Kamis, 12 Mei 2022

Sang Bunga Matahari

"Ketika seorang Kepala Sekolah sedang berjalan di tepi sungai, tak jauh dari Sekolahnya, ia mendengar tangisan, seperti orang yang sedang kesusahan," Rembulan mulai bercerita saat ia tiba, usai mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan Salam. "Berlari ke sisi sungai, ia melihat salah seorang muridnya, terbenam di air, bergelantung di dahan pohon dedalu. Murid lelakinya, kemungkinan, telah belajar berenang dengan memakai beberapa pelampung, dan membayangkan bahwa ia mampu melakukannya tanpa pelampung tersebut, lalu melepaskannya. Arus sungai yang teramat kuat, seketika menelannya, dan pastilah, ia bakal tenggelam, andai cabang pohon dedalu yang ramah, tak membendung jalannya. Pak Kepsek mengambil pelampung, yang tergeletak di tepi sungai, dan melemparkannya ke sang murid. Beberapa saat kemudian, setelah sang murid selamat dan kembali tenang, Pak Kepsek, bercerita,
'Seekor Beruang, yang dibesarkan di gurun liar Siberia, berhasrat melanglang-buana, berkeliling dunia. Ia menjelajah dari hutan ke hutan, dan dari satu kerajaan ke kerajaan lain, melakukan peninjauan mendalam selama pengembaraannya.
Suatu hari, tanpa sengaja, ia berjalan masuk ke halaman seorang petani, dimana ia melihat sejumlah ayam-jantan dan betina, sedang minum di tepi kolam. Ia mengamati, bahwa setiap kali menelan satu tegukan, para unggas tersebut, mengarahkan kepalanya ke langit, hingga sang beruang tak tahan menanyakan latarbelakang seremoni yang dipandangnya, amat aneh.
Para unggas menyampaikan padanya bahwa seremoni itu, merupakan cara mereka bersyukur kepada Langit, atas manfaat yang mereka terima; dan memang, merupakan kebiasaan religius, yang tak dapat mereka hilangkan, baik dengan keshalihan, maupun dengan kedurhakaan. Di sini, sang Beruang tertawa terbahak-bahak, sekaligus menirukan gerakan mereka dan mengolok-olok, yang ia anggap, takhayul mereka, dengan cara yang sangat menghina. 
Mengenai hal ini, Ayam Jantan, dengan semangat, yang sesuai dengan karakternya, pemberani, menegurnya dengan kata-kata berikut, 'Tuan, perkenankan aku menyampaikan padamu, Tuan,
Sekali waktu, seekor Kumbang berbicara pada Bunga Matahari, 'Bunga Matahari yang terhormat, katakan padaku, benarkah apa yang semua bicarakan tentangmu?' katanya. Sang Bunga Matahari menjawab, 'Katakan padaku, bagaimana kutahu apa yang mereka perbincangkan? Haruskah kupeduli? Semua itu, tentulah semata dongeng menyakitkan tanpa kata kebenaran; walakin, katakan padaku, duhai Kumbang, kabar-burung apa yang berpusar tentang diriku?'
'Oh tidak!' sang Kumbang seketika menambahkan, 'Tak terlalu buruk. Aku mendengarnya dari sang Semut. Ia menyampaikan apa yang ia dengar, bahwa Mataharilah, yang telah memutar kepalamu, dan bahwa, setiap kali ia melangkah di langit, engkau mengikutinya dengan segenap matamu, dari pagi hingga petang—”
'Oh, sungguh memalukan!' seru sang Bunga Matahari, berapi-api, 'Mengatakan hal seperti itu, tentang diriku! Mereka sebenarnya tak tahu, yang terjadi, justru sebaliknya.
Mereka semestinya tahu betul, bahwa ia—sang Matahari—yang selalu mengikutiku.
Aku memutarkan kepalaku sampai aku takut tangkaiku 'kan patah; dan tetap saja, ia mengikutiku, dari pagi sampai petang, segera setelah hari mulai terang, dan tak pernah mengalihkan pandangannya dariku, sampai tak dapat melihat karena gelap!
Mereka seharusnya malu. Mereka akan segera mengakui bahwa, namaku, diambil untuknya, bila mereka tahu betul, bahwa ia, yang mengambil nama Matahari, dariku.'
Sang Bunga Matahari, diam, dengan kemarahan yang beloh. Sang Kumbang, tak berkata apa-apa, kecuali bergumam, 'H'mm! Sangat jelas, bahwa ia cukup terkesan.
Lalu, sang Kumbang, melebarkan sayapnya dan terbang, dengan tujuan memberitahu kepada kumbang lain, yang ia kenal, yang juga sangat terkesan, berkata, 'H'mm!' dan terbang pula, memberitahu yang lain.
Dan sekarang jika engkau berkesempatan melihat, di ladang atau hutan, seekor Kumbang, dan mendengarnya bergumam, 'H'mmm!' maka engkau 'kan tahu, siapa yang ia sindir.
'Karena engkau orang asing, Tuan,' kata sang Ayam Jantan, 'Bolehlah engkau dimaafkan atas perilaku tak senonohmu; namun izinkan aku menyampaikan padamu bahwa, tak seorang pun, kecuali Beruang Hitam atau Beruang Putih, yang akan menghina upacara keagamaan apapun, di hadapan orang-orang yang menganggapnya, penting.'
'Biarlah ini menjadi peringatan bagimu,' kata Pak Kepsek, 'dan di kehidupan masa depanmu, jangan pernah membuang pelampungmu sampai engkau yakin, bahwa engkau punya kekuatan dan pengalaman yang cukup, berenang tanpanya.'

Sebelum beranjak pergi, Rembulan berkata, "Begitulah percakapan mereka. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Oliver Herford, The Bashful Earthquake, Charles Scribner’s Sons
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin