu dapat tumbuh dan menghasilkan buah yang baik di dalamnya. Sebaliknya, jika ia menerima ilmu, dan di dalamnya terdapat selut dan najis, ia akan merusak ilmu tersebut dan menjadi gulma dalam tanaman. Walau mungkin tak menghalanginya bertunas, setidaknya gulma itu akan menghambat pertumbuhan dan pembungaan tanaman itu. Maksud ini akan jelas bagi mereka yang merenungkannya.
Jika qalbu digunakan untuk mengenali kebenaran, ia memiliki akan dua sisi, pertama, sisi yang cepat menuju kebenaran, yakni qalbu yang lembut dan peka, dan akibatnya, ia mengikuti pada kebenaran. Dari sudut pandang ini, qalbu disebut sebagai bejana dan wadah, karena penamaan ini merujuk pada apa yang dikandungnya dan diletakkan di dalamnya.

Kedua, sisi yang menjauh dari kepalsuan. Dari perspektif ini, qalbu disebut suci, sehat dan bersih. Karena penyebutan ini menyimpulkan tiadanya keburukan dan tiadanya najis dan selut. Al-Hasan al-Basri pernah berkata kepada seseorang, "Sembuhkanlah hatimu, karena Allah menginginkan hamba-hamba-Nya membersihkan qalbu mereka." Qalbu itu, tak bisa dibersihkan hingga seseorang mengenal Allah, memuja-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, berharap hanya kepada-Nya dan mempercayai-Nya, dan qalbunya dipenuhi dengan ciri-ciri ini. Inilah realisasi sesungguhnya dari pernyataan “Laa ilaaha illallaah.” “Qalbu yang sehat” itu, salah satu kriteria kesuksesan di kehidupan selanjutnya ”.

Elang bertanya, “Apa penyebab utama yang menyebabkan qalbu mengeras?” Kucica berkata, “Pertama, mengabaikan tanda-tanda Allah. Qalbu manusia mengeras setiap kali mereka mengabaikan tanda-tanda Allah. Tanda-tanda Allah itu, petunjuk bagi seseorang. Akibatnya, ketika tanda-tanda itu dengan sengaja dan terus-menerus diabaikan, qalbu mengeras terhadapnya dan tak ada pengaruhnya. Tanda-tanda Allah ada di sekitar dirinya, dan bahkan, di dalam diri orang itu sendiri. Sebelum, selama, dan setelah seseorang berbuat dosa, berbagai sinyal peringatan berbunyi seperti alarm. Sebelum melakukan dosa, hati-nurani bawaan mengenali dosa tersebut, sehingga calon pendosa dapat menghentikan dirinya sendiri sebelum niat itu menjadi perbuatan. Ilmu inilah, tentang kesadaran untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang diilhamkan Allah di setiap qalbu manusia. Kemudian, jika orang yang berpotensi berdosa itu berjalan dengan lesu mengabaikan hati-nuraninya, malaikat yang ditugaskan kepada setiap orang, menasihatinya, agar tak melanjutkan niatnya itu. Setelah tanda-tanda spiritual itu, Allah kemudian mengirimkan serangkaian tanda fisik untuk menghalangi calon pendosa itu. Tanda-tanda fisik bisa berupa, nasihat orang lain, panggilan telepon, ban kempes, dll. Tanda-tanda ini memberi kesempatan kepada calon pendosa itu agar menimbang kembali apa yang akan ia lakukan. Jika ia membatalkan niat-jahatnya, ia beroleh pahala dari Allah bagi dirinya sendiri. Bahkanpun saat benar-benar ia melakukan dosa, tanda-tanda lebih lanjut dikirim agar pendosa itu berhenti sebelum menyelesaikan perbuatannya. Dan setelah berbuat dosa pun, tanda-tanda lain dikirim lagi untuk mendorong pendosa itu agar segera bertobat. Ketika tanda-tanda ini terus-menerus diabaikan, qalbu melebarkan cangkangnya, yang secara efektif menutupinya dari tanda-tanda itu, dan dari pengaruh tanda-tanda itu.

Kedua, melanggar Perjanjian dengan Allah. Yang disebut "Perjanjian" disini, mengacu pada shalat, zakat, kepercayaan pada para nabi, menghormati, mematuhi dan membantu mereka. Dalam masalah shalat, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Perjanjian antara kita dan mereka itu, shalat, sesiapa yang meninggalkannya, menjadi kafirlah ia." Mereka yang hanya shalat pada hari Jum'at atau selama bulan Ramadhan saja, telah melanggar perjanjian dan pertalian dengan Allah. Akibatnya, shalat yang diwajiibkan, takkan memiliki efek yang ditujukan untuk mencegah perbuatan dosa, seperti yang difirmankan Allah, "Seseungguhnya, sholat yang diwajibkan itu, mencegah dari ucapan kotor dan perbuatan buruk." Qalbu yang setiap hari berbuat dosa karena mengabaikan shalat, menjadi ibarat fosil dan tak dapat ditembus oleh efek spiritualnya. Alhasil, ibadah dan ucapan doa, hanya akan menjadi kebiasaan ritual yang dilakukan untuk segala alasan kecuali untuk berkomunikasi dengan Allah dan menggapai ridha-Nya. Demikian pula, ketaatan kepada para nabi merupakan elemen penting dari perjanjian keimanan dengan Allah.

Ketiga, mengabaikan cobaan. Allah menurunkan cobaan untuk menguatkan orang-orang yang beriman, atau untuk mengingatkan mereka yang telah tersesat agar kembali ke jalan yang lurus, dan juga bagi orang-orang kafir agar menemukan agama yang benar dari Allah, atau sebagai hukuman bagi orang-orang munafik dan mereka yang tak dapat memperoleh manfaat dari peringatan tersebut.
Cobaan-cobaan itu, terkadang berfungsi sebagai pengingat yang menghukum bagi mereka yang tersesat dan dorongan bagi mereka agar kembali ke jalan yang benar. Ketika seseorang menyimpang, ia jarang mendengarkan nasehat orang di sekitarnya. Namun, ketika bencana menimpa mereka atau orang-orang yang dekat dan mereka sayangi, hal itu akan mengguncang mereka yang masih memiliki keyakinan untuk menyadari kesalahan mereka.
Bencana juga akan menimpa orang-orang yang mengaku beriman secara keliru, serta menunjukkan orang-orang yang tak beriman bahwa mereka memilih neraka dengan kehendak bebas mereka sendiri. Ada beberapa kasus orang memeluk agama Islam karena alasan yang salah, dan, setelah menemukan lebih banyak kesulitan dalam hidup mereka dibanding sebelum mereka pindah agama, kembali lagi kepada keyakinan sebelumnya.
Mereka yang berbuat zhalim, mengekspos diri mereka pada hukuman di kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya. Didalam Al-Qur'an, Allah menjelaskan banyak bangsa di masa lalu, yang mengingkari petunjuk Allah dan kemudian dihancurkan. Kisah-kisah ini menjadi peringatan bagi umat manusia tentang akibat melawan perintah Allah. Cobaan-cobaan, akan menyebabkan mereka yang tulus tentang kehidupan, menjadi rendah hati, merenungkan keadaan mereka dan memperbaiki kesalahan mereka. Namun, jika cobaan itu terus-menerus diabaikan, qalbu yang sombong dan angkuh akan tersuntik menentang petunjuk dan kukuh pendiriannya melawan kebenaran.

Keempat, kezhaliman. Bentuk kezhaliman terbesar adalah syirik. Orang yang terbiasa mengajak orang lain kepada selain Allah dan merasa kebutuhannya terpenuhi, akan mengalami kesulitan besar melepaskan perbuatan ini. Qalbunya menjadi keras terhadap pesan para nabi, yakni hanya menyembah Allah. Untuk melindungi penyembahan berhala, Setan telah menyiapkan banyak argumen yang menjadi ujian bagi orang kafir dan orang beriman.

Kelima, dzikir yang tak berpengaruh. Mereka yang, ketika diingatkan akan Allah dan perintah-Nya, berpaling, dan mencemooh dan mencaci orang-orang yang mengingatkan mereka, qalbu mereka telah mengeras mengingat Allah. Berbagai kewajiban agama yang diwajibkan, sesungguhnya agar membuat manusia tetap ingat akan Allah, dan untuk membantu mereka membuat pilihan yang tepat dalam hidup. Demikian pula, seluruh amal-shalih, sebenarnya suatu bentuk dzikrullah, karena Dialah yang menuntun manusia untuk melakukannya, melalui nabi dan rasul-Nya.

Keenam, berulangkali berbuat dosa, sepanjang waktu. Rasulullah (ﷺ) memperingatkan agar tidak meremehkan dosa kecil dengan bersabda, “Waspadalah terhadap dosa yang remeh.” Ketika seseorang terbiasa mengabaikan dosa-dosa kecil, qalbunya semakin mengeras terhadap dosa secara umum dan dosa besar, kemudian akan mudah baginya berbuat dosa. Dengan mewaspadai dosa sekecil apapun dan secara hati-hati menghindarinya, orang beriman ini akan sangat terlindungi dari dosa besar.
Di sisi lain, jika seseorang tak berupaya secara sadar untuk menghidupkan kembali imannya dan merenungkan tindakannya, bahkan ibadah yang suci dan tulus, dapat memburuk, bahkan menjadi ritual buta seiring berjalannya waktu. Ada perkataan yang berbunyi, "Kebiasaan akan melahirkan kenistaan." Benak kita akan beralih ke mode otomatis dan tubuh bekerja sesuai dengan perintah, sedangkan qalbu telah mati."
Rujukan :
- Dr. Abu Ameenah Bilal Philips, Commentary on Ibn Taymiyyah's Essay on the Heart, Dakwah Corner Bookstore (M) SDN BHD

Senin, 09 September 2019

Keutamaan Qalbu (2)

Sang elang bertanya, "Apa haknya qalbu itu?" Kucica berkata, "Haknya qalbu itu, mengetahui kebenaran. Dan, kebenaran yang tertinggi itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Qalbu diciptakan hanya untuk mengingat Allah. Allah itu, Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Menetapkan, dan Yang memulakan segala sesuatu yang muncul di dalam benak kita. Apapun ilmu yang dipahami qalbu itu, ada di antara tanda-tanda Allah, yang sangat jelas, di bumi dan langit-Nya. Reka-cipta atau penemuan manusia, sebenarnya sesuatu yang disingkap oleh Allah. Apapun ilmu sejati yang dipelajari manusia, adalah apa yang Allah tunjukkan dan perkenankan agar dapat dipelajari. Ilmu sesat itu, berasal dari Setan. Namun, tanpa seizin Allah, ilmu inipun tak dapat dipelajari. "

Sang elang bertanya, "Jenis ingatan yang manakah, yang merupakan makanan yang baik bagi qalbu?" Kucaci berkata, "Banyak orang sering mengartikan dzikir (mengingat Allah) itu, dalam arti yang sangat sempit: 'mengulang-ulang ucapan tertentu, dalam jumlah yang tertentu.' Namun, dzikir itu sebenarnya, dzikir qalbu dan mengingat Allah dengan sesadar-sadarnya, yang hendaknya menyertai setiap perbuatan dan ucapan orang yang beriman. Sa'id bin Jubair berkata, "Dzikir adalah ketaatan kepada Allah. Sesiapa yang menaati Allah, sebenarnya ia mengingat-Nya. Siapapun yang tak menaati-Nya, bukanlah orang yang mengingat-Nya, walaupun ia bertasbih, dan banyak membaca Al-Qur'an.” Ibnu Taimiyyah menyatakan, "Setiap pernyataan yang dilontarkan lidah dan terkandung dalam qalbu, yang mendekatkan seseorang kepada Allah, termasuk mempelajari ilmu, mengajarkannya, mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran, adalah bentuk dzikrullah.

Mengingat Allah yang seperti ini, adalah makanan qalbu, sedangkan bentuk dzikir formal - dimana seseorang mengingat Allah dengan ucapan-ucapan tertentu, di waktu tertentu, sebagaimana ditentukan oleh sunnah - membantu dan mengembangkan dzikir qalbu yang benar. Lebih jauh lagi, karena dzikir adalah makanan qalbu, qalbu yang kurang makanan itu, qalbu yang mati. Oleh karenanya, Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabb-nya dan orang yang tak mengingat Rabb-nya, ibarat yang mati dan yang hidup.” [HR Bukhari dan Muslim]

Seorang bijak Suriah, yang di masa lalu, berkata, "Mengingat Allah dalam hubungannya dengan qalbu, seperti makanan yang diperlukan oleh tubuh. Maka, karena tubuh tak dapat menemukan kepuasan dalam makanan ketika sakit, demikian juga qalbu tak dapat menemukan lezatnya mengingat Allah karena jatuh cinta pada materi dunia ini," atau sesuatu yang seperti itu.
Ketika seseorang melekatkan-diri dengan materi dunia ini, mengejar dan bersenang-senang dengannya, maka kelekatan ini akan menempati sebagian besar qalbu, yang sebenarnya diciptakan untuk melekatkan-diri kepada Allah. Karenanya, hal tersebut mengalihkan perhatian seseorang dari tujuan yang lebih tinggi, yakni untuk mencapai kedekatan dengan Allah, kebenaran, dan surga. Inilah mengapa Allah memperingatkan kita dengan firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” [QS Al-Munaafiqoon(63):9]
Allah juga berfirman,
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
“Bermegah-megahan telah melalaikanmu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” [QS. at-Takaathur(102):1-2]
Meskipun umat Islam yakin akan fakta bahwa dunia ini akan binasa, banyak yang belum menginternalisasi kenyataan ini dan mengimplikasikannya di dalam qalbu mereka. Mereka malah disibukkan dengan keinginan dan tujuan duniawi mereka, tak sadar betapa kecilnya dunia ini. Suatu kali, Rasulullah (ﷺ) melewati seekor kambing mati yang bertelinga sangat kecil, atau mungkin telinganya terpotong. Rasulullah (ﷺ) mengambilnya dan bertanya kepada para sahabat, "Siapakah di antara kalian yang ingin membeli ini dengan satu dirham?" Mereka berkata, “Kami tak menginginkannya. Untuk apa kami menggunakannya? ” Beliau bersabda, "Adakah diantara kalian yang ingin memilikinya secara percuma?" Mereka menjawab, “Demi Allah, jika ia hidup saja, kami menganggap kambing itu cacat, karena telinganya kecil, apalagi jika ia sudah mati? " Rasulullah (ﷺ) kemudian bersabda kepada mereka, “Demi Allah, dunia ini lebih tak berarti bagi Allah dari pada kambing mati ini, dibanding dengan kalian.” [HR Muslim). Menyadari hal ini, akan membantu kita menerapkan sabda Rasulullah (ﷺ), “Hiduplah di dunia ini ibarat seorang musafir atau pelancong.”

Lebih jauh lagi, terlepas dari upaya seseorang mencari kepuasan dunia ini, upaya inipun tak memastikan bahwa ia akan mencapai apa yang dicarinya. Kenyataannya, orang yang melepaskan dirinya dari kesenangan hidup ini, akan mendapat pahala dunia, kepuasan batin dan kemudahan dalam urusannya. Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Barangsiapa menjadikan dunia ini sebagai tujuan utamanya, maka Allah akan menghambur-hamburkan urusan baginya, Dia akan meletakkan kemiskinan di depan matanya, dan tiada yang akan datang kepadanya dari dunia ini kecuali apa yang telah ditulis untuknya. Tetapi bagi siapa yang menjadikan akhirat tujuannya, maka Allah akan merangkumkan urusannya baginya, Dia akan meletakkan kekayaan di dalam qalbunya, dan dunia akan datang kepadanya, tunduk dan patuh.” Jika qalbu disibukkan dengan mengingat Allah, tahu akan kebenaran, dan merenungkan ilmu, maka qalbu akan berada di tempat yang benar, sama seperti mata ketika digunakan untuk melihat sesuatu berada di tempat yang benar. Yang dimaksud dengan "tempat yang benar" berarti digunakan sebagaimana mestinya. Artinya, tidak disalahgunakan. Di sisi lain, jika tak digunakan untuk ilmu dan bukan untuk mengetahui kebenaran, ia melupakan Rabb-nya dan tak berada di tempatnya. Sebaliknya, ia hilang. Tentunya, tempatnya yang benar adalah kebenaran, dan segala sesuatu selain kebenaran, adalah sesat. Ketika kebenaran ditinggalkan, yang tersisa hanyalah kebathilan dan kesesatan. Oleh karenanya, jika tak berada dalam kebenaran, tiada yang tersisa untuknya kecuali kepalsuan.

Qalbu itu sendiri, tak menerima apapun kecuali kebenaran. Jadi, jika apa yang bertentangan dengan kebenaran, dimasukkan ke dalamnya, qalbu takkan mau menerima apa yang tak dicipta untuknya. Inilah Sunnatullah, dan engkau takkan pernah menemukan perubahan dalam Sunnatullah. Meskipun demikian, qalbu tak pernah dibiarkan sendiri tanpa pengawasan, karena akan selalu berada di lembah pemikiran dan alam aspirasi. Ia takkan pernah berada dalam keadaan kosong dan dibiarkan seperti mata dan telinga. Ia mungkin berada di tempat yang salah, dikekang atau disingkirkan, dimana sebenarnya ia tak punya tempat.

Sungguh menakjubkan bahwa keadaan ini hanya menjadi nyata bagi seseorang ketika ia kembali kepada kebenaran, baik dalam kehidupan ini, ketika ia bertobat, atau ketika ia berakhir di kehidupan berikutnya. Ia akan melihat keburukan dari keadaan dimana ia berada dan seberapa jauh qalbunya tersesat dari kebenaran, jika ia digunakan dalam kesesatan. Di sisi lain, jika qalbu dtempatkan dalam keadaan dimana ia diciptakan, terbebas dari refleksi apapun dan terlepas dari pikiran apapun, ia akan menerima ilmu, terbebas dari kebodohan, dan melihat kebenaran dengan jelas, kemudian beriman kepada Rabb-nya dan kembali bertobat kepada-Nya.

Setiap orang bertanggung jawab akan iman kepada Allah dan pada Hari Kiamat. Setiap manusia memiliki keyakinan kepada Allah, yang tertanam di dalam jiwanya dan Allah menunjukkan kepada setiap penyembah berhala, selama hidupnya, tanda-tanda bahwa berhala itu, bukanlah Allah. Karenanya, setiap manusia yang berakal-sehat, dituntut beriman kepada Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa tanpa sekutu. Namun, Allah melalui rahmat dan berkah-Nya, menerima alasan mereka yang tak membawa risalah ini bersama dengan mereka yang tak mampu memahami risalah ini, karena ketidakmampuan fisik yang ditakdirkan.

Setiap anak lahir dalam fitrahnya. Inilah Sunnatullah di mana Dia menciptakan manusia. Takkan ada perubahan dalam ciptaan Allah. Inilah agama yang benar. Namun, dalam kebanyakan situasi, jiwa ini, disibukkan dengan godaan dunia dan kebutuhan fisiknya, sehingga hasratnya, menghalangi qalbu dari kebenaran. Ibnu al-Qayyim menjelaskan bahwa hasrat menyebabkan keinginan dan tujuan seseorang terdistorsi atau hancur. Cita-cita dan hasratnya menjadi hal-hal yang tak bermanfaat. Hal ini menyebabkan seseorang terlalu memanjakan diri dalam kehidupan duniawi ini karena ia tak memiliki kepastian tentang realitas akhirat. Hal yang berbahaya tentang hasrat adalah bahwa hal itu dapat mempengaruhi seseorang setelah ia memperoleh ilmu, suatu keadaan yang biasanya lebih sulit untuk disembuhkan dibanding kebodohan. Lebih jauh lagi,hasrat itu sangat banyak ragamnya, sehingga seseorang harus berusaha mengendalikan semuanya. Ada nafsu seksual, hasrat akan kekuasaan atau prestise, hasrat akan pujian atau dikagumi karena kecantikan, kekayaan, status, dan bahkan keshalihan atau ilmu pengetahuan, dll. Seseorang bisa menjadi budak hasratnya, sehingga ia melihat kebenaran menurut hasratnya itu. Al-Qurtubi mengutip ucapan Ibnu Mas'ud, "Engkau hidup di masa dimana hasrat dikendalikan oleh kebenaran. Namun, akan tiba saatnya masa dimana kebenaran dibentuk oleh hasrat. Kita berlindung kepada Allah di masa-masa seperti itu. " Dalam esainya, Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, tentang seseorang yang diperbudak oleh hasratnya, “Jika seseorang mencapai apa yang diinginkannya, ia puas dan jika ia tak dapat mencapainya, ia tak puas. Orang seperti ini, hamba (abdi) dari hal-hal yang diinginkannya. Ia adalah budak hasratnya, karena hamba dan penghambaan sejati adalah hamba dan penghambaan qalbu."

Dalam keadaan ini, ia ibarat mata yang menatap ke arah permukaan tanah. Dalam keadaan seperti ini, mustahil baginya melihat bulan sabit, atau bahkan meliriknya. Pernyataan ini dari perumpamaan Al-Qur'an sebagai berikut,
اَفَمَنۡ یَّمۡشِیۡ مُکِبًّا عَلٰی وَجۡہِہٖۤ اَہۡدٰۤی اَمَّنۡ یَّمۡشِیۡ سَوِیًّا عَلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ
“Orang yang merangkak dengan wajah tertelungkupkah, yang lebih terpimpin (dalam kebenaran), ataukah, orang yang berjalan tegak di atas jalan yang lurus?” [QS Al-Mulk (67): 22]
Atau, ia bisa juga condong ke arah kebenaran, namun hasrat dan kebutuhan materi menghalangi qalbunya mengikuti kebenaran itu, dan hal ini, bagaikan mata yang ada kotoran di dalamnya, yang menghalanginya melihat sesuatu. Hasrat dan keinginan dapat mengganggu sebelum qalbu dapat mempelajari kebenaran dan menghalanginya dari merenungkannya. Dengan demikian, kebenaran takkan menjadi jelas baginya, seperti ungkapan, ''Cintamu pada sesuatu, membutakan dan menulikan." Seseorang yang jatuh cinta, seringkali tak dapat melihat kesalahan orang yang ia cintai. Prinsip cinta yang membutakan berlaku bagi apapun yang membuat manusia tergila-gila atau ketagihan.
Maka, qalbu akan tetap berada dalam pikiran yang kelam. Hal ini seringkali disebabkan oleh kesombongan, yang mencegahnya mencari kebenaran. Allah berfirman,
اِلٰـہُکُمۡ اِلٰہٌ وَّاحِدٌ ۚ فَالَّذِیۡنَ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡاٰخِرَۃِ قُلُوۡبُہُمۡ مُّنۡکِرَۃٌ وَّ ہُمۡ مُّسۡتَکۡبِرُوۡنَ
"Tuhanmu, adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang yang tak beriman kepada akhirat, qalbu mereka mengingkari (keesaan Allah), dan merekalah orang yang sombong." [QS. An-Nahl (16):22]

Hasrat dan keinginan, juga bisa menentang qalbu setelah qalbu mengenal kebenaran sehingga menyebabkan ia menyangkal lagi kebenaran itu, dan berpaling darinya, seperti yang difirmankan Allah,
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ
"Akan Ku-palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku), orang-orang yang menyombongkan diri di bumi, tanpa alasan yang benar. Kalaupun mereka melihat setiap tanda (kekuasaan-Ku), mereka tetap takkan beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak (akan) menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya. Yang demikian itu, karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lengah terhadapnya." [QS Al-A'raaf (7):146]
Contoh klasik dari prinsip ini, dari zaman Nabi (ﷺ) adalah Umayyah bin Abis-Salt, Rasulullah (ﷺ) bersabda tentangnya, "Umayyah bin Abis Salt hampir memeluk Islam." [Shahih Al-Bukhari dan Muslim].
Umayyah berasal dari suku Thaqif di Taif, dan termasuk di antara mereka yang mencari agama yang benar dan membaca Kitab Suci. Dikatakan bahwa ia termasuk di antara mereka yang memeluk Nasrani. Ia sering menyebut Tauhid dan Hari Kiamat dalam puisi-puisinya. Dari hasil penelitiannya dalam Kitab Suci, ia menyampaikan kepada Abu Sufyan bahwa tiba saatnya bagi seorang nabi muncul di antara orang Arab dan ia berharap bahwa nabi itu, dirinya sendiri. Namun, penelitiannya menunjukkan bahwa nabi tersebut berasal dari keturunan 'Abdul Manaf. Segera setelah itu, Muhammad (ﷺ) muncul, dan Umayyah memberitahu Abu Sufyaan bahwa dialah nabi itu. Saat Abu Sufyan bertanya, “Bukankah kita harus mengikutinya?” Ia menjawab, “Aku merasa malu di hadapan para wanita suku Thaqih, karena aku pernah mengatakan kepada mereka bahwa akulah orangnya. Haruskah aku menjadi pengikut anak lelaki bani ‘Abdul Manaaf?”
At-Tabarani bin Mandah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa al-Fari'ah binti Abis-Salt, saudara perempuan Umayyah, kemudian mendatangi Rasulullah (ﷺ) dan membacakan beberapa puisi Umayyah dan beliau bersabda, "Syair-syairnya beriman, akan tetapi, qalbunya tak beriman."
Syarid berkata, "Suatu hari ketika, aku berada di belakang Rasulullah (ﷺ) pada tunggangan yang sama, beliau bertanya kepadaku, "Ingatkah engkau akan puisi Umayyah bin Abis-Salt? " Aku menjawab, "Ya." Beliau berkata, "Bacakanlah." Maka aku melafalkan beberapa bait dan beliau berkata, "Lanjutkan." Lalu aku melafalkan bait lainnya dan beliau bersabda, "Tambah lagi," sampai aku melafalkan seratus bait. Beliau berkomentar, "Ia hampir menjadi seorang Muslim dalam syair-syairnya" [Sahih Muslim]
Ia hidup sampai Perang Badar dan membuat puisi untuk orang-orang kafir yang meninggal selama itu. Umayyah meninggal setelah itu, berakhir dalam keadaan kafir, pada tahun ke-9 Hijriyah. Abul-Faraj al-Asfahani, meriwayatkan kata-kata terakhirnya di ranjang kematiannya, “Aku tahu bahwa hanafiyyah itu benar. Tapi keraguan menyelimutiku tentang Muhammad (ﷺ). "

[Bagian 3]
[Bagian 1]

English 

Jumat, 06 September 2019

Keutamaan Qalbu (1)

Kucica berkata, "Wahai saudara-saudariku, kita telah mendengar dari sang elang bagaimana intelek, yang bahasa Arabnya, Aql, bekerja. Ketahuilah bahwa Allah menciptakan setiap bagian dari tubuh manusia untuk tujuan dan fungsi tertentu. Dengan demikian, tangan diciptakan untuk menggenggam dan memegang, kaki untuk berjalan, lidah untuk mengartikulasikan ucapan, mulut untuk makan, hidung untuk mencium, kulit untuk merasa, demikian pula, fungsi anggota tubuh lain serta organ dalam dan luar. Jika seseorang menggunakan tubuhnya itu sesuai dengan penggunaannya dan sesuai tujuan perancangannya, maka itulah kebenaran dan keadilan yang jelas, yang sejalan dengan ditegakkannya langit dan bumi. Lebih jauh lagi, hal itu akan lebih baik dan bermanfaat bagi anggota tubuh dan pemiliknya, serta bagi fungsi penggunaannya. Orang itu, sesungguhnya dalam keadaan shalih dan orang-orang sepertinya termasuk orang yang telah mendapat petunjuk yang benar dari Rabb mereka, serta merekalah yang akan sukses.
Jika anggota badan tak dipergunakan dengan cara yang pantas, dan sebaliknya, disia-siakan, maka akan merugi dan tertipulah pemiliknya. "Cara yang pantas" itu, cara yang diridhai Allah; cara yang sesuai dengan perintah Ilahi, yang juga dikenal sebagai Syari‘ah. Jadi, jika anggota tubuh kita dipergunakan bertentangan dengan tujuan penciptaannya, akan membawa pada kesesatan dan kehancuran, dan pemiliknya termasuk di antara mereka yang telah menukar rahmat Allah dengan kekufuran.

Nakhoda dari seluruh anggota tubuh dan kepala, adalah hati, yang biasa sebut "qalbu." Hati disebut qalbu, karena qalbulah esensi dari apa yang terkandung dalam tubuh, dan esensi dari segala sesuatu itu, hatinya. Ibnu Taimiyyah berkata, "Sesungguhnya, Allah menciptakan qalbu manusia agar mereka mengetahui segala sesuatu, sama seperti Dia menciptakan mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar."
Diriwayatkan An-Nu'man bin Bashir, bahwa ia mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda,

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
"Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tak diketahui orang banyak. Maka sesiapa yang takut terhadap syubhat berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan sesiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang memasukinya, maka lambat laun ia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika ia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa ia adalah qalbu." - [HR. Bukhari dan Muslim]
Allah telah menempatkan dalam qalbu, pemberi peringatan bagi masing-masing kita, bila kita mulai mendekati kejahatan. Ini terbukti dari hadits yang tercatat dalam Musnad Ahmad, bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Allah membuat suatu perumpamaan, jalan yang lurus, pada kedua sisi jalan yang lurus terdapat dua buah tembok, yang pada kedua tembok itu terdapat banyak pintu yang terbuka dalam keadaan tertutup oleh penutup yang dijuraikan. Pada pintu jalan terdapat juru penyeru yang mengatakan. ‘Wahai manusia, marilah kalian semua masuki jalan yang lurus ini, dan janganlah kalian bercerai berai!’ Dan ada juru penyeru lagi dari atas jalan itu: maka apabila seseorang hendak membuka salah satu dari pintu-pintu itu, juru seru tersebut berkata.”Celakalah kamu. jangan kamu buka. Jika kamu membukanya, kamu pasti memasukinya (yakni neraka).’ ‘Jalan tersebut adalah perumpamaan agama Islam, sedangkan kedua tembok itu perumpamaan batasan-batasan Allah, dan pintu-pintu yang terbuka itu perumpamaan hal-hal yang diharamkan Allah. Juru penyeru yang ada di pintu jalan adalah perumpamaan Kitabullah, sedangkan juru penyeru yang dari atas jalan adalah nasihat Allah yang ada di dalam qalbu setiap muslim’.”
Pemberi peringatan ini terkadang disebut sebagai hati-nurani. Jika peringatannya diperhatikan dengan seksama, pikiran dan tindakan orang tersebut meningkat, dan sang pemberi peringatan, pada gilirannya menjadi lebih kuat. Jika pemberi peringatan diabaikan, pikiran dan tindakan seseorang akan menjadi semakin rusak dan sinyal pemberi peringatan semakin melemah, hingga tak lagi dapat lagi dirasakan. Keadaan ini disebut oleh Allah sebagai kebutaan. Dalam banyak kejadian, terlepas dari kelemahannya, sinyal-sinyal peringatan ini, tak pernah padam, karena jika hal itu terjadi, pemilik qalbu semacam itu, takkan pernah mau bertobat. Allah, dengan rahmat-Nya yang tertinggi, telah menjadikan sinyal-sinyal itu terus ada sehingga, meski seseorang menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan melakukan kejahatan, namun bisa berubah total pada saat-saat terakhir hidupnya dan mati di antara orang-orang beriman.

Ibnu Hajar mengulas tentang penekanan Rasulullah (ﷺ) terhadap qalbu itu dengan mengatakan, “Beliau menetapkan qalbu seperti itu, karena qalbu itu, yang memimpin sebuah tubuh; ketika pemimpinnya baik, para pengikutnya menjadi baik, dan ketika ia rusak, demikian pula para pengikutnya. Pernyataan ini berisi catatan tentang pentingnya qalbu, dorongan untuk memperbaruinya, dan petunjuk bahwa penghasilan yang halal, berpengaruh terhadapnya. Tujuannya adalah memahami bahwa Allah telah menempatkan di dalamnya.
Hal itu juga digunakan untuk membuktikan bahwa Aql, atau akal, bersemayam di dalam qalbu. Allah berfirman,

اَفَلَمۡ یَسِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَتَکُوۡنَ لَہُمۡ قُلُوۡبٌ یَّعۡقِلُوۡنَ بِہَاۤ اَوۡ اٰذَانٌ یَّسۡمَعُوۡنَ بِہَا ۚ فَاِنَّہَا لَا تَعۡمَی الۡاَبۡصَارُ وَ لٰکِنۡ تَعۡمَی الۡقُلُوۡبُ الَّتِیۡ فِی الصُّدُوۡرِ
"Maka, tak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada." - [QS.22:46]
Dan Allah juga berfirman,
اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَذِکۡرٰی لِمَنۡ کَانَ لَہٗ قَلۡبٌ اَوۡ اَلۡقَی السَّمۡعَ وَ ہُوَ شَہِیۡدٌ
"Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya." - [QS.50:37]
Para penafsir Al-Quran mengatakan hati dalam konteks itu berarti "akal" dan bahwa Dia menyebutnya sebagai hati karena disitulah tempat dimana akal berada." Ibnu Katsir mengutip murid Ibnu Abbas, Mujahid, yang mengatakan, "Itu berarti pemahaman yang baik yang ia pahami, atau pikiran yang baik."  
Karena qalbu diciptakan untuk mengenal segala sesuatu, ia menuntut sesuatu dari keinginan akan ilmu, keadaan ini disebut pemikiran dan renungan, seperti halnya telinga yang memburu kata-kata ucapan agar dapat mendengarnya, disebut mendengarkan, dan perhatian mata terhadap sesuatu yang berusaha ia lihat, disebut penglihatan. Jadi, akal dibandingkan qalbu, ibarat membandingkan mendengar terhadap telinga, dan melihat terhadap mata, dll. Jika qalbu mengetahui apa yang dipantulkan akal, maka tercapailah tujuannya, sama seperti jika telinga telah mendengar apa yang didengarnya, atau mata telah melihat apa yang dilihatnya. Namun pencapaian tujuan-tujuan ini, tidak otomatis, meski kita cenderung abaikan begitu saja. Masing-masing dari semua itu, sebenarnya salah satu dari banyak berkah dari anugerah Allah.

Para filsuf mencari tujuan hidup, para ilmuwan mencari asal usul kehidupan, dll. Banyak orang dapat membaca Al-Qur'an, tetapi hanya mereka yang takut kepada Allah dan beriman pada yang ghaib, mendirikan sholat secara teratur dan mensedekahkan harta mereka, yang mendapatkan petunjuk bimbingan darinya. Berapa banyak pemikir yang tak menemukan ilmu yang mereka cari, sama seperti banyak orang yang mencari bulan sabit, tak melihatnya, dan banyak yang mendengarkan suara tertentu, tak mendengarnya. Sebaliknya, orang yang diberi ilmu tentang sesuatu, yang tak ia renungkan atau sebelumnya tak ia miliki ilmu tentangnya, tiba-tiba melihat bulan sabit tanpa bermaksud melakukannya atau orang yang mendengar pernyataan tanpa mendengarkannya. Semua ini disebabkan oleh fakta bahwa qalbu, dengan sendirinya menerima ilmu. Masalah ini tergantung pada pemenuhan kondisi tertentu dan kesiapan organ. Hal ini dapat merupakan hasil dari tindakan manusia dan dengan demikian, menjadi apa yang diinginkan atau bisa datang sebagai pertolongan Allah dan menjadi sebuah bawaan bagi orang itu.

Ketepatan dan kebenaran yang dengannya qalbu dicipta, adalah bahwa ia memahami banyak hal. Aku tak mengatakan bahwa itu hanya sebatas mengetahui sesuatu, karena seseorang dapat mengetahui sesuatu dan tak memahaminya, ia bahkan bisa melalaikan atau menolaknya. Orang yang memahami sesuatu adalah orang yang dapat menentukan batasannya, secara akurat mendefinisikannya, menyadarinya, dan mengonfirmasinya di dalam qalbunya. Pada saat dibutuhkan, itu sudah cukup baginya, dan tindakannya sesuai dengan pernyataannya, bathiniahnya sama dengan lahiriahnya. Inilah orang yang diberikan hikmah, dan bagi siapa yang telah diberikan hikmah, telah diberikan kebaikan yang sangat banyak.
Manusia, beragam dalam hal kemampuan mereka untuk memahami sesutau, dari yang sempurna hingga yang kurang, dan dalam jumlah yang mereka pahami, dari sedikit ke banyak, dan dari yang umum ke yang khusus, dll.

Tiga organ, pendengaran, penglihatan dan emosi, adalah cara utama untuk mendapatkan ilmu dan memahaminya, memahami apa yang disukai dan tak disukai, dan membedakan mana yang berbuat baik dan mana yang melakukan kejahatan, dll. Manusia dewasa, dapat memahami atau menyimpulkan alasan tersembunyi di balik tindakannya, sedangkan hewan dan anak-anak, tidak. Misalnya, seekor sapi mungkin diberi makan secara teratur untuk digemukkan, untuk disembelih dan dikonsumsi. Relatif terhadap sapi itu, manusia yang memberinya makan, melakukan apa yang baik untuknya, namun niatnya, untuk menyembelihnya, relatif terhadap sapi itu, adalah kejahatan.
Maksudku, ilmu yang membedakan antara manusia dan hewan, di luar dari apa yang mereka berbagi, bau, rasa, dan sentuhan. Bahkan indera penciuman, rasa dan sentuhan dapat memberikan pengetahuan seperti itu ketika ditafsirkan oleh pikiran manusia. Misalnya, sesuatu mungkin berbau harum, rasanya enak dan terasa nyaman, namun berbahaya; atau berbau busuk, rasanya tak enak dan tak nyaman, namun bermanfaat. Hewan, sama seperti anak-anak, tak dapat membedakan dalam banyak keadaan apa yang sebenarnya berbahaya atau bermanfaat bagi mereka. Di sini, kita berfokus pada indera penglihatan dan pendengaran, karena inilah sumber yang paling sering digunakan mengumpulkan informasi. Dominasi mereka tercermin dalam referensi Al-Qur'an yang sering kepada mereka untuk mengesampingkan yang lain.

Allah berfirman,

وَ اللّٰہُ اَخۡرَجَکُمۡ مِّنۡۢ بُطُوۡنِ اُمَّہٰتِکُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ شَیۡئًا ۙ وَّ جَعَلَ لَکُمُ السَّمۡعَ وَ الۡاَبۡصَارَ وَ الۡاَفۡـِٕدَۃَ ۙ لَعَلَّکُمۡ تَشۡکُرُوۡنَ
"Dan Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur." - [QS.16:78]
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah menyebutkan rahmat-Nya kepada para hamba-Nya karena Dia mengeluarkan mereka dari rahim ibu tanpa mengetahui apa-apa, kemudian Dia memberi mereka pendengaran untuk mengenali suara, penglihatan untuk melihat segala sesuatu, dan hati - yang berarti akal - yang pemilik tempat kedudukannya, menurut pandangan yang benar, adalah qalbu, meskipun dikatakan juga bahwa tempat kedudukannya adalah otak. Dengan akal, seseorang dapat membedakan antara apa yang berbahaya dan apa yang bermanfaat. Kemampuan dan indera ini berkembang secara bertahap dalam diri manusia. Semakin ia tumbuh, semakin banyak pendengaran, penglihatan, dan kecerdasannya meningkat, sampai mencapai puncaknya. Allah telah menciptakan kacakapan-kecakapan ini pada manusia agar memungkinkan mereka menyembah Rabb mereka, sehingga mereka menggunakan segenap organ, kemampuan, dan kekuatan ini untuk mematuhi Sang Pencipta.

Al-Bukhari mencatat, Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا، فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ عَبْدِي الْمُؤْمِنِ، يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.’”
Dalam tafsir Ibnu Katsir, hadits ini bermakna bahwa ketika seseorang tulus dalam ketaatannya kepada Allah, segala perbuatannya dilakukan karena Allah, sehingga ia hanya mendengar karena Allah, ia hanya melihat karena Allah, artinya ia hanya melihat atau mendengar hanya pada apa yang telah dihalalkan Allah. Ia tak merengkuh atau berjalan kecuali dalam ketaatan kepada Allah, memohon pertolongan Allah dalam segala hal.

Meskipun ketiganya disebutkan bersamaan, mata lebih rendah dibandingkan qalbu dan telinga. Ia berbeda karena hanya melihat hal-hal yang ada dan berjasad saja, seperti gambar dan obyek. Di sisi lain, qalbu dan telinga memungkinkan seseorang mengetahui tentang hal-hal rohani dan teoretis yang tak terlihat dan tak berwujud. Lebih jauh lagi, bahkan keduanya berbeda, karena qalbu memahami segala sesuatu dengan sendirinya, dan ilmu adalah makanan dan keistimewaannya. Adapun telinga, hanya membawa kata-kata yang mengandung ilmu ke qalbu. Dalam dirinya sendiri, ia menangkap pernyataan dan kata-kata, dan ketika mencapai qalbu, qalbu itu mengambil darinya ilmu yang dikandungnya. Sebenarnya, hal ini berlaku bagi seluruh indera. Kelima indera adalah sumber informasi yang ditafsirkan dan ditindaklanjuti oleh akal dan qalbu.
Penguasa ilmu, pada kenyataannya, adalah qalbu. Organ dan anggota tubuh lainnya, adalah gerbang kepada siapa informasi ditujukan, yang tak dapat mereka peroleh sendiri. Ia adalah penguasa pada derajat bahwa barangsiapa yang kehilangan salah satu organ lainnya, hanya kehilangan ilmu yang disampaikan melalui organ yang hilang itu. Dengan demikian, tunarungu tak dapat memperoleh ilmu dari ucapan, dan tunanetra tak dapat memandang apa yang terkandung dalam obyek yang sangat luas. Tunanetra yang meraba permukaan piramida atau pesawat ulang-alik, tak dapat memahami latarbelakangnya dengan indera sentuhannya.
Demikian juga, siapapun yang melihat sesuatu atau mendengarkan perkataan para 'Ulama, tanpa menghadirkan hati, takkan mengerti apa-apa. Dengan demikian, poros urusan itu, qalbu.

Mereka yang telah diberi hikmah dan mendapat manfaat dari ilmu, ada di dua tingkatan. Tingkat pertama, seseorang yang melihat kebenaran dengan sendirinya, dan menerimanya dan mengikutinya, tanpa memerlukan siapapun mengajaknya. Inilah orang yang benar-benar memiliki hati. Tingkat kedua, seseorang, yang tak memahami kebenaran itu sendiri, namun membutuhkan seseorang mengajarinya, menjelaskan untuknya, menasihatinya, dan membentuknya sesuai dengannya. Inilah orang yang penuh perhatian yang "mendengarkan dengan seksama," yang berarti "ia mendengar perkataan, mendalami dan memahaminya dalam benaknya dan menangkap implikasinya, dengan inteleknya." Inilah orang yang hatinya ada dan tiada. Seperti yang dikatakan Mujahid, "Ia di anugerahi ilmu dan itulah pengingat baginya."
[Bagian 2]

Selasa, 03 September 2019

Mengikuti Nenek Moyang

Iblis telah memperdaya Umat ini, dalam hal akidah, dengan menggunakan dua cara," Sang elang melanjutkan. "Yang pertama, taklid buta pada tradisi nenek moyang. Kedua, membahas secara lebih mendalam pada hal-hal yang tak dapat dipahami manusia, yang mengakibatkan banyak kebingungan atau keragu-raguan.

Adapun jalan pertama, Iblis meyakinkan orang yang taklid bahwa walau sumber atau alasan yang diikutinya itu masih meragukan, tapi kebenarannya mungkin tersembunyi, jadi yang terbaik adalah meniru orangnya. Banyak orang tersesat karena cara berpikir seperti ini. Faktanya, cara ini merupakan jalan destruktif bagi kebanyakan orang; Yahud dan Nasara meniru nenek-moyang dan cendekiawan mereka, dan begitu pula orang-orang Jahiliyyah. Dan hendaklah diketahui bahwa alasan yang sama yang mereka gunakan untuk mendukung taklid dapat digunakan untuk membantahnya - padahal jika sumber atau alasannya masih membingungkan dan kebenarannya masih sumir, hendaknya dijadikan suatu keharusan agar tak mengikutinya, karena dengan mengikutinya, akan mengarah pada kesesatan.
Allah menyampaikan kepada kita kisah tentang sahabat-Nya, Nabi Ibrahim, alaihissalam, dan bagaimana sebelumnya Dia menganugerahkan kepada Nabi Ibrahim petunjuk yang benar, dan Dia telah memberinya petunjuk sejak usia dini. Dia mengilhamkan padanya kebenaran dan bukti terhadap kaumnya. Allah berfirman,

اِذۡ قَالَ لِاَبِیۡہِ وَ قَوۡمِہٖ مَا ہٰذِہِ التَّمَاثِیۡلُ الَّتِیۡۤ اَنۡتُمۡ لَہَا عٰکِفُوۡنَ
"(Ingatlah), ketika ia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, 'Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?'" - [QS.21:52]
maksudnya, Ibrahim bertanya, apa bukti yang kamu sembah dengan sangat taat itu.
قَالُوۡا وَجَدۡنَاۤ اٰبَآءَنَا لَہَا عٰبِدِیۡنَ
"Mereka menjawab, 'Kami mendapati nenek-moyang kami menyembahnya.'” - [QS.21:53]
maksudnya, mereka tak punya alasan atau bukti kuat selain hanya mengiktui perbuatan sesat nenek-moyang mereka.
قَالَ لَقَدۡ کُنۡتُمۡ اَنۡتُمۡ وَ اٰبَآؤُکُمۡ فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ
"Ia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya kamu dan nenek moyangmu berada dalam kesesatan yang nyata.'”- [QS.21:54]
maksudnya, berbicara kepada nenek-moyangmu, yang perbuatannya kamu ikuti sebagai bukti, akan sama dengan berbicara kepadamu. Kamu dan mereka, bersama-sama salah arah dan tak mengikuti jalan yang lurus.

Dalam Al-Qur'an Surah Asy-Syu'araa [26] ayat 69 sampai 82, Allah berfirman tentang kisah Nabi Ibrahim, alaihissalam, ketika Nabi Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Apa yang kamu sembah?” Mereka menjawab, “Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya.” Nabi Ibrahim berkata, “Mendengarkah mereka ketika kamu berdoa kepadanya? Atau dapatkah mereka memberi manfaat atau mencelakakanmu?” Mereka menjawab, “Tidak, tetapi kami dapati nenek moyang kami berbuat begitu.” Nabi Ibrahim berkata, “Tidakkah kamu perhatikan apa yang kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang terdahulu? Sesungguhnya apa yang kamu sembah itu, musuhku, lain halnya Rabb seluruh alam, Yang telah menciptakanku, maka Dialah Yang memberi petunjuk kepadaku, dan Yang memberi makan dan minum kepadaku; dan apabila kusakit, Dialah yang menyembuhkanku, dan Yang 'kan mematikanku, kemudian 'kan menghidupkanku kembali, dan Yang sangat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari Kiamat.”

Telah diketahui bahwa salah satu alasan paling populer agar tak mengimani Nabi kita (ﷺ) dan para utusan Allah sebelum beliau (ﷺ), yakni berpegang pada tradisi warisan nenek-moyang seseorang. Dengan menerima anjuran para utusan Allah itu, seseorang hendaknya mengakui bahwa tradisi warisan nenek-moyang yang telah menjadi sumber kebanggaan dan identitas, dilepaskan dan dijadikan contoh sebagai sejarah kekeliruan, ketidaktahuan dan warisan keyakinan dan praktik yang kurang benar. Ini bukanlah hal yang mudah diterima, apalagi menyatakannya bagi siapapun. Kebetulan, kita sekarang jauh lebih mudah daripada orang-orang sezaman dengan nabi manapun, karena mereka harus mengambil kesepakatan dari seluruh suku, komunitas, kepemimpinan, dan yang di atas segalanya, warisan leluhur mereka. Al-Qur'an menangkap proses pemikiran orang-orang yang mengikuti warisan agama, sosial dan etika keluarga mereka dalam dua ayat yang sangat mirip. Allah berfirman,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.' Mereka menjawab, '(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).' Padahal, nenek moyang mereka itu, tak mengetahui apapun, dan tak mendapat petunjuk. - [QS.2:107]
dan
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُوا۟ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۚ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul.' Mereka menjawab, 'Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).' Akankah (mereka mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tak mengetahui apa-apa dan tak (pula) mendapat petunjuk?" - [QS.5:104]
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutuk orang-orang yang taklid buta pada nenek-moyang mereka, seraya berfirman,
بَلۡ قَالُوۡۤا اِنَّا وَجَدۡنَاۤ اٰبَآءَنَا عَلٰۤی اُمَّۃٍ وَّ اِنَّا عَلٰۤی اٰثٰرِہِمۡ مُّہۡتَدُوۡنَ
"Bahkan mereka berkata, 'Sesungguhnya kami mendapati nenek-moyang kami menganut suatu agama, dan kami mendapat petunjuk untuk mengikuti jejak mereka.'” - [QS.43:22]
Maksudnya, apa yang mereka ikuti itu, yakni penyembahan berhala, tak punya landasan yang kuat, terlepas dari fakta bahwa mereka meniru orangtua dan nenek-moyang mereka yang mengikuti umat atau jalan tertentu.  
Mereka menyatakan bahwa mereka telah mendapat petunjuk yang benar dengan mengikuti tradisi orangtua dan nenek-moyang mereka. Pernyataan mereka ini tanpa bukti. Kemudian, Allah menunjukkan bahwa apa yang diucapkan orang-orang seperti ini, sudah dinyatakan oleh orang-orang yang seperti mereka di antara kaum di masa lalu yang tak beriman kepada para rasul. Qalbu dan perkataan mereka, serupa.
Dan Allah berfirman,
وَكَذَٰلِكَ مَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ فِى قَرْيَةٍۢ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَآ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍۢ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّقْتَدُونَ
"Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, 'Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka.'” - [43:23]
قَٰلَ أَوَلَوْ جِئْتُكُم بِأَهْدَىٰ مِمَّا وَجَدتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْ ۖ قَالُوٓا۟ إِنَّا بِمَآ أُرْسِلْتُم بِهِۦ كَٰفِرُونَ
"(Rasul itu) berkata, 'Akankah (kamu mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek-moyangmu.' Mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampaikannya.'” - [43:24]
Sekalipun jika mereka yakin akan kebenaran dari apa yang engkau bawakan kepada mereka, mereka takkan mengikutinya, karena niat buruk dan kesombongan mereka terhadap kebenaran dan yang mengikutinya.

Dalam berbuat taklid buta, ada peniadaan intelek, padahal, intelek itu bertujuan untuk merenung. Sesungguhnya, tidaklah pantas seseorang yang telah membawa lilin yang menyala, lalu mematikannya dan berjalan dalam gelap.
Sebagian besar pengikut sebuah aliran pemikiran, memuliakan orang tertentu, dan karenanya, mengikuti pendapat mereka tanpa memahaminya dengan baik. Inilah inti dari kesesatan, karena orang yang seharusnya mempertimbangkan pendapat itu sendiri, bukan orang yang memegang pendapat ini. Al-Harits lbnu Haut bertanya pada Sayyidina Ali, radhiyallahu 'anhu, "Mungkinkah Talhah dan az-Zubair berada di jalan yang salah?" Sayyidina Ali menjawab, "Engkau telah tertipu. Kebenaran tidaklah ditentukan berdasarkan identitas individu (yang mengaku melihatnya). Pahamilah kebenarannya dan baru kemudian engkau akan mengenali orang-orang yang ada di dalamnya."
Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, "Tanda kurangnya ilmu bagi seseorang bila ia taklid buta dalam masalah akidah." Itulah sebabnya mengapa Imam Ahmad mengikuti posisi Zaid tentang tradisi nenek-moyang dan bukan posisi Abu Bakar, radhiyallahu 'anhum.
Bukti hal-hal tentang akidah, sudah sangat jelas, dan tak ada orang yang berakal sehat, yang tak bisa memahaminya. Adapun masalah cabang (yang tak terkait dengan keimanan), bagi orang yang awam, lebih baik mengikuti seseorang yang berilmu luas. Ini karena masalah-masalah ini jumlahnya besar dan kemungkinan besar bagi orang awam, salah memahaminya. Namun, orang awam itu, masih diharuskan menggunakan kecerdasannya untuk mengidentifikasi orang ('Ulama) yang paling layak diikuti.

Adapun cara kedua, sama seperti Iblis memperdaya orang-orang yang berpikiran sederhana agar berbuat taklid, ia juga mampu menipu orang-orang intelek. Ia melakukannya dengan sekuat tenaga. Iblis memperdaya manusia dengan menolak taklid namun mendorong mereka agar berlama-lama memikirkan bidang pemikiran tertentu. Ia menjerat manusia dengan pemikiran bahwa tanda kelemahan seseorang itu, bila mematuhi makna yang tampak dari ayat-ayat Al-Qur'an, maka ia mengarahkan mereka ke jalan para filsuf - hingga membawa mereka keluar dari pangkuan Islam.

Iblis mendorong manusia agar menolak taklid, namun mendalami ilmu kalam (retorika teologis dan penalaran deduktif). Mereka berpikir bahwa dengan cara ini, akan mengeluarkan mereka dari barisan orang awam.
Bukan karena kelemahan bahwa para 'Ulama Islam awal tetap diam mengenai bahaya ilmu kalam. Sebaliknya, mereka melihat bahwa ilmu itu tak memberikan jawaban yang memuaskan, dan mengubah kebenaran menjadi kebohongan, sehingga mereka tetap mendiamkannya dan mendorong orang lain agar tak memikirkannya. Imam Asy-Syafi'i berkata, 'Masih lebih baik bagi seorang hamba berbuat dosa yang telah diharamkan Allah, kecuali Syirik, daripada mendalami ilmu kalam.' Ia juga berkata, 'Jika engkau mendengar perkataan seseorang seperti:' Nama itu, sama dengan sesuatu yang dinamakan ', maka bersaksilah bahwa ia tak beragama.'
Ia juga mengatakan, 'Pandanganku mengenai kaum ilmu kalam adalah bahwa mereka harus dipukuli dengan ranting pohon palem, dan mereka hendaknya diarak berkeliling ke seluruh dusun, dan harus diumumkan: inilah hukuman bagi mereka yang meninggalkan Al-Qur'an dan Sunnah, serta mempelajari ilmu kalam. '
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, 'Orang yang mempelajari ilmu kalam takkan pernah berhasil, cendekia ilmu kalam tak punya agama.'

Bagaimana mungkin ilmu kalam tak dicela? Karena ilmu ini mengakibatkan kaum Mu'tazilah percaya bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal yang umum, bukan yang terperinci. Dan Jahm bin Safan berkata, 'Ilmu, Kemampuan, dan Kehidupan Allah hanya baru-baru ini saja (terjadi setelah sebelumnya tak ada).' Ia juga berkata, 'Allah, Yang Perkasa dan Mahatinggi, bukanlah sesuatu yang wujud.'
Abu 'Ali Al-Jubba'i, Abi Hasyim dan para pengikut mereka dari Basrah, menyatakan bahwa ketiadaan adalah sesuatu dengan esensi dan atribut, dan bahwa Allah tak memiliki kemampuan untuk menciptakan apapun. Dia hanya bisa membawa sesuatu keluar dari ketidakberadaan menjadi ada. Firqah Mujabbirah mengklaim bahwa manusia tak memiliki kehendak bebas, seperti halnya benda mati, kehilangan pilihan dan tindakan. Adapun para Murji'ah, mereka berkata, 'Barangsiapa yang mengucapkan syahadat, takkan pernah masuk Neraka, walaupun ia berbuat dosa.' Mereka menentang banyak Sunnah Nabi yang mengajarkan jalan agar para muwwahid, pada akhirnya akan keluar dari Neraka."

Kemudian sang elang berkata, "Wahai saudara-saudariku, karena permusuhan dan keputusasaan, iblis berusaha mnyesatkan umat manusia dari Jalan Allah; dan kesesatan ini, punya beragam wujud dan bentuk. Mulai dari menanamkan benih keraguan, hingga memunculkan ide-ide yang menyimpang, yang bertentangan dengan ajaran Islam. Banyak penyimpangan yang masih lazim saat ini, dan akan lebih banyak lagi yang direncanakan oleh iblis dan sekutunya, yang perlu diungkap dan dihindari. Wallahu a'lam."
Rujukan:
- Imam Ibn Al-Jawzi, The Devil's Deceptions, Dar as-Sunnah Publishers.

Mulai dari sini
[Firqah]