Senin, 09 Mei 2022

Mempersiapkan Suksesi dalam Perspektif Islam

"Malam itu, aku mengunjungi sebuah negeri, bernama Zamrud Khatulistiwa,” berkata Rembulan kepada sang Pungguk, tatkala ia datang bertandang, setelah mengucapkan Basmalah dan Salam. "Semua orang ingin tahu, siapa yang bakal menjadi Pemimpin baru mereka, walaupun pemilihan umum akan diadakan dalam dua tahun ke depan. Beberapa kandidat, telah memperkenalkan diri.
Kemudian, cahayaku mengarah pada suatu tempat dimana ada lingkaran-ilmu. Seorang Guru dan murid-muridnya, membicarakan tentang apa yang sedang jadi perbincangan masyarakat. Sang Guru berkata, 'Tak ada tujuan yang dapat dicapai oleh siapapun, sendirian, entah itu ia berbakat atau punya duit banyak. Tantangan terbesar bagi setiap Pemimpin—yang sesungguhnya faktor tunggal yang dapat bermakna, keberhasilan atau kegagalan misinya—yaitu kepiawaiannya menyajikan buah-pikirannya, kepada orang lain, sehingga mau mengikutinya—tanpa perlu menyewa para Buzzer dan Influencer atau tukang survei etok-etok—dan merelakan waktu, energi, harta, dan talenta, guna pencapaian tujuannya. 'Tujuan' ini, bukanlah hasrat atau ambisi sang Pemimpin, atau segelintir orang yang memaksa atau membujuknya melakukan sesuatu demi kepentingan pribadi mereka, melainkan tujuan yang diasuh dalam ilmu, etika dan moral, serta dipandu oleh Al-Qur'an dan Sunnah.

Sebagaimana yang dikatakan, 'Mereka takkan peduli pada apa yang engkau ucapkan, mereka akan peduli, jika mereka tahu, bahwa engkau peduli.' Kepedulian Rasulullah (ﷺ), tak semata bagi para pengikut beliau (ﷺ), tetapi bahkan terhadap mereka yang menolaknya dan berusaha menyakitinya, hanya karena beliau (ﷺ) ingin mengajak mereka kepada Kebenaran dan menyelamatkan mereka dari api-neraka. Kedengarannya, seperti hal yang absurd, sebab dalam segala urusan duniawi, para insan lebih menyukai mereka yang mau memberikan sesuatu secara cuma-cuma. Akan tetapi, ketika seseorang mengajak orang lain menuju Kesuksesan Abadi, sebagian orang menganggapnya, menghina dan menentangnya, atau bahkan mencoba mencelakainya.
Hal ini terjadi pada Rasulullah (ﷺ), berkali-kali dan dalam beragam cara. Yang terpenting, kekecewaan dan kesedihannya, pada kenyataannya, bahwa terlepas dari upaya terbaiknya, kaumnya sendiri yang menolak mendengarkannya. Perhatian beliau (ﷺ) terhadap mereka sedemikian rupa, sehingga Allah mewahyukan,
لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ اَلَّا يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ
'Boleh jadi engkau (Duhai Nabi) akan membinasakan dirimu (dengan kesedihan), karena mereka (penduduk Mekah) tak beriman..' [QS. Asy-Syu'ara (26):3]
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ اِنْ لَّمْ يُؤْمِنُوْا بِهٰذَا الْحَدِيْثِ اَسَفًا
'Maka barangkali engkau (Duhai Nabi) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an).' [QS. Al-Kahf (18):6]
Kepedulian inilah yang muncul, dan mereka menanggapi dan tak semata yakin padanya, melainkan kemudian, mendukungnya, dan bersedia melakukan apa saja untuk melindunginya dan menyebarkan risalahnya, kendatipun itu berarti, kehilangan nyawa mereka. Allah berfirman tentang kecintaan Rasulullah (ﷺ) kepada rakyatnya,
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
'Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.' [QS. (9):128]
Rasulullah (ﷺ) sebagai pemimpin, itulah kesabaran dan kelembutannya. Ada beberapa keteladanan dalam hidup beliau (ﷺ), dimana orang lain memperlakukannya dengan cara yang konyol dan kasar sehingga orang-orang yang bersamanya, menghunus pedang guna memberi pelajaran kepada orang tersebut. Akan tetapi, Rasulullah (ﷺ) takkan pernah membolehkan mereka bertindak seperti itu. Cara beliau (ﷺ), menghadapi perlakuan yang sangat kasar itu, dengan sikap kalem, lembut dan senyum. Allah berfirman,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
'Maka berkat rahmat Allah engkau (Duhai Nabi) berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati-kasar, tentulah mereka menjauhkan-diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.' [QS. Ali 'Imran (3):159]
Rasulullah (ﷺ) akan selalu mengikuti perintah Allah, dengan cermat, bermusyawarah dengan para Sahabat sebelum beliau (ﷺ) mengambil keputusan apapun. Ini mungkin tampak ganjil, lantaran untuk satu hal, beliau (ﷺ) tahu lebih banyak dan lebih baik dibanding mereka. sebab beliau (ﷺ) penerima Wahyu, serta yang paling bijak dan paling berpengalaman di antara mereka. Namun, kita akan memaklumi kearifan ini, ketika kita merenungkan efek musyawarah tersebut, terhadap para Sahabat itu sendiri. Proses ini, menjadikan mereka, merasa disertakan, dihargai, dan bertanggungjawab atas upaya dan hasilnya. Selain itu, memastikan komitmen mereka pada tujuannya, sebab, mereka telah diajak bermusyawarah serta berlatih dalam pengambilan keputusan bagi mereka sendiri bila kelak Rasulullah (ﷺ) sudah tak lagi berada di antara mereka.
Terkadang, mereka punya informasi penting tentang hal-hal di lingkungan sekitar, yang dapat menjadi terang saat mereka bermusyawarah dan membuka peluang bagi pengambilan keputusan yang lebih baik. Lebih jauh lagi, hal tersebut, berfungsi menciptakan kerekatan di antara mereka dan memungkinkan mereka, berpikir melintasi batas-batas suku dan kalangan mereka sendiri, demi kepentingan semua pihak dan keberhasilan misi menyebarkan Islam.

Sebuah kombinasi memilih orang yang tepat, keteladanan pibadi yang tinggi dan pelatihan intensif, Rasulullah (ﷺ) menciptakan, tak cuma satu, melainkan satu-set pemimpin, yang mampu membawa pesannya jauh setelah beliau (ﷺ) tiada. Memang benar, bahwa ada berbagai konflik tiga dekade setelah beliau (ﷺ) wafat, yang menyebabkan konsekuensi yang beliau (ﷺ) tak kehendaki atau setujui, akan tetapi, fakta ini, semata menggarisbawahi kenyataan bahwa tiada upaya besar yang cukup sepanjang zaman. Hal ini, seyogyanya diestafetkan dari generasi ke generasi, jika ingin terus menuai manfaatnya.
Yang dibutuhkan umat manusia di atas segalanya, ialah Kepemimpinan berbasis prinsip yang hebat. Model apa yang lebih baik untuk itu selain kehidupan Rasulullah, Nabi kita tercinta (ﷺ). Sebuah kehidupan yang didokumentasikan dengan jelas, bersih dari legenda dan mitos, dan sebuah teladan hidup, yang benar-benar memungkinkan kita hidup secara etis, bermoral dan bertanggung jawab, dengan saling mengasihi sesama, dan keberanian melawan penindasan, serta sukses dalam kehidupan.'

Sang guru menutup pembicaraannya dengan, 'Misi Rasulullah (ﷺ) bukan hanya menyampaikan risalahnya, namun juga, mempersiapkan generasi yang akan melanjutkannya, dari generasi ke generasi. Sejarah menjadi saksi atas apa yang terjadi setelahnya dan terus terjadi hingga hari ini, empat belas abad kemudian, di ruang dan waktu yang tak dikenali dan belum pernah disaksikan oleh Rasulullah (ﷺ).
Tugas paling sulit bagi seorang pemimpin, bukanlah membuat orang mengikuti perintahnya, tetapi, membuat mereka memimpikan impiannya. Menjadikan mereka termotivasi agar berkomitmen penuh pada visi, yang hanya beliau (ﷺ) yang benar-benar dapat melihatnya. Hanya ketika orang berkomitmen penuh pada visi, mereka akan melakukan apa yang diperlukan demi mewujudkannya.
Bagi setiap pemimpin dalam bidang apa pun, tugas inilah yang paling sulit. Rasulullah (ﷺ) mampu melakukannya dengan kesuksesan, tak semata bersama generasinya sendiri, namun mampu mewariskannya ke generasi yang, bahkan belum lahir. Mereka yang tak hidup di zaman Rasulullah (ﷺ), tak mengenalnya dan tak pernah mendengar suaranya, masih membawa pesannya ke mana-mana, seolah-olah pesan itu, datang langsung dari beliau (ﷺ).'"

Sebelum berangkat ke belahan bumi lain, Rembulan menyampaikan, "Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Ketika ada bencana yang menimpamu, ingatlah kematianku, dan bencana itu, takkan bermakna apa-apa.'
Apapun yang terjadi dalam sejarah, contoh dan keteladanan yang ditinggalkan kekasih kita, Nabi Muhammad (ﷺ), bagi dunia, tetap jelas, bergetar dan berlaku bagi siapa saja yang tertarik mengambil manfaat darinya. Memang benar bahwa dunia telah berubah di luar dari pengenalan zaman Rasulullah (ﷺ), akan tetapi, prinsip-prinsip yang beliau (ﷺ) letakkan, masih sama benarnya dengan hukum alam lainnya, yang tak berubah oleh berubahnya masyarakat. Sama seperti hukum gravitasi atau aerodinamika, hukum kesuksesan di dunia ini dan selanjutnya, tetap sama. Itulah yang Rasulullah (ﷺ) diutus, mengajarkan dunia. Oleh karenanya, kita bersaksi dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar menjadikan kita, pantas menjadi pengikut-Nya. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Mirza Yawar Baig, Leadership Lesson from the Life of Rasoolullah (ﷺ), Standard Bearer Academy.